Protected by Copyscape Plagiarism Scanner

Tuesday 15 November 2011

Calista Kaz "Penyihir Naga Arkhataya" (Chapter 13)

13. TAKDIR

Berita jatuhnya bukit Foresse dalam kekuasaan Zorca menggemparkan seluruh lembah. Orion telah memerintahkan penjagaan yang lebih ketat dan mengirim utusan ke negri Hordos untuk memperingati pemimpin mereka. Sementara itu, raja Zordius dari Amorilla telah mengirim sebuah pasukan cahaya khusus untuk mengawal putri Quilla yang tengah berkunjung di lembah Crystal agar segera kembali ke Amorilla demi keselamatannya.
Orion memerintahkan Prechia, Titus dan Shenai untuk secepatnya mengajariku sihir tingkat tinggi. Gunjingan dan tatapan sinis kembali ditujukan sebagian murid yang tidak menyukai kebenaran akan terpilihnya aku sebagai penyihir naga Arkhataya. Brisa mencoba menghiburku disela sela pelatihanku yang padat dan melelahkan. Berbeda sekali dengan  sikap Tristan yang dingin dan sedikit menjauhiku.
Perasaan cemas dan takut hinggap. Aku dapat merasakan jika Tristan tengah merencanakan sesuatu. Suatu hal yang sangat tidak menyenangkan, tentunya.
Apa yang aku takutkan menjadi kenyataan. Tristan mengingkari janjinya padaku. Wajah bekunya yang tampan menatapku tegang. Kupandangi ia dengan segudang pertanyaan akan keberadaannya dikamarku malam ini.
”Kita harus pergi dari sini Calista.”
Kutatap nanar. ”Mengapa? Kita sudah sepakat pada Prechia untuk tetap tinggal.”
Tristan berteriak marah. Kucoba mengingatkan jika teriakannya itu akan membangunkan Brisa di kamar sebelah. Dengan sinis ia mengatakan padaku telah membuat Brisa terlelap dengan sihirnya hingga tak ada yang perlu dikuatirkan.
”Ikutlah bersamaku. Kau dalam bahaya dan aku berjanji akan menjagamu.”
Kebimbangan menyergapku. Mungkinkah Tristan akan benar benar melindungiku atau justru malah membawaku langsung pada Zorca untuk menghadapi kematianku. Meski aku menyukainya namun aku masih meragukan tujuannya.
”Apakah kau akan membawaku pada Zorca?”
Tristan tertawa lemah. ”Kau gadis tolol yang pernah kutemui. Aku takkan mungkin mengkhianatimu dengan cara hina seperti itu.”
Aku terdiam sesaat.
”Bagaimana?” tanya Tristan tak sabar.
Kutatap Tristan resah.
”Percayalah padaku. Zorca tengah merencanakan sesuatu. Ia membuat sebuah perjanjian dengan kekuatan ruh hitam untuk membangunkan makhluk jahat dari neraka. Jika kau tetap berada di tempat ini, jiwamu dalam bahaya,” ujarnya tertahan.
Napasku memburu. ”Mengapa kau baru mengatakannya padaku sekarang,” desisku marah.
”Karena kau begitu keras kepala dan ingin tetap tinggal tanpa memperdulikan keselamatanmu,” sentak Tristan tak kalah marah.
”Tapi...aku adalah pewaris pusaka Arkhataya, Tristan. Aku harus memenuhi takdirku demi keselamatan orang orang ini dari ancaman Zorca,” desahku putus asa.
Tristan terdiam. Wajah bekunya terlihat lelah dan sepasang mata ungu gelapnya menatapku bingung. ”Dia mengorbankan banyak sekali, darah para penyihir hitam untuk persembahannya. Dia memberikan dua pilihan sulit, bergabung dengannya atau mati ditangannya. Dan Zorca tidak akan berhenti sampai ia membalaskan dendamnya pada Orion dan lembah ini.”
Aku terduduk lemas di sisi tempat tidurku.
”Begitu ia tahu kau adalah gadis dalam ramalan itu. Dia tidak akan mengampunimu,” ujar Tristan dalam.
Kuhembuskan napas perlahan. ”Berjanjilah kau akan membawaku ke tempat yang aman dan jauh darinya,” mohonku padanya.
Tristan menarik tubuhku dan memelukku erat erat seolah tak ingin melepaskannya. ”Aku berjanji,” bisiknya lembut ditelingaku.
Kuanggukan kepalaku dengan ragu ragu.
Malam itu kami menyelinap dari rumah Brisa menuju lorong lorong gelap lembah Crystal. Tristan menggenggam erat tangankku seolah ingin menunjukkan bahwa ia akan selalu menjaga keselamatanku.
Kuseret langkahku dengan perasaan ragu. Ada rasa takut menjalariku. Aku tahu ini sebuah kesalahan. Tapi demi melihat wajah beku yang seolah kehilangan arah itu membuatku iba dan tak dapat menolaknya permintaannya.
Ketika kami tiba tepat di depan pintu gerbang keluar lembah Crystal. Tristan mulai merapal sebuah mantra. Hanya dalam waktu singkat kedua penjaga tertidur lelap. Tristan telah berhasil membius mereka.
Dengan sekuat tenaga Tristan menarik lenganku dan menyeretku keluar melewati pagar. Kami berlari kencang menembus dinginnya malam. Sekelebat bayangan nampak mengikuti kami dari belakang. Nyaliku mendadak ciut. Dadaku berdebar kencang. Namun dengan sigap Tristan memelukku. Dengan setengah berbisik Tristan memintaku untuk tenang.
Kami berlindung disebuah pohon oak tua yang rimbun. Dapat kurasakan desahan napas Tristan ditengkukku yang mulai terasa dingin. Kami menunggu namun tak ada suara apapun yang terdengar mencurigakan. Hanya derik jangkrik yang bersahutan. Suara gemerisik dedaunan sempat mengejutkan kami bersamaan.
Wajah Tristan terlihat putus asa. ”Tunjukkan dirimu!” serunya tegang.
Tak ada sahutan. Kutahan napasku.
”Keluar pengecut!” kali ini Tristan mulai kehilangan kesabarannya.
Diterangnya bulan purnama, sebuah bayangan muncul bersamaan dengan sosok tinggi berjubah biru langit yang sudah terlihat familiar dimataku.
Orion Xander berdiri tegak dihadapan kami dengan seulas senyum bijak diwajahnya yang ramah. Jubah biru langitnya melayang layang tertiup dinginnya angin malam yang berhembus kencang.
”Selamat malam tuan Readick. Maaf jika kehadiranku membuatmu sedikit resah.”
Tristan menatap sinis kearah Orion. Namun Orion lebih tertarik untuk mengalihkan pandangannya padaku yang tengah menguasai rasa keterkejutanku. ”Apakah kau berencana untuk melakukan sebuah perjalanan bersama dengan tuan Readick, Calista?” selidiknya ramah.
”Simpan basa basimu. Jika kau ingin menghalangiku. Aku tak kan segan untuk membunuhmu,” seru Tristan marah.
Aku hanya terpaku tak dapat berkata apapun.
Orion menatap Tristan dengan sorot mata datar dan tenang.
”Sebaiknya kalian kembali. Aku berjanji akan melupakan peristiwa malam ini.” pintanya tegas.
Tristan kembali menatap sinis kearah Orion. Namun Orion tidak terlalu memperdulikannya. Sepasang mata biru laki laki tua itu tetap tertuju padaku.
”Aku tak bisa membiarkan kau pergi Calista. Kami semua membutuhkanmu,”  ujar Orion lembut.
Tristan menatap kesal kearah Orion. ”Omong kosong. Kalian hanya ingin memanfaatkannya saja.”
Kini sepasang mata ungunya menyorot tajam kearahku. ”Kita harus pergi dari sini. Aku akan menjamin keselamatanmu,” tegasnya sengit.
 Kutatap Tristan penuh kebimbangan.   
”Aku takkan membiarkan kau membawa Calista pergi untuk menanggung semua kesalahan yang telah kau perbuat di masa lalu, tuan Readick.” tatap Orion  tajam.
Tristan mendengus marah. ”Kaulah yang membuat kesalahan itu padaku Orion. Kau telah membunuh ayahku!” serunya meluapkan amarahnya.
Airmuka Orion sedikit berubah. Dahinya mengernyit. ”Maafkan aku. Tapi saat itu kami tengah bertarung antara hidup dan mati. Tak ada keinginanku untuk membunuh Arias dengan kesengajaan. Aku benar benar menghormati ayahmu.”
Tristan berteriak marah. ”Berhentilah bersikap munafik. Kau sama sekali tidak akan mendapatkan simpatiku. Aku tidak seperti Shenai yang lemah. Aku takkan memaafkanmu sampai kapanpun.”
”Dia benar Tristan. Ini suatu kesalahan!” seruku tertahan.
Orion menatapku tajam. Sepasang mata biru langitnya seolah menembus pandanganku. Kutatap wajah bijak Orion dalam kebimbangan. Orion mengangguk pelan meyakinkanku.
Seruan kedua Tristan yang bernada kemarahan terlontar seiring rapalan sihir yang dilayangkan kearah Orion yang nampaknya sudah dapat menebak serangan sihir dadakannya. Dengan gerakan elegan, Orion memutar tangan kanannya yang membentuk lingkaran dan seketika itu juga gulungan asap hitam Tristan terserap dalam lingkaran tangan Orion. Menghilang tak berbekas.
Wajah Tristan menjadi pucat seketika.
”Calista memiliki takdir yang harus dijalaninya di lembah ini. Aku tidak akan membiarkanmu membawanya. Tapi aku akan membiarkanmu pergi dengan ketenangan,” ucap Orion dengan nada tegas.
Tristan menatap Orion penuh kebencian. Orion mengalihkan pandangannya kearahku. ”Hanya kau yang dapat membangunkan Arkhataya untuk melawan kekuatan leviathan yang tengah dibangunkan kembali oleh Zorca,” ujar Orion padaku tak memperdulikan tatapan Tristan yang nampak terkejut mendengar penuturannya.
”Ternyata kau telah mengetahuinya selama ini!” seru Tistan gusar.
Orion tersenyum bijak. ”Otto Cursen memberikan penglihatan persis seperti yang ada dalam benakku.”
Kutatap Tristan gugup dengan mata berkaca kaca. Kebimbangan meliputiku tapi melihat sepasang mata biru langit Orion yang teduh dan memohon membuatku menjadi serba salah.
”Kau harus menerima takdirmu dan menolong orang orang ini dengan membangunkan naga Arkhataya. Jangan biarkan kekuatan leviathan yang dimiliki Zorca menghancurkan dunia tengah. Kami semua sangat berharap padamu,” bujuk Orion padaku.
”Jangan dengarkan dia, Calista. Kita harus segera pergi dari sini, mengerti!” seru Tristan tak sabar.
Kutatap wajah beku yang bingung itu pilu. Orion Xander benar. Melarikan diri dari takdirku bukanlah jalan keluar.
”Maafkan aku Tristan,” ujarku penuh penyesalan.
Sepasang mata ungu itu meredup. Raut wajahnya menunjukkan kekecewaan yang mendalam. Saat ini Tristan terlihat begitu rapuh dimataku.
Kuanggukkan kepala kearah Tristan yang mencoba tegar dan berdiri tegak di depanku. Kulayangkan senyum terbaikku kearahnya. Seolah memahami keinginanku, segaris senyum beku terlukis di wajah tampannya. Hanya dalam sekelebatan saja Tristan telah menghilang diantara gelapnya malam dan jejeran cemara didepanku.
Orion menatapku lega. ”Kau telah melakukan hal yang benar.”
Aku hanya termenung menatap kepergian Tristan digelapnya malam.
Kepergian Tristan semalam nampaknya belum diketahui banyak orang. Aku bahkan takkan perduli jika nanti semua orang di Sandora menjadi gempar ketika mengetahui perihal pelarian Tristan. Aku hanya berharap Orion menepati janjinya untuk melepaskan kepergian Tristan dan tidak memburunya.
Brisa mendatangiku saat makan siang. Wajah cantiknya nampak berkerut dan menatapku seolah menuntut penjelasan.  ”Shenai Readick ditemukan dalam keadaan tak sadar pagi ini. Sepertinya Tristan telah membius ibunya sendiri.”
Kuputar kedua bola mataku. ”Dia seharusnya tidak melakukan itu,” acuhku mencoba untuk menelan makan siangku.
”Mengapa aku merasa jika kau tahu persis perihal kaburnya Tristan dari lembah Crystal,” sepasang mata birunya menatapku tajam.
Sepertinya aku tidak bisa mengelabui Brisa. Lagipula aku adalah seorang pembohong yang payah.  ”Dia membujukku pergi bersamanya semalam,” desahku mengalah.
Wajah Brisa memerah. ”Mengapa kau tidak mengatakannya padaku sejak tadi pagi Cal,” ingatnya tajam.
”Aku tak ingin merusak harimu,” sahutku pelan seraya melirik kearah Cleo Maltese yang kini menatapku sinis bersama dengan beberapa orang temannya yang menunjukkan sikap permusuhannya padaku secara terang terangan.
”Terlambat. Ceritakan padaku yang sebenarnya,” perintah Brisa seenaknya seraya menarik kursi dan duduk dihadapanku.
Dengan singkat kuceritakan kejadian semalam pada Brisa. Untuk beberapa saat ia terdiam kemudian menatapku dalam. ”Lalu apa rencanamu sekarang?”
”Entahlah. Mungkin menghadapi takdirku seperti yang disarankan Orion,” desahku ragu.
Brisa hanya memandangiku dengan segudang tanda tanya terlihat jelas di wajahnya.
Sisa hari di benteng Sandora kujalani dengan malas. Titus berkali kali mengingatkanku untuk berkonsentrasi. Tapi pikiranku terlalu lelah untuk menurutinya. Dengan sedikit kesal Titus memutuskan menghukumku untuk membereskan seluruh peralatan yang biasa dipergunakan sehabis berlatih milik tiap kelompok.
Kumasukan alat alat aneh tersebut ke dalam lemari di gudang penyimpanan dengan kasar. Aku sama sekali tidak menyusunnya dengan benar hingga membuat pintu lemari penyimpanan tidak mau menutup. Dengan jengkel kubanting pintu lemari tersebut sekuat tenaga. Hasilnya sama. Bukannya menutup tapi tindakan kasarku justru membuat  beberapa barang kembali berjatuhan keluar dan pinggiran kayu pintu lemari tua itu menjadi retak dan terlihat semakin menyedihkan.
”Kau ini seorang penyihir. Mengapa tidak menggunakan mantra sederhana untuk menyelesaikan masalah kecilmu itu,” sapa suara merdu dibelakangku.
Ness Ferin berdiri tegak dengan kedua tangan bersedekap di dada dan menatapku datar. Postur tubuhnya yang sempurna terlihat begitu kekar dengan wajah tampannya yang semakin terlihat menawan dimataku.
”Titus melarangku menggunakan sihir,” acuhku mencoba untuk tidak memperdulikan kehadirannya dan terus berusaha memasukkan seluruh peralatan sial ini.
Ness tertawa senang. ”Kau pasti telah membuatnya sangat kesal padamu ya.”
Aku hanya mengangkat bahu seraya melempar satu persatu peralatan latihan dengan tergesa. Kedua tangan kekar Ness kini ikut memunguti satu persatu sebagian peralatan yang masih tergeletak dilantai dan dan menaruhnya kembali ke dalam lemari. Kini kami bekerjasama membereskan peralatan itu tanpa mengucapkan sepatah kata pun.
Tak kuasa manahan perasaan aneh ini. Kulirik Ness dengan rasa penasaran. Wajah Ness terlihat santai tak terbebani.
”Ada sesuatu diwajahku?” tanyanya pelan mengejutkanku.
Dengan kikuk aku melempar sarung tangan kedalam lemari. ”Tidak. Aku hanya, yah terimakasih telah membantuku,” sahutku gugup.
Ness kini menatapku. Sepasang mata emasnya terlihat mengawasiku.
”Aku senang kau memutuskan untuk tinggal,” ucapnya pelan.
Aku meringis kesal. Sepertinya ia tidak jauh berbeda dengan yang lainnya. Ia hanya ingin membahas kepergian Tristan dariku.
 ”Aku dan Tristan memiliki takdir yang berbeda,” sahutku malas malasan.
Ness menatapku dalam namun penuh kelembutan.
”Mungkin akan terdengar sedikit aneh. Tapi jika kau butuh seorang teman. Kau dapat mengandalkanku,” desahnya.
Aku tergelak seketika. ”Kau benar. Ucapanmu memang terasa aneh dikupingku. Tapi aku akan mempertimbangkan tawaranmu itu, tuan Ferin,” ujarku setengah meledeknya.
”Jangan memulainya Kaz. Aku mengatakannya karena merasa kasihan padamu,” balas Ness dengan senyum tipis tersamar di bibirnya.
”Oh benarkah. Mengapa begitu,” tukasku dingin.
Sepertinya ia telah berhasil memancing emosiku.
”Karena kau telah menghabiskan waktumu sia sia dengan seseorang yang tidak pantas untukmu.” Ia mengangkat satu alisnya. Nada suaranya terdengar tegang.
Kusipitkan pandangan tepat kearah sepasang mata emasnya yang tengah menyorot tajam padaku hingga nyaris menembus jantungku. ”Lalu siapa yang pantas untukku. Kaukah orangnya,” ucapku melecehkan pendapat pribadinya akan kehidupan percintaanku.
Sorot mata emasnya terlihat bercahaya. Raut mukanya kini berubah kaku.  ”Entahlah. Menurutmu?” Kini ia menatapku lembut.
Aku terdiam seketika. Dia pasti asal bicara. Tapi kedua tangan Ness yang kini meraih tubuhku lembut sepertinya tidak bergurau. Sepasang mata coklat keemasannya menatapku tak berkedip. Jantungku berdegup kencang ketika ia merapatkan tubuh kekarnya dan mulai meletakkan kedua tangannya melingkari pingggangku. Kini ia memelukku erat. Wajah kami begitu dekat. Aku bahkan dapat mencium harum napasnya. Tangan kanan Ness mulai bergerak keatas. Jemarinya yang lembut menelusuri pipiku. Lalu ia meraih wajahku untuk lebih dekat ke wajah tampannya yang lembut mempesona. Hidung kami saling bertautan. Tubuhku terasa lemas dalam pelukan hangat Ness. Bibirnya mulai menekan bibirku dengan lembut dan perlahan. Aku tak kuasa menolak. Tanpa sadar bibir ini telah membalas ciumannya yang hangat. Begitu mendapatkan respon dariku, bibir Ness seolah tak mau berhenti dan terus melumat bibirku. Ciuman lembutnya berubah menjadi sedikit kasar dan mendominasi. Aku sedikit kewalahan dan hampir kehabisan napas. Aku benar benar telah jatuh dalam pesonanya dan tak kuasa menolak ciumannya yang begitu bergairah. Kubiarkan ia melumat bibirku hingga puas. Sampai akhirnya berakhir perlahan lahan dan kembali ke awal. Bibir indah itu mulai menjauh pelan. Namun kami masih menyisakan napas yang sedikit memburu.
Jemarinya kembali membelai pipiku lembut dan menatapku tajam. Kurasakan kedua pipiku menghangat. Namun kami hanya diam dan saling memandang seolah tak ingin merusak kebersamaan ini dengan ucapan.
”Rupanya kau ada disini,” sebuah seruan tajam menyadarkan kami dari mimpi indah ini.
Putri Quilla berdiri tegak dengan ekspresi wajah yang sulit ditebak bersama dengan dua orang pengawalnya yang tengah berdiri disampingnya.
Dengan perlahan Ness melepaskan pelukannya dariku. Namun tangan kanannya tetap menggenggam tanganku lembut seolah mencoba untuk menenangkan. Sepasang mata emasnya menatap lurus kearah Quilla. Tetap terlihat tenang dan datar.
”Lepaskan aku Ness,” dengusku panik melihat raut wajah Quilla yang terlihat begitu dingin dan angkuh menyorot tajam kearah kami bergantian.
Tapi laki laki disebelahku nampaknya sudah kehilangan akalnya. Ia tak memperdulikan peringatanku namun malah mempererat genggaman tangannya.
”Aku tak menyangka kau masih disini. Bukankah kita telah mengucapkan salam perpisahan,” ujar Ness datar.
Dasar bodoh. Seharusnya ia berlari untuk menenangkan tunangannya itu. Bukan malah mempersulitku.
Quilla menatapku berang lalu mengalihkan pandangannya pada Ness.
”Aku hanya berpikir untuk memintamu ikut bersamaku ke Amorilla. Tapi kelihatannya kau tengah disibukkan oleh sesuatu.” Quilla berusaha keras menjaga nada suaranya yang bergetar.
Dengan sekuat tenaga kuhentakan tanganku dari genggaman kuat Ness.
”Maafkan aku putri Quilla tapi ini sebuah kesalah pahaman,” ujarku memberanikan diri untuk menatap sepasang mata indah Quilla.
Quilla tertawa kesal. ”Kalian penyihir sama saja. Tidak bisa dipercaya,” lengkingnya dingin. Seketika itu juga bulu tengkukku meremang.
Sepasang mata abu abunya menyorot tajam kearahku. ”Aku akan melupakan semua yang kulihat hari ini. Tapi, sebaiknya kau segera menyingkir dari hadapanku,” Quilla kembali berusaha keras menjaga nada ucapannya padaku di depan Ness.
”Maafkan aku. Aku akan pergi dari sini,” ujarku sopan seraya mengangguk hormat dan berlalu dengan cepat meninggalkan Ness untuk menyelesaikan semuanya dengan Quilla.
Quilla menatapku dengan penuh kebencian. Tiba tiba sebuah bisikan terdengar pelan ditelingaku seiring kepergianku berlalu dari hadapan mereka.
Kau tidak akan pernah mendapatkan dia, penyihir.
Seketika itu bulu tengkukku kembali meremang. Putri Quilla seolah telah membisikkan kata kata itu meski aku telah berada jauh darinya.
Quilla telah melemparkan ancamannya. Tubuhku sedikit bergetar dan tanganku terasa dingin namun aku terus berjalan dan berusaha melupakan kejadian hari ini.
Pagi itu aku tak beranjak dari tempat tidur. Kutatap langit langit kamar dengan sejuta pikiran. Kejadian kemarin sore di ruangan peralatan membuatku makin malas untuk bangun dan mempersiapkan diri untuk pergi ke Sandora. Meski begitu aku tak dapat melupakan hangatnya ciuman Ness yang begitu membara.
Terbayang kembali wajah cantik Quilla yang sangat marah. Kemarahannya membuatku merasa lemah dan tak berdaya. Keresahan kini timbul. Rasanya semakin banyak saja masalah yang datang padaku.
Kubenamkan kembali wajahku dalam dalam pada bantal mungil Brisa dengan kesal. Semua ini salah Ness, bukan salahku. Seharusnya ia tidak menciumku. Perbuatan pangeran peri itu tidak hanya menambah beban pikiran tapi juga menambah panjang deretan musuh musuhku. Terus terang saja, aku adalah pilihan terakhir bagi sebagian orang untuk dijadikan teman kesayangan.
Sudah bukan rahasia lagi jika semua orang di Sandora tidak ada yang menyukaiku. Bisa kurasakan denyut jantung mereka yang berdetak tak karuan dengan wajah berkerut menatapku kesal setiap aku berjalan memasuki Sandora. Pandangan mencemooh dan tatapan permusuhan selalu tertuju padaku.
Dan hari ini pun semakin menjadi jadi. Aku tahu telah terlambat datang untuk latihan sihirku mengingat sebentar lagi makan siang. Namun aku memilih untuk tidak perduli dan tetap datang ke Sandora karena telah berjanji pada Orion untuk belajar sihir lebih serius dan memenuhi takdirku.
Beberapa orang terlihat berkelompok dan berbisik terang terangan didepanku. Kucoba untuk melangkah tegar dan tak memperdulikannya. Tak berapa lama kulihat para pengajar terlihat keluar dari ruang pertemuan dengan Orion, Prechia dan Helena. Tatapan aneh Titus dan Shenai yang mengarah padaku membuatku sedikit gugup.
Sementara Darren, Agnes dan Oggie melayangkan pandangan ragu yang terarah padaku. Tak sengaja mataku bersirobok dengan tatapan tenang Ness. Airmuka Ness terlihat dingin namun sorot mata emasnya menatap cemas kearahku.
Akhirnya kuketahui jika Orion Xander telah memberitahukan takdirku sebagai penyihir naga Arkhataya pada para pengajar di Sandora dan meminta mereka untuk membantuku mempelajari sihir tingkat tinggi. Brisa juga mengatakan jika keadaan semakin genting. Kelompok Zorca mulai bergerak menguasai kota kota pertambangan kecil disepanjang jalan menuju kota Hordos.
Makan siang hari itu benar benar tak tertelan olehku.
Hari hari berikutnya terasa semakin berat untukku. Aku harus berpacu dengan waktu untuk menguasai sihir tingkat tinggi yang diajarkan Prechia dan Titus sebelum Zorca menyerang lembah Crystal. Untungnya kemajuanku sangat pesat. Apalagi mengingat darah murni Anthea mengalir ditubuhku.
Prechia bilang aku mewarisi kekuatan sihir yang sama yang dimiliki kakekku, Ghorfinus. Sihirku tajam dan akurat. Aku bahkan dapat merapal mantra hanya dengan mendengarnya sekali saja.
Tidak hanya itu. Aku juga mendapat kesempatan belajar beberapa trik psichic dari beberapa pengajar psychic termasuk Darren dan Ness. Sikap Ness yang dingin saat mengajariku seolah ingin menunjukkan keseriusannya membantuku. Kami bahkan tak sempat membahas masalah ciuman kemarin yang sepertinya telah menguap dan terlupakan begitu saja.
Kemampuan telekinetisku yang kurang terlatih menunjukkan kedashyatannya. Meski tak banyak berkomentar namun aku dapat merasakan senyum kepuasan terlintas dari bibir Ness. Sementara Darren tak henti hentinya berdecak kagum dan dengan sportif memberikan tepukan bahu berkali kali padaku. Sepertinya aku memang mengantungi beberapa keuntungan dengan memiliki ayah seperti Arman yang memiliki kekuatan psichic yang hebat.
Tak diduga sambutan hangat datang dari kelompok berbaju ungu terang. Para ilusionist muda itu menyambut hangat kehadiranku dengan senyum cerah terpancar dari wajah mereka. Hari ini adalah giliranku mengasah keterampilan pikiranku dengan kelompok illusionist. Helena Ginka tersenyum lebar menerima kehadiranku.
Seorang gadis berambut ikal merah dengan perawakannya yang tinggi tersenyum kearahku. Sepasang matanya yang berwarna coklat tua menatapku ramah.
”Halo Calista. Masih ingat aku?”
Kusipitkan pandangan. ”Tentu saja. Kau gadis yang berteriak ketakutan sewaktu kelompok Zorca menyerang Oggie, kan?” sahutku ragu.
Gadis itu tertawa. ”Benar sekali. Aku Evelyn Keech. Kau tahu, Agnes mencambak rambutku keras sekali ketika ia menyusulku kedalam hutan dalam keadaan panik. Dia benar benar kejam dan tak berperasaan,” geramnya.
”Apakah kau baik baik saja waktu itu?” tanyaku bersimpati.
Ia mengangguk riang. ”Untungnya. Dan aku senang kau selamat dari cengkraman para penyihir jahat itu.”
Aku mengangguk bingung.
”Jadi. Kau adalah anak dalam ramalan Zorca rupanya. Tapi aku sudah menduganya,” ujarnya sedikit pamer.
”Hebat sekali. Tapi bagaimana kau mengetahui itu?”tanyaku berbasa basi.
Evelyn tertawa riang. ”Aku bisa merasakan energi yang besar dan kuat terpancar dari wajah pucatmu itu.”
Aku tersenyum getir ketika mendengar ia menyinggung wajah pucatku.
”Kau pasti bertanya tanya mengapa kami menyambutmu begitu hangat?”
Aku tersenyum bingung. ”Yah pasti. Sambutan kalian membuatku terkesan.”
Evelyn kembali tertawa riang. ”Kami bukan orang orang picik yang mengucilkan seseorang dengan kelebihan mereka yang menakjubkan. Kami dapat merasakan ketulusan yang kau sebarkan lewat auramu. Kau akan selalu diterima di kelompok kami.”
Para ilusionist muda ini seolah mengalami euphoria akan statusku sebagai penyihir naga Arkhataya. Beberapa diantaranya malah terang terangan menyatakan aku sebagai tamu kehormatan diberbagai kegiatan para ilusionist muda yang seringkali bermeditasi bersama.
Mereka membantuku belajar mengendalikan pikiran dan membaca ramalan. Meski terkadang aku mendapat penglihatan lewat mimpi namun itu tidak banyak membantu dan seringkali tidak akurat. Helena mengatakan selama beban pikiran masih terlalu banyak maka aku takkan bisa melepaskan aura positif ditubuhku untuk melihat atau membaca suatu pertanda dengan jernih.
Kekuatan para ilusionist tidak bisa dianggap remeh. Terbukti ketika Evelyn berhasil mendemonstrasikan kekuatannya mengendalikan pikiran seseorang dengan cara menghipnotisnya. Aku jadi teringat Tristan. Menurut Evelyn seorang penyihir biasanya akan lebih cepat menguasai tehnik ini mengingat ia memiliki rapalan mantra yang dapat membantu proses pengendalian pikiran. Dan keluarga Readick adalah pengendali pikiran yang hebat di lembah Crystal.
Makan siangku hari ini jadi terasa menyenangkan dengan keberadaan teman teman ilusionisku. Evelyn mengaku tak kuasa menahan haru ketika melihatku selalu makan siang sendirian sejak Tristan meninggalkanku. Suatu perhatian yang berlebihan menurutku.
Malam itu aku memimpikan Tristan. Kami berlari bebas ditengah padang rumput yang melambai lambai tertiup angin kencang. Cuaca musim panas yang cerah dan hangat membuat wajah beku Tristan terlihat hangat dan cerah kala menatapku. Kami berpegangan tangan seolah tak ingin melepaskan satu sama lain.
Tiba tiba awan hitam bergerak menutupi matahari yang bersinar terang. Wajah Tristan kembali membeku. Sosok laki laki asing berjubah hitam berdiri dihadapanku dan Tristan. Laki laki itu kini menatap tajam kearah kami. Meski samar namun wajahnya terlihat pucat seputih kapas. Ia tertawa keras dan lantang. Dengan cepat Tristan memelukku dan menjadikan tubuhnya sebagai perisaiku.
Laki laki itu berteriak memanggil namaku. Membuat seluruh tubuhku bergetar kencang ketakutan. Kemudian ia mengacungkan tangan kanannya kearah kami seolah memberi perintah pada sesuatu yang tak terlihat. Ia merapalkan sebuah kata kata yang menyerupai nyanyian sihir. Tristan menatapku panik seraya meneriakkan kata kata yang tak dapat kumengerti. Tiba tiba sesuatu yang besar merayap pelan dibelakang laki laki berjubah hitam tadi. Makhluk itu meliuk liuk seolah tengah menari mengikuti nyanyian sihir yang terdengar parau ditelingaku. Ular raksasa itu kini mendesis keras dengan tujuh kepalanya yang menatapku marah.
Tristan kembali berteriak dan mendorongku untuk menjauh namun terlambat. Nyanyian laki laki itu kini berganti dengan teriakan keras seperti kata kata perintah. Tujuh kepala ular raksasa itu saling berkejaran dan meluncur cepat kearah kami. Seketika itu juga aku menjerit kencang dan sangat ketakutan. Aku tersadar dari mimpi burukku oleh guncangan tangan Brisa di kedua bahuku.
”Aku melihatnya Bris.” getarku ketakutan.
Brisa menatapku tegang. ”Tenangkan dirimu.”
”Dia memanggilnya. Zorca memanggil makhluk jahat dari neraka itu.” seruku marah.
Brisa terpaku menatapku.

Writer : Misaini Indra

Tuesday 8 November 2011

Calista Kaz "Penyihir Naga Arkhataya" (Chapter 12)

12. PENYIHIR NAGA ARKHATAYA

Malam itu Brisa mengatakan padaku jika Orion Xander mengundang kami untuk menghadiri makan malam di kastil Crystal. Brisa juga mengatakan akan ada tamu lainnya yang datang. Meski tidak mengenakan gaun yang indah namun aku cukup percaya diri mengenakan gaun marun Brisa yang terlihat serasi dengan rambutku yang berwarna kecoklatan. Sementara Brisa mengenakan gaun biru langit yang sesuai dengan warna bola matanya.
Setibanya disana sudah ada Prechia, Helena, Shenai dan Piphylia yang menyambut kami. Disudut ruangan nampak Titus tengah terlibat pembicaraan dengan Ness dan putri Quilla yang terlihat anggun dalam balutan gaun emas yang menunjukkan bahunya yang indah.
Sepasang mata coklat keemasan langsung tertuju kearahku. Segaris senyum tipis terlihat di wajah tampannya seketika. Dengan antusias Ness menyudahi pembicaraan dan mengajak Titus dan Quilla untuk menghampiri kami. ”Orion tidak mengatakan padaku jika kalian juga akan datang,” sapa Ness tanpa berbasa basi.


            ”Benarkah. Kalau begitu ini pasti menjadi suatu kejutan untukmu, Ness.” Sahut Brisa mewakiliku sementara aku hanya terdiam dan mencoba untuk tersenyum wajar.
            ”Selamat malam putri Quilla. Kurasa kau belum pernah bertemu dengan temanku. Ini, Calista Kaz.” Senyum Brisa kemudian melirik kearahku.
Kutundukkan kepalaku dengan sopan sebagai tanda penghormatan. ”Suatu kehormatan bisa mengenal anda, putri Quilla.”
Quilla tersenyum kaku seraya memandangiku dengan dingin. ”Tentu saja. Senang dapat mengenalmu juga,” ujarnya sedikit angkuh.
Aku mengangguk sopan.
”Sepertinya semua sudah datang. Maaf telah membuat kalian menunggu!” seruan Orion mengalihkan pandangan kami kearahnya.
Orion Xander terlihat gagah mengenakan jubah merah panjang yang terjuntai hingga menyapu lantai.
”Kau terlihat sangat cerah malam ini teman. Apakah ada sesuatu yang membuatmu senang?” seringai Prechia riang.
Orion terpingkal geli. ”Oh sahabatku, Prechia. Malam ini adalah malam istimewa. Tidak hanya karena kehadiran kalian semua akan tetapi karena kita telah kedatangan tamu istimewa dari Amorilla yaitu putri Quilla,” angguk Orion sopan pada Quilla yang balas mengangguk hormat dengan senyum angkuhnya.
”Senang melihatmu bisa datang juga nona Kaz,” lirik Orion kearahku.
Perasaanku seketika itu juga menjadi gugup. Aku hanya dapat tersenyum kaku dan mengangguk hormat pada Orion.
”Baiklah. Sebaiknya kita segera menuju ruang makan yang telah disiapkan oleh kepala pelayan dan teman temannya yang telah menyuguhkan hidangan istimewa malam ini,” senyum Orion seraya menunjuk kearah ruang makan yang tertata rapih dengan diterangi lilin lilin besar yang beraroma bunga lili.
Makan malam berjalan cukup menyenangkan. Aku cukup terkejut begitu mengetahui jika Orion Xander adalah seseorang yang bersahaja dan penuh canda. Berkali kali kami tertawa mendengar kelakarnya tentang kisah masa lalunya ketika mempelajari sihir ditingkat dasar bersama dengan Prechia.
Malam itu Ness terlihat tenang dan santai. Sudah kedua kalinya mata kami saling bertatapan meski hanya sebentar. Sepasang mata coklat terang Ness seolah ingin menyapaku lebih lama namun genggaman erat tangan Quilla serta tatapan tajamnya kearahku seolah mengisyaratkan jika Ness adalah miliknya. Membuat aku dan Ness menjadi sedikit canggung dan saling membuang pandangan.
Orion yang duduk diujung kursi makan berhadapan dengan Prechia tampak menanyakan sesuatu pada Titus yang duduk disebelah kirinya. Sementara di sebelah kanan Orion, putri Quilla nampak duduk dengan anggun sambil sesekali menatap Ness dengan sorot mata bahagia.
Piphylia yang duduk disamping kanan Ness terlihat antusias membicarakan ramuan obat terbarunya pada Brisa. Dan terakhir, Helena Ginka tenggelam dalam  perbincangan serius dengan Prechia dan Shenai Readick yang sesekali mengangguk kaku mengiyakan segala ucapan Prechia.
Sementara aku hanya terpaku menatap piring makan dihadapanku.
Pembicaraan diruang makan ini terhenti seketika saat semua orang yang berada diruangan ini mendengar pertanyaan putri Quilla pada Orion.
Dengan gayanya yang angkuh dan suaranya yang terdengar manja Quilla menatap Orion dengan bersemangat. ”Apakah anda mengetahui legenda Arkhataya tuan Xander?” tanyanya antusias dengan senyum kaku.
Prechia, Helena dan Shenai seketika itu juga menghentikan pembicaraan mereka. Sementara Piphylia, Ness, Brisa dan Titus menatap Orion dan Quilla bergantian.
Kulirik Orion sekilas. Wajah bijaknya tersenyum tipis.
Prechia terlihat resah menatap bergantian kearah Orion dan Quilla. ”Tentu saja Orion mengetahuinya,” ujar Prechia memecahkan keheningan.
Orion menyipitkan pandangannya kearah Prechia.
Sedangkan Prechia membalas tatapannya dengan antusias. ”Sahabatku Orion, mengapa kau tidak menceritakan kembali legenda Arkhataya pada tamu kehormatan kita malam ini. Aku yakin teman teman kita yang ada disini pasti juga ingin mendengarnya,” suara Prechia terdengar bersemangat.
Orion tertawa pelan.
”Sebenarnya, aku pernah mendengar kisah itu sebelumnya dari ayahku namun aku hanya ingin mendengarnya kembali dari anda tuan Xander,” tandas Quilla meralat ucapan Prechia. Ditatapnya Prechia dan Orion bergantian.
Orion menghela napas perlahan. ”Baiklah, aku akan menceritakannya kembali padamu putri Quilla. Dan juga untuk teman teman baikku yang hadir disini.  Aku yakin sebagian dari kalian pasti pernah mendengar kisah ini sebelumnya.”
Semuanya hanya terdiam termasuk aku yang sama sekali belum pernah mendengarnya.
Sepasang mata biru Orion menebarkan pandangan kesekeliling ruangan. ”Legenda mengatakan, jauh sebelum adanya koloni di lembah Crystal, tujuh penguasa dunia tengah yaitu, bangsa elf yang tinggal disepanjang hutan Sprhonia di wilayah barat laut dan penguasa dunia bawah penghuni gua gua dengan emas emas mereka yaitu bangsa dwarf selalu bermusuhan. Begitu pula dengan para penguasa disepanjang wilayah timur, dua negri penambang batu mulia yang terkenal akan keahliannya itu, selalu berebut wilayah dengan kekuatan fisik mereka yang sangat luar biasa.”
Hampir semua orang yang berada diruang makan ini menghela napas perlahan menunggu Orion melanjutkan ceritanya.
”Sementara tiga penguasa dunia tengah lainnya, yaitu para penguasa perbukitan di sepanjang wilayah tenggara, penguasa lautan di wilayah selatan dan penguasa hutan sepanjang wilayah barat daya yang tak pernah diakui para penguasa dari negri lain, memilih untuk membuat perjanjian damai sementara setelah mengalami peperangan besar mempertahankan wilayah kekuasaan yang merenggut nyawa para rakyatnya.” Orion mengalihkan tatapannya pada Quilla.
”Tujuh penguasa negri tak menyadari jika keadaan akan berubah. Jika mereka akan bersatu untuk menghancurkan sesuatu yang menurut mereka akan mengancam ketenangan dan wilayah kekuasaan negri mereka.”
Sepasang mata Orion menerawang. ”Sekelompok manusia yang dikaruniai berkah yang menakjubkan namun merasa terbuang dan ketakutan memutuskan untuk tinggal bersama dan saling menjaga. Kelompok kecil mereka menjadi semakin besar dan akhirnya menjadi sebuah negri kecil yang berdiri disepanjang wilayah utara. Tujuh penguasa dunia yang bertikai tidak menyadarinya. Mereka bahkan tidak mengetahui keberadaan negri ini.”
Quilla mendengus kencang. ”Aku tidak bermaksud lancang tuan Xander. Tapi kami bangsa peri, para bangsawan elf adalah bangsa terhormat yang terlebih dahulu memiliki berkah tersebut, jauh sebelum para sekelompok manusia yang anda bicarakan tadi,” ucap Quilla tajam memotong perkataan Orion.
 Sepasang mata emas Ness terlihat kesal melirik kearah Quilla.
”Zordius seharusnya mengajarkan sedikit kesopanan pada putri kesayangannya itu,” bisik Brisa padaku dengan kesal.
Orion tersenyum bijak. ”Benar sekali putri Quilla. Maafkan ucapanku tadi,” Orion menunduk sopan kearah Quilla yang angkuh.
Aku dan Brisa saling berpandangan dan menatap geram kearah Quilla yang nampak puas dengan permintaan maaf Orion. Sementara Ness terlihat sedikit menjaga jarak dari sisi Quilla seolah ruangan ini menjadi pengap baginya. Aku dapat melihat jelas dari raut wajahnya yang tengah menahan napas.  
”Sekelompok manusia yang memiliki berkah yang menakjubkan. Siapakah mereka tuan Xander?” tanyaku pada Orion tak memperdulikan tatapan orang orang diruangan ini.
Orion tersenyum lembut kearahku. ”Mereka adalah para penyihir.”
Aku terdiam untuk sesaat.
”Ketakutan yang mereka rasakan karena merasa berbeda dan terbuang membuat mereka kuat dan bersatu. Dibawah kepemimpinan seorang penyihir hebat yang bernama Arkhataya, mereka menjadi negri sihir besar disepanjang wilayah utara. Dan hidup damai serta saling menjaga. Arkhataya memiliki kekuatan sihir sempurna karena kepekaan dan kecerdasannya dalam mempelajari dan membuat mantra sihir baru. Semuanya itu ia lakukan demi melindungi negrinya dari ancaman yang mungkin datang dari tujuh penguasa dunia tengah.”
”Aku belum pernah mendengar secara lengkap legenda ini Orion. Dan menurutku kisah ini sangat menarik,” ujar Shenai dengan sepasang mata ungunya yang menyorot antusias.
Orion mengangguk. ”Simaklah baik baik sahabatku. Karena suatu saat nanti kalian lah yang akan menceritakan legenda ini pada penerus kita di tanah leluhur kita ini,” senyum Orion.
”Lalu apa yang terjadi selanjutnya pada negri sihir utara?” tanya Titus kikuk saat kami semua mengarahkan pandangan akan pertanyaannya.
”Sebuah peperangan besar yang dibawa tujuh penguasa dunia tengah yang merasa terancam akan kekuatan sihir yang dimiliki negri utara itu membuat Arkhataya gundah dan putus asa. Dalam keadaan terdesak, Arkhataya melakukan jalan pintas dan bersekutu dengan kekuatan sihir hitam. Perang yang menghancurkan negrinya perlahan lahan, membuatnya melakukan perjanjian dengan ruh jahat dari neraka.”
Orion menarik napas panjang untuk sesaat.
”Arkhataya menjadi seorang penyihir hitam dengan kekuatan yang tak terkalahkan. Ketika tujuh negara dunia tengah bersatu dan melakukan penyerangan bersama untuk kedua kalinya, Arkhataya murka. Ia mengutuk tujuh pangeran, anak dari tujuh penguasa dunia tengah dan menjadikan mereka ular raksasa berkepala tujuh, lalu memerintahkan makhluk mematikan itu untuk menghancurkan ketujuh negri yang telah menghancurkan separuh negrinya. Dibawah pengaruh sihir Arkhataya, ular raksasa berkepala tujuh yang bernama leviathan itu menghancurkan satu persatu negri dunia tengah dengan kekuatan dari neraka. Melihat hal ini para tetua bangsawan elf yang resah akan keselamatan negri mereka, memutuskan memanggil kekuatan mematikan lain untuk menandingi kekuatan leviathan. Sebuah kekuatan yang mereka simpan beribu tahun lamanya. Senjata pertahanan terakhir yang tengah tertidur lelap disebuah tempat yang sangat gelap dibalik pelangi. Seekor naga jantan dengan kekuatan mematikan. Giginya memiliki taring yang sangat besar dan dari moncongnya mengeluarkan api yang sangat panas untuk menghanguskan apa saja. Tubuhnya dilapisi oleh kulit yang sangat keras dengan punggungnya yang bertanduk hingga ke buntut. Begitupula dengan kepalanya yang juga memiliki dua tanduk. Naga ini memiliki sepasang sayap bersirip yang sangat tajam. Dengan kedua tangan dan kakinya yang juga memiliki cakar yang tak kalah tajam.”
”Naga itu adalah senjata mematikan negri kami sebelum Arkhataya memantrainya untuk menghilang,” sungut Quilla kembali memotong ucapan Orion.
”Kuharap kau menjaga sikapmu itu, Quilla,” desah Ness tertahan.
Orion menatap Quilla dengan sabar. ”Itu benar sekali putri Quilla. Namun ia tidak mempunyai pilihan lain. Saat naga jantan itu berhasil mengalahkan leviathan ciptaannya. Arkhataya melihat kekuatan sang naga yang begitu besar saat mencengkram tubuh leviathan tersebut dengan cakar cakarnya yang tajam dikedua kaki dan tangannya, membawanya terbang dan melemparnya ke dasar lautan yang paling dalam. Demi menyelamatkan negri yang telah dibangunnya. Arkhataya berlari menghadapi sang naga dan berusaha untuk menghalangi makhluk mematikan itu yang tengah membumi hanguskan negrinya. Dengan raungan kemarahan, makhluk tersebut menatap Arkhataya dengan sorot matanya yang semerah darah. Arkhataya menggunakan kesempatan itu untuk memantrai sang naga. Arkhataya berhasil menenangkan sang naga yang hanya terdiam untuk beberapa saat sebelum akhirnya terbang meninggalkannya. Tak berapa lama setelah kepergian sang naga, Arkhataya terkulai lemas dan menghembuskan napas terakhirnya.”
Semua terdiam.
”Tidak ada yang tahu penyebab kematian Arkhataya yang tiba tiba itu. Akhirnya tujuh penguasa dunia tengah, memutuskan untuk menghentikan serangan pada negri sihir utara. kemudian membuat kesepakatan damai dalam penentuan perbatasan wilayah. Sementara itu, naga mematikan tersebut tidak pernah diketahui keberadaannya. Hingga beberapa ratus tahun kemudian, ketika seorang penyihir wanita yang sangat cerdas berhasil membangunkannya lewat nyanyian sihir ciptaannya.”
”Obidia,” ujar Shenai pelan diiringi anggukan dari Prechia dan Helena.
”Seperti yang telah sebagian dari kalian ketahui. Obidia begitu ketakutan saat melihat sang naga yang berukuran raksasa itu berdiri dihadapannya dengan tatapan tajam siap menerima perintah. Obidia dapat merasakan kekuatan sang naga yang sangat besar terpancar dari auranya. Dengan segenap kekuatan sihirnya Obidia kembali menidurkan sang naga dan bersumpah jika ruh Arkhataya telah bersemayam dalam jiwa sang naga pembunuh.”
Jantungku berdebar cepat. Mendengar Orion menyebut nama Obidia aku kembali teringat wajah cekungnya yang selalu datang dalam mimpi dan penglihatanku.  
”Karena tak ingin naga Arkhataya jatuh ke tangan yang salah. Obidia bertekad untuk mengurung sang naga dalam sebuah mantra yang ia bisikkan pada sebuah ...,”
”Gelang emas berbentuk naga yang dikenakan ditangan kanannya,” gumamku pelan dengan suara gemetar.
Semua mata tertuju padaku.
Orion menatap tajam kearahku. ”Benar sekali nona Kaz,” Orion menatapku dalam.
Wajahku memanas. Kurasa aku telah melakukan kesalahan dengan melengkapi legenda yang dikisahkannya itu.
”Apakah kau pernah mendengar legenda ini sebelumnya nona Kaz?” selidik Orion penasaran. 
Kutatap Orion dengan wajah kaku dan perasaan tegang. ”Tidak,” sahutku pelan.
”Lalu darimana kau mengetahuinya,” sela Shenai meragukan ucapanku.
Semua mata masih menatapku dan mengharap jawaban. Tubuhku bergetar dan untuk sesaat aku merasa sangat gugup.
”Aku yakin, nona Kaz hanya menebak saja,” seru Prechia membelaku.
”Anak itu baru saja datang ke negri ini Prechia. Bagaimana dia bisa tahu dan menebak dengan tepat keberadaan pusaka Arkhataya,” kata kata sinis Shenai sangat menyudutkanku.
”Oh haruskah kau berkata seperti itu pada gadis malang ini,” keluh Prechia dramatis seraya menatap Shenai.
Shenai mendengus kesal.
Sementara Ness, Brisa dan Titus tak berkedip menatap kearahku. Dengan kaku aku membetulkan posisi dudukku dan mengangguk sopan pada Orion tanpa berani menatap sepasang mata birunya yang masih tak mau melepaskan tatapannya padaku. ”Maafkan aku yang telah memotong ucapan anda tuan Xander,” ucapku pelan seraya mengangguk hormat.
Orion menegakkan bahunya. Ditatapnya aku dengan lembut. ”Tidak apa nak. Kau tidak perlu merasa bersalah akan hal itu,” sorot matanya nampak kembali ramah.
Seisi ruangan terdiam.
”Kau dapat meneruskan cerita legenda itu pada kami sahabatku,” pinta Prechia pada Orion memecahkan kekakuan. Diikuti gumaman persetujuan yang lainnya.
Aku hanya membisu.
Orion menarik napas perlahan. ”Saudara kembar Obidia, yakni Balthazar yang kekuatan sihirnya masih dibawah kekuatan sihir Obidia membujuk Obidia untuk memanfaatkan kekuatan Arkhataya demi memperluas wilayah dan menguasai negri lain.”
Orion tersenyum bijak. ”Tidak ada yang tahu apa yang ada dipikiran Balthazar saat itu. Yang pasti keserakahan telah menutupi hati Balthazar begitu melihat kekuatan besar yang mematikan yang dilihatnya dari sang naga,” sepasang mata biru langit Orion menyorot ramah kesekeliling ruangan.
Quilla tersenyum datar kearah Orion. ”Balthazar menginginkan kekuatan cahaya Amorilla untuk memperkuat sihirnya. Energi murni yang beribu ribu tahun di jaga oleh leluhur kami di negri Amorilla, yang sangat diinginkan juga oleh kalian para penyihir untuk melengkapi kekuatan sihir kalian menjadi kekuatan yang tak terkalahkan,” tandasnya dingin.
”Aku seorang penyihir tapi aku tidak menginginkan cahaya Amorilla untuk melengkapi kekuatan sihirku,” sanggah Shenai ketus dengan wajah masam menatap lurus kearah Quilla yang nampak terkejut mendengar ucapannya.
”Shenai sahabatku, mungkin yang dimaksud putri Quilla adalah ada beberapa penyihir yang berpikir seperti itu,” sahut Prechia datar lalu mengalihkan pandangannya kearah tempat duduk Quilla.
”Tapi aku dapat meyakinkanmu Quilla, jika para penyihir di lembah Crystal tidak membutuhkan kekuatan cahaya negrimu karena kami sudah percaya akan kemampuan sihir yang kami miliki,” ucap Prechia lagi lembut.
Wajah Quilla terlihat kaku dan dingin ketika melayangkan senyum kearah Prechia.
”Lalu apa yang terjadi selanjutnya tuanku Orion,” tanya Titus canggung.
Orion tersenyum kemudian melanjutkan ceritanya. ”Setelah Obidia menolak rencananya. Balthazar menjadi sangat marah. Balthazar melanggar sumpah mereka dan mulai mempelajari sihir hitam tanpa sepengetahuan Obidia. Namun Balthazar masih merasa tidak puas jika belum mendapatkan kekuatan naga Arkhataya dari saudara kembarnya itu. Balthazar mencoba merebut gelang emas Arkhataya milik Obidia dengan paksa dalam sebuah duel sihir. Sihir Obidia bukan tandingan sihir Baltazhar. Dalam duel sihir tersebut akhirnya Balthazar terbunuh.”
 Semua yang berada di meja makan menahan napas.
Jantungku berdebar kencang dan napasku memburu. Aku tahu ini bukanlah saat yang tepat menyembunyikan apapun dari Orion. Kukumpulkan segenap keberanianku dan mencoba mengatur napasku yang terasa sesak.
”Kematian Balthazar bukan kesalahan Obidia,” getarku parau seraya mendongakkan kepala dan memberanikan diri menatap Orion.
Kini semua mata menatap kearahku dan Orion bergantian.
”Obidia sangat marah pada dirinya sendiri begitu menyadari Balthazar telah mati ditangannya,” desahku pelan.
Kuhirup udara sebanyak mungkin untuk memenuhi paru paruku. ”Aku melihatnya menangis dan berteriak marah hingga langit pun ikut berduka bersamanya. Aku bahkan masih bisa merasakan jeritan penderitaannya,” seruku dengan suara gemetar dan mata berkaca kaca menahan perasaan galau yang kurasakan pada diri Obidia saat itu, mengingat kembali mimpiku akan kepiluan Obidia yang mendalam ketika kehilangan saudara kembarnya.
”Itukah salah satu mimpi burukmu kemarin malam Calista,” desis Brisa buka suara.
Semua mata menatap aku dan Brisa bergantian penuh tanda tanya.
Kutatap Brisa ragu. ”Wanita itu sangat kehilangan saudara kembarnya Bris. Sama seperti duka yang kurasakan saat kehilangan ayahku,” tetes airmata jatuh di pipiku yang terasa panas.
Bahu Orion menegang kala membetulkan posisi duduknya. ”Apakah dia sering mendatangimu lewat mimpi mimpimu Calista,” tanya Orion tegas mencoba mendapatkan jawaban pasti dariku.
Kuanggukkan kepalaku perlahan.
Semua yang berada diruangan berdecak ramai.
Kini sepasang mata Orion menatapku tajam.
”Benar benar menggelikan! Anak itu pasti tengah bersandiwara!” seru Shenai kesal seraya berdiri dari tempat duduknya.
Semua orang diruangan kini mulai saling bertanya.
Ness menatapku dalam seakan tak ingin melepaskan pandangannya dariku.
Orion Xander berdiri dari kursinya lalu menatap Prechia dengan mata penuh isyarat.
”Kumohon tenang!” pinta Orion dengan nada tinggi.
”Sebaiknya kau hentikan cerita bohongmu itu!” seru Shenai marah.
Brisa berteriak kesal pada Shenai. ”Berhentilah memojokkan Calista,” cetusnya.
”Menurutku, kau harus menyelidiki ucapan nona Kaz yang menurutku sangat diluar dugaan, Orion.” Helena Ginka mulai mengungkapkan pendapatnya.
”Sebaiknya kita tidak memberikan pendapat pribadi yang menyudutkan nona Kaz, nyonya,” sahut Ness datar seraya menatap kearah Helena yang masih terheran heran.
”Tenang!” seru Orion mengheningkan ruang makan seketika.
Kutatap sekelilingku dengan galau. ”Aku tidak menginginkan semua ini. Tapi wanita itu selalu datang dalam setiap mimpiku,” parauku setengah terisak.
Seluruh mata tertuju padaku.
Kuberanikan diri menatap sepasang mata biru langit Orion yang menatapku lembut. ”Aku berharap kau dapat menolongku untuk menyingkirkan mimpi burukku ini, tuan Xander. Karena aku benar benar tidak menginginkannya,” kucoba menahan isak tangis yang hampir meledak di dadaku.
”Prechia sahabatku. Maukah kau menolongku, menemani nona Kaz dan membawanya keruangan kerjaku,” pinta Orion pada Prechia tanpa mengalihkan tatapannya padaku.
”Tentu saja. Dengan senang hati,” sahut Prechia seraya berdiri dari kursinya dan menghampiriku.
Dengan lembut kedua tangannya membimbingku berdiri dan kami berjalan meninggalkan ruang makan menuju ruangan kerja Orion.
Semua mata menatap kepergian kami dengan sejuta pertanyaan dibenak masing masing.
Tak berapa lama kami bertiga telah berada di ruangan kerja Orion. Kulirik Orion yang duduk disebuah kursi kayu yang di kedua sisi pegangannya terukir kepala naga. Kedua tangannya memegang sebuah buku tua yang tengah terbuka. Sementara aku hanya duduk diam dihadapannya. Sedangkan Prechia tengah bersandar disebuah pilar besar dengan wajah tertegun seolah tengah memikirkan sesuatu.
Orion meletakkan buku tua yang dipegangnya, keatas meja dihadapanku. Kemudian ia berjalan menuju perapian yang tengah menyala. Ditatapnya api kecil yang menjilat jilat potongan potongan kayu yang sebagian telah hangus dimakan api.
”Sudah berapa lama Obidia mendatangimu lewat mimpi?” tanya Orion lembut.
Kuhela napas perlahan. ”Sejak aku masih di Essendra. Dia tak selalu datang dimimpiku terkadang dia hadir dalam penglihatanku.”
Orion terdiam sesaat. ”Kau tahu Calista. Obidia telah memilihmu sebagai pewarisnya. Kehadirannya dalam setiap mimpi dan penglihatanmu adalah wujud dari pesan yang ingin disampaikan padamu jika kau adalah pewarisnya.”
Kutarik napas panjang. ”Apa yang ingin diwariskan Obidia padaku?” tanyaku sedikit enggan.
Orion mengalihkan pandangannya pada Prechia. Segaris senyum samar dan anggukan Prechia membuat Orion kembali mengalihkan pandangannya padaku.
”Kau adalah pewaris pusaka gelang emas Arkhataya,” ucap Orion pelan.
Tubuhku bergetar hebat. Jantungku berdetak tak beraturan hingga membuat dadaku terasa sesak dan tak dapat berpikir jernih.
”Tidak. Anda pasti salah tuan Xander,” sanggahku tak percaya akan ucapannya.
Kurasakan tangan Prechia mengelus bahu kananku. ”Tidak. Itu suatu kebenaran.”
Tenggorokanku terasa kering. Dan tubuhku terasa lemas seketika.
Orion tersenyum samar. ”Maukah kau mendengarkan sedikit kisah keberadaan lembah penyihir ini Calista.”
Meski aku tidak melihat hubungannya dengan pernyataan Prechia namun tetap kuanggukkan kepalaku dengan perasaan bingung.
”Jauh sebelum negri sihir selatan berdiri dan sekarang terkenal dengan nama lembah Crystal ini, ada sebuah ngeri sihir di utara bernama Ophresia. Yang dibangun diatas reruntuhan negri pimpinan Arkhataya. Negri sihir terkuat yang ditinggali oleh sepuluh kepala keluarga elite penyihir keturunan murni yang dipimpin oleh penyihir wanita bernama Seresima. Mereka hidup dalam kedamaian. Bahkan ketika tiga kepala keluarga penyihir tertua yaitu Anthea, Candela dan Wigert berniat pergi ke selatan untuk menambah koloni negri sihir utara, sebagai pemimpin yang bijaksana, Seresima menyambut baik keinginan mereka. Singkatnya Staphilas Anthea dan istrinya Phyliss memimpin rombongan kecil mereka dan pergi ke selatan.”
Orion menarik napas perlahan sebelum akhirnya kembali meneruskan ceritanya. ”Sayangnya, kedamaian Ophresia terusik karena suatu kesalahan yang dibuat seorang anak dari keluarga penyihir Molina yang secara tak sengaja telah membunuh unicorn kesayangan raja peri Amorilla, Thaddeus. Ira Molina tengah berburu elang disepanjang hutan Sphronia ketika tak sengaja melayangkan sihirnya pada unicorn kesayangan Thaddeus tersebut hingga mati.”
Orion mengalihkan pandangannya padaku.
”Kematian unicorn yang disengaja akan membawa pertanda buruk bagi bangsa elf. Oleh sebab itu raja Thaddeus memerintahkan Seresima untuk menyerahkan anak laki laki keluarga Molina itu untuk dihukum mati di Amorilla. Seresima mencoba berdamai dan menolak permintaan raja Thaddeus. Namun hal itu hanya membuat Thaddeus menjadi murka dan memerintahkan orang kepercayaannya, Odile dan pasukan cahaya pimpinannya untuk menghancurkan negri Ophresia. Demi membawa Ira molina ke Amorilla, mereka membunuh semua kepala keluarga termasuk Seresima sementara beberapa anggota keluarga yang tersisa melarikan diri dan mencari perlindungan ke selatan pada Staphilas Anthea.”
Bulu bulu halus ditengkukku meremang mendengar kisah tragis yang memilukan itu.
”Sementara itu, Staphilas Anthea yang telah menemukan sebuah lembah dengan dua buah patung raksasa yang berdiri tegak sebagai pertanda jika lembah itu pernah ditempati seseorang sebelumnya. Memutuskan untuk menetap dan mendirikan koloninya disana.”
 Aku menahan napas menunggu ia menyelesaikan ceritanya. Karena aku yakin akhir dari ceritanya akan berakhir dengan sebuah kejutan untukku.
”Patung penyihir kembar Obidia dan Balthazar. Seolah menyihir Staphilas untuk membuka rahasia lembah Crystal yang telah terkubur. Mengantarnya untuk membuka gerbang tua berkarat yang menuju ke sebuah kastil megah yang didalamnya terdapat meja batu kristal yang berkilauan. Sebuah buku jurnal tua yang telah berdebu berisi catatan sejarah lembah Crystal dan rapalan mantra sihir tingkat tinggi peninggalan Obidia, tergeletak begitu saja seolah menunggu kedatangannya.”
Orion kembali duduk dikursinya dan dan menatapku dalam.
”Dari jurnal tua milik Obidia, Staphilas mengetahui keberadaan pusaka gelang emas Arkhataya beserta kisahnya yang melegenda.”
Mataku menyipit.
”Staphilas menemukan makam batu yang terbuka berisi tengkorak Obidia dengan gelang emas Arkhataya yang masih menempel di pergelangan tulang tangan kanannya,” ujar Orion datar.
Kutatap Orion seolah tak percaya.
Orion tersenyum tipis. ”Sayangnya Staphilas tidak berhasil menemukan keberadaan naga Arkhataya yang sempat disebutkan berada di sekitar gua perbukitan dekat pinggir laut Belma. Akhirnya Staphilas memutuskan untuk menyimpan pusaka tersebut dan mewariskannya pada anaknya, yaitu Ghorfinus Anthea.”
Mendengar nama Ghorfinus yang disebutkan Orion aku jadi teringat ucapan Amara beberapa waktu lalu, Ghorfinus Anthea adalah paman dari Master Zorca. Tapi pada saat Ghorfinus tua turun dari kepemimpinannya, ia lebih memilih Orion Xander yang menggantikannya daripada keponakannya sendiri.
Dahi Orion berkerut. ”Ghorfinus Anthea tumbuh menjadi penyihir hebat dan menggantikan posisi ayahnya Staphilas, sebagai pemimpin lembah Crystal berikutnya. Staphilas memberikan gelang emas Arkhataya pada Ghorfinus dengan harapan suatu saat, salah satu keturunannya dapat membangunkan naga mematikan tersebut sebagai pelindung lembah Crystal.”
”Lalu apa hubungannya dengan aku tuan Xander?” tanyaku tak sabar.
 Orion kembali tersenyum. ”Sebentar lagi kau akan tahu.” Orion menarik napas perlahan dan kembali menatapku. ”Ghorfinus mewariskan gelang tersebut pada anak perempuannya. Sayangnya, anak perempuannya itu terbunuh dalam peperangan melawan kaki tangan Zorca sewaktu pengangkatanku sebagai pemimpin lembah Crystal oleh Ghorfinus. Anak perempuan Ghorfinus adalah Regina, ibumu.”
Mataku terasa panas dan tanpa kusadari air mata mulai menetes perlahan di pipiku begitu mendengar penjelasan Orion.
”Bahkan selama hidupnya, Regina sama sekali tidak mengetahui keberadaan benda pusaka Arkhataya tersebut. Dengan kesedihan mendalam Ghorfinus meminta istrinya Valera Coresse untuk menyimpan gelang Arkhataya untuk cucu perempuan mereka nanti, yaitu kau Calista.”
Aku benar benar kehilangan kata kata.
”Ghorfinus dan Valera mengalami kesulitan untuk menemukanmu karena Arman telah membawamu pergi dari lembah Crystal dalam keadaan bingung dan marah. Dan kami tidak pernah mengetahui keberadaan kau dan ayahmu hingga saat Prechia mengalami penglihatan jika gadis dalam ramalan yang akan membangunkan naga Arkhataya telah tumbuh besar dan masih hidup.”
Prechia menatapku haru. ”Aku melihat seorang gadis kecil berumur tiga belas tahun yang tengah ketakutan akan kekuatan sihirnya yang baru muncul. Dan wajahmu terlihat jelas dalam penglihatanku Calista.”
Aku tersenyum hambar seraya mengatur napasku. ”Sejak aku berusia tiga belas tahun aku memang selalu mengalami kejadian kajadian aneh dalam hidupku. Namun aku tidak pernah berpikir jika aku adalah seorang penyihir bahkan hingga hari ini,” gumamku pelan.
”Kau harus berjiwa besar dan menerima takdirmu sebagai seorang penyihir meski kau tak begitu menginginkannya,” tambah Prechia lagi.
Kuhembuskan napas perlahan dan memberanikan diri menatap wajah bulat Prechia. ”Aku tahu itu. Aku takkan bisa menghindari takdirku sebagai penyihir. Namun setidaknya aku punya pilihan untuk memutuskan apakah aku akan menjalaninya atau tidak,” ujarku bersikeras.
Orion tersenyum bijak. ”Itu benar. Kau punya pilihan dan hak untuk itu. Namun jika takdirmu menghendaki kau menyelamatkan kepentingan banyak orang apakah kau akan tetap menghindarinya? Sanggupkah kau berpaling dari mereka yang membutuhkan pertolonganmu?” tawar Orion lembut.
Aku tercekat seketika. Pertanyaan Orion benar benar membuatku tersudut.
Kening Orion terlihat sedikit berkerut. ”Aku tak ingin menakutimu tapi sekarang adalah waktu yang tepat bagimu untuk memenuhi takdirmu Calista. Kau tak dapat menghindarinya.”
Kuhembuskan napasku perlahan. Mengapa hidupku kini terasa begitu rumit.
”Katakan padaku tuan Xander. Apakah sudah menjadi takdirku untuk melawan Zorca?” gumamku ragu.
Orion menatapku untuk beberapa saat. Sepasang mata biru langitnya terlihat semakin terang dari tempat dudukku. ”Ketika Staphilas memberikan gelang emas Arkhataya pada Ghorfinus. Staphilas melupakan kecemburuan anak perempuan yang satunya. Yaitu Sharma, kakak kandung Ghorfinus.”
Orion melayangkan pandanganya kearah jendela yang terbuka lebar.
”Sharma yang sakit hati jatuh cinta pada seorang penyihir hitam bernama Tisco Ordoza. Tisco datang ke lembah Crystal dan mengajak beberapa penyihir muda dilembah Crystal untuk mempelajari sihir hitam dengannya. Ghorfinus tidak menyukai perbuatan Tisco. Ketika ia mengetahui niat buruk Tisco yang berniat menjatuhkan kekuasaannya. Ghorfinus menantangnya berduel. Tisco terbunuh. Beberapa sisa pengikut Tisco melarikan diri.”
”Lalu bagaimana dengan Sharma?” tanyaku antusias.
”Dengan perasaan sedih dan marah. Sharma meninggalkan lembah Crystal dan tinggal di hutan Farfasian dalam keadaan hamil muda. Ia meninggal disana saat melahirkan Zorca. Seorang peri buangan bernama Pinsky memberitahu Ghorfinus akan keberadaan bayi Zorca yang telah terlantar berhari hari ditinggal mati ibunya. Ghorfinus pun datang untuk mengambil keponakannya itu dan memutuskan untuk merawatnya.”
”Itu berarti ibuku dan Zorca hidup dalam satu atap,” desahku pelan.
Orion mengangguk. ”Benar sekali nak. Zorca tumbuh menjadi remaja yang pendiam. Valera tak pernah menyukai keberadaan Zorca dirumahnya. Hal itu membuat Zorca tak nyaman dan sering berada diluar rumah. Saat itulah diam diam Zorca mencari asal usulnya dan mulai menyukai sihir hitam dan mempelajarinya secara sembunyi sembunyi.”
Orion terdiam untuk sesaat. Seperti ada sesuatu yang tengah dipikirkannya. ”Ghorfinus berhasil mematahkan sihir Zorca. Namun rasa sayangnya pada Zorca yang telah dirawatnya sejak bayi membuat Ghorfinus mengurungkan niatnya untuk membunuh keponakannya itu. Dan membiarkan Zorca melarikan diri dengan luka di dada dan hatinya.”
Tanganku terasa dingin.
”Ghorfinus hanyalah manusia. Ketika ia melihat kegelapan dalam jiwa Zorca, ia terpaksa menyerahkan kekuasaannya padaku. Ghorfinus merasa sangat bersalah akan kepergian Zorca yang memendam amarah.” pikiran Orion menerawang.
Orion menatapku dalam. ”Calista. Aku tak ingin membebanimu dengan semua ini. Tapi kau tak bisa menghindari takdirmu.”
”Itu benar. Tapi aku tak mungkin bisa melawan kekuatan sihir hitam Zorca yang begitu hebat,” desisku putus asa.
”Kami akan mempersiapkanmu hingga saatnya tiba bagimu untuk melawan kekuatannya. Aku, Prechia dan yang lainnya akan selalu ada disampingmu untuk melawan kekuatan sihir hitam Zorca dan para pengikutnya.”
Aku tercekat. Masalah ini sepertinya menjadi sangat berbahaya.
”Aku akan menyerahkan gelang emas Arkhataya peninggalan kakekmu. Kuharap kau dapat membangunkan Arkhataya dan melindungi lembah ini dari ancaman balas dendam Zorca yang tertunda.”
Kutatap wajah tua yang terlihat letih itu dengan sejuta kebimbangan.
”Bagaimana jika aku menolak takdirku,” tanyaku ragu.
Orion terdiam untuk sesaat. ”Zorca akan terus mengejarmu. Karena kau satu satunya penyihir dalam ramalan yang akan menghancurkan kekuatannya. Zorca tidak akan membiarkanmu hidup.”
Jantungku berdebar kencang.
”Aku tak ingin menakutimu. Tapi kita tak memiliki banyak waktu mengingat Zorca dan pengikutnya sudah mulai bergerak. Kudengar kekuatan sihir hitam Zorca berkembang pesat dan pengikutnya semakin banyak. Kau harus mulai mempelajari sihir tingkat tinggi sebagai perlindungan dan mulailah menerima takdirmu.”
Orion benar. Aku takkan dapat melangkah bebas dan pergi begitu saja mengabaikan takdirku. Meski aku merengek bahkan mengemis padanya untuk menggantikan posisiku. Namun Obidia telah memilihku. Kehadirannya selama ini dalam mimpiku merupakan suatu pertanda. Jika aku harus berdiri tegak untuk menerima takdirku. Ironisnya aku harus melawan pamanku sendiri yang aku bahkan tidak pernah mengenalnya.
Keadaan semakin menyulitkan buatku. Keesokan harinya disela waktu latihan kami. Helena Ginka terlihat tegang dan memanggil seluruh pengajar untuk berkumpul diruang pertemuan. Otomatis setengah hari yang tersisa dihabiskan para murid untuk ngobrol dan bercanda.
Wajah Tristan nampak tersenyum kaku kearahku saat keluar dari ruang pertemuan. Dengan wajah puas ia mengatakan jika Rufus dan yang lainnya telah berhasil menguasai bukit Foresse. Ia juga mengatakan padaku jika Otto Cursen dan sebagian petinggi negeri bukit Foresse yang berhasil menyelamatkan diri kini telah tiba dilembah Crystal untuk meminta perlindungan Orion.
”Rufus telah bergerak. Kurasa sebentar lagi Hordos akan menjadi sasaran berikutnya,” seringai Tristan puas.
Kutatap Tristan sedikit kecewa. ”Sepertinya kau terlihat senang,” sindirku sinis.
Tristan menatapku dalam. ”Tentu saja. Kau tahu, aku bahkan dapat mencium kehancuran Orion Xander bersama jatuhnya lembah Crystal.”
”Sudah cukup Tristan. Kau benar benar keterlaluan. Tetap saja Zorca tidak berhak mengambil jiwa jiwa yang tak bersalah seperti mereka,” tunjukku pada para murid yang tengah berlalu lalang disekeliling kami.
Tristan menatapku kesal. ”Apa perdulimu pada mereka yang bahkan tak mau menjadi temanmu,” ucapnya tajam.
Kutatap Tristan dengan penuh kebimbangan. ”Akulah gadis dalam ramalan Zorca,” desahku bimbang mencoba untuk membaca ekspresi wajah Tristan.
Tristan menatapku dalam. ”Apa maksudmu?”
”Kehadiran Obidia dalam mimpiku adalah suatu pertanda. Akulah pewaris gelang naga Arkhataya yang akan mengalahkan kekuatan Zorca,” parauku pilu.
Wajah Tristan pucat seketika. Ditatapnya wajahku seolah tak percaya. ”Itu tidak mungkin,” gumamnya pelan.
”Aku adalah cucu Ghorfinus Anthea. Ibuku Regina mengganti nama belakangnya untuk melindungiku dari Zorca. Darah Anthea mengalir ditubuhku dan Zorca,” desahku dengan suara bergetar.
”Kupikir legenda itu hanya sebuah dongeng sebelum tidur untuk menakuti anak anak kecil di lembah Crystal,” seringai Tristan sinis.
Aku menggeleng lemah.
”Apakah Orion Xander telah mengetahuinya.”
Aku mengangguk. ”Dia yang mengatakan padaku jika aku tak dapat menghindar dari takdirku.”
Untuk beberapa saat kami hanya saling terdiam dan tenggelam dalam pikiran masing masing. Aku bahkan tak menyadari jika sepasang mata emas Ness nampak cemas dan mencuri pandang kearahku.
Malam itu Obidia kembali datang dalam mimpiku. Kali ini ia berdiri tegak disebuah batu besar yang sudah berlumut dan berdiri menghadap sebuah air terjun yang mengalir deras. Air terjun terbesar yang pernah kulihat. Suara airnya yang bergemuruh kencang benar benar terdengar menakutkan.
Wajah cekung Obidia terlihat sedih dengan mata lelahnya yang berkantung. Sepasang mata hitamnya yang kelam menatap dalam melihat air terjun yang terus mengalir deras. Kemudian ia bergumam sendirian,
Satu yang terpilih akan melawan satu yang dipilihnya
Satu kekuatan akan melawan kekuatan yang satunya
Satu garis darah akan tertumpah begitu pula sebaliknya
Satu takdir tak bisa melepaskan takdir yang lainnya
Sepasang mata Obidia terpejam. Lalu dengan suara pelan ia seperti tengah mendendangkan sebuah nyanyian. Seluruh tubuhku terasa merinding. Tiba tiba suaranya yang terdengar pelan seketika berubah menjadi keras dan kemudian melengking tinggi. Samar samar kudengar rapalan sihir keluar dari lengkingan suaranya, terdengar seperti,
            Bangun bangunlah Arkhataya..
            Tunjukan kesetianmu padaku..tunjukan kekuatanmu sebagai pelindungku...
            Dengar dengarlah Arkhataya...
            Menyatulah dalam pikiranku ... dengarkan perintahku...
            Kini sepasang mata kelam Obidia menatap tajam kearah air terjun itu. Ia kembali berteriak dan mencoba mengalahkan derasnya suara air yang mengalir turun,
Bangun dan datanglah dengan kekuatan sihirku..
            Bangun dan turuti perintahku...
Berikan kekuatanmu padaku, wahai Arkhataya....
Seketika suara erangan mengerikan terdengar dari balik air terjun besar itu hingga mengalahkan derasnya suara air yang mengalir. Bulu kudukku meremang. Aku dapat merasakan suatu kekuatan besar akan datang.
Sebuah kepala bertanduk dua perlahan lahan keluar dari balik air terjun. Moncongnya nampak mengeluarkan napas yang berasap. Sepasang mata hitam dengan bintik kemerahan di bola matanya kini menatap buas mengarah pada Obidia. Giginya yang besar terlihat sangat tajam dan bertaring. Ketika separuh kepala besar yang keluar dari gua yang berada dibalik air terjun itu melihat sosok Obidia yang berdiri tegak dihadapannya, ia kembali mengeluarkan suara erangan. Namun kali ini jauh lebih keras dan menggelegar seraya mengeluarkan api dari mulutnya yang besar.
Aku terbangun dengan tubuh bergetar dan keringat dingin disekujur tubuhku. Dan sepasang mata biru Brisa kembali menatapku dengan cemas.  

Writer : Misaini Indra