Protected by Copyscape Plagiarism Scanner

Monday 25 July 2011

Calista Kaz "Penyihir Naga Arkhataya" (Chapter 6)

6. JATUH CINTA
Hari masih pagi namun matahari bersinar lebih terik dari biasanya. Kulangkahkan kaki dengan malas diantara rerumputan yang mulai mengering. Awalnya tubuhku terasa hangat namun menjelang siang panasnya terasa membakar kulit dengan udara kering yang bertiup kencang membawa debu debu yang beterbangan.
Kulirik Tristan yang nampak termenung dalam langkah langkahnya.
”Bisakah kita tidak melewati hutan lagi,” tanyaku hati hati.
 Tristan tersenyum samar. ”Cobalah untuk bersabar. Bukankah perjalanan melewati hutan sesuatu yang menyenangkan.” Ia mengedip.
Kusentakkan bahuku dengan kesal. ”Aku lelah Tristan dan aku butuh air segar untuk membersihkan diri. Tubuhku terasa kotor dan aku terlihat berantakan,” rengutku dengan pandangan memohon.
Alis matanya bertaut. ”Tapi kau tetap terlihat cantik dimataku,” bisiknya ditelingaku.
Dengan cemberut kutatap wajah tampannya yang berusaha keras menahan tawa. ”Aku benar benar muak dengan perjalanan dari hutan ke hutan ini. Kakiku lelah harus berjalan diantara dataran yang turun naik ini,” dengusku histeris.
Tristan tergelak. Kemudian mengalihkan pandangannya padaku. ”Aku bisa menggendongmu jika kau mau,” tawarnya menggodaku.
Wajahku merah padam. ”Aku serius. Kumohon bicaralah pada Chaides untukku,” tukasku tersipu.
Untuk sesaat Tristan terdiam seolah tengah mempertimbangkan permintaanku. ”Baiklah. Aku akan coba bicara padanya,” akhirnya ia mengalah dan menatapku dengan sepasang mata ungu gelapnya yang menawan.
Aku hampir memekik kegirangan begitu mengetahui Chaides akhirnya mau mengikuti keinginan Tristan melewati jalan utama. Sepanjang perjalanan Amara mengoceh senang dan memelukku berkali kali, menunjukkan rasa bahagianya.
Tapi kami salah. Chaides Borzy bukanlah tipikal orang yang mau menyenangkan seseorang dengan mudah. Ketika kami, seharusnya melewati kota Hordos, Chaides memilih menghindarinya dengan alasan terlalu ramai. Akhirnya kami terpaksa mengambil rute yang lebih panjang dengan melewati sebuah kota kecil diantara deretan bukit batu dekat pertambangan yang sangat gersang. Sungguh suatu perjalanan yang menyiksa.
Aku merengut marah. ”Orang itu benar benar keterlaluan. Apakah ia sengaja melakukan ini karena aku yang memintanya,” ujarku setengah menjerit.
”Sudahlah Calista, jangan mengeluh lagi. Aku tak ingin kembali bersitegang dengan Chaides karena permintaanmu ini,” gusar Tristan.
”Sepertinya aku harus membeli pakaian baru. Kuharap kita menemukan satu atau dua buah kios yang menjual gaun gaun indah seukuranku di kota ini,” gumam Amara sendirian. Kulirik wanita gemuk itu dengan perasaan kacau. Sepertinya dia benar benar serius menanggapi semua ucapanku semalam.
Kukatupkan bibirku rapat rapat karena rasa kesal luar biasa. Sepertinya kami tidak memiliki pilihan selain terus berjalan di cuaca yang panas tanpa perlindungan sebatang pohon pun. Benar benar keterlaluan. Jika aku punya kekuatan sihir akan kubalas laki laki cebol itu atas semua perbuatannya.
Kini kepalaku terasa pusing. Aku dapat merasakan panas luar biasa akan teriknya sinar matahari yang berada tepat diatas kepalaku. Jalan panjang yang berbatu didepanku nampak mengeluarkan pandaran cahaya bergelombang. Samar samar pandanganku menjadi buram. Tanpa kusadari aku sudah tersungkur diatas dataran kasar dan pandanganku menjadi gelap seketika.
Aku tersadar oleh belaian lembut Tristan dipipiku. Wajah tampannya menyiratkan kekuatiran yang dalam. ”Kau sudah merasa baikkan,” tanyanya lembut.
Pipiku terasa hangat. Kualihkan wajahku dari tatapannya. Aku tak ingin ia melihat rona dikedua pipiku. Tristan kembali membelai wajahku dengan kedua tangan kokohnya dengan lembut. ”Tatap aku Calista. Aku perlu tahu jika kau akan baik baik saja.”
Aku mencoba untuk bangun. Dengan cekatan Tristan menopang tubuhku yang memang masih terasa lemas. Lalu menyandarkan tubuhku ke sebatang pohon yang hampir mengering. ”Chaides memutuskan untuk beristirahat setelah melihat kau pingsan,” senyumnya datar.
      Kulirik Chaides dengan ekor mataku yang penuh kekesalan. ”Aku benci dia,” desisku.
Tristan menggenggam tanganku diantara kedua tangannya. ”Aku sangat mencemaskanmu.” Sorot matanya semakin meruntuhkan hatiku. ”Berhentilah mencemaskan aku, Tristan. Lagipula aku juga akan mati nanti,” dustaku sinis.
Dengan sedikit kasar Tristan memegangi bahuku dengan paksa. ”Kau tidak akan mati karena aku akan memperjuangkan hidupmu,” bentaknya marah. Wajahku terasa panas. Aku tidak menyukai sikap kasarnya yang selalu datang tiba tiba.
Tristan mendesah. ”Maaf,” ujarnya kikuk seolah mengetahui rasa ketidaksenanganku atas sikapnya.
Kedua mata kami saling bertatapan. Entah mengapa sebuah dorongan yang kuat di hati, memerintahkan otakku untuk mencondongkan tubuhku perlahan dan menempelkan pipiku di dadanya yang keras. Dengan lembut Tristan memelukku dan menekan wajahnya di rambutku yang berantakan. Kami terdiam dan hanya menikmati kebersamaan ini. Aku bahkan dapat merasakan desah napasnya dikupingku.
”Aku akan selalu melindungimu,” rahangnya mengeras.
Kutegakkan tubuhku lalu menatapnya sendu. ”Dengan apa? Sihirnya terlalu kuat untuk kau lawan,” parauku.
Tristan terdiam.
”Aku tak ingin membebanimu untuk memperjuangkan hidupku. Jika memang sudah takdirku untuk mati setidaknya aku bisa tenang karena tidak perlu melibatkan jiwa yang lain,” desahku galau.
Tristan membuang pandangannya jauh ke depan. Kedua mataku mulai berkaca kaca. Kini wajah tampannya menatapku iba. ”Kau benar benar gadis keras kepala yang rapuh,” senyum Tristan lembut seraya meraih tubuhku kembali dalam pelukannya.
Dadaku bergetar kencang. Tristan yang selama ini kuketahui selalu bersikap labil dan sedikit kasar, kini menunjukkan sikap yang berlawanan. Dengan lembut ia mengusap punggungku seolah mencoba untuk menenangkan perasaanku.
Aku terhanyut.
Tubuh kekarnya memelukku seolah mengatakan akan selalu melindungiku.
”Berjanjilah untuk tidak menangis lagi. Aku benar benar tak tahan melihat air matamu itu,” bisik Tristan lembut.
Aku mengangguk malu malu.
Kini Tristan mengendurkan pelukannya. Ditatapnya kedua mataku dengan sepasang mata ungunya yang menyorot tajam. ”Aku akan berusaha sekuat tenagaku untuk melindungimu meski aku harus kehilangan nyawaku,” desahnya pelan.
”Jangan membuat janji yang takkan bisa kau penuhi,” protesku manja.
Tristan tersenyum hambar. Kini tangannya mulai membelai rambutku.
Kupejamkan kedua mataku dan menikmati setiap belaiannya. ”Lalu bagaimana dengan ketenangan jiwa ayahmu. Apakah kau akan melupakannya begitu saja hanya untuk melindungiku?” ucapku tak sadar.
Tubuh Tristan menegang. Kini ia melepaskan pelukannya dan menjaga jarak denganku. Ada rasa sesal menyelimutiku telah melontarkan pertanyaan yang sangat crucial itu padanya.
”Jangan memaksaku untuk memilih sekarang,” dengusnya kesal.
Wajahku memerah. ”Maaf,” desahku pelan.
Tristan menggeleng lemah. ”Lupakan saja,” sahutnya menerawang.
Tiba tiba ada perasaan takut kehilangan belaian dan perhatiannya padaku. Kupandangi wajahnya penuh penyesalan. Sadar akan tatapanku, ia membalasnya dengan sorot matanya yang tajam. ”Kau mempercayaiku?” tanyanya serius.
”Apakah semua ucapanmu itu adalah perasaanmu yang sesungguhnya,” sahutku balik bertanya.
Kedua matanya menyipit. Lalu menyorot dalam memandangiku.
Jantungku berdebar hebat. ”Berhentilah menatapku seperti itu,” jengahku.
Ia memutar bola matanya. ”Baiklah aku takkan menatapmu lagi kalau begitu,” senyumnya melebar, memamerkan deretan giginya yang sempurna.
”Kumohon. Jangan berhenti melakukan itu,” ralatku malu malu.
Tristan tertawa keras.”Mengapa kau berubah pikiran?”
”Karena.. karena aku menyukainya.”
Segurat senyum tergambar jelas diwajah tampannya. ”Hanya tatapanku kah yang kau suka.”
”Jangan memaksaku,” rengutku manja.
Ia kembali tertawa. Wajahku makin memanas.
”Maaf. Aku tak bermaksud mentertawakanmu,”desisnya.
Kini ia memegang wajahku. Tatapan di matanya terlihat sedikit liar. Kuberanikan diri untuk membalas sorotan mata ungunya. Memperhatikan hasrat yang berkobar kobar di dalamnya namun sayangnya hanya sesaat saja. Tatapannya padaku kini berubah melembut perlahan. 
”Sejak pertama melihatmu di Essendra. Aku sudah menyukaimu. Aku sendiri tak mengerti bagaimana menjelaskannya, kurasa Chaides benar. Kau memiliki semacam pesona yang membuat siapapun tak sanggup berpaling darimu meski untuk sesaat.  Aku bahkan tak dapat menolak pesona itu,” desahnya resah.
Wajahku merona. ”Aku menyesal telah membuatmu merasa seperti itu,” sahutku bersungguh sungguh.
Bibirnya menyunggingkan senyum indah hingga membuat jantungku nyaris berhenti berdetak. ”Tapi aku tidak. Aku senang bisa merasakannya,” sahutnya lembut.
Saat ini wajah tampannya terlihat lebih cerah dan menawan. Kemudian dengan penuh hasrat jemarinya menyentuh lembut bibirku, membuat seluruh tubuhku bergetar. Ditelusuri bibirku dengan jemarinya dan dengan gerakan perlahan bibir tipisnya yang dingin menekan lembut bibirku. Darahku mendidih, napasku terengah. Tanpa kusadari, jemariku meremas rambut hitamnya, sementara ia mencengkeram tubuhku ditubuhnya. Hasrat kami kian berkobar dan saat bibirku membuka aku dapat merasakan bibirnya mematung dibawah bibirku. Sepertinya ia mencoba untuk menahan diri dan memberikan ruang.
”Aku tak ingin kau berpikir aku memanfaatkan keadaanmu,” suaranya sopan dan terkendali.
Kuatur napasku dan bersikap wajar. ”Tak pernah terlintas dibenakku berpikir seperti itu tentangmu,” sahutku getir.
Ia kembali memamerkan senyumnya yang menggoda. Kulirik mata ungunya dengan kesal karena tidak menyelesaikan ciuman kami.
Sosok gemuk berjubah hitam nampak berdiri mematung tak jauh dari tempat kami duduk. Ia terlihat canggung dan sedikit resah. ”Aku tak ingin menganggu tapi Chaides bilang sebaiknya kita meneruskan perjalanan, Tristan,” dahi Amara berkerut menatap Tristan sedikit kikuk seraya melirik kearahku.
”Tentu saja, tak masalah. Tapi kali ini aku akan meminta Chaides untuk bermalam disebuah penginapan yang layak,” sahut Tristan dingin, ekor matanya melirikku lembut.
Tristan berhasil. Chaides menuruti semua permintaannya tanpa banyak bertanya. Sulit membaca apa yang terlintas dibenak Chaides karena ia tidak menunjukkan ekspresi kekesalan sama sekali ketika menatap wajah cerahku.
Setelah membersihkan diri aku mendatangi ruang makan seperti permintaan Tristan. Disana hanya ada Chaides dan Tristan yang tengah duduk diam dan menikmati secangkir minuman dengan pikiran masing masing.
”Selamat siang,” sapaku kaku.
Tristan segera menarik kursi untukku. ”Sebaiknya kau segera makan sesuatu untuk memulihkan tenagamu.”
Meski terlihat tak perduli namun Chaides nampak melirik kearah kami sekilas.
Setelah mengambil posisi duduk yang nyaman kutatap Tristan. ”Dimana Amara.”
”Ia keluar untuk mencari sesuatu,” sahut Tristan.
”Sebaiknya kau berhenti menanamkan pemikiran pemikiran aneh dikepala Amara. Dia jadi terlihat seperti orang bodoh dan melamun sepanjang hari,” tandas Chaides tajam.
”Amara hanya meminta beberapa saran kewanitaan padaku,” sanggahku sengit.
Chaides meletakkan cangkir minumnya dan menatapku prihatin. ”Aku tak perduli. Apapun itu berhentilah meracuninya.”
”Mengapa kau bisa begitu kejam padanya sementara ia sangat menyukaimu,” sahutku tak mau kalah.
Tristan memukul meja makan dengan tangan kanannya dengan kesal dan menyorot tajam kearahku. ”Bisakah kau berhenti bicara dan menikmati makan siangmu, Calista,” selanya dingin.
Dengan marah kubuang pandanganku dari tatapan Tristan. Ini benar benar tak adil. Aku memang tawanan mereka sejak awal tapi aku benci sekali pada setiap ucapan yang keluar dari mulut Chaides. Semua ucapannya terasa menyakitkan dikupingku.
”Kekasihmu itu benar benar menyulitkan,” lirik Chaides pada Tristan. Tristan tak menanggapi sebaliknya hanya menatap lurus lurus kearahku.
”Tapi sudahlah, aku tak ada waktu untuk semua omong kosong ini. Ingatkan dia untuk lebih berhati hati bicara padaku, Tristan,” suara Chaides yang datar sedikit bernada penekanan.  
”Hal itu tidak akan terjadi lagi Chaides,” ucap Tristan meyakinkan Chaides.
Dadaku terasa sesak. Ada perasaan marah dan kesal untuk Tristan disana. Aku tak perduli jika Chaides menganggapku menyulitkan namun ucapan Tristan yang tidak membelaku adalah suatu pengkhianatan yang pasti sulit kulupakan.
”Hai semuanya. Kuharap aku tidak membuat kalian menungguku,” seringai Amara yang kini tiba tiba sudah berdiri dihadapan kami.
Wanita gemuk itu nampak mengenakan sebuah gaun terusan sepanjang mata kaki berwarna merah dengan syal hijau dan topi bundar yang sangat lebar berwarna putih susu. Wajah Amara yang biasa terlihat kumal terlihat meriah dengan polesan bedak yang agak tebal. Ia memulas bibirnya dengan warna merah terang yang senada dengan warna gaun yang dikenakannya. Tidak hanya itu, wangi parfum yang berasal dari tubuh Amara baunya benar benar sangat menyengat dihidung. Senyum lebar kini menghiasi wajah gemuknya.
”Jadi bagaimana menurut kalian akan penampilan baruku ini,” seringai Amara menatap kami semua.
Untuk beberapa saat kami tertegun. Kulirik Tristan yang terdiam dengan kerut dikeningnya sementara senyum lebar terlihat menghiasi wajah Chaides.
”Calista?” pinta Amara meminta pendapat.
”Yeahh ... Kkau terlihat manis mengenakan gaun itu Amara,” kukatupkan rahangku rapat rapat untuk menutupi dustaku.
Amara terpekik senang. Kini ia mengalihkan pandangannya kearah Chaides. ”Chaides....,” harapnya cemas.
Chaides menyeringai kejam dengan sepasang mata hijaunya yang bersinar terang.
”Jujur saja kau terlihat sangat konyol dan menggelikan. Dan sepertinya aku harus mulai membiasakan diri dengan bau parfum murahan yang kau pakai itu meski itu lebih baik dari baumu yang biasanya membuatku mual. Tapi tenang saja aku tidak keberatan selama kau bahagia dengan apa yang kau kenakan itu,” tandas Chaides begitu tenang dan tak berperasaan seraya menunjuk nunjuk Amara dari atas kebawah seenaknya.
Seketika itu juga senyum lebar di wajah gemuk Amara menghilang. ”Beraninya Kauu......”
”Tenanglah sedikit Amara!” seru Tristan pelan seraya berdiri dari kursinya.
Wajah gemuk Amara terlihat memerah sementara itu seringai puas semakin terlihat jelas di wajah Chaides.
”Flamishh!” pekik Amara seketika hingga menggetarkan seisi ruang makan di penginapan kecil ini. Seketika itu juga percikan percikan api keluar dari jemari tangannya yang teracung kearah kursi Chaides.
Chaides yang nampaknya sudah memperkirakan serangan Amara dengan lincah melompat cepat dari kursinya seraya membalas serangan Amara dengan mengayunkan jemari kanannya dan mengarahkannya tepat kearah Amara Pedigo berdiri. Gumpalan air sebesar kepalan tangan dengan cepat menghantam tubuh gemuk Amara hingga membuatnya terjungkal dan menghantam meja makan disebelah kami. Orang orang yang tengah berada diruangan ini pun seketika berhamburan dan menjerit ketakutan.
Tristan memelukku erat dan menjadikan tubuhnya sebagai perisaiku dari percikan percikan air dingin yang membekukan. Separuh tubuh Tristan terlihat basah. Aku menjerit panik dibalik punggungnya.
”Ssebaiknya kita menghindar. Akkuu akan membawamu ketempat yang aman!” seru Tristan menggigil kedinginan.
Aku mengangguk lemas namun sempat kulirik Amara yang kini bangkit dan kembali meneriakkan mantra seraya mengayunkan kedua tangannya kearah Chaides dengan membabi buta. Percikan api terlihat berterbangan kesekeliling ruangan dan mulai menyulutkan api api kecil yang siap menghanguskan seluruh ruangan perlahan lahan.
Dengan tergesa Tristan menyeret tanganku menuju pintu keluar meninggalkan ruang makan yang telah sepi ditinggalkan orang orang. Dengan napas memburu aku mengikuti langkah langkah Tristan yang cepat.
Setelah berada di luar penginapan Tristan menuju sebuah kedai minum dan mendudukkanku di sana dengan kasar. ”Tunggu di sini! Jangan berbicara dengan orang asing. Dan jangan lari dariku karena aku pasti dapat menemukanmu dengan sangat cepat. Dan aku takkan mengampunimu jika kau melakukan itu, mengerti!” Sepasang mata ungu tua Tristan menyorot tajam seakan meminta perjanjian.
Aku terdiam kebingungan.
”Berjanjilah padaku,” bentak Tristan tak sabar.
Kini aku mengangguk ketakutan.
”Bagus. Aku segera kembali setelah berhasil menghentikan pertarungan mereka,” ujarnya seraya berlari kembali masuk ke ruang makan penginapan.
Aku terduduk lemas di kedai minum ini. Mengerikan sekali membayangkan wajah gemuk Amara yang begitu marah dan terluka. Chaides Borzy memang keterlaluan. Seenaknya saja menghina perasaan orang. Meski Amara terlihat kasar dan berantakan tapi ia adalah seorang wanita yang masih memiliki perasaan halus seperti wanita biasa pada umumnya. Tiba tiba aku merasa iba pada Amara.
”Apa yang terjadi di dalam sana,” terdengar beberapa orang yang berkerumun di depan penginapan kecil itu mulai saling bertanya tanya.
 ”Sepertinya dua orang penyihir tengah bertempur untuk saling membunuh,” sahut laki laki yang nampak berdiri tak jauh dari tempatku duduk.
Beberapa orang nampak menunjukkan raut cemas dan ketakutan. Ini benar benar gawat. Tapi kurasa tidak juga. Kurasa ini suatu keuntungan bagiku. Jika para ksatria lembah Crystal yang tengah mencariku mendengar pertarungan Chaides dan Amara setidaknya mereka tahu harus kemana mencariku. Aku tak mungkin melarikan diri dari Tristan, karena ia takkan mungkin mau percaya dan melindungiku lagi. Tapi setidaknya aku bisa menghambat perjalanan kami ke tempat persembunyian Zorca. Aku benar benar membenci Rufus yang telah membunuh ayahku. Tapi aku tak ingin mati sekarang ditangannya. Aku harus mencari cara untuk menghambat perjalanan ini hingga para ksatria lembah Crystal menemukanku.
Tiba tiba ingatanku melayang ke sosok Ness. Terakhir kali yang kuingat ia begitu cemas ketika Tristan berhasil menawanku. Apakah Ness masih mengkhawatirkan keadaanku dan tengah berusaha mencariku. Kutepiskan pikiran itu seketika. Bodohnya aku masih berharap pada keperdulian Ness. Pastinya ada yang lebih penting dipikirkannya daripada sekedar menyelamatkanku. Nyawa pangeran peri itu terlalu mahal untuk dikorbankan hanya untuk sekedar menyelamatkanku. Brisa pasti menugaskan ksatria lain untuk mencariku karena Ness harus kembali utuh ke tangan Quilla. Brisa takkan mau mengambil resiko akan kemarahan putri Quilla jika melihat pujaan hatinya itu terluka.
Seseorang menepuk bahuku pelan. ”Mau pesan minum apa nak,” senyum ramah seorang nenek yang sepertinya si pemilik kedai minuman.
Kupandangi kerut di wajah nenek tua itu untuk sesaat. Tiba tiba sebuah ide terlintas cepat di benakku.
”Bisakah kau memberikan sesuatu yang keras untukku,” ucapku ragu.
Si nenek terkekeh. ”Apakah kau sudah cukup umur untuk meminumnya.”
”Berikan saja padaku, aku janji takkan menyulitkanmu” ujarku dingin.
”Baiklah. Aku akan membawakan anggur putih racikanku, minuman istimewa kedai minumku ini,” kekehnya menyebalkan seraya berlalu dari hadapanku.
Tak berapa lama nenek tua itu segera kembali dari balik tirai dengan membawa sebuah nampan kecil yang berisi sebuah cangkir dan teko kecil bersamanya.
”Silahkan. Apakah kau akan membayarnya sekarang atau nanti,” ujarnya menuntutku.
Kutatap kikuk nenek tua pemilik kedai minum ini. ”Aku takkan melarikan diri. Aku sedang menunggu seorang teman,” ujarku meyakinkannya mengingat aku tak memiliki uang sepeserpun.
”Baiklah. Aku hanya tak ingin kau terlalu mabuk hingga kau lupa untuk membayarku,” kekehnya lagi lebih menyebalkan.
”Kau bisa mengikatku dikursi ini jika kau mau,” tawarku kesal.
Si nenek seketika tergelak dan berlalu dari hadapanku.
Dengan cepat kutuang isi teko hingga memenuhi cangkirku. Cairan bening dengan bau anggur terasa menyengat tercium olehku. Tanpa berpikir panjang aku segera menenggaknya dengan cepat. Kerongkonganku terasa terbakar dengan hangatnya anggur putih racikan nenek tua itu. Kuambil napas panjang. Kembali ku isi cangkirku penuh penuh dan meminumnya hingga tandas. Tubuhku kini makin terasa hangat. Kuulangi mengambil napas panjang. Kembali kureguk isi cangkir ketiga dengan cepat. Ada perasaan tenang dan menyenangkan kala meminumnya. Tanpa sadar aku tersenyum sendiri. Dan ketika aku mulai menghabiskan isi cangkir yang keempat seseorang memegang bahuku lembut hingga aku tersedak dan terbatuk batuk oleh minumanku sendiri saking terkejutnya.
”Maaf aku mengejutkanmu,” ujar Tristan seraya menepuk nepuk punggungku.
Kuseka wajahku dengan lengan baju dan menatapnya ragu berusaha menyembunyikan wajahku.
”Kau begitu serius minum hingga tak memperhatikan kehadiranku ya,” godanya seraya menyeka sisa sisa anggur disekitar mulutku.
Aku hanya mengangguk.
”Chaides berhasil melumpuhkan Amara dengan sihir airnya yang membekukan. Sepertinya butuh waktu setengah hari bagi Amara untuk terbebas dari pengaruh sihir air itu. Dan sekarang, Chaides tengah membereskan masalah dengan pemilik penginapan untuk mengganti semua kerugian. Tapi kita tak punya waktu banyak dan harus segera pergi dari sini secepatnya.”
Wajah Tristan terlihat berbayang di mataku. Dengan gerakan lamban ku anggukkan kepalaku yang kini terasa berat. Sepasang mata ungu itu menyipit kearahku.
”Ada apa denganmu. Kau sakit..”
Aku menggeleng lemah tak berani membuka mulut.
Dengan raut wajah kaku Tristan melihat cangkir minumku. Diambilnya cangkir itu lalu membauinya. Kini ia meraih teko kecil dan membuka tutupnya untuk melihat isinya yang telah kosong. Kembali dibauinya teko kecil itu.
”Buka mulutmu Calista.” perintahnya kasar.
Aku menggeleng kuat kuat. Dengan kesal Tristan memegangi daguku.
”Hembuskan napasmu,” ujarnya marah.
Aku mengatupkan mulutku rapat rapat.
”Lakukan perintahku,” bentaknya kasar.
Aku tak punya pilihan lain. Dengan cepat Tristan mengenali aroma keras anggur putih yang berhembus dari napasku. ”Siapa yang memberimu minuman ini.”
”Aku sendiri yang memintanya. Aku hanya ingin menenangkan pikiranku,” sahutku marah membuat alasan.
”Rupanya temanmu sudah datang ya,” kekeh si nenek pemilik kedai minuman.
Wajah tampan Tristan membeku karena menahan marah. Sementara aku terlalu pusing untuk mengangkat wajah. Seumur hidupku aku tak pernah minum. Apalagi mencicipi minuman sekeras ini.
”Benar benar pasangan serasi. Cantik dan tampan. Kalian pasti sepasang kekasih yang tengah bepergian,” kekeh si nenek lagi.
Dengan marah Tristan menarikku berdiri dan melemparkan koin perak ke meja dengan kasar. ”Simpan saja kembaliannya.”
Tristan menyeretku keluar dari kedai minum si nenek.
”Kau menyakitiku Tristan,” erangku kesal.
”Baiklah. Aku akan membiarkanmu jalan diatas kakimu sendiri,” sinisnya seraya melepaskan pegangannya padaku.
Samar samar kupandangi wajah tampannya yang marah. Terlihat begitu dingin dan sinis. Dengan mantap kulangkahkan kedua kakiku lambat lambat. Tapi kepalaku yang terasa berat membuat langkahku terasa melayang. Tristan segera menopang tubuhku yang hampir limbung.
”Kau benar benar menyulitkan dan keras kepala,” tukasnya marah.
”Dan kau mulai terdengar menyebalkan seperti Chaides,” ocehku tak karuan.
Kedua tangan kokoh Tristan memegangi bahuku. ”Jika kau terus bertindak bodoh seperti ini. Percayalah aku takkan mau mempertaruhkan hidupku untukmu, ingat itu.”
”Setelah kupikir pikir lagi kurasa aku tak membutuhkan pertolonganmu itu,” seringaiku geli seolah ada yang lucu dalam ucapannya.
Mata ungu Tristan menyipit tajam. Ia menghela napas kesal memandangiku. Kini kepalaku terasa berdenyut dan pening luar biasa. Perutku juga terasa mual. Kupegangi mulutku dengan kedua tanganku. Sepertinya aku mau muntah karena rasa mual ini. Kulirik Tristan dengan perasaan kacau. Aku benar benar tak ingin muntah di depannya.
Sialnya, keinginanku kalah oleh rasa mual yang tak tertahankan ini. Bukan hanya rasa malu tapi aku juga malah memuntahi ujung sepatu Tristan. Dengan tak sabar ia menarik tubuhku dan menggendongku dipundaknya. Ia sama sekali tidak memperdulikan protesku.
Sekembalinya ke penginapan samar samar kulihat Amara terbaring kaku dengan kepala menghadap ke langit langit kamar. Sekujur pakaiannya terlihat basah dan lembab. Ia terlihat menggigil kedinginan.
Chaides yang tengah berdiri disamping jendela kamar menatap kami heran. ”Apa yang terjadi padanya?” tanyanya dengan nada tinggi seraya menunjuk kearahku.
Tristan mendudukkanku dipinggir tempat tidur seperti anak kecil dan merapihkan kembali rambut dan bajuku.
”Dia mabuk,” sahut Tristan datar.
Sepasang mata hijau Chaides menyorot garang. ”Bagus! Sekarang kita akan makin kesulitan untuk segera angkat kaki dari sini,” gusarnya.
”Semuanya terkendali dan akan berjalan sesuai dengan rencana,” potong Tristan memberi janji.
”Sebaiknya begitu atau aku sendiri yang akan membereskan kekasihmu itu!” bentak Chaides kasar tak dapat lagi menutupi kemarahannya.
Wajah Tristan terlihat tegang. Chaides terlihat tak memperdulikannya.
”Percayalah padaku Chaides,” ujar Tristan dingin.
Chaides menghela napas panjang. ”Terserah kau saja. Aku mau keluar sebentar, menghirup udara segar sambil melihat situasi diluar. Berada diruangan pengap ini membuat kepalaku pusing,” ujar Chaides seraya membenarkan letak topinya dan mengayunkan langkah langkah pendeknya menuju pintu keluar sebelum ia kembali membalikkan badannya dan menatap Tristan resah.
”Kuserahkan masalah ini padamu. Dan ketika aku kembali,  kuharap kau telah menyiapkan mereka untuk meneruskan perjalanan kita ke utara,” tambahnya seraya berlalu dihadapan kami.
Tristan menatapku datar dan sarat kekecewaan. Kutundukkan wajahku dalam dalam tak berani membalasnya karena kepalaku terlalu pusing untuk mendongak dan melihat sorot matanya. Sementara Amara terus mengerang kedinginan dalam kebekuan sihir air Chaides. Kami berdua terlihat seperti para pesakitan. Dan kurasa rencanaku menghambat perjalanan ini dengan menjadi mabuk sepertinya mengalami kegagalan besar.
Setelah kepulihan Amara, Chaides tak membuang waktu. Seolah ingin menghukum kami, ia memaksakan kondisi Amara yang masih lemah dan tak memperdulikan keluhanku akan rasa pusing yang luar biasa ini untuk segera angkat kaki dari kota pertambangan kecil ini.
Beberapa pasang mata nampak menatap curiga namun tak satu orang pun berani bertanya. Sepanjang perjalanan Chaides bergumam sendiri seolah tengah mendendangkan sebuah nyanyian sementara Amara yang sudah agak tenang berjalan lurus lurus menatap kosong ke depan masih mengenakan gaun terusan merahnya. Aku hanya membisu disamping Tristan yang menatap waspada kesekeliling kami.
Perjalanan ini terasa begitu melelahkan, setidaknya untukku. Cuaca panas sore ini terasa menyakitkan dimataku. Berkali kali kakiku tersandung oleh bebatuan karena jalanan yang naik turun dan tidak rata. Dan saat aku benar benar merasa pusing kakiku tersandung batu yang cukup besar hingga aku tersungkur diantara kerikil dijalan yang berdebu.
Tristan membantuku berdiri dan membersihkan wajahku dari debu jalan. Ditatapnya wajahku dengan sepasang mata ungunya yang terlihat resah. ”Kuatkan dirimu,” ujarnya pelan.
Bukan menjawab pertanyaannya aku malah muntah untuk yang kedua kalinya di depan Tristan. Tanpa sedikitpun merasa jijik ia hanya mengambil saputangan dari saku bajunya dan menyeka mulutku. ”Kau ingin sesuatu untuk mengurangi rasa mual itu?” tawarnya.
Aku menggeleng lemah.
”Kau baik baik saja, Calista” bisik Amara sumbang.
Aku hanya mengangguk ragu dan mencoba untuk tersenyum.
”Tenang saja. Rasa mual itu akan segera pergi,” gumam Tristan lembut dikupingku.
Amara menatapku dan Tristan bergantian. ”Kalian membuatku iri,” desisnya.
Wajahku merona. Kulirik Tristan malu malu. Sepertinya ucapan Amara tidak terlalu mempengaruhinya.
”Maukah kau menjaganya untukku. Aku harus bicara pada Chaides untuk mencari tempat peristirahatan,” pinta Tristan pada Amara penuh harap.
Seketika wajah gemuknya berubah cerah. ”Tentu saja, dengan senang hati. Sebaiknya kau juga bicara pada laki laki cebol itu agar menjaga sikapnya yang menyebalkan,” rengut Amara menatap punggung Chaides yang berjalan di depan kami. ”Lain kali aku pasti akan menghabisinya,” tambah Amara bernada mengancam.
Tristan menghela napas pelan. ”Jangan berkata seperti itu. Chaides hanya menjadi dirinya sendiri,” bela Tristan ragu.
”Maksudmu, brengsek dan menyebalkan,” tandasku seketika membuat Amara terpekik kegirangan.
Tristan menggeleng kesal menatapku. ”Jaga ucapanmu. Kau sudah membuat banyak masalah untukku,” ingatnya seraya menatapku dalam.
Sorot mata abu abu Amara berbinar senang. ”Chaides memang sangat menyebalkan, Tristan. Kau tahu, aku senang ibumu tidak memilihnya,” seringainya senang.
Wajah Tristan terlihat tegang tapi Amara tak perduli dan terus mengoceh.  ”Dia begitu patah hati dan terlihat menyedihkan ketika ibumu memilih Arias. Laki laki cebol itu memang tak pantas untuk Shenai,” kikiknya geli sendiri.
Kali ini wajah Tristan membeku. ”Berhentilah membicarakan hal yang tak penting,” Tristan berusaha menjaga nada suaranya.
Amara tersenyum menyesal. ”Ya, ya  baiklah jika itu maumu,” seringainya malu seraya menggelengkan kepalanya.
Dengan tergesa Tristan menghampiri Chaides yang berjalan di depan kami, meninggalkan aku dan Amara yang hanya saling berpandangan.
”Kau tahu Calista, aku tak kan perduli lagi akan pendapat si cebol itu. Aku merasa nyaman mengenakan gaun ini. Dan aku akan terus mengenakannya karena aku menyukainya,” bisik Amara disampingku meninggalkan bau mulut yang tak sedap.
Kutahan rasa mual di dadaku. ”Menurutku kau terlihat manis,” ucapku memaksakan diri.
Kembali suara tawa Amara melengking tajam mendengar ucapan penghiburan dariku. ”Kau memang anak yang baik. Sangat sopan dan menyenangkan,” seringai Amara senang.
Kutatap Amara untuk sesaat ada sedikit keraguan tapi aku tak tahan jika tidak menanyakan ini. ”Wanita yang bernama Shenai, apakah ia ibunya Tristan?” tanyaku hati hati.
Amara menoleh kearahku.”Yeah.”
”Jadi Chaides menyukainya, ya.” tanyaku takut takut.
”Seumur hidupnya, kurasa.” Ada kesenduan terdengar dari nada suara wanita gemuk itu.
Untuk sesaat kami terdiam.
Amara mendengus pelan. ”Aku tak menyalahkannya, maksudku Arias begitu tampan dan menghanyutkan. Wajar saja jika Shenai lebih tertarik pada Arias,” pikiran Amara terlihat menerawang.
Kulirik iba kearah Chaides. Kalah dalam percintaan memang terdengar menyakitkan. Namun aku masih dapat melihat perhatian yang begitu besar diberikan Chaides pada Tristan.
”Dimanakah Shenai sekarang berada?” tanyaku spontan.
”Seingatku,  ia masih tinggal di lembah Crystal,” sahut Amara acuh.
”Maksudmu, kalian semua pernah tinggal di lembah Crystal dan belajar sihir bersama?” desakku menyelidik.
Amara mengangguk. ”Yang aku tahu, Chaides, Arias dan Shenai adalah murid master Zorca. Begitupun dengan Rufus dan si sinting Herzog Mandal.”
Darahku mendidih begitu mendengar Amara menyebut nama Rufus.
Amara berpikir sesaat seraya menggaruk garuk dagunya yang gemuk. ”Wanita berambut hitam kecoklatan yang menyerangku dulu adalah salah satu murid Orion yang hebat. Sepertinya wajah wanita itu mengingatkanku padamu. Suaranya begitu lembut ketika meneriakkan mantra serangan saat kami berduel,” kenangnya.
Aku terkesiap. Dengan napas memburu kembali kutatap Amara dengan penasaran. ”Ceritakan semuanya padaku, Amara?”
Amara melirikku sesaat. ”Yeah.. perlawanannya sempat membuatku kewalahan. Untungnya Rufus datang membantu dan memerintahkanku untuk mundur dan mengambil alih duelku dengannya,” gumam Amara menerawang.
”Lalu apa yang terjadi?” gusarku resah.
Bola mata Amara berputar. ”Rufus berhasil menghabisinya. Kemudian seorang laki laki datang memeluk tubuh kakunya dan meraung pilu. Ia meneriakkan sebuah nama .. Reg.. ahh aku lupa.”
”Maksudmu Regina?” tanyaku memburu.
Amara menggaruk garuk kepalanya. ”Uhmm.. entahlah. Tapi ya, ya. Kurasa itu namanya,” kerutan di kening Amara memperlihatkan usahanya yang keras untuk kembali mengingat kejadian di masa lalu.
Kurasakan kedua mataku berkaca kaca.
”Sebelum laki laki itu sempat membalas kematian teman wanitanya. Raungan kekalahan master Zorca, membuat kami mengambil langkah mundur karena kami juga telah kehilangan Arias yang mati ditangan Orion,” desah Amara pelan.
Seketika itu juga aku terisak.
Amara nampak kebingungan. ”Hey mengapa kau menangis...”
Kuhapus airmataku dengan punggung tanganku. Kutarik napas dalam dalam untuk menguasai diri.
”Kau tahu Amara. Akhirnya Rufus juga telah membunuh laki laki yang menangisi kematian wanita bernama Regina itu, beberapa waktu yang lalu di Essendra. Dan sekarang, kalian akan mengantar anak satu satunya dari pasangan suami istri tersebut ke tangan Rufus hanya karena alasan bodoh bahwa ia adalah gadis dalam ramalan yang akan menjadi malaikat kematian Zorca,” ujarku sedikit emosional.
Amara menatapku terkejut. ”Jangan katakan padaku jika kau adalah anak mereka,” ujarnya masih tak percaya.
Kuanggukkan kepala. ”Mereka adalah orangtuaku, Arman dan Regina Kaz. Rufus membunuh ayahku beberapa waktu lalu ketika para ksatria lembah Crystal berusaha menjemputku di Essendra.” ucapku sedikit gemetar.
Amara mengerjap. ”Aaku sungguh menyesal mendengarnya nak,” ujarnya iba.
”Jika aku memiliki kekuatan sihir aku pasti akan membalas kematian kedua orangtuaku,” isakku.
Amara terpaku. Untuk beberapa saat ia melirik kearahku canggung.
Kembali kuusap airmata dipipiku dengan punggung tanganku. Amara menyorongkan sapu tangan kumal kearahku dan tersenyum tulus. Dengan iba ia menatapku seraya menghela napas. ”Bagaimana jika aku mengajarimu salah satu sihir terbaikku. Kau tahu, untuk berjaga jaga ketika keadaan nanti tidak berjalan sesuai rencana.” seringainya padaku.  ”Setidaknya kau bisa mempertahankan dirimu meski itu mustahil mengingat Rufus adalah seorang penyihir yang hebat,” gumamnya ragu ragu.
Kuhela napas panjang dan menatapnya bimbang.
”Bagaimana? Kau mau kan,” seringai Amara pelan kembali menawarkan.
”Mengapa kau mau melakukannya untukku?”
Amara menarik napas panjang. ”Kau tahu, Calista. Ini bukan perangku. Hanya karena Rufus menemukanku dan merawatku bukan berarti aku miliknya. Aku hanya membiarkannya memanfaatkanku. Namun, aku telah melakukan begitu banyak kesalahan dalam hidupku.”
”Seharusnya kau pergi jauh dari Rufus. Kau juga penyihir yang hebat. Kau pasti bisa mengalahkannya,” selaku.
Amara menggeleng lemah. ”Tidak semudah itu. Ini bukan tentang kalah atau menang. Aku tak pernah takut akan kematian. Ini semua tentang pilihan. Ketika aku memilih jalan ini kurasa aku harus menyelesaikan apa yang telah kumulai.”
”Tidak. Aku tidak mau mengerti! Ini salah, Amara. Kaulah yang menentukan jalan hidupmu. Bukan Rufus..,” ujarku emosi.
Amara menggeleng pelan seraya menatapku datar. ”Kurasa kau masih terlalu muda untuk memahami perkataanku. Jika kau menjadi diriku kau pasti akan mengerti maksudku.”
 Kupandangi Amara getir. Sementara ia hanya menatap langit biru seolah ada yang tengah dipikirkannya. 


Genre : Novel Fantasy Romance
Writer : Misaini Indra