Protected by Copyscape Plagiarism Scanner

Monday 26 September 2011

Calista Kaz "Penyihir Naga Arkhataya" (Chapter 11)

11. BENTENG SANDORA

Pagi ini aku bersiap siap untuk pergi ke Agara menjemput Tristan. Brisa yang belum pulih benar tidak dapat menemaniku namun kehadiran Ness di depan pintu rumah Brisa membuatku sedikit terkejut bercampur senang.
”Utusan Prechia memintaku untuk mengawalmu ke Agara. Prechia juga akan berada disana saat pembebasan Tristan nanti,” ucap Ness menjelaskan kedatangannya pagi itu.
Kutatap Ness ragu.  ”Apakah ada hal penting yang akan dibicarakan Prechia dengan Tristan?”
”Entahlah. Yang kutahu aku hanya diminta untuk mengawalmu,” Ness menatap lurus kearahku.
Ketika kami tiba di Agara, salah seorang penjaga telah menunggu kedatangan kami. Ia mengantar kami ke sebuah ruangan yang cukup nyaman dan meminta kami untuk menunggu. Dan ternyata Prechia telah berada disana terlebih dahulu bersama dengan seorang wanita separuh baya, berambut hitam panjang. Ia memiliki sepasang mata berwarna ungu gelap dan memiliki garis wajah yang sama yang dimiliki Tristan.
Ness tersenyum riang. ”Prechia benar benar brillian,” ujarnya puas.
Kulirik Ness sedikit bingung. ”Apa maksudmu?”
”Kau lihat wanita yang berdiri disamping Prechia,” bisiknya disampingku.
Kuanggukkan kepala masih dalam keadaan bingung.
”Dia adalah Shenai Readick. Ibunya Tristan,” nada kemenangan terdengar samar dari suara lembut Ness.
Aku tercekat begitu mendegar keterangan dari Ness. Seketika itu juga dadaku berdebar kencang.
Prechia tersenyum lembut kearahku. Ia mengenakan gaun putih terusan dengan jubah panjang berwarna keemasan. Terlihat anggun dan berwibawa.
”Hallo Calista. Senang melihatmu lagi nak,” sapa Prechia ramah.
Kuanggukkan kepala dengan hormat.
Sepasang mata coklat gelap Prechia melayangkan pandangan kearah wanita yang tengah berdiri disampingnya dengan tatapan mata ungunya yang dalam menyorot kearahku. ”Perkenalkan. Ini Shenai Readick. Ibunya Tristan.”
”Senang bertemu dengan anda nyonya Readick,” sapaku canggung seraya menganggukkan kepala.
”Seharusnya kau tidak membawanya kembali,” ujar Shenai sinis dengan tatapan tajam kearahku.
Kutatap Shenai dengan gugup.
”Anak itu tidak akan mau merubah pendiriannya,” kali ini nada suara Shenai penuh penekanan.
”Tenanglah sedikit Shenai. Beri kesempatan pada nona Kaz untuk membuktikan ucapannya,” ingat Prechia lembut.
”Aku tahu Prechia. Aku hanya ingin anak ini mengerti kalau ia telah melakukan suatu kesalahan besar,” nada suaranya mulai meninggi dan sedikit emosi.
Seketika itu juga kepercayaan diriku yang kubangun pagi ini hancur berantakan.
Kugelengkan kepalaku kuat kuat. ”Tidak. Itu tidak benar. Aku membawanya kembali dengan kesadaran penuh dan keyakinan jika ia akan berubah,” lirikku pada Prechia, menolak pendapat Shenai terhadap anaknya sendiri.
Shenai tersenyum sinis. ”Kita lihat saja nanti,” sahutnya seraya menatap kesal kearahku.
Seorang penjaga Agara menghampiri Prechia dan membisikkan sesuatu. Prechia menganggukkan kepalanya perlahan. Laki laki itu mengangguk hormat dan berlalu dari hadapan kami. Tak berapa lama ia telah kembali bersama tiga orang penjaga yang mengawal Tristan dengan sangat ketat.
Wajah beku Tristan terlihat sangat pucat dan nampak lelah.
”Kau bisa meninggalkan tuan Readick bersama kami,” pinta Prechia pada para penjaga yang segera berlalu dan menutup pintu ruangan.
Napas Shenai memburu. Airmukanya terlihat dingin. Ia menghampiri Tristan dan menamparnya sekuat tenaga.
Aku memekik pelan.
Dengan cepat Prechia menangkap tangan Shenai untuk menahannya melakukan hal yang lebih buruk lagi pada Tristan. ”Kurasa sudah cukup. Bagaimanapun juga dia masih anakmu,” perintah Prechia.
Airmuka Shenai sedikit berubah dan terlihat resah. ”Kau tak pantas mendapatkan pengampunan dari siapapun,” serunya masih terbawa emosi dengan amarah yang tertuju pada Tristan.
”Kendalikan dirimu. Masalah apapun itu, kalian bisa menyelesaikannya nanti dirumah,” Prechia kembali mengingatkan Shenai.
Shenai mengatur napasnya yang memburu namun tetap tak mau melepaskan tatapannya dari Tristan.
Sementara Tristan hanya menatap ibunya itu dengan tegar.
Prechia Gold mengalihkan pandangannya pada Tristan yang hanya diam mematung. ”Mulai hari ini dan seterusnya kau akan tinggal dan berada dalam pengawasan penuh ibumu didampingi beberapa orang ksatria Crystal yang telah kupilih.”
Kutatap wajah Tristan dengan perasaan was was. Airmukanya tetap sama, dingin dan membeku.
”Kau akan melakukan hal hal baik untuk menebus kesalahanmu. Kembali mengajar sihir di Sandora seperti dulu dan Calista akan menjadi salah satu muridmu. Satu kesalahan saja maka aku tak akan mengampunimu. Jadi kuharap kau mengerti dan tidak mencoba melakukan hal bodoh dengan mencoba melarikan diri dari lembah ini,” sambung Prechia bernada penekanan.
”Aku mengerti,” sahut Tristan dingin.
Prechia mengalihkan pandangannya kearahku. ”Jangan pernah mencoba melarikan diri dari lembah ini bersamanya. Karena jika kau melakukan hal itu, maka akan kunyatakan kalau kau adalah musuh dari lembah Crystal dan aku takkan memberimu kesempatan sekecil apapun,” senyumnya bijak.
Kuanggukkan kepala dengan ragu.
”Baiklah. Kurasa untuk saat ini cukup. Semuanya kuserahkan padamu Shenai. Dan Ness tolong pastikan jika Titus dan para pengajar lainnya di Sandora mengetahui semua ini.”
Shenai dan Ness mengangguk bersamaan.
”Bagus,” ucap Prechia puas. ”Sepertinya aku harus kembali ke kastil untuk menyelesaikan pekerjaan yang ditinggalkan Orion untukku,” desah Prechia sambil menggelengkan kepalanya kemudian segera berlalu meninggalkan ruangan.
Shenai menatap putra semata wayangnya itu dengan getir. ”Jangan membuat kesalahan lagi atau aku sendiri yang akan mengejarmu dan menghukummu dengan kedua tanganku ini,” ujarnya dingin.
Sepasang mata Tristan menyipit kesal namun tak sepatah kata pun keluar dari bibirnya.
Kutatap Shenai Readick dengan gugup. ”Nyonya Readick. Bisakah aku berbicara berdua saja dengan Tristan.”
Shenai hanya menatapku dengan pandangan sinis dan berlalu dari hadapanku. Kuhampiri Tristan yang tak bergeming sedikit pun dari tempatnya berdiri.
”Aku akan selalu berada disisimu Tristan,” ucapku dengan perasaan bersalah seraya menggenggam kedua tangannya yang dingin.
Tristan tersenyum tipis. ”Jangan terlalu mencemaskan aku. Aku akan baik baik saja. Aku hanya tengah berpikir, seharusnya aku bersikap lebih baik padamu mengingat kau telah banyak membantuku melalui semua ini.”
”Aku melakukannya karena aku menyayangimu,” desahku haru.
Wajah tampan yang membeku itu mulai sedikit mencair. ”Bila aku tidak melihat kesungguhan di wajahmu itu. Kurasa kau hanya berusaha merayuku saja,” bisiknya mencoba menghiburku.
Wajahku terasa hangat karena ucapannya namun aku berusaha menepisnya dengan bersikap wajar.
Tristan melirik kearah Ness yang kini tengah berbicara dengan Shenai. ”Apakah dia terus mengekorimu selama aku ditahan,” tanyanya sinis.
”Ness hanya melakukan tugasnya,” ujarku mencoba meluruskan.
”Tentu saja,” sahut Tristan sinis.
Kutatap Tristan lembut. ”Mengapa harus memikirkan hal yang tak penting. Besok kita akan memulai hari bersama.”
Tristan mempererat genggaman tangan kami. ”Kau benar sayang,” desahnya pelan.
”Apakah kalian sudah selesai bicara,” sela Shenai kesal dengan nada tinggi.
”Ya. Terimakasih nyonya Readick,” sahutku sopan seraya melepaskan kedua tanganku dari genggaman Tristan dengan enggan.
Shenai tak memperdulikan ucapanku. Sebaliknya ia malah mengalihkan pandangannya kearah Ness. ”Sampai nanti Ferin.”
Ness menganguk hormat pada Shenai. Sekilas Tristan melirikku dan melemparkan senyum datar kearahku. Sebelum berlalu mengikuti langkah langkah ibunya.
Kupejamkan kedua mataku sesaat dan menghembuskan napas kelegaan. Ketika kubuka sepasang mata lelah ini, Ness menatapku dalam.
Malam itu hujan turun cukup lebat. Suara petir menyambar dan menggetarkan jendela kamar. Untuk beberapa saat aku tak bisa memejamkan kedua mataku. Pikiranku melayang membayangkan pagi yang akan kumulai bersama Tristan di lembah Crystal. Ada rasa resah bercampur bahagia. Aku hanya berharap mereka akan menerima kehadiranku dan Tristan di Sandora.
Aku bangun pagi pagi sekali. Brisa telah menungguku diruang makan. Wajahnya terlihat cerah dan bersemangat. Ada sedikit kelegaan dihatiku karena aku takkan sendirian pergi ke Sandora.
Sandora adalah sebuah bangunan yang dikelilingi benteng batu yang terletak di tepi laut Belma. Brisa menjelaskan padaku jika Sandora, dulunya adalah sebuah benteng pertahanan yang dibangun pada masa kepemimpinan Ghorfinus Anthea untuk mengamati  datangnya ancaman yang berasal dari arah laut Belma yang penuh misteri.
Dan seiring waktu berjalan benteng Sandora akhirnya dipergunakan sebagai tempat belajar bagi para penyihir penyihir muda untuk memperdalam sihir mereka. Tidak hanya itu, Ghorfinus juga menyambut hangat para psychic dan illusionist muda yang berasal dari negri lain untuk belajar dan memperdalam kemampuan mereka dalam bimbingannya.
Dua orang penjaga tersenyum kearah Brisa dan berbasa basi. Ketika mereka menatap kearahku, rasa keingintahuan yang besar nampak terlihat jelas di wajah penasaran mereka. Namun aku berusaha mengabaikan tatapan mereka dan mencoba untuk bersikap wajar.
Di dalam benteng Sandora terlihat beberapa kelompok orang tengah melakukan berbagai kegiatan. Brisa mengalihkan pandangannya kearahku. ”Sekelompok remaja berbaju biru yang tengah duduk dekat pepohonan cemara adalah para psychic yang tengah mendapatkan pengarahan dari Ness dan Darren,” ujar Brisa menjelaskan.
Kualihkan pandangan satu persatu kearah para psychic muda tersebut. Dan tanpa sengaja, kutemui sepasang mata berwarna biru gelap tengah menatapku dengan tajam. Aku dapat merasakan kebencian yang cukup mendalam terlihat dari sinar mata Cleo yang saat ini menyorot tajam kearahku.
Brisa melambaikan tangan kearah Ness yang tengah berbicara. Ness balas mengangguk kearah Brisa tanpa sedikit pun menoleh padaku. Ada sedikit rasa kecewa melihat sikapnya yang acuh itu.
Brisa kembali mengajakku berkeliling dan menunjuk kearah beberapa remaja lainnya yang tengah duduk membentuk lingkaran seraya berpegangan tangan dan memejamkan kedua mata mereka. Mereka mengenakan baju berwarna ungu terang.
”Siapa mereka?” tanyaku penasaran.
”Para illusionist muda yang tengah bermeditasi.”
Keningku berkerut. ”Apakah mereka benar benar dapat melihat masa depan?”
Brisa memutar bola matanya. ”Kudengar begitu. Mereka bahkan dapat memanggil jiwa yang telah tiada. Dan sebagian lagi memiliki keahlian untuk menghipnotis,” terangnya.
Tiba tiba saja aku teringat akan bukit Foresse. Tempat bermukim para illusionist hebat yang pernah kulewati ketika menuju perjalanan ke lembah Crystal.
Brisa menyipitkan matanya dan menatap lurus kearah sosok wanita berambut hitam panjang yang tengah memejamkan kedua matanya. ”Dan wanita yang duduk ditengah mereka itu adalah ...
”Shenai Readick, ibunya Tristan,” sela ku mendahului ucapan Brisa.
Brisa menatapku sedikit terkejut. ”Aku tak tahu jika Tristan telah memperkenalkan ibunya padamu.”
Aku tersenyum kecut. ”Tidak secara resmi. Wanita itu bahkan tidak menyukaiku.”
Seketika itu bibir Brisa sedikit mengerucut.
”Bisakah kita melanjutkan perjalanan ini,” pintaku mencoba mengalihkan pembicaraan seputar Shenai Readick.
Brisa hanya mengerutkan dahi dan tak berkata apa apa.
Kami meneruskan perjalanan dan tiba disebuah pondok yang cukup besar dan teduh karena disekelilingnya ditumbuhi hamparan pakis dan jejeran pohon cemara.
”Ini adalah tempat kami beristirahat dan makan siang setelah berlatih. Beberapa orang yang bekerja di dapur kastil telah ditugaskan oleh Orion untuk menyiapkan makan siang kita. Jadi kau tidak perlu khawatir akan kelaparan selama berada disini.”
Wajahku berseri seri. ”Kuharap mereka menyuguhkan jus plum yang enak disini,” gumamku pelan.
”Tentu saja. Kau tak perlu takut kehabisan karena sebagian penduduk lembah Crystal menanam pohon plum sebagai mata pencaharian mereka.”
Akhirnya ada satu hal yang menyenangkan di tempat ini. Batinku senang.
Kami pun meneruskan perjalanan hingga tiba ditempat sekumpulan remaja seusiaku yang mengenakan baju dan jubah putih.
”Dan kau akan berada dalam kelompok berjubah putih yang tengah diberi pengarahan oleh Titus dan Oggie disana,” tunjuk Brisa kearah Titus yang begitu bersemangat mendemonstrasikan sihirnya di depan sekelompok remaja berjubah putih dihadapan kami yang tengah berdecak kagum.
Lesung pipit Oggie tergambar jelas saat tersenyum kearah kami. Dengan lincah laki laki berperawakan kecil itu berlari menghampiri kami.
”Hey Bris. Kau sudak membaik rupanya,” sapa Oggie riang.
”Seperti yang kau lihat..” sahut Brisa pelan.
”Aku senang kau pulih lebih cepat,” ucapnya tulus. Lalu mengalihkan pandangannya kearahku. ”Kudengar ini hari pertamamu di Sandora?”
Seulas senyum terlukis di wajahku. ”Begitulah. Mohon petunjuknya master Oggie,” gurauku mencoba berbasa basi.
Oggie tertawa keras. ”Kurasa kau salah orang jika menyebutku seperti itu. Karena master nya berada disana,” lirik Oggie kearah Titus yang nampak asik mengajar tanpa memperdulikan kehadiran kami.
”Tristan Readick akan kembali mengajar di Sandora, Ogg.” ujar Brisa seketika.
Dahi Oggie berkerut. ”Ya aku sudah mendengarnya. Menurutku itu sebuah lelucon yang kejam,” hela Oggie.
”Tidak. Kurasa kau salah mengerti. Orion telah mempercayai Prechia Gold untuk menentukan keputusan akan kasus Tristan,” sanggahku menatap Oggie lekat lekat.
Oggie menatapku ragu. ”Aku bisa mengerti perasaanmu Calista. Tapi jika kau dan Readick mengkhianati kepercayaan kami. Aku takkan memafkanmu.”
Kutatap Oggie nanar. ”Aku tahu itu.”
Dari kejauhan sosok Prechia Gold muncul bersama seorang wanita berambut merah dengan perawakan tubuhnya yang tinggi kurus. Sepasang matanya berwarna abu abu terang dan terlihat ramah. Sementara Tristan berjalan dibelakang mereka didampingi oleh dua orang pengawal kastil. Wajah Tristan terlihat jauh lebih segar.
Titus menghentikan arahannya pada para remaja berjubah putih yang langsung membentuk barisan. Kemudian laki laki berwajah sedih itu menghampiri aku, Brisa dan Oggie dengan sedikit tergesa. Prechia Gold menghentikan langkahnya di depan kami. Lalu tersenyum menatap Titus. ”Tristan akan kembali mengajar Titus. Tolong bantu dia dengan jadwal pengajaran hariannya.”
”Tentu Prechia,” angguk Titus sopan.
Kali ini tatapan Prechia beralih padaku. ”Ini Helena Ginka. Helena adalah pengawas benteng Sandora. Datanglah padanya jika kau butuh bantuan Calista.”
Aku mengangguk hormat. ”Senang berkenalan dengan anda nyonya Ginka.”
Helena Ginka tertawa riang. ”Tentu saja sayang. Aku juga senang berkenalan denganmu.”
Aku mengangguk hormat.
”Baiklah. Kalian bisa kembali melanjutkan latihan,” ujar Prechia memberi perintah.
Kami serempak menganggukkan kepala.
Setelah Prechia berlalu bersama dua orang pengawalnya dan Helena. Dengan tak sabar Tristan menghampiriku. Seulas senyum samar terlihat di wajah tampannya yang dingin.
”Aku merindukanmu Calista,” bisiknya lembut.
Meski ada perasaan canggung namun aku berusaha untuk mengabaikan tatapan Brisa yang terlihat tak begitu menyukai pertunjukan yang diperlihatkan Tristan padaku.
”Kau tahu, aku lebih senang jika hanya mengajari kemampuan sihirku padamu. Karena aku baru saja mengetahui alasan licik Prechia yang sengaja memberikan persyaratan itu semata mata kerena ia ingin aku membagi sihirku dengan penyihir penyihir bodoh itu,” lirik Tristan kesal pada sekelompok remaja berjubah putih yang kembali disibukkan dengan rapalan mantra oleh Oggie.
Kutatap Tristan nanar. ”Kurasa kita tidak punya pilihan lagi selain melakukan semua persyaratan perjanjian yang telah dibuat Prechia. Jadi cobalah untuk bekerjasama dengan mereka,” pintaku lembut.
Tristan menatapku gamang untuk sesaat. Lalu menghembuskan napas perlahan. ”Baiklah jika itu yang kau inginkan.”
Sepanjang hari itu terasa berat bagiku. Melakukan hal yang bukan keinginan dari dalam hati adalah sebuah siksaan yang melelahkan. Aku tak pernah bermimpi memiliki kekuatan sihir apalagi untuk memperdalamnya.
Sepekan sudah aku belajar di Sandora. Kemajuanku terlihat sangat pesat dibandingkan murid lain. Materi dasar yang Oggie berikan telah selesai kulampaui. Berkali kali Oggie menepuk pundakku, tak dapat menyembunyikan rasa kekagumannya.
Memang sulit dipercaya jika aku dapat merapal mantra sihir dasar dengan mudah tanpa penghayatan seperti yang lainnya. Pikiran dan suaraku seakan menyatu ketika meneriakkan rapalan kata kata sihir dasar seperti Follones sebuah mantra untuk menjungkalkan atau menjatuhkan lawan atau Avilos, mantra untuk menerbangkan tubuh lawan hingga melayang layang diudara.
Beberapa murid nampak cemburu dan mulai menjauhiku. Apalagi begitu mereka mengetahui kedekatanku dengan Tristan. Orang yang selama ini dianggap pengkhianat di lembah Crystal. Otomatis aku tak memiliki teman. Hanya Brisa dan Oggie yang masih mau bicara padaku.
”Aku bangga padamu sayang,” bisik Tristan pelan ditelingaku saat kami tengah duduk bersandar disebatang anak pohon cemara di sela sela waktu istirahat kami.
Aku hanya termenung seraya menatap Ness Ferin dari tempat duduk kami, tak memperdulikan ucapannya.
”Para pemula itu tidak dapat menandingimu. Mereka hanya membuang waktu saja. Tapi kau benar benar menunjukkan kemampuan sihir yang sebenarnya,” suara Tristan terdengar antusias.
Cleo Maltese kini tengah menjejeri langkah langkah lincah Ness dengan wajah berbinar binar. Sementara Darren Dash terlihat lesu menatap punggung gadis berbadan kekar itu dari belakang.
”Kurasa Otto Cursen ada benarnya. Kau seperti ditakdirkan untuk sesuatu yang besar. Apalagi mengingat roh Obidia sering mendatangimu lewat mimpi,”  sorot mata ungunya mengarah penasaran padaku.
Kulirik Tristan dengan enggan. ”Otto Cursen, salah. Hanya suatu kebetulan saja jika aku dapat menyerap ajaran sihir dasar yang kalian berikan selama seminggu ini.”
Ia menggeleng dan menyorot hangat ketika menatapku. ”Berhentilah menyangkal dan mulai belajar menerima takdirmu sebagai seorang penyihir, Calista,” wajahnya terlihat penuh keseriusan.
Aku tak menanggapi ucapannya. Sebaliknya malah melemparkan pandanganku kearah Ness yang nampak tergesa menghindari Cleo Maltese yang masih berusaha keras menjejeri langkahnya.
Cleo pasti sudah kehilangan kesadarannya. Senyumku samar. Seharusnya ia menyadari jika Ness sengaja menghindarinya. Kurasa seseorang harus memberitahu gadis itu jika Ness Ferin adalah milik putri Quilla.
”Jika kau terus seperti ini dan mengacuhkanku. Sebaiknya aku pulang saja,” hela Tristan dengan wajah kesal.
Aku terkejut dan menatapnya malu malu. ”Maaf. Hari ini aku lelah sekali. Sepertinya pikiranku tidak berada ditempat ini.”
Aku mencoba memberi alasan logis yang dapat diterima olehnya.
Tristan menatapku dalam. ”Aku ingin sekali mengantarmu pulang. Tapi pengawal pribadiku sepertinya telah menunggu,” lirik Tristan kearah Titus yang berdiri di depan kami dengan canggung.
Lelucon Tristan sama sekali tidak membangkitkan keinginanku untuk tertawa. Kulambaikan tangan kearah Titus yang tersenyum kikuk kearahku.
”Sampai besok sayang,” bisik Tristan lembut ditelingaku seraya beranjak dari tempat duduknya dan berjalan menghampiri Titus. Kupandangi punggung keduanya hingga menghilang dari pandanganku.
Malam itu aku benar benar tak dapat memejamkan mata. Kata kata Tristan sore tadi benar benar membuatku resah. Mengetahui diriku adalah seorang penyihir sudah merupakan suatu beban berat bagiku, ditambah lagi jika memang benar adanya, aku ditakdirkan untuk melakukan sesuatu yang besar dan tidak aku inginkan.
Kuhela napas panjang. Sepertinya aku tetap harus menjalankan perjanjian kami dengan Prechia untuk belajar sihir di benteng Sandora dan segera mengenyahkan rasa cemasku jauh jauh.
Menginjak minggu kedua aku telah menguasai sebuah materi ilmu sihir tingkat menengah yang diajarkan Brisa. Rapalan sihir tingkat menengah sebenarnya mudah. Karena aku telah menguasai materi dasarnya maka yang harus kulakukan hanyalah memfokuskan pikiran dan mengeluarkan seluruh kemampuanku untuk menekannya ke tingkat yang lebih tinggi.
Brisa menjerit kegirangan begitu aku merapalkan mantra dan melayangkan serangan ke pohon cemara tua yang mulai mengering. Serangan sihirku meninggalkan lubang yang cukup besar. Bukan decakan kagum namun cemoohan yang kuterima dari teman teman kelompokku. Situasi ini benar benar membuatku merasa tak nyaman.
Dan di minggu ketiga Tristan memberikan lonjakan drastis dengan mengajarkan sihir asapnya padaku. Sihir tingkat tinggi kebanggaan keluarga Readick. Tristan sengaja mengajariku terpisah dan mengabaikan teman teman belajarku yang lain. Hal ini membuat mereka marah dan melaporkannya pada Titus.
Situasi semakin sulit ketika Tristan sengaja mengabaikan peringatan Titus. Akhirnya aku terpaksa membujuknya untuk menuruti keinginan Titus. Meski begitu aku telah menguasai sedikit rapalan mantra sihir keluarga Readick yang telah diwariskan turun temurun itu, yakni mendatangkan gulungan asap kecilku sendiri untuk mematikan serangan musuh.
”Sepertinya kau sudah bukan anak cengeng yang selalu gemetar ketakutan lagi sekarang.”
Suara parau bernada ejekan terdengar jelas dibelakangku. Kubalikkan tubuh untuk melihat si pemilik suara. Cleo Maltese telah berdiri tegak dan menyorot tajam kearahku.
”Apa maumu Cleo?” tanyaku malas.
Cleo tertawa sinis. ”Sama seperti yang lain. Melihat kau dan kekasihmu yang angkuh itu angkat kaki dari sini.”
”Apakah kau selalu bersikap kasar seperti ini,” tanyaku acuh.
”Jika melihat wajah munafikmu rasanya aku selalu ingin bersikap seperti itu,” seringainya garang.
Aku menghela napas panjang untuk sesaat. ”Kau benar benar menyedihkan. Sebaiknya kau bercermin dan melihat dirimu sendiri. Lugu sekali jika kau berpikir dirimu jauh lebih baik dariku,” ucapku sedikit lelah akan sikapnya padaku.
Dengan gerakan tiba tiba Cleo melontarkan tinjunya yang langsung mengenai pipi kananku. Seketika itu juga darah segar menetes dari bibirku.
”Kaulah yang menyedihkan penyihir. Kau tak pantas berada disini. Kelakuanmu menodai kesucian lembah ini, mengerti!” teriak Cleo ketus membuat para murid yang tengah beristirahat nampak berbisik bisik dan mulai berdatangan untuk menonton.
Tubuhku gemetar menahan marah. Namun aku masih sanggup menguasai diri untuk tidak membalas pukulannya.
”Kau tidak ingin membalas tinjuku penipu rendahan?” ejek Cleo senang diiringi sorak sorai para murid yang terlihat berpihak padanya.
”Sayangnya aku masih menggunakan akal sehatku untuk memaafkanmu,” sahutku parau seraya mengusap tetesan darah yang terus mengalir dari bibirku.
”Kau memang seorang pengecut. Tadinya aku sempat berpikir kau sudah menjadi seorang penyihir hebat. Ternyata aku salah,” ejek Cleo dengan suara melengking diringi suara suara bernada ejekan dari penonton kami yang ditujukan padaku.
Cleo benar benar merasa diatas angin sekarang.
Aku berbalik dan berusaha menghindari pertengkaran kami dengan tak memperdulikan kata katanya. Sayangnya, gadis itu tidak mau melepaskan aku begitu saja. Tiba tiba saja tubuhku melayang dan terhempas keras jatuh ke tanah. Kurasakan nyeri luar biasa disekujur tubuhku.
”Jangan melarikan diri, pengecut! Tunjukkan kemampuanmu!” teriak Cleo marah.
Susah payah aku mencoba bangun namun Cleo tak mau memberiku kesempatan dan kembali melemparkan serangan jarak jauh hingga tubuh rapuhku kembali terguling di tanah. Sorak sorai semakin riuh. Cleo berdiri dengan angkuh dan tersenyum lebar penuh kemenangan. Dan hal yang kutakutkan terjadi. Amarahku meluap. Dengan kesadaran penuh kuserukan kata kata Dizzante dan melayangkan sepasang tanganku kearah tubuh kekarnya.
Dari kedua telapak tanganku keluar asap hitam yang menggulung dan bergemuruh. Kuarahkan tangan kananku yang penuh dengan gulungan asap hitam kearahnya. Asap hitam itu kini semakin membesar,  melayang dan berputar cepat menuju tempat Cleo yang berdiri dengan wajah panik. Cleo mencoba untuk menghindar namun sihir asapku terlanjur menggulung tubuh kekarnya dan membawanya berputar putar hingga membumbung tinggi ke udara. Wajah Cleo saat itu juga menjadi sangat pucat. Kedua matanya menatap kosong seolah terbius.
Tidak hanya itu, tangan kiriku dengan sengaja melayangkan gulungan asap hitam yang kumparannya juga semakin membesar kearah penontonku yang kini terlihat berteriak panik. Suara sorak sorai kini berganti dengan suara jeritan ketakutan. Beberapa murid terhempas jatuh dan sebagian lagi berlarian tak terarah mencari perlindungan dari serangan sihir asapku yang kuayunkan ke segala arah dengan tangan kiriku.
Diantara kerumunan yang berlarian nampak sosok Ness, Oggie dan Darren terlihat menyeruak diantara mereka. Disusul Brisa, Titus dan Tristan. Rasa amarah yang meluap telah menutup alam sadarku dan mengacuhkan teriakan mereka yang memintaku untuk segera menghentikan serangan sihirku.
Sebuah angin kecil datang bergulung dengan cepat dan menjadi besar lalu menghantam gulungan asap yang tengah menggulung tubuh Cleo. Membuyarkan gulungan asapku yang solid. Dan membuat tubuh Cleo terbebas dari gulungan asapku. Seketika itu juga tubuh Cleo meluncur jatuh namun seruan Avilos Brisa jauh lebih cepat menahan tubuh Cleo yang nyaris menghantam tanah dan membuatnya melayang layang diudara. Dengan hati hati telunjuk Brisa menurunkan tubuh Cleo yang tak sadarkan diri ke tanah dengan perlahan. Dengan bergegas Ness memeriksa keadaan Cleo.
Saat aku tersadar dan berhasil menguasai emosiku. Beberapa pasang mata nampak marah dan menatapku dengan tatapan aneh. Kecuali sepasang mata ungu gelap yang menyorot puas dan tersenyum samar seolah aku telah melakukan suatu prestasi yang membanggakan.
Brisa menarik sebelah tanganku dengan geram. ”Apa kau sudah sinting! Kau hampir saja membunuhnya!” serunya histeris.
”Kurasa kau terlalu berlebihan,” sahut Tristan membelaku.
”Sebaiknya kau simpan pendapatmu atau aku akan melemparmu kembali ke Agara,” ujar Darren sewot.
Sorot mata ungunya menatap tajam kearah Darren. ”Kalian para psychic sama saja. Lebih senang mengandalkan otot daripada otak kalian,” tawa Tristan terdengar sumbang dan melecehkan.
”Brengsek!” Darren bersiap untuk menyerang namun dengan sigap Titus menghalangi.
”Cukup tuan Dash,” perintah Titus seraya menahan bahu lebarnya dengan kedua tangan kurusnya.
”Kau seharusnya tidak mengajari sihir tingkat tinggi seperti itu padanya, Readick. Karena Calista belum tentu sanggup mengendalikan sihir itu jika ia belum bisa menahan emosinya,”  seru Brisa mengingatkan.
Tristan tertawa puas. ”Sihir asap keluarga Readick tidak dapat dikuasai oleh sembarang penyihir kecuali dia seorang penyihir berbakat. Sihir itu telah memilih. Dan Calista telah berhasil menguasainya bahkan menyatu dengannya.”
”Omong kosong! Sihirmu itu bukan satu satunya yang terbaik di negri ini,” kecam Oggie kesal.
”Hentikan pertengkaran kalian. Sebaiknya kita segera membawa nona Maltese ke ruang perawatan!” seru Titus marah.
”Aku tak berniat melukainya Titus,” ujarku tertahan tak memperdulikan suara suara sumbang disekelilingku.
Wajah Titus terlihat kecewa dan semua mata menatapku resah.
Tak sanggup menahan rasa malu, dengan perasaan hancur akhirnya aku berlari meninggalkan tempat ini. Aku tak sanggup menatap wajah wajah kekecewaan yang tergambar jelas diwajah mereka seolah menghakimiku.
Tak kuperdulikan lagi teriakan Brisa memanggil namaku. Aku terus berlari meninggalkan benteng Sandora. Aku benar benar menyesal telah terpancing ke dalam perkelahian yang dirancang Cleo. Kini semua orang di lembah Crystal akan semakin membenciku.
Semalaman aku menangis dan menolak membuka pintu kamar ketika Brisa membujukku untuk makan malam. Kutumpahkan seluruh kemarahan dengan menguras seluruh airmata. Paginya aku memutuskan untuk menemui Brisa di meja makan dengan kedua mata yang bengkak dan perut keroncongan.
Senyum datar Brisa membuatku sedikit lega dan melupakan rasa bersalah yang membebaniku. Apalagi begitu mengetahui jika Cleo sama sekali tidak mengalami cedera serius.
Hari itu Brisa membiarkan aku tinggal dirumah dan tidak pergi ke Sandora untuk berlatih sihir. Tapi ia membuatku berjanji untuk datang keesokannya dan menyelesaikan perselisihan diantara aku dan Cleo.
Kutatap kebun mawar Brisa dengan hampa. Menghabiskan waktuku seharian seperti ini di dalam rumah benar benar membuatku tertekan.  Kuputuskan untuk beranjak dan pergi keluar, mencari udara segar untuk sedikit melepaskan beban pikiran.
Aku berjalan lurus mengikuti jalan setapak yang berujung pada jalan utama lembah Crystal. Jalan utama lembah ini cukup ramai dengan lalu lalang penduduknya yang tengah berkegiatan.
Udara lembah yang sejuk benar benar menyegarkan dan membuatku merasa tenang. Angin bertiup perlahan memainkan ujung ujung rambutku. Beberapa anak anak nampak berlari larian dan tertawa riang. Aku tersenyum sendirian melihat keceriaan mereka.
Suara terompet yang nyaring dan merdu dari kejauhan mengejutkan kami. Semua orang yang lalu lalang dijalan utama seketika itu juga menyingkir dan mengosongkan jalan utama seakan memberi jalan pada sesuatu. Seorang wanita yang tengah menggendong anak laki lakinya menjelaskan padaku jika itu adalah pertanda datangnya rombongan tamu kehormatan ke lembah Crystal.
Benar saja, rombongan kecil yang datang dari arah pintu gerbang lembah Crystal mulai terlihat dari tempatku berdiri. Enam orang pengawal berpakaian serba putih lengkap dengan jubah dan pedang di pinggang kiri mereka berjalan beriringan dengan airmuka yang tegang dan kaku. Tiga diantaranya memegang tongkat berlambang sebuah bendera kebangsaan yang bergambar kepala Unicorn. Dibelakang para pengawal tadi terlihat Orion Xander tengah menunggangi seekor kuda putih yang besar dan gagah didampingi dua orang pengawal kastil Crystal. Orion tersenyum ramah seraya melambaikan tangannya kepada penduduk yang menyambutnya dengan keriuhan yang mengelu elukan namanya.
Sementara itu, disamping Orion terlihat seorang gadis berambut pirang keemasan. Ia memakai gaun terusan berwarna putih dengan jubah perak yang sangat indah. Gadis itu sangat cantik dan bercahaya. Meski terlihat cantik namun airmukanya sangat angkuh dan dingin. Rambut pirangnya yang keemasan terlihat melambai dimainkan angin yang berhembus cukup kencang hari ini. Dibelakang mereka kembali terlihat enam orang pengawal yang juga berpakaian serba putih dengan pedang tersemat di pinggang kiri mereka.
”Lihat itu putri Quilla dari negri Amorilla!” seru seorang laki laki menunjuk kearah gadis berwajah angkuh yang tengah duduk diatas kuda hitam yang besar dan gagah.
Untuk sesaat aku tercenung. Sepertinya Orion telah kembali dari Amorilla bersama putri Quilla. Putri kesayangan raja Zordius. Dia sangat cantik dan berkelas. Tak dapat dipungkiri jika Ness adalah pasangan yang sepadan untuknya. Tiba tiba saja ada perasaan kecut didadaku.
Menuju perjalanan pulang tak henti hentinya aku merutuki diri. Perasaanku tiba tiba menjadi semakin resah. Seharusnya aku tidak pergi keluar hari ini. Melihat putri Quilla yang duduk diatas kuda dengan kecantikannya yang bercahaya sedikit menggangguku. Kutepiskan perasaan buruk ini. Aku benci mengakuinya tapi aku benar benar iri padanya. Kurasa kehidupan putri kesayangan Zordius pasti sangat menyenangkan dan sempurna karena ia memiliki segalanya. Kedudukan tinggi dengan gelar kebangsawanan dan juga seorang kekasih yang sangat mengagumkan.
Malamnya Brisa tak henti hentinya membicarakan kehadiran Quilla siang itu di Sandora. Semua ksatria lembah Crystal sempat dibuat repot karena salah satu pengawal Quilla meminta penjagaan yang sangat ketat atas permintaan ayah Quilla, raja Zordius. Jadi suasana makan siang mereka di benteng Sandora menjadi tegang dengan adanya pengawal pengawal Quilla yang berjalan mengelilingi meja makan, memperhatikan gerak gerik siapapun demi kelancaran dan keamanan makan siang Quilla dan Ness.
Aku tertawa geli begitu mendengar penuturan Brisa.
”Kau seharusnya melihat wajah Ferin yang begitu tegang saat makan siang bersama kami tadi,” gelak Brisa.
Seketika aku mendongak. Kata kata Brisa barusan membuatku tergelitik.
”Kamar kamar tamu yang telah dipersiapkan Prechia di kastil Crystal untuk tempat bermalam terang terangan ditolak Quilla. Ia menginginkan bermalam dirumah mungil keluarga Ferin dengan alasan ingin lebih dekat dengan Ness,” seringai Brisa geli.
Kuatur napas berusaha untuk tidak terlihat antusias. ”Darimana kau mengetahui semua itu.”
”Bagaimana tidak. Quilla sendiri yang mengucapkannya dengan lantang dihadapan Prechia dan ditengah makan siang kami. Jika kunjungannya kali ini adalah karena kerinduannya yang mendalam pada Ness dan suasana lembah Crystal. Gadis itu benar benar telah membuat Ness bungkam dan kehilangan ketenangannya,” kerling Brisa.
Aku tergelak puas membayangkan reaksi Ness. ”Sulit dipercaya. Tak sepatah kata pun keluar dari bibir Ferin?” tanyaku masih tak percaya.
”Menurut hasil curi dengar Darren, Ness menunggu hingga makan siang berakhir dan meminta Quilla bermalam di kastil Crystal dengan wajah kesal,” tawa kencang Brisa memenuhi ruangan.
Terbayang olehku airmuka Ness yang biasa terlihat datar tanpa ekspresi berubah menjadi pucat dan terganggu.
”Dua belas pengawal ditambah seorang putri dengan begitu banyak tuntutan.  Piphylia bisa pingsan kelelahan,” gumam Brisa seraya mereguk jus plumnya.
Tanpa sadar aku tersenyum. ”Apakah Quilla menuruti permintaan Ness.”
”Sepertinya. Apalagi begitu melihat airmuka Ness yang begitu tegang menahan marah. Aku tak pernah melihat wajah Ness begitu kesal.  Seharian ini nada suaranya selalu meninggi saat berbincang denganku,” kikik Brisa geli.
Aku tertawa lepas. Rasanya ingin sekali melihat ketenangan di wajah Ness yang tengah terusik itu,  lamunku gemas.
”Datanglah ke Sandora besok pagi karena pertunjukan masih akan berlangsung. Sepertinya Quilla berencana untuk datang melihat kegiatan kekasih tercintanya sepanjang hari esok,” kerling Brisa seraya menghabiskan sisa jusnya.
Aku tersenyum sendirian. Kedengarannya Ness Ferin benar benar mati kutu. Dan aku ingin sekali berada disana untuk menikmatinya.
Brisa benar. Ketika aku tiba di Sandora esok paginya, dua belas pengawal Quilla terlihat berjaga jaga disekeliling benteng Sandora. Sebagian diantaranya berada di dalam benteng untuk menemani putri kesayangan raja Zordius itu.
Wajah tenang Ness terlihat tegang dan berkerut. Quilla yang tengah duduk tak jauh dari tempat Ness berdiri nampak bercahaya dan terlihat cantik mengenakan gaun terusan berwarna biru laut dengan mantel bulu berwarna perak.
Ketika Ness tengah memberi pengarahan pada sekelompok psychic muda, tak sengaja kedua mata kami saling bertatapan. Sepasang mata keemasan Ness menatap tajam kearahku. Dengan cepat kualihkan pandanganku pada Titus yang tengah mendemonstrasikan serangan sihir tingkat menengah. Namun rasa penasaran kembali membuatku melirik kearah Ness. Betapa terkejutnya aku ketika tak sengaja kulihat tatapan dingin Quilla tengah tertuju kearahku. Begitu dalam hingga menembus kesadaranku. Untuk beberapa saat aku tertegun namun dengan cepat aku menguasai diri dan mengalihkan pandanganku pada Titus. Jantungku berdetak cepat. Semoga itu hanya suatu kebetulan saja. Aku sangat tak ingin Quilla berpikiran macam macam padaku. Tatapannya yang dingin membuat bulu bulu halus di leherku meremang.
Makan siang tiba. Rasa lapar membuat kami segera berkumpul di pondok yang telah menghidangkan sejumlah makanan. Makan siang kali ini agak sedikit berbeda. Makanan yang terhidang terlihat jauh lebih banyak dan bervariasi. Sepertinya kedatangan Quilla membuat kami ikut merasa istimewa.
Quilla duduk berdampingan dengan Ness. Mereka terlihat sangat serasi dari jarak pandangku. Entah mengapa aku melihat raut wajah Ness terlihat seperti tertekan tidak seperti biasanya.
”Apakah kau akan terus melihat mereka sepanjang siang ini,” tegur Tristan ketus. Wajah tampannya menatap dingin kearahku.
Aku terkejut dan membuang pandangan menatap piring makanku. ”Maaf aku hanya sedikit terbawa demam pangeran dan putri peri seperti mereka,” dustaku seraya melirik kerumunan teman teman kelompok sihirku yang juga tengah asik mengamati Ness dan Quilla.
Tristan tersenyum sinis. ”Menurutku mereka hanya omong kosong.”
Aku terdiam tak menanggapinya.
”Ferin hanya menginginkan tahta dan warisan Zordius. Bukan putri manja yang menjengkelkan itu,” lanjutnya lagi mengungkapkan pendapatnya.
Aku masih  terdiam. Tristan melirikku denga ekspresi wajah yang sulit kupahami. ”Setidaknya sekarang ia takkan mengusik ketenangan kita selama Quilla disini,” tandas Tristan penuh kemenangan.
Aku hanya menghembuskan napas panjang mendengar ucapannya.
Sisa hari itu kuhabiskan dengan kelesuan. Kata kata Tristan sewaktu makan siang tadi melekat erat diingatanku. Benarkah Ness hanya mengincar tahta Zordius. Seingatku Ness bukanlah tipe orang yang suka memanfaatkan keadaan seseorang.
Perhatianku teralih pada sosok kekar berambut hitam kebiruan. Cleo terlihat murung dan tidak bersemangat. Serangannya pada boneka kayu nampak meleset berkali kali. Darren terlihat berteriak teriak memarahinya. Kasihan sekali Cleo jika harus bersaing dengan seorang putri peri yang selalu terlihat bercahaya dengan gaun gaunnya yang indah itu.
Melihat Cleo membuatku teringat perselisihan kami dua hari yang lalu. Kucoba untuk menghampirinya ketika ia tengah sendirian namun wajah masam Cleo dan sikapnya yang memunggungiku lalu berjalan menjauh, semakin menyulitkanku untuk menciptakan perdamaian. Dia bahkan tidak memberiku kesempatan untuk mengungkapkan permintaan maafku.
Kutatap punggung kekar itu dengan perasaan iba. Aku tak pernah menyangka bila ia menyimpan perasaan benci yang begitu mendalam padaku.


Writer : Misaini Indra