Protected by Copyscape Plagiarism Scanner

Monday 15 August 2011

Calista Kaz "Penyihir Naga Arkhataya" (Chapter 9)

9. LEMBAH CRYSTAL

Pagi itu mentari bersinar malas. Kunikmati hangatnya cahaya pudar yang terpancar dari langit dengan sepenuh hati. Tristan mulai menjajaki setiap langkahku dengan antusias. Kulirik sosoknya yang kini berjalan canggung di sisiku. Aku dapat melihat senyum bekunya yang tergambar jelas saat menyapaku. Ia meraih tanganku dengan paksa kemudian mengenggamnya dalam jemarinya dengan lembut sebagai tanda rasa penyesalan atas sikapnya semalam. Sekilas kulihat mata emas Ness nampak meredup ketika Tristan menggenggam tanganku.
”Apa yang kalian lakukan semalam,” tuntut Tristan padaku dengan suara sumbang.
Kutatap wajah tampannya yang terlihat tegang dengan ekspresi keengganan. ”Kami hanya menikmati malam dibawah terangnya sinar bulan. Apakah itu menjadi masalah,” acuhku berusaha untuk menghapus kecurigaannya.
Tristan terlihat gusar mendengar jawabanku.
”Ferin itu licik. Aku tak ingin kau dimanfaatkan olehnya.”
Kutatap Tristan galau. ”Kurasa Ness takkan pernah melakukan hal seperti itu padaku,” belaku datar mengingat ia telah menyelamatkanku dari tangan Chaides.
Tristan tersenyum sinis. ”Sadarlah Calista. Ferin milik Quilla. Dan Quilla takkan melepaskan miliknya untuk siapapun. Lagipula, Ferin tidak akan bertindak bodoh dengan melepaskan Quilla demi seorang gadis biasa karena ia tahu apa yang akan ia dapatkan jika terus bersama seorang putri raja dari keturunan bangsawan elf.
Aku hanya terdiam mendengar penuturannya.
”Ness Ferin akan menghancurkan hatimu. Seperti yang sering ia lakukan pada gadis gadis lain di lembah Crystal,” dengus Tristan menyesatkan pikiranku dengan ucapan lembutnya yang mengalun merdu dikupingku.
Kutatap mata ungu itu dengan gundah. Rasa cemburu berlebihan yang terlihat jelas di wajah bekunya membuatku sedikit kecewa karena ia masih meragukan rasa cintaku padanya.
Kutatap wajahnya dengan suram. ”Kau pikir semudah itukah aku berpaling pada seseorang dan merubah perasaanku.”
Tristan membisu.
Kuhela napas panjang dan memberanikan diri menatap tajam kearahnya. ”Kau benar benar keterlaluan. Aku dan Ness hanya mencoba untuk berteman. Dan dia menghiburku ketika kau telah menyakitiku.”
Ia nampak terkejut mendengar kejujuranku. ”Aku hanya tak ingin kehilangan dirimu Calista,” sahutnya pelan.
Kutatap lekat lekat raut mukanya yang kini terlihat canggung.
”Maaf jika aku telah menyakitimu. Mungkin karena aku terlalu mencintaimu,” bisikan lembutnya telah melambungkan seluruh perasaanku seakan ia tengah menghipnotisku.
Kutatap sepasang mata ungunya yang menyorot sendu. Begitu tulus dan menghanyutkan. ”Kau tidak akan pernah kehilangan aku, Tristan,” tegasku meyakinkannya.
Seulas senyum terlukis diwajahnya yang beku. Ia menggenggam kedua tanganku. ”Kau tak tahu betapa berartinya perkataanmu itu untukku,” desisnya lembut.
Kedua pipiku terasa hangat. Tak kuperdulikan lagi tatapan kikuk Titus kearah kami atau pun lirikan acuh Ness yang segera membalikkan tubuhnya dan berjalan dengan cepat mendahului langkah langkah kami.
Rasa senang menyelimuti perasaanku. Kuputar kedua bola mataku dengan riang. ”Titus mengatakan padaku jika aku memberikan alasan yang tepat untuk membelamu, Orion pasti akan memberikanmu kesempatan kedua,” ucapku bersemangat.
Tristan terdiam. Rahangnya mengeras.
”Percayalah, kau pasti akan baik baik saja. Jika aku harus memohon hidupmu pada Orion aku pasti akan melakukannya. Sama seperti yang akan kau lakukan untuk memohon hidupku pada Rufus,” kataku lagi hati hati.
Tristan terlihat tak terlalu senang. ”Kau tak harus melakukan itu untukku. Aku tak ingin kau mempermalukan dirimu untukku,” tolaknya halus.
”Tapi aku ingin melakukannya untukmu tanpa paksaan.”
Tristan tersenyum datar. ”Tetap saja aku tak menyukai idemu itu.”
”Maaf tapi aku sudah memutuskan untuk melakukannya,” ujarku bersikeras.
Tristan kembali mempererat genggaman tangannya padaku. Dadaku berdebar kencang. ”Aku tak tahu lagi harus bicara apa padamu,” gelengnya kagum seraya tersenyum.
Kubalas senyumannya dengan anggukan kepala, untuk kembali meyakinkannya. Sepasang mata ungu gelapnya hanya menyorot sendu.
Dan ketika hari semakin siang kami telah tiba di perbatasan wilayah lembah Crystal. Jantungku berdetak kencang. Perasaan senang bercampur rasa penasaran. Aku dapat merasakan kejutan besar tengah menantiku. Ada rasa tak sabar ingin cepat cepat tiba di lembah penyihir ini. Semata mata bukan lagi rasa tak sabar yang terus menghantuiku untuk mengungkap rahasia jati diriku yang selama ini disembunyikan oleh Arman, ayahku. Namun rasa tak sabar untuk meminta pengampunan pada penguasa lembah Crystal, yaitu Orion Xander akan perbuatan Tristan yang telah mengkhianati lembah penyihir ini untuk bergabung dengan Zorca.
Kami menyempatkan diri untuk beristirahat sebentar disebuah danau kecil yang tenang dengan airnya yang terlihat segar kehijauan. Danau ini ditumbuhi begitu banyak bunga teratai yang mengapung berwarna merah muda keputihan.
Kubasuh kedua tanganku di danau ini dan merasakan kesejukannya. Rasa dingin menyegarkan seketika menjalari seluruh jemari tanganku yang mulai kecanduan untuk terus berlama lama merasakan sejuknya air danau ini.
”Bisakah kau tidak terlalu mempercayai ucapan Readick sepenuhnya,” desah Ness yang kini telah berdiri disampingku yang tengah duduk disebuah batu besar sambil menikmati air danau dengan kaki telanjangku. Tak berani menatapnya, kuputuskan untuk tak menanggapinya.
Ness kini berjongkok disampingku. ”Tristan terkenal mahir mempermainkan pikiran dengan hipnotis suaranya.”
Kulirik Tristan yang tengah berbaring memejamkan mata disamping Titus yang tengah duduk waspada.
”Kau salah. Tristan tidak mungkin mempermainkan perasaanku seperti itu,” desahku ragu.
Ness menatapku tajam. Sepasang mata emasnya berkilau resah diteriknya sinar matahari siang. ”Ia telah mengacaukan pikiranmu berkali kali sejak pertemuan pertama di Essendra, ketika kematian ayahmu dan hingga sekarang,” tuding Ness tanpa kompromi.
”Tapi, dia sudah berubah...” sahutku ragu.
Ness tersenyum sinis. ”Kau yakin.”
Kutatap Ness dengan marah. ”Berhentilah mengatakan hal buruk tentangnya,” cetusku kesal.
Dengan kasar Ness menarik lenganku. Dan mendekatkan wajahku dengan wajahnya. Kedua tangannya yang kokoh memegangi kedua bahuku dan menatapku dalam.
”Berpikirlah dengan jernih. Dia sangat berbahaya. Yang ada dipikirannya hanya cara membalaskan dendam pada Orion atas kematian ayahnya,” kali ini ucapan Ness bernada penekanan.
”Setiap orang bisa berubah. Kau tidak perlu mengingatkan hal itu padaku,” sahutku kasar.
”Jangan bersikap bodoh dan keras kepala,” raung Ness marah.
Sepasang mata emasnya yang biasa terlihat cerah kini nampak garang dan suram. Wajah tampan Ness yang biasanya terlihat datar dan tenang berubah dingin dan mengintimidasi. Tatapan sinisnya menciutkan hatiku.  
”Tristan bisa saja melarikan diri saat ini jika ia mau. Tapi ia tidak melakukannya semata mata karena ia tengah merencanakan sesuatu,” nada suara Ness masih meninggi.
Aku menggeleng kuat kuat menolak semua pendapat pribadinya yang menyudutkan pujaan hatiku.
”Dia tengah berpura pura. Kekuatan cahaya yang selama ini kusalurkan ke tubuhnya adalah energi cahaya murni yang dapat menyembuhkan lukanya hanya dalam waktu sehari. Jiwanya terlalu kotor untuk kembali bersih. Aku dapat membaca pikiran jahatnya hanya dalam kedipan mataku. Readick hanya memanfaatkanmu!” tegasnya dingin.
Kulirik anting perak yang tersemat dikuping kiri Ness. Perkataannya mungkin saja benar mengingat ia bukan sekedar seorang psychic biasa. Ness Ferin adalah seorang psychic illusionist yang memiliki kekuatan ilusi dari empat jiwa yaitu kekuatan cinta, pikiran, kebenaran dan energi.
”Aku tak mau mendengarnya!”seruku kesal seraya menutup kedua kupingku.
Dengan marah dilepaskan pegangan tangannya dari kedua bahuku dengan kasar. Perlakuannya membuatku sedikit terkejut.  
Ness mencoba menguasai dirinya kembali dan menghela napas panjang. ” Maaf, aku tak bermaksud menyakitimu,” sesalnya dingin seraya berdiri dan menatap lurus kearah danau di depan kami.
Kuatur napasku perlahan dan mengumpulkan semua keberanianku. ”Mungkin kau benar. Aku memang bodoh dan keras kepala. Aku punya alasan untuk itu. Perhatian Tristan dan penderitaannya yang sama karena kehilangan seseorang yang berarti dalam hidup ini membuatku mempercayainya. Mengetahui ada seseorang yang berbagi kisah sama membuat perasaanku nyaman karena ia mengerti penderitaanku,” parauku.
Ness tertawa mengejek. ”Jika kukatakan aku juga kehilangan ayahku saat Zorca menyerang lembah Crystal. Apakah kau juga akan perduli padaku karena kita berbagi kisah yang sama,” ucapnya sinis.
Aku sangat terkejut begitu mendengar penuturannya. Aku tak  menyangka jika ia juga telah kehilangan ayahnya. Dengan cepat aku berdiri. Kutatap wajah Ness yang sudah kembali terlihat tenang dan datar. Mata emasnya menatap lurus lurus ke depan tak memperdulikanku pandanganku.
”Aku benar benar menyesal. Seharusnya kau mengatakan hal itu sebelumnya padaku,” ujarku seketika merasa bersalah.
Ness tak menyahut. Kutarik napas dalam dalam.        
”Jika Tristan memang seperti yang kau katakan. Mungkin aku akan mengambil resiko itu dan menerima apapun akibatnya nanti,” desahku.
Ness masih diam membisu.
”Terimakasih untuk semuanya. Kau telah menyelamatkan aku dan Tristan. Aku benar benar berhutang padamu,” kataku getir.
Ness tersenyum samar menatap kearahku. ”Aku hanya melakukan tugasku,” tukasnya dingin.
Kutatap Ness sunguh sungguh.  ”Aku tahu dan aku sangat menghargainya,” kucoba membaca ekspresi wajahnya yang datar. Tapi aku gagal menangkap perasaannya.
Sepanjang perjalanan pikiranku melayang. Berkali kali kulirik punggung Ness yang berjalan didepanku. Dia pasti menganggapku sangat rapuh dan mudah dipengaruhi.
”Apa yang tengah kau pikirkan,” bisikan Tristan membuyarkan lamunanku tentang Ness.
”Tidak ada. Mengapa kau berkata seperti itu,” sahutku gugup.
”Sejak tadi sepertinya kau hanya melamun dan tidak mendengarkan semua ucapanku,” nada suaranya menudingku.
Kutatap wajah tampan itu lekat lekat. Apakah senyum itu tulus. Ada sedikit keraguan yang datang tiba tiba. Apakah aku mulai termakan oleh ucapan ucapan Ness.
”Bagaimana lukamu,” selidikku.
”Masih terasa sakit sedikit. Tapi aku akan hidup untukmu,” senyumnya getir.
Aku tak menanggapi perkataannya.
”Apa ada yang salah sayang,” bisik Tristan lembut.
Aku tersentak. ”Maaf jika aku telah bersikeras untuk membawamu ke lembah Crystal.”
Tristan menatapku binngung. ”Jangan terlalu dipikirkan. Selama aku bersamamu, aku sudah tak perduli lagi dimana aku berada. Bahkan jika di neraka sekalipun.”
Ucapannya terasa berlebihan ditelingaku. Dengan resah kutarik napas perlahan.
Tristan semakin menatapku curiga. ”Dengar Calista. Apapun yang terjadi padaku bukanlah suatu beban untukmu. Aku akan menghadapinya sendiri baik bersamamu atau tidak,” kedua mata ungu Tristan nampak bersungguh sungguh.
”Aku hanya... Bisakah aku mempercayai semua ucapanmu itu,” desahku ragu.
Sepasang mata ungu itu menyipit. ”Mengapa kau berkata seperti itu.”
Tanpa kusadari, seketika itu juga aku melirik kearah Ness.
Wajah Tristan terlihat gusar. ”Si brengsek itu pasti telah mengatakan hal hal buruk tentangku,” geramnya seraya melemparkan pandangan marah kearah Ness yang  berjalan di depan kami.
Kupegang tangan Tristan dengan panik. ”Tolong jangan membuat keributan lagi. Setidaknya sampai kita tiba di lembah Crystal untuk mengetahui nasibmu,” mohonku bernada penyesalan.
Dengan marah yang meluap Tristan menatap Ness garang.
Dengan cepat kuraih wajahnya dengan kedua tanganku, lalu kualihkan pandangannya untuk menatap kedua mataku. ”Aku sempat meragukanmu tapi itu tidak akan terjadi lagi,” sesalku seraya membelai wajahnya untuk menenangkan rasa marahnya.
Tristan menatapku dengan pandangan nanar. ”Jangan lakukan hal itu lagi padaku Calista. Kau benar benar menyakiti hatiku,” ucapnya tajam.
Kuanggukan kepalaku untuk meyakinkannya. Seketika itu juga Tristan memelukku erat. ”Aku takkan melakukan sesuatu yang akan menyakitimu,” bisiknya parau.
Kurasakan denyut jantungku bergetar cepat. Dekapan hangat Tristan seolah menjanjikan perlindungan yang dapat terpercaya. Tak kuperdulikan wajah Titus yang nampak tertegun menatap kami dengan wajah sedihnya.
Menjelang senja kami telah tiba di pintu gerbang lembah Crystal. Kupandangi dua buah patung yang berdiri tegak diantara gerbang besi sebagai pintu masuk utama menuju lembah Crystal ini. Dua buah patung berukuran raksasa setinggi rumah tersebut adalah sebuah patung seorang wanita di sebelah kanan dan satunya lagi, patung seorang laki laki di sebelah kirinya dengan bentuk wajah yang sangat mirip.
Saat kupertegas pandanganku seketika itu juga jantungku seakan berhenti berdetak. Wajah patung wanita di depanku ini membuatku terpaku. Seperti tersihir pikiranku melayang mengingat wajah muram sosok wanita berambut panjang yang kerap datang menghantui mimpi mimpi dan pikiranku.
Aku hanya berdiri kaku dan menatap tegang pahatan wajah patung wanita dihadapanku ini.
”Itu adalah patung Obidia dan Balthazar. Legenda mengatakan jika mereka adalah saudara kembar penemu lembah Crystal ini,” ujar Titus, berusaha menjelaskan padaku begitu melihat aku yang tengah berdiri membeku di depan kedua patung besar itu.
Kutatap wajah Titus  lekat lekat. ”Mereka penyihir?”
Titus tergelak. ”Sudah pasti mereka seorang penyihir. Dua saudara kembar yang memiliki kekuatan sihir terhebat di masanya.”
Telunjuk Titus kini mengarah pada patung wanita disebelah kanan. ”Mitos mengatakan jika Obidia dapat memanggil naga mematikan dengan sihirnya,” ujar Titus menerawang.
Kutatap patung Obidia dengan resah. Kurasa kedatanganku ke tempat ini merupakan suatu kesalahan.
 Titus menghela napas panjang lalu melirikku. ”Senangnya bisa kembali pulang. Kurasa aku membutuhkan banyak istirahat,” desahnya sendirian seraya berjalan mendahuluiku.
Sementara aku masih terpaku dan tak sanggup menggerakkan kedua kakiku yang menolak untuk melangkah.
Tristan menghampiriku. Sepasang mata ungunya menatapku dengan pandangan menyelidik. ”Ada sesuatu yang salah?”
”Ya,” sahutku panik.
Tubuh Tristan menegang.
Kutatap sorot mata ungunya yang penuh perhatian. Dengan gugup kuceritakan sosok wanita yang selalu datang dalam mimpi mimpiku itu yang kebetulan wajahnya mirip dengan Obidia.
Tristan terpaku sesaat, begitu selesai mendengarkan penuturanku. Sepasang mata ungunya menyorot dalam kearahku. ”Semua akan baik baik saja,” gumamnya berusaha menenangkan.
”Kuharap begitu,” keluhku tak sependapat.
Tristan mempertegas tatapannya padaku. ”Kedatangan Obidia dalam pikiran dan mimpimu menandakan sesuatu Calista. Meski aku sendiri tak mengetahuinya untuk saat ini namun satu hal yang pasti adalah kau tidak selemah perkiraan Chaides. Kau memiliki kekuatan sihir.”
Kutatap Tristan getir. ”Aku sendiri tak yakin jika aku adalah seorang penyihir meski aku dapat merasakan kemampuan sihirku mulai kembali.”
Tristan nampak berusaha memahami arti kata kataku.
Suara seruan Titus yang mengingatkan kami untuk segera memasuki pintu masuk lembah telah memutuskan pembicaraan aku dan Tristan. Titus terlihat berbicara dengan dua orang penjaga pintu masuk lembah Crystal sambil menunjuk kearah kami. Raut muka mereka nampak terkejut begitu melihat wajah dingin Tristan yang menyorot tajam.
Akhirnya kami memasuki lembah Crystal. Lembah ini mengingatkanku pada kota Willow. Begitu teratur dan nyaman. Sepanjang jalan utama deretan perumahan tertata rapih dan bersih. Ada beberapa kedai minum dan tempat penginapan kecil yang berjejer di kiri kanan jalan utama ini.
Kami terus berjalan menyusuri jalan utama yang cukup lebar dan panjang. Beberapa orang yang tengah lalu lalang nampak berbisik bisik kearah kami.
”Lihat siapa yang kembali!” teriak seorang laki laki dengan wajah masam.
”Itu Readick. Mereka telah berhasil menangkap pengkhianat itu,” sahut seorang wanita dengan geram.
”Harap tenang. Dan tolong jangan menghalangi jalan kami,” pinta Titus berusaha menenangkan.
Beberapa sorakan kemarahan mulai terdengar. Wajah Tristan menegang. Kini genggaman tangannya makin menguat memegang tanganku. Dengan sigap Ness membentengi kami berdua masih dengan sorot mata datar dan wajah tampannya yang telihat begitu tenang dalam situasi seperti ini.
”Dia harus mati atas perbuatannya!” teriak beberapa orang marah.
”Kumohon tenanglah! Hukuman akan diberikan setelah pemimpin kita, yang mulia Orion Xander memutuskan persidangannya!” teriak Titus kesal.
Kembali suara sorak kemarahan terdengar. Dan kali ini beberapa orang ada yang melempari kami dengan apa saja yang mereka miliki. Benar benar suatu penyambutan yang tidak menyenangkan.  Seketika itu juga aku mulai tidak menyukai lembah penyihir ini.
Dari kejauhan seseorang berteriak teriak memanggil nama Titus diantara kerumunan yang tengah diliputi amarah. Titus yang nampak sibuk menenangkan kemarahan para penduduk nampaknya  tidak terlalu memperhatikan.
”Dasar orang orang tolol! Jika mereka menginginkan aku tak seharusnya mereka ikut menyakitimu,” geram Tristan seraya memelukku erat.
”Jika kau melepaskan tanganmu dari Calista tentunya mereka takkan berpikir untuk menyakitinya juga,” sindir Ness tajam membuatku jadi salah tingkah.
”Kau sungguh menyedihkan Ferin. Kau hanya tak tahan jika aku dan Calista saling memiliki, benarkan?” sahut Tristan penuh kemenangan.
Ness tersenyum datar. ”Kau bisa mengucapkan apapun yang kau mau Readick karena aku sungguh sungguh tak perduli,” ucap Ness datar.
Wajah Tristan terlihat geram.
Kuredam emosi Tristan dengan memegang erat jemarinya.
Terdengar teriakan seorang wanita untuk menghentikan kerumunan penduduk yang tengah marah. Kulihat sosok Brisa berdiri tepat dihadapan kami bersama dengan Oggie dan Darren.
Sepasang bola mata berwarna biru langit itu menatap tajam kearah kerumunan orang yang mengelilingi kami. Brisa berdiri tegak dan mengalihkan pandangan kesekelilingnya. ”Kami para ksatria lembah Crystal yang akan mengurus semuanya atas perintah yang mulia Orion Xander. Nasib Tristan Readick akan ditentukan nanti di persidangan. Untuk saat ini jangan membuat keributan atau kalian akan menyesal telah menentang perintah yang mulia Orion Xander!” teriak Brisa lantang diiringi reaksi kekecewaan orang orang yang satu persatu mulai membubarkan diri.
Brisa menatapku senang. Dengan cepat ia memelukku. ”Aku senang kau selamat,” desahnya penuh kelegaan.
Ditatapnya wajahku dengan seksama lalu ia mengalihkan pandangannya kearah Tristan. ”Kuharap kau akan bersikap bijak untuk kali ini dengan tidak memanfaatkan keadaan,” cetus Brisa tajam.
”Aku tak mengerti maksud ucapanmu,”  sahut Tristan dingin.
”Tentu saja kau mengerti maksud Brisa, Readick. Manusia licik dan culas sepertimu seharusnya tidak dibiarkan hidup berkeliaran bebas,” seru Darren marah seraya mendekati Tristan dengan tangan terkepal.
Dengan cepat Ness memegangi lengan Darren. ”Tahan emosimu Darr. Dia tetap harus mendapatkan persidangan yang adil untuk menentukan hukumannya.”
”Sebaiknya hukuman yang seberat beratnya karena telah membuat kami kehilangan Zach,” timpal Oggie emosi.
”Aku tidak membunuh Zach. Kecerobohan yang telah membunuhnya,” ejek Tristan setengah tertawa.
”Kau benar benar brengsek!” teriak Darren seraya melayangkan tinjunya kearah pipi kiri Tristan. Seketika itu darah segar menetes dari mulutnya.
”Hentikan!” teriakku panik seraya memegangi bahu Tristan dan menjadikan tubuhku sebagai pelindungnya.
Dengan cepat Brisa menarik tanganku mencoba menjauhkan posisi tubuhku dari Tristan. ”Ia tak pantas mendapatkan perlindungan darimu,” sentaknya marah.
Dengan emosi kulepaskan pegangan tangan Brisa. ”Tristan telah melindungiku selama dalam masa penawananku Bris,” protesku.
”Ia pasti sengaja melakukannya dengan suatu tujuan,” tuding Brisa.
Tristan tertawa sinis. ”Sungguh menggelikan. Kau bisa lihat kan Calista. Jika kau berniat untuk menjadi salah satu ksatria sihir lembah ini kau akan menjadi bodoh dan penuh prasangka seperti mereka.”
”Sebaiknya kau tutup mulutmu atau aku akan membunuhmu saat ini juga!” teriak Darren semakin marah.
Kembali Ness memegangi tangan Darren yang tengah bersiap siap melayangkan tinjunya.
Titus menggeleng kesal. ”Bisakah kalian bersikap dewasa dan sedikit tenang.”
”Tapi Titus....” keluh Darren yang langsung diam begitu melihat tangan kanan Titus terangkat mengisyaratkan untuk kembali tenang.
”Kuharap kalian menahan diri dan menghargai keberadaan Tristan sampai persidangannya ditentukan nanti,” ujar Titus tegas seraya menatap Darren dan Oggie.
Kini wajah sedih Titus beralih pada Brisa. ”Kurasa nona Kaz membutuhkan tempat istirahat untuk sementara.”
Brisa mengangguk kearah Titus.
Titus menghela napas dan mengalihkan pandangan pada Ness yang sedari tadi terlihat tenang. ”Ness bantu aku membawa Tristan pergi dari sini secepatnya.”
Ness hanya menganggukkan kepalanya.
Dengan cepat Titus memegangi tangan Tristan yang masih menatap sinis kearah Darren dan Oggie. Ness mengikuti langkah Titus dari belakang dengan sigap.
Kuayunkan langkahku untuk mengikuti langkah langkah Titus dan Ness yang membawa Tristan namun Brisa terlebih dulu menarik lenganku.
”Kurasa kau tidak perlu mengikuti mereka. Karena Tristan akan dimasukkan dalam sel tahanan bawah tanah untuk menunggu sidang pengadilannya nanti.”
 Seketika itu juga dadaku terasa sesak. ”Tapi aku harus menemaninya Bris. Aku telah berjanji padanya,” rengekku kesal.
”Kau seorang pendatang di lembah ini. Aku tak ingin kau memiliki kesan buruk dengan berdiri berdekatan disamping Readick. Ingat tujuan awal mu datang ke lembah Crystal adalah untuk mencari asal usulmu,” ingat Brisa kaku.
Kutatap Brisa nanar.
”Dengarkan aku. Kita akan pergi menemui Orion besok. Kau bisa menyampaikan semua keinginanmu padanya. Aku yakin Orion akan memberikan jalan keluar yang terbaik untuk kalian berdua.”
Kutatap kedua mata biru Brisa penuh harap.
”Bagaimana?” tanyanya lagi.
Kuanggukkan kepalaku perlahan.
Brisa tersenyum senang. ”Bagus.”
Dengan enggan kulangkahkan kakiku mengikuti langkah langkah ringan Brisa. Seluruh tubuhku terasa lelah namun aku terlalu tegang untuk merasakan rasa lelah itu. seluruh pikiranku hanya tertuju pada Tristan. Rasanya begitu pilu membayangkan ia meringkuk di dalam sel tahanan malam ini.
Rasa pilu nampaknya tidak mau melepaskanku begitu saja. Malam itu Obidia kembali mendatangiku lewat mimpi. Wajah cekungnya terlihat kuyu dan berlinang airmata. Kedua tangannya mendekap erat tubuh seseorang dipelukannya dan ia terlihat tengah menangisinya. Awalnya aku tidak dapat mengenali wajah laki laki dalam dekapannya itu. Namun ketika Obidia membaringkan tubuh laki laki itu di tanah aku dapat melihat jelas jika laki laki tersebut adalah saudara kembarnya, Balthazar.
Sambil berlinang airmata Obidia menatap wajah pucat Balthazar yang terbujur kaku. Sepasang mata hitamnya yang dalam menyorot tajam seakan mencari cari sesuatu. Kilatan samar cahaya keemasan diantara semak belukar menarik perhatiannya. Dengan napas memburu ia berdiri dan menyeret langkahnya mendekati arah cahaya tersebut. Dengan kasar disibakkan rerumputan liar yang menutupi cahaya samar tadi. Perlahan lahan wajahnya tersenyum getir ketika melihat gelang emas berbentuk seekor naga yang tengah tidur melingkar itu tergeletak diantara rerumputan liar didepannya. Diraihnya dengan terburu buru gelang emas tersebut.
Airmuka Obidia berubah tegang. Diliriknya tubuh Balthazar yang masih terbujur kaku. Dengan sisa kekuatan ia menghampiri kembali tubuh kaku saudara kembarnya itu. Berlutut di depan tubuh Balthazar dan kembali menangisinya sambil memegang gelang naga ditangan kanannya erat erat.
Gemuruh angin terdengar kencang. Awan hitam yang tengah bergerak lambat mulai menutupi sebagian cahaya langit. Obidia menatap langit dengan wajah marah berlinang airmata. Dan dengan amarah yang meluap ia berteriak nyaring bersamaan dengan datangnya gemuruh angin besar yang berputar kencang disekeliling tubuhnya.
Aku terbangun dengan tubuh berkeringat dan tatapan cemas di wajah Brisa yang terlihat terganggu oleh teriakanku malam itu.
Keesokkan paginya aku bangun kesiangan. Rumah Brisa yang mungil dan bernuansa kehijauan terasa begitu menenangkan bagiku. Brisa penyuka mawar. Hampir di setiap sudut rumah mungilnya ini ditumbuhi tanamam mawar beraneka warna.
”Akhirnya kau bangun juga. Aku sempat takut kau akan terus tertidur hingga petang karena kau terlihat sangat kelelahan setelah lengkingan kerasmu berkali kali yang cukup mengganggu tidurku semalam,” gurau Brisa seraya duduk disampingku yang tengah menikmati wangi mawar dikebun kecilnya itu.
”Perutku lapar sekali,” ujarku spontan tak memperdulikan gurauannya.
”Aku sudah menyiapkan makanan untukmu. Kuharap kau menyukainya.”
”Aku akan makan apapun yang kau buat,” gumamku diiringi tawa riang Brisa akan ucapanku.
Setelah mandi dan menghabiskan omellet buatan Brisa tanpa menunggu lebih lama kembali kutanyakan keberadaan Tristan padanya. Wajah cantik itu nampak sedikit enggan menjawab pertanyaanku.
”Kumohon Bris. Antarkan aku ke tempat Tristan ditahan,” pintaku menyedihkan.
”Tidak sebelum kita menemui Orion. Semua ini untuk kebaikanmu sendiri,”
Seketika itu wajahku berubah masam. ”Jangan cemaskan itu. Aku tahu apa yang terbaik untuk diriku sendiri.”
Wajah riang Brisa berubah kesal. ”Sepertinya Tristan telah membiusmu dengan semua omong kosongnya sehingga otakmu tak bisa kembali berpikir jernih,” cetusnya galak.
”Baiklah, kalau begitu antarkan aku menemui Orion sekarang juga,” sahutku tak mau kalah.
Brisa tertawa sumbang. ”Ternyata kau benar benar keras kepala seperti yang selalu Ness ucapkan.”
Aku mendengus marah. ”Aku tidak punya banyak waktu. Aku harus menyelamatkan Tristan. Jadi kumohon antarkan aku ke tempat Orion sekarang juga,” desakku.
Sepasang mata biru langit Brisa menatapku kesal.
”Aku harus melakukannya untuk Tristan,” sahutku gundah.
”Baiklah kita pergi ke sana sekarang. Kuharap Orion belum melakukan perjalanan ke Amorilla.”
Mendengar kata kata Amorilla tiba tiba aku teringat putri Quilla, kekasih Ness.
”Untuk apa dia kesana?”
”Sejak kemunculan para pengikut Zorca yang jumlahnya kian banyak. Hal ini cukup meresahkan keselamatan penduduk lembah Crystal. Orion berniat untuk membicarakan masalah ini dengan raja Zordius. Mengingat negri Amorilla adalah sekutu terbesar lembah Crystal. Orion harus memastikan jika raja Zordius benar benar berada dipihak kami.”
Kupandangi Brisa dengan tatapan kosong. Tak pernah terlintas dibenakku jika masalah negri ini jadi begitu rumit. Sementara yang kupikirkan hanya bagaimana cara menyelamatkan Tristan lalu pulang ke Essendra yang tenang.
Seakan dapat membaca isi pikiranku Brisa menatap lurus kearahku tak berkedip. Kualihkan pandanganku kearah pintu depan seraya mengenakan baju hangatku.
Dengan penuh semangat kuikuti ayunan langkah langkah Brisa yang berjalan mendahuluiku.
Kini kami telah berada di jalan utama yang cukup ramai. Dari kejauhan seseorang menghampiri kami dengan wajah cerah. Gadis berambut hitam yang garis wajahnya mirip Tristan itu menyapaku ramah.
”Senang mendegar kau selamat dari cengkraman anak buah Zorca yang kejam itu. Kau benar benar beruntung karena Titus dan Ness berhasil menyelamatkanmu.”
Kuangukkan kepala dengan sopan. ”Terimakasih Agnes. Kurasa kau benar aku memang beruntung.”
Sepasang mata ungu kehitaman milik Agnes menatapku serius. ”Kudengar kau membawa sepupuku kembali pulang.”
Kuanggukan kepalaku dengan gugup. ”Tristan telah menyelamatkanku selama masa penawanan mereka jadi aku berniat membalas kebaikannya.”
Seulas senyum hambar tergambar diwajah dewasanya. ”Harus kuakui jika tindakanmu itu benar benar nekat sekaligus bodoh.”
Kutatap Agnes tak senang.
”Berhentilah menghakiminya, Agnes.” cetus Brisa datar.
”Aku hanya tak mengerti apa yang telah dipikirkan anak ini dengan membawa Tristan kembali,” lirik Agnes pada Brisa lalu kembali menatapku dengan pandangannya yang menyudutkan.
”Sebagai sepupunya seharusnya kau tahu jika Tristan tidak seburuk itu. Hatinya tengah terluka karena kehilangan sosok seorang ayah. Aku yakin dapat merubah pendiriannya,” ujarku mencoba untuk membela Tristan.
Agnes terlihat meremehkan ucapanku. ”Percayalah padaku, hati Tristan telah membeku.”
Kutatap wajah Agnes yang nampak mengamati reaksiku atas perkataannya. Namun aku hanya membisu.
”Sudahlah. Sebaiknya kita segera menemui Orion sebelum terlambat,” ingat Brisa kembali.
”Apakah kau akan berada di Sandora hari ini, Bris?” Agnes mengalihkan pandangannya pada Brisa.
”Sepertinya tidak. Bisakah kau minta Titus untuk menggantikanku seharian ini.”
”Tentu saja, akan kusampaikan padanya.”
Tanpa ingin membuang waktu aku dan Brisa segera meneruskan perjalanan kami ke tempat Orion.
Akhirnya kami tiba disebuah kastil yang cukup besar. Dua orang penjaga kastil meminta kami untuk langsung masuk menuju ruang pertemuan. Diam diam kuperhatikan dengan penuh kekaguman bangunan megah ini.
Di dalam kastil kulihat puluhan lilin lilin besar yang menyala dan berjejer dikiri kanan lorong utama dengan aroma wangi bunga lili. Kami berjalan lurus mengikuti karpet merah yang terbentang mulai dari pintu masuk hingga lorong ruangan yang menuju sebuah ruangan. Sepertinya ini sebuah ruang pertemuan untuk menyambut para tamu.
Diruangan pertemuan ini terdapat delapan buah kursi kursi tinggi yang mengelilingi meja panjang dengan sebuah batu kristal berbentuk segitiga yang berkilauan ditengah mejanya. Ruang pertemuan ini pun terlihat indah dengan cahaya lilin yang menempel disekeliling dinding ruangan yang semakin menambah terangnya ruang pertemuan ini.
Kutatap sebuah ukiran gambar di ujung dinding ruang pertemuan ini. Ukiran gambar seekor kuda putih yang bersayap. Ukiran kuda putih bersayap yang sangat gagah dan elok yang pernah kulihat seumur hidupku.
”Tunggulah disini. Aku akan menemui Orion diruangannya,” ujar Brisa membuyarkan lamunanku.
Kuanggukkan kepala menuruti permintaannya.
Dengan cepat Brisa melangkahkan kaki kakinya yang langsing ke sebuah pintu besar penghubung antara ruang pertemuan ini dengan ruangan lain dibaliknya.
Kembali kualihkan pandanganku kearah ukiran gambar kuda bersayap putih di dinding ruangan.
”Itu adalah Pegasus. Kuda bersayap pembawa petir sekaligus tunggangan kesayangan, Orion.”
Sebuah suara lembut mengagetkanku. Dengan cepat aku mencari arah suara yang ternyata si pemiliknya kini telah berdiri tak jauh disampingku.
Seorang wanita separuh baya berperawakan agak gemuk dengan rambutnya yang berwarna pirang sebahu nampak asik memandangi ukiran di dinding bersamaku. Sepasang matanya yang berwarna coklat gelap menyorot bijak kearahku. ”Maaf jika aku telah membuatmu terkejut.”
”Tidak juga,” sahutku gugup.
Wanita itu tersenyum ramah. ”Aku Prechia Gold. Apakah kau datang untuk menemui Orion Xander?”
Kuanggukkan kepalaku. ”Aku datang bersama Brisa. Dan sekarang ia tengah menemui tuan Xander diruangannya,” sahutku kikuk.
Prechia Gold tersenyum ramah kearahku. ”Siapa namamu nak?”
”Calista.... Calista Kaz,” ujarku sedikit tersipu karena lupa memperkenalkan diriku padanya.
Seketika itu wajah Prechia terlihat cerah. ”Senang bertemu denganmu nona Kaz. Aku sudah menduga kau memiliki wajah cantik dengan sorot mata coklatmu yang menawan. Mengingatkanku pada anak laki lakinya Piphylia... ah siapa yah namanya.....
”Jika yang kau maksudkan adalah Ness Ferin. Kurasa kau ada benarnya Prechia,” sahut seorang laki laki separuh baya, berjubah biru langit dengan rambut lurus sebahu berwarna perak ke abu abuan.
Laki laki itu kini berdiri dihadapan kami. Ia tersenyum tipis kearahku. Dan Brisa tengah berdiri tepat tiga langkah dibelakangnya.
Prechia tertawa riang. ”Ah Orion. Sukurlah kau belum meninggalkan lembah ini. Ada beberapa hal yang ingin kutanyakan padamu, nanti. Sehubungan dengan permintaanmu padaku untuk menggantikan posisimu sementara kau pergi ke Amorilla.” cetus Prechia Gold antusias.
 ”Tentu saja, dengan senang hati aku akan melayanimu namun sepertinya kau harus menunggu giliranmu Prechia,” lirik Orion padaku.
Kuhela napas panjang. Tiba tiba saja aku merasa gugup. Seakan menangkap ketegangan di raut wajahku, Prechia meletakkan tangannya dibahuku.
”Tenang saja nak. Orion Xander adalah orang yang tepat kau datangi. Teman baikku itu sangat pengertian dan bijak dalam menentukan setiap keputusan. Kau akan mendapatkan keadilan darinya,” bisik Prechia disampingku.
Kutatap wajah tenang Prechia dengan heran. Bagaimana dia tahu aku mendatangi Orion untuk meminta keputusan yang adil bagi Tristan. Apakah wanita ini tengah membaca isi pikiranku.
”Sebaiknya aku pergi meninggalkan kalian disini. Aku akan kembali jika sudah tiba giliranku,” ujar Prechia sopan seraya mengangguk kearah Orion.
”Tidak Prechia. Kumohon tinggalah disini bersama kami. Kau akan mengambil alih posisiku sementara aku pergi menemui Zordius jadi kau juga harus tahu masalah apa saja yang akan kutinggalkan padamu sementara aku pergi nanti,” cegah Orion seraya memberi isyarat pada Prechia untuk mendekat.
”Baiklah jika itu keinginanmu,” angguk Prechia hormat.
Kini Orion mengalihkan pandangannya padaku. ”Brisa mengatakan padaku jika kau ingin bertemu,” senyumnya datar.
Aku mengangguk hormat. ”Namaku Calista Kaz. Senang bertemu dengan anda tuan Xander.”
Orion mengangguk pelan.
Sepasang mata birunya kini mengalihkan pandangan kearah Brisa. ”Berdirilah disamping gadis muda ini nona Ackron. Dan coba jelaskan padaku apa yang telah terjadi,” pintanya lembut pada Brisa.
Brisa berjalan pelan menghampiriku. Kini ia berdiri sejajar disampingku.
”Setelah anda mengirim kami dalam misi penjemputan anak anak para mantan ksatria lembah Crystal yang telah berjuang dengan anda melawan Zorca dulu. Kami berhasil mengetahui dua lokasi. Namun hanya satu yang memiliki kekuatan sihir yang terpendam. Sementara yang satunya adalah seorang psychic.”
Orion dan Prechia mendengarkan ucapan Brisa dengan seksama.
”Sayangnya dalam perjalanan pulang kami diserang beberapa penyihir hitam pengikut Zorca, yang salah satunya adalah Tristan Readick.”
Untuk sesaat Prechia menghembuskan napas perlahan sementara Orion Xander nampak tenang dengan wajah yang terlihat datar tanpa ekspresi.
”Kami telah kehilangan Zach dalam misi. Dan mereka berhasil menawan Calista. Aku berhadapan dengan dengan situasi yang sulit karena Darren dan Oggie terluka cukup parah. Sementara Agnes pergi mengejar Evelyn yang ketakutan.”
Brisa mengatur napasnya perlahan.
”Ness Ferin bersikeras mengejar mereka untuk menyelamatkan Calista. Untungnya Titus datang setelah mendengar dari Agnes sebelumnya jika kami membutuhkan banyak bala bantuan,” lanjut Brisa.
Dadaku berdegup kencang begitu mendengar penuturan Brisa. Ness bersikeras untuk menyelamatkanku. Batinku haru.
”Akhirnya kami memutuskan untuk berpisah. Aku, Agnes dan Evelyn kembali ke lembah Crystal bersama Darren dan Oggie yang terluka parah bersama dengan salah satu gadis dalam misi penyelamatan kami yaitu, Cleo. Tapi kami tidak membawa tubuh Zach bersama kami. Namun kami telah memberikan pemakaman yang layak untuknya.”
”Apakah kau telah memberitahukan orangtua Zach perihal kematian anak mereka,” desah Orion galau.
”Ya. Dan kedua orangtua Zach menerimanya dengan tegar. Aku telah meminta Agnes untuk menunjukkan lokasi pemakaman Zach pada kedua orangtuanya.”
Orion mengangguk sedih. ”Katakan pada orangtua Zach jika aku akan memberikan penghargaan pada Zach sekembalinya dari Amorilla.”
”Baik yang mulia,” sahut Brisa pelan.
Orion kembali menatap Brisa dengan antusias. ”Sekarang lanjutkan ceritamu,” perintahnya.
Brisa kembali mengangguk hormat.
”Ness dan Titus berhasil menyelamatkan Calista namun sayangnya mereka membawa Tristan Readick bersama mereka,” tutur Brisa bernada kesal melirik kearahku seraya mengakhiri penjelasannya.
Orion menatap Brisa untuk sesaat lalu berganti mengalihkan pandangannya padaku. ”Brisa mengatakan sebelumnya ada yang akan kau sampaikan padaku sehubungan dengan kembalinya tuan Readick ke lembah Crystal?”
Kuberanikan diri menatap sepasang mata biru langit itu dengan tegar.
”Akulah yang memohon pada Ness dan Titus untuk membawa Tristan kembali ke lembah Crystal. Dia terluka parah dan aku tidak dapat meninggalkannya disana dalam keadaan sekarat. Karena selama dalam masa penawananku oleh para penyihir Zorca, Tristan telah bersikap baik padaku tuan Xander,” cerocosku berusaha meyakinkan Orion.
”Apakah kau tahu jika Tristan adalah mantan ksatria sihir lembah Crystal yang kini memilih untuk bergabung dengan Zorca?” tanya Orion penasaran.
Kutarik napas pelan. ”Ya aku tahu itu. Tapi kurasa semua itu dilakukannya karena ia diliputi rasa dendam yang salah,” ujarku membelanya.
Orion terdiam untuk beberapa saat. Lalu menghembuskan napas perlahan seraya menatapku.
”Tristan Readick tidak seburuk itu. Aku yakin ia dapat berubah. Hatinya yang beku akan mencair jika saja ada seseorang yang mau memahami perasaannya.”
”Apa yang membuatmu begitu yakin jika Tristan dapat berubah. Apakah kau, yang akan merubah pendiriannya itu?” tanya Orion bijak.
”Tentu saja tuan Xander. Aku yakin aku dapat merubah jalan pikirannya,” tegasku untuk meyakinkannya.
Brisa mendengus. ”Tidak ada seorang pun yang bisa merubah Readick. Bahkan ibu dan saudaranya sekalipun,” selanya memotong pembicaraanku.
Seketika itu juga wajahku memerah.
Brisa benar benar telah mempermalukanku dihadapan Orion yang kini tergelak seiring tawa Prechia yang lembut.
”Brisa sayang. Berilah kesempatan pada gadis ini untuk menjelaskan keinginannya pada Orion. Kau tidak perlu menyudutkannya seperti itu,” ingat Prechia dengan sisa tawa dibibirnya.
Kugigit bibirku menahan kesal pada Brisa.
”Maaf aku tak bermaksud seperti itu,” sungut Brisa pada dirinya sendiri seraya melirikku.
”Baiklah. Kurasa aku sudah mengerti maksud dan keinginanmu, nona Kaz. Sayangnya mulai hari ini, teman baikku Prechia Gold yang akan menjadi wakilku  sementara karena aku harus pergi ke suatu tempat. Jadi Prechia yang akan menentukan sekaligus memutuskan jawaban atas masalah ini.”
Kuhela napas dengan resah. Sepetinya masalah Tristan tidak akan begitu mudah untuk diselesaikan.
Orion tersenyum bijak. ”Teman baikku Prechia. Kurasa ini adalah kesempatan bagimu untuk menunjukkan jika kau juga memiliki jiwa kepemimpinan sebagai penggantiku kelak.”
Prechia tertawa sumbang. ”Jangan membebaniku dengan perkataanmu itu Orion. aku melakukannya atas dasar permintaanmu saja. Tidak sedikitpun keinginan dibenakku menggantikan posisimu untuk memimpin lembah ini. Aku lebih suka melakukan hal yang menyenangkan seperti mengurusi kucing kesayanganku,” protes Prechia lembut.
Orion kembali tergelak riang. Sepasang mata biru langitnya kini menatapku lembut. Kubalas tatapannya dengan tegang.
”Sepertinya waktuku begitu sempit namun setelah aku kembali dari Amorilla, aku berjanji akan duduk bersama denganmu untuk membicarakan semua masalah yang ada dikepala kecilmu itu dan mendengarkan kegundahan yang tengah kau rasakan saat ini.” mata birunya seolah menembus pandanganku.
”Aku hanya ingin tahu apa yang akan kau lakukan terhadap Tristan sementara kau pergi meninggalkan lembah ini,” kejarku menuntut jawaban pasti darinya.
Orion kembali tersenyum. ”Tenanglah nak. Tuan Readick akan baik baik saja selama masa penahanan. Kau dapat membicarakan masalah ini lebih lanjut pada wakilku Prechia Gold,” tangan kanan Orion menunjuk kearah Prechia yang tengah menatapku ramah.
Seluruh tubuhku terasa lemas.
”Baiklah. Aku harus bersiap siap untuk perjalananku ke Amorilla,” ucapnya seraya mengangguk kearah kami dan berlalu dari hadapan kami seiring dengan jubah birunya yang menyapu lantai dan melayang pergi perlahan.
Kutatap kepergian Orion dengan sejuta perasaan tak menentu.
Brisa memegangi bahu kananku. ”Kau tidak dapat memaksakan diri meminta Orion memberikan keputusannya akan masalah Tristan. Saat ini ada hal yang jauh lebih penting baginya untuk diselesaikan. Tapi percayalah Orion takkan mengabaikan masalah ini begitu saja. Prechia sama bijaknya dengan Orion. Dia akan memutuskan masalahmu dengan adil.”
Aku tak menyahut.
Mungkin Brisa benar. Prechia nampak seperti seorang wanita yang ramah dan baik hati. Tanpa sengaja kedua mata kami saling bertatapan. Prechia seakan mengerti apa yang tengah kurisaukan. Sepasang mata coklat gelapnya nampak tersenyum kearahku. ”Kemarilah sayang. Mari kita duduk bersama membicarakan lebih dalam masalah tuan Readick diruangan ini,” bujuknya padaku.
Terbersit perasaan lega dihati begitu melihat sikapnya yang menenangkanku.

(TO BE CONTINUED)

Genre : Novel Fantasy Romance
Writer : Misaini Indra