Protected by Copyscape Plagiarism Scanner

Tuesday 20 December 2011

Calista Kaz "Penyihir Naga Arkhataya" (Chapter 16)

16. PERTEMPURAN

Keadaan semakin genting dan menegangkan. Meski hampir seluruh penduduk lembah Crystal telah mengungsi namun kecemasan tetap meliputi hati kami karena Orion Xander belum juga kembali ke lembah Crystal.
Dan pagi itu aku terbangun dengan ide cemerlang untuk penyelesaian masalahku.
Dengan bergegas aku dan Titus memasuki kastil Crystal. Setelah pengawal memastikan Prechia telah siap menerima kehadiran kami. Seolah tak ingin membuang waktu aku langsung mengungkapkan ideku begitu melihat wajah Prechia tanpa memperdulikan permintaannya untuk menyuruhku duduk terlebih dahulu dan minum teh bersamanya.
”Bagus sekali Calista. Aku bahkan tak pernah memikirkan hal itu sebelumnya,” ujar Prechia kagum.
”Mungkin karena akhir akhir ini Obidia tak pernah mendatangiku lagi lewat mimpi. Aku hanya berpikir untuk memanggil ruhnya untuk datang dan berbicara padaku.”
”Baiklah. Kalian tunggu sebentar disini. Aku akan mempersiapkan ritual pemanggilan di aula pertemuan. Aku juga membutuhkan Helena untuk mendukungku jika terjadi sesuatu yang tak kita harapkan,” pinta Prechia.
Setelah beberapa saat aku, Titus, Prechia dan Helena Ginka duduk mengelilingi meja bundar dan diterangi lilin lilin yang menyala dan mengeluarkan aroma bunga lili.  Prechia Gold memberi isyarat pada kami berempat untuk berpegangan tangan. Dengan suara pelan Prechia memulai ritual pemanggilan arwah.
”Kami berkumpul disini untuk mencari tahu kebenaran. Kami memanggil arwah dari masa sebelum kami untuk memperlihatkan kepada kami apa yang sedang terjadi dan mencari tahu apa yang harus kami lakukan.”
Keheningan melanda sejenak. Dan aku dapat merasakan ketegangan kala melihat lilin lilin mulai bergerak meliuk liuk tertiup hembusan angin dingin yang datang seketika.
”Tunjukan pada kami apa yang dapat kami lihat. Tunjukan pada kami apa yang dapat kami dengar di masa lalu dan masa mendatang,” ucap Prechia dengan suara bergetar.
Tiba tiba kurasakan dingin diseluruh tubuhku. Aku menggigil hebat namun aku tak bisa melihat apa apa. Tubuhku terasa nyeri luar biasa. Kurasakan sesak di dada dan berusaha menghirup udara sekuat tenaga namun paru paru ini terasa tertekan. Semuanya terasa berat. Aku tidak dapat melihat dan tidak dapat mendengar apapun. Aku tidak dapat merasakan apapun juga. Aku merasa melayang dan pada akhirnya tidak dapat berpikir.
Aku terbangun oleh sentuhan lembut Prechia yang menatapku hangat.
”Bangunlah nak. Kita harus bicara,” pintanya lembut.
Masih dalam keadaan bingung aku mendapati diriku tertidur di kursi panjang diruangan kerja Orion.
”Minumlah ini untuk menyegarkan tubuhmu,” pinta Helena seraya menyorongkan secangkir air padaku. Sementara Titus bersandar dekat jendela besar seraya mendekap buku jurnal Obidia didadanya dengan wajah cemas.
”Kami telah berbicara pada arwah Obidia lewat tubuhmu,” ucap Prechia hati hati.
”Lalu bagaimana hasilnya,” napasku memburu.
Prechia tersenyum pengertian. ”Obidia mengagumi keberanianmu meski ia masih meragukan keyakinanmu.”
Aku menggeleng tak mengerti.
Prechia menghela napas. ”Keraguanmu pada takdirmu, melemahkan keberadaan ruhnya. Itulah sebabnya Obidia berhenti mendatangimu lewat mimpi mimpimu.”
Aku tertegun untuk beberapa saat. Kurasakan pipiku menghangat karena rasa malu tak tertahan pada Prechia.
Prechia menatapku. ”Arkhataya adalah seekor naga yang memiliki keistimewaan. Makhluk cerdas yang luar biasa kuat dan sangat peka. Kau harus menyatukan pikiran dan jiwamu jika kau ingin membangunkannya.”
Aku terdiam sesaat
”Kau seorang penyihir muda yang hebat Calista. Mempelajari sihir dengan mudah hanya dalam waktu yang sangat singkat. Kau memiliki semua kriteria dan kualitas sebagai pewaris pusaka Arkhataya. Berasal dari garis keturunan murni penyihir utara, dari garis keturunan Anthea. Tapi mengapa kau masih meragukan takdirmu sebagai penerus dan pelindung lembah Crystal,” wajah Prechia terlihat sedikit kecewa.
Seperti tertusuk busur panah dadaku terasa perih mendengar ucapan Prechia yang bernada peringatan.
”Meski kau telah bersumpah melindungi lembah ini bersama Arkhataya. Namun kau harus meyakinkan dirimu jika itu merupakan takdirmu. Keraguan akan takdirmu dan menganggapnya sebagai suatu beban menghalangi keinginanmu membangunkan sang naga,” ujar Prechia lagi.
Kutatap Prechia dengan tersipu. Dia benar. Aku harus berusaha sekuat tenaga menyatukan pikiran dan jiwaku dengan Arkhataya tanpa terbebani perasaan apapun.
”Maafkan aku, Prechia” desahku pelan.
”Dengarkan aku nak. Kau tidak sendirian. Kami akan selalu berada disampingmu untuk menjagamu,” yakin Prechia.
Aku mengangguk malu.
”Keyakinan dari dalam diri akan takdir mu yang akan membangunkan Arkhataya dalam tidurnya. Jika kau ingin mengendalikan Arkhataya. Kau harus membuat Arkhataya menyatu dengan pikiranmu dengan begitu ia akan menuruti semua perintahmu.”
Kutatap Prechia mantap. ”Aku akan berusaha Prechia.”
Prechia tersenyum. ”Bagus. Satu hal lagi. Jika kau berhasil membangunkan Arkhataya maka untuk menidurkannya kembali, kau harus menyenandungkan rapalan nyanyian sihir dengan sepenuh jiwamu untuk menujukkan rasa cinta dan sayangmu pada Arkhataya yang akan menjadi pelindungmu.”
Kuanggukkan kepala dengan hormat padanya.
”Obidia telah menyenandungkan syair nyanyian tidur Arkhataya lewat mulutmu. Dan kuharap kau mengingatnya Titus, karena aku dan Helena tengah berkonsentrasi menahan selama mungkin kehadiran ruh Obidia ditengah ritual kami,” seru Prechia pada Titus.
”Tentu saja Prechia,” sahut Titus mantap.
”Bagus. Aku yakin bisa mengandalkanmu. Mengingat kau adalah lulusan terbaik kami di Sandora dalam rapalan mantra,” gurau Prechia.
Titus berdehem kikuk.
Prechia kembali menatapku. ”Kau tahu, Obidia memiliki energi yang sangat luar biasa dan menyerap hampir seluruh tenaga kami,” desah Prechia diikuti anggukkan dari Helena.
Untuk yang satu itu aku sangat setuju pada ucapan Prechia.
Titus menyodorkan secarik secarik kertas padaku. Kuambil dengan ragu dan mulai membacanya dalam hati,
Dengarlah aku Arkhataya yang agung...
Pejamkan mata dan bermimpilah kembali....
Dengarlah aku Arkhataya yang hebat...
Pejamkan mata sampai aku memanggilmu lagi ....
Kutatap Titus, Prechia dan Helena dengan keyakinanku. ”Aku akan berusaha melakukan yang terbaik. Mencoba untuk melepaskan beban pikiran dengan menerima takdirku seperti permintaan Obidia.”
            ”Kami percaya kau bisa melakukan itu,” senyum Prechia lembut.
Kutatap gelang emas Arkhataya yang kini menghiasi lengan kananku. Kuucap janji dalam hati kecilku. Aku akan menyatukan jiwa dan pikiranku dengan sang naga. Karena ini adalah takdirku.
Suara keras terompet peringatan mengejutkan kami seketika. Bulu kudukku seketika meremang. Titus mengisyaratkan padaku untuk tenang.
Prechia mengangguk kearah Titus seraya berlalu bersama Helena meninggalkan aula pertemuan.
Titus menarik tanganku. ”Kita harus berlindung Calista.”
Kutepiskan tangannya lalu menatap wajah tirus itu bingung. ”Apa yang telah terjadi Titus?”
Titus mendehem pelan. ”Mereka disini,” jawabnya singkat.
Jantungku berhenti berdetak.
Titus dan aku berlari menuju benteng Sandora. Suara teriakan para ksatria terpilih dalam barisan terdengar keras dan penuh semangat. Melihat persiapan dan kesibukkan mereka membuat bulu kudukku meremang. Darren dan Ness terlihat berteriak teriak memberikan instruksi pada tiga puluh orang ksatria psychic yang nampak bersemangat.
Sementara itu Helena Ginka meminta Agnes Hearon, Evelyn Keech yang terlihat ketakutan dan tiga orang ksatria sihir untuk mengamankan para murid illusionist tingkat dasar menuju pintu rahasia keluar dari benteng Sandora menuju tepi laut Belma. Yang selanjutnya melakukan perjalanan menuju pinggiran hutan Sprhonia.
Titus menunjuk kearah Brisa dan Shenai yang tengah menyiapkan pasukan inti kastria sihir lembah Crystal yang berjumlah sekitar empat puluh orang.
Laksana ditampar wajah ini terasa memerah dan sangat malu melihat semangat yang berkobar di raut wajah mereka. Kugigit bibir untuk menyembunyikan kekalutanku.
”Aku akan mencari tempat yang aman untukmu,” suara Titus mengejutkanku dari lamunan.
Aku terpaku ditempatku berdiri untuk sesaat. Kurasa inilah saatnya. Pertempuran telah dimulai dan aku harus menyiapkan diriku menghadapi Zorca.
”Tidak,” tolakku.
Kening Titus berkerut. ”Tidak ada waktu untuk menjadi keras kepala di situasi seperti ini,” ujarnya seraya menyeret tanganku dengan paksa.
Dengan cepat kutepiskan dengan kasar.
Wajah Titus berubah garang. ”Kau belum siap menghadapi Zorca,” bentaknya marah
”Aku tidak akan bersembunyi dari mereka,” dengusku putus asa.
Titus menatapku kesal. ”Jangan bodoh, Calista. Kau hanya akan mati sia sia dan menghalangi perjuangan mereka.”
Kutatap Titus dengan gusar. Setitik airmata mengambang disudut mataku.
Titus menatapku canggung. ”Maaf aku tidak bermaksud seperti itu.”
Kugeleng kepalaku kuat kuat. ”Aku tidak akan mati. Setidaknya bukan hari ini. Biarkan aku bertempur bersama kalian,” mohonku.
Titus menghela napas panjang. Kutatap wajah tirus itu tak berkedip.
”Aku tidak akan membiarkanmu ikut dalam pertempuran ini. Tapi aku akan membawamu melihat pertempuran ini dari tempat tersembunyi,” ujar Titus mengalah.
Kuanggukkan kepala tanda persetujuan.
”Prechia pasti akan membunuhku nanti,” gumam Titus gusar.
Tapi aku tak terlalu memperdulikan ucapannya.  Dengan sekuat tenaga aku berlari mengikuti langkah para ksatria di depanku menuju gerbang utama pintu masuk lembah Crystal.
Dua puluh langkah dari gerbang besi pintu masuk lembah kulihat Prechia berdiri tegak mengenakan pakaian kebesarannya yang berwarna emas lengkap dengan pedang dipunggungnya. Prechia Gold berdiri gagah diantara Helena Ginka dan Shenai Readick dengan mimik tegang dan siap untuk berperang. Sementara itu Brisa berdiri dibelakang mereka, memimpin pasukan inti para ksatria sihir dalam posisi siaga. Sementara di lambung kiri lembah Crystal, Ness Ferin memimpin sepuluh orang ksatria psychic dan diujung lambung kanan Darren dengan gagah berdiri tegak memimpin sepuluh orang ksatria psychic pilihan yang juga siap untuk bertempur.
Titus menarik lenganku pelan menjauhi arena pertempuran. ”Sebaiknya kita menunggu disini,” ujarnya seraya membimbingku berdiri dibawah rindangnya pohon oak besar yang agak jauh dari tempat para ksatria berdiri. Posisi kami cukup aman berdiri dibalik lebatnya hamparan pakis hutan yang lebat.
”Apa yang mereka tunggu, Titus?” bisikku.
”Mereka menunggu kedatangan Rufus dan kaki tangannnya,” sahut Oggie yang tiba tiba saja berdiri disamping kami dengan sepasang matanya yang menatap waspada ke depan.
Titus berdehem pelan. ”Lalu mengapa kau masih berada disini Kircey. Bukankah seharusnya kau berada disana bersama mereka.”
Oggie menatap Titus sekilas. ”Oh itu. Yah begini master Titus. Prechia telah memintaku untuk mengawasi Calista jika nanti keadaan menjadi sulit terkendali.”
”Kurasa itu tidak perlu. Karena semua itu sudah menjadi tugasku,” tegas Titus.
”Maafkan aku master Titus. Aku hanya menjalankan perintah Prechia karena kemungkinan anda akan sangat membutuhkan bantuan untuk melindungi keselamatan Calista,” bantah Oggie bersikeras.
Titus mendengus kesal. ”Seharusnya Prechia tidak perlu meragukan kemampuanku seperti itu.”
Belum sempat Oggie menyahut. Gerbang besi pintu masuk utama lembah Crystal terlempar dua puluh langkah dan jatuh tepat dihadapan Prechia. Dengan cepat Brisa memberi isyarat pada sepuluh orang ksatria sihir lembah Crystal berjubah putih berlari ke depan membentuk barisan untuk melindungi Prechia. Sementara Helena dan Shenai nampak mengepalkan kedua telapak tangan mereka dan memusatkan pandangan ke depan dengan waspada.
Rufus Black tersenyum puas dan menatap sinis kearah Prechia. Dibelakangnya berdiri Herzog Mandal, Chaides Borzy, Amara Pedigo dan Tristan Readick yang menatap lurus dengan mimik tak kalah tegang.
Herzog berteriak garang dan memberi isyarat dengan tangannya pada tujuh penyihir berjubah hitam untuk maju. Dengan cepat sepuluh ksatria sihir di depan Prechia melayangkan mantra follones hingga membuat tiga diantaranya terhempas keras dan jatuh tertelungkup ke tanah. Namun lima dari ksatria sihir lembah Crystal menderita luka bakar terkena serangan sihir api dari penyihir berjubah hitam pimpinan Herzog Mandal itu. Herzog tertawa senang dengan suara paraunya yang menyakitkan telinga.
”Serahkan gadis itu padaku!” teriak Rufus menggelegar menatap Prechia dengan garang seolah akan menerkamnya.
”Beraninya kau datang ke negri kami dan memerintahku seperti itu!” seru Prechia Gold tak kalah lantang.
Rufus tertawa keras diiringi tawa jelek piaraannya, Herzog Mandal.
”Sebaiknya kau pergi atau kami akan menghancurkan pasukanmu yang tak berguna itu,” teriak Shenai marah. Sekilas mata ungunya melirik kearah Tristan dengan luapan emosi.
”Oh ho Shenai Readick. Lama sekali kita tidak bertemu,” tawa Rufus keras menatap sinis kearah Shenai.
Tristan membuang pandangannya. Tak berani menatap kilatan kemarahan di kedua mata ibunya.
”Seharusnya kau lebih pintar dan bergabung denganku seperti yang dilakukan putra kesayanganmu, Tristan,” ejek Rufus puas.
Shenai menahan napas sedalam mungkin berusaha untuk tenang dan tidak terpancing ucapan Rufus. Kutatap wajah kaku Tristan dari kejauhan. Untuk sesaat aku merasakan kesedihan mendalam diantara sepasang mata ungunya yang gelap.
”Zorca tidak ada bersama mereka,” ucap Oggie pelan.
”Dia pasti datang. Penyerangan ini sudah direncanakan olehnya,” gusar Titus seraya melayangkan pandangan ke segala arah.
Untuk beberapa saat aku jadi sulit bernapas begitu mendengar ucapan Titus.
”Tinggalkan lembah ini Rufus. Atau kami akan melakukannya dengan kekerasan!” perintah Prechia tegas seraya melirik Shenai yang berdiri disebelah kirinya.
Raut wajah Rufus kini berubah beku dan tajam. ”Kalau begitu. Lakukanlah!”
Dengan teriakan keras Shenai mengacungkan kedua tangannya ke udara yang seketika itu juga mengeluarkan gulungan asap hitam tebal dan berputar sangat cepat. Lebih cepat dan kencang dari yang pernah dibuat Tristan. Asap itu bergulung cepat mengarah kepada Rufus yang langsung melompat cepat untuk menghindarinya.
”Tristannn!” teriak Rufus seraya mengacungkan tangan kanannya kearah Shenai.
Dengan gerakan satu tangan Tristan mengeluarkan sihir asap yang sama dan ditujukan pada ibunya sendiri, Shenai. Suara menderu kencang terdengar menggelegar begitu asap hitam Tristan beradu dengan gulungan asap buatan Shenai hingga terjadi tarik menarik. Seketika itu juga udara disekeliling mereka menderu kencang dan menghancurkan semua benda yang berada didekatnya.
Herzog mengarahkan kedua tangannya yang memercikan api kearah Prechia namun dengan cepat Brisa membuat perisai es di depan Prechia. Sementara itu Chaides Borzy melayangkan jemari jemari pendeknya kearah tiga orang ksatria psychic lembah Crystal yang langsung terlempar sepuluh langkah oleh hempasan bulir air dingin Chaides tanpa sempat membalas. Mereka terbaring kaku ditanah.
Darren segera membalas dengan melayangkan pukulan jarak jauh kearah Chaides yang langsung terjerembab jatuh berbarengan dengan Ness yang juga melancarkan serangan kearah Amara Pedigo yang nampak kurang bersemangat hingga akhirnya jatuh terjerembab tepat disamping Chaides.
Melihat itu Rufus sangat marah dan langsung merapalkan sihir dengan cepat. Percikan api keluar dari kedua tangannya dan dengan murka dilemparkan kearah Ness dan Darren. Dengan lincah Ness berguling menghindari serangan sihir Rufus namun sayangnya, Darren terkena dibagian bahu kirinya. Seketika itu juga Darren berteriak kesakitan akibat luka bakar tersebut. Brisa berlari lincah kearah Darren yang tengah terkapar menahan rasa sakit. Lalu menarik tubuh kekarnya ketempat aman dan segera merapalkan mantra penyembuh ke bahu kiri Darren.
Chaides yang kini sudah menguasai diri berdiri tegak dan dengan marah menyerang lima orang ksatria sihir lembah Crystal yang baru saja datang bergabung dengan hujaman bulir bulir airnya yang membekukan. Seketika itu juga mereka terpental jatuh. Tiga orang diantaranya langsung membeku.
Rufus tidak tinggal diam. Dengan marah ia mengeluarkan bola api yang cukup besar dari kedua telapak tangannya dan mengarahkannya pada Prechia. Prechia segera mengacungkan pedangnya mengarah pada Rufus Black dan dengan gerakan memutar ia mengeluarkan sihir ilusinya. Sinar menyilaukan keemasan membutakan pandangan Rufus yang berteriak marah hingga bola api yang dilemparkan Rufus jadi tak terarah dan hanya mengenai ujung boots Prechia.
”Serahkan dia padaku Rufus. Aku harus membalas rasa sakitku karena ia telah  melukai separuh wajahku!” teriak Herzog mengambil alih serangan Rufus pada Prechia,
Seketika itu aku menelan ludah. Aku tak menyangka jika sayatan luka dipipi kiri Herzog ternyata disebabkan oleh pedang Prechia.
Titus terlihat resah. Ditatapnya Oggie penuh harap. ”Aku akan membantu mereka. Dapatkah kau menjaga Calista untukku.”
”Tentu master Titus. Memang sudah jadi tugasku,” sahut Oggie gugup.
Kutatap Titus cemas. ”Berhati hatilah Titus.”
”Jangan khawatir. Simpan jurnal ini, Calista. Jangan sampai jatuh ketangan mereka,” ujarnya seraya menyorongkan jurnal Obidia ketanganku.
Secepat kilat Titus berlari keluar dari persembunyian kami. Dan langsung melancarkan sihir angin kearah Chaides yang nampak terkejut akan kehadiran Titus. Seketika itu juga butiran air Chaides pecah dan tak sengaja mengenai penyihir penyihir berjubah hitam yang tengah berada disekitar Chaides. Mereka langsung jatuh dan membeku.
Dilain tempat Amara Pedigo berteriak marah dan menyerang Ness dengan mengerahkan sihir panggil. Lima burung gagak beterbangan dan menukik tajam tepat diatas kepala Ness. Dengan lincah Ness menghindar seraya mengerahkan kekuatan telekinetisnya dengan melancarkan pukulan jarak jauh kearah burung burung gagak tersebut. Seekor burung gagak jatuh dan mati seketika. Namun empat lainnya kembali menyerang dan menukik tajam kesekeliling tubuh Ness dan siap mencabik cabik setiap bagian tubuh laki laki tampan tersebut. Belum sempat Ness mengeluarkan kekuatan telekinetisnya lagi sebuah cahaya terang yang cukup membutakan pandangan datang tiba tiba. Keempat burung gagak tersebut tiba tiba saja jatuh bergelimpangan tak bernyawa ke tanah.
Aku berusaha melihat si pembuat cahaya yang menyilaukan tersebut. Namun sia sia. Sinar terang itu terlalu silau untuk ditembus oleh pandangan mata. Akhirnya setelah beberapa saat aku dan Oggie berhasil mengetahui jika pembuat cahaya yang menyilaukan itu adalah Orion Xander yang duduk diatas punggung pegasus yang tengah mengepakkan kedua sayapnya dengan gagah. Wajah Orion terlihat tegang seraya memegang tongkat sihirnya. Kilauan batu kristal yang ada diujung tongkat sihirnya, nampak masih mengeluarkan cahaya terang yang cukup menyilaukan pandangan bagi siapapun yang memandangnya.
Kuhembuskan napas kelegaan. Orion telah kembali dari Amorilla. Kami pasti selamat. Batinku.
Rufus mengangkat satu tangannya, memberi isyarat pada para penyihirnya untuk menghentikan pertempuran sementara. Chaides, Amara, Tristan, Herzog dan beberapa penyihir berjubah hitam yang tersisa bergerak mundur perlahan.
Orion tersenyum bijak dan menatap tajam kearah Rufus Black yang terlihat tegang. ”Aku tidak akan pernah membiarkan lembah Crystal jatuh ketanganmu, Rufus!” seru Orion mengingatkan.
Rufus tertawa kasar. Namun dengan cepat menguasai diri lalu menatap Orion dengan pandangan rendah yang sangat melecehkan. ”Sayang sekali Orion. Karena hari ini adalah hari jatuhnya lembah Crystal di tangan master Zorca.”
Orion terseyum datar. ”Dimana Zorca?”
Rufus kembali tertawa seolah kata kata Orion terdengar lucu ditelinganya. Ditatapnya Orion dengan penuh kebencian. Belum sempat ia menyahut. Sebuah suara berat dan dalam terdengar bergetar. Membuat bulu bulu halus di tengkukku meremang.
”Orion Xander!!” serunya dalam dan sedikit parau.
Semua mata menatap kearah suara itu. Sosok laki laki berjubah hitam panjang berdiri tegak menatap lurus kearah Orion. Perawakannya yang tinggi besar dan garis wajahnya yang terlihat cukup tampan terlihat sangat pucat seputih mayat seolah ia baru saja dibangkitkan dari kematiannya. 
Aku terkesiap. Seluruh tubuhku terasa bergetar hanya dengan mendengar suaranya. Itukah Zorca. Meski aku tidak benar benar melihat wajahnya dalam mimpiku namun aku dapat mengenali sosoknya yang tinggi besar dengan jubah hitamnya yang mendesing berkibaran tertiup angin dan menjuntai hingga ke tanah. 
Orion segera turun dari punggung pegasus dengan elegan. Perlahan ia mengelus punggung kuda gagah tersebut dan membisikkan sesuatu ditelinganya. Dengan cepat pegasus berbalik arah lalu terbang cepat dan meringkik di udara meninggalkan tuannya.
Orion menatap tajam kearah Zorca Anthea. Sementara kami hanya terdiam tegang dan menahan napas menunggu apa yang akan terjadi berikutnya.
”Kau telah membuat kerusakan dan menimbulkan kesedihan bagi banyak orang Zorca!” seru Orion bijak. Sepasang mata biru langitnya menatap tajam kearah Zorca.
Zorca tertawa lantang. Ditatapnya wajah Orion penuh rasa dendam dengan kebekuan diwajah pucatnya. Sepasang mata hitamnya menyorot penuh kebencian yang sangat besar pada Orion. ”Kau dan Ghorfinus yang membuatku seperti ini. Dan hari ini lembah Crystal akan membayar semuanya jika kau tidak menyerahkan anak dalam ramalan itu padaku,” senyumnya beku.
Orion tersenyum bijak. ”Aku sangat menyesal akan kesedihanmu. Tapi kau tidak bisa menyalahkan Ghorfinus atas pengangkatanku. Bersikaplah ksatria dan terima takdirmu, Zorca,” tukas Orion dingin.
Zorca tertawa keras. Suara tawanya terdengar marah. ”Selalu saja berusaha terlihat bijak,” seringainya melecehkan.
”Kami akan mempertahankan lembah ini dan tidak akan menyerahkan apapun padamu!” seru Orion keras memberikan peringatan terakhir pada Zorca.
Zorca menyeringai kejam. ”Keinginanmu akan kukabulkan!” teriak Zorca seraya menyilangkan kedua tangannya dan mulai merapalkan mantra. Seketika angin kencang menderu disekeliling kami dan menerbangkan apa saja yang ringan ke udara. Orion memegang tongkat sihirnya kuat kuat dan mengangkatnya ke udara. Dan dalam waktu yang bersamaan baik Zorca dan Orion saling berteriak dan menyerukan mantra serangan. Sinar putih menyilaukan layaknya cahaya kilat keluar dari tongkat Orion dengan suara menggelegar. Kilat itu beradu dengan sambaran api yang keluar dari kedua tangan Zorca yang terarah pada Orion hingga menimbulkan suara ledakan besar yang menggetarkan tanah.
Prechia mengacungkan tangan kanannya ke udara dan memberikan perintah penyerangan. Seketika itu juga Shenai dan Titus bergerak cepat melayangkan sihir mereka kearah Rufus dan Herzog. Beberapa ksatria sihir lembah Crystal pun telah terlibat duel dengan penyihir berjubah hitam pengikut Zorca.
Dengan panik Oggie menarik lenganku untuk berbaring merunduk diantara lebatnya hamparan pakis liar disekitar pohon oak raksasa ini. Tubuhku tiba tiba terasa lemas dan tak berdaya demi melihat pertempuran dihadapanku.
”Tetaplah disini Calista. Aku akan membantu mereka!” seru Oggie seraya melompat keluar dari persembunyian kami.
Dadaku berdegup kencang. Rasa takut mulai datang menyelimutiku. Dari kejauhan terlihat Orion nampak kewalahan menahan serangan api Zorca yang semakin besar dan berkobar kobar. Hanya dalam waktu sekedip saja Orion terhempas kencang lima langkah kebelakang.
Zorca tertawa keras dan kembali bersiap untuk menyerang Orion yang terlihat mencoba menguasai diri. Dengan sigap Prechia melompat kearah Zorca seraya menghunus pedangnya namun sayangnya, Zorca lebih cepat. Dengan teriakan kemarahan ia melemparkan bola api yang berkobar dari tangan kanannya kearah Prechia. Malang bagi wanita gemuk itu yang menjerit seketika dan tersungkur ke tanah. Sementara pedangnya terlempar keras jauh dari jangkauannya.
Senyum beku kemenangan terlihat di wajah pucat Zorca Anthea yang seputih mayat. Dengan luapan emosi ia meraung dan mengerahkan seluruh sihir apinya ke segala arah. Api mulai berkobar membakar pepohonan dan beberapa rumah penduduk yang sudah ditinggalkan penghuninya. Bau hangus tercium dimana mana. Sepetinya Zorca benar benar berniat membumi hanguskan lembah Crystal.
Tiga orang ksatria sihir lembah Crystal mengepung Zorca dan berusaha melancarkan mantra pelumpuh namun sia sia. Zorca Anthea bukan tandingan mereka. Kekuatan sihir Zorca terlalu kuat dan berbahaya. Hanya dalam hitungan sekejap mereka tewas terpanggang sihir api Zorca.
Melihat serangan para ksatria lembah Crystal kearah Zorca. Rufus segera bergerak maju untuk melindungi tuannya namun dengan gagah berani Titus melayangkan sihir anginnya tepat kearah laki laki berjubah hitam itu. Rufus terhuyung dua tiga langkah kebelakang. Namun dengan sigap kembali berdiri tegak dan melancarkan serangan balik dengan sihir api yang keluar dari jemarinya. Yang seketika itu langsung dipadamkan Titus dengan sihir anginnya.
Sementara itu Chaides melemparkan buliran buliran air besar yang mnegelembung dan mengenai beberapa ksatria psychic pimpinan Ness termasuk Oggie yang langsung terjebak dalam gelembung air yang dingin dan membekukan itu. Oggie berteriak dan memukul sekuat tenaga gelembung air yang sulit dipecahkan itu. namun sia sia. Untuk beberapa saat ia merasa sesak dan memegangi lehernya dengan kedua tangan kecilnya. Oggie akhirnya menyerah dan pingsan karena rasa dingin yang tak tertahankan dan sesak napas berat.
Brisa melompat sekuat tenaga dan mengeluarkan hujaman batu es dari telapak tangannya untuk memecahkan balon air buatan sihir Chaides. Hujaman batu es yang tajam itu berhasil memecahkan balon air yang mengurung Oggie. Seketika itu juga tubuh mungil Oggie jatuh ke tanah dan seluruh pakaiannya basah kuyup. Wajah Oggie terlihat beku dan membiru. Ness menghampiri Oggie dan menggendongnya dibahu namun sayang Tristan diam diam melancarkan sihir asapnya hingga membuat tubuh Ness tergulung cepat ke udara dan seketika itu juga tubuh Oggie terhempas dari bahunya dan jatuh ke tanah. Sementara tubuh Ness tak berkutik melayang diudara dalam balutan asap hitam yang menderu.
Mata ungu Shenai Readick yang gelap terlihat marah. Dengan satu hentakan ia mengeluarkan asap hitam sepekat milik Tristan. Gulungan awan Shenai menghantam gulungan asap hitam Tristan yang membelit Ness. Kedua gulungan asap hitam yang saling menghantam itu buyar dan asapnya saling berpendar. Ness pun terbebas dari belitan gulungan asap Tristan. Sebelum tubuh kekar Ness terhempas ke tanah Shenai merapalkan mantra avilos yang membuat tubuh Ness melayang layang di udara untuk sesaat sebelum akhirnya menyentuh tanah dengan perlahan. Kedua mata Ness masih terpejam. Dengan cepat Shenai menepuk pipi Ness dan merapalkan mantra untuk menyadarkannya.
Sementara api mulai berkobar kencang dan membakar sekeliling kami. Zorca Anthea berteriak keras melayangkan kobaran api yang lebih besar dari kedua tangannya hingga membuat sebagian dari ksatria lembah Crystal yang tengah bertempur langsung tewas seketika. Bau gosong daging terpanggang dan teriakan kematian bergema di sekelilingku.
Napasku sesak dan aku tak sanggup membuka mata menyaksikan pemandangan mengerikan itu dari balik rimbunnya dedaunan pakis. Tubuhku terasa lemas dan kakiku sedikit bergetar. Kubuka kedua mataku perlahan dan melihat Zorca nampak memberikan isyarat pada Rufus untuk mundur. Zorca Anthea berdiri tegak dengan tatapan kemenangan. Wajah pucatnya tersenyum samar.
”Keluarlah penyihir naga Arkhataya atau aku akan membunuh mereka semua!” teriakan Zorca bergaung keseluruh lembah hingga menciutkan nyaliku.
Dan hal yang paling mengerikan mulai membayangiku. Zorca Anthea mengayunkan tangannya ke udara seolah tengah mengisyaratkan pada sesuatu untuk datang. Wajah pucatnya tersenyum kejam. Dan bibir tipisnya kini merapalkan sebuah mantra bernada seperti senandung.
Jantungku berdebar kencang. Sepertinya Zorca tengah merapalkan nyanyian sihir untuk memanggil makhluk mematikan dari neraka untuk menghancurkan lembah ini.
Tanpa kusadari aku telah menjatuhkan jurnal sihir Obidia ke tanah.


Writer : Misaini Indra
Illustration by : Ketka.deviantart.com