Protected by Copyscape Plagiarism Scanner

Wednesday 21 March 2012

PART II : Calista Kaz “Bangkitnya Sang Naga” (Chapter 4)


4. SEBUAH RENCANA

Sinar mentari yang menembus sela sela pepohonan pinus dan menyilaukan penglihatan membuatku tersadar dari tidur. Hari semakin siang. Dan sepertinya aku telah tertidur lama sekali. Kulirik kesekelilingku namun aku tak menemukan sosok Ness dimanapun juga. Dengan cepat aku bangkit dari pembaringanku dan duduk waspada.
“Maaf aku tak membangunkanmu,” suara merdu yang sudah sangat familiar terdengar lembut ditelingaku.
Kualihkan pandangan pada Ness yang datang membawa dua ekor kelinci yang telah mati ditangan kanannya. Dilemparkannya dua binatang malang itu ke tanah lalu berjongkok untuk menyusun ranting ranting kayu kering yang nampaknya telah ia persiapkan sebelumnya. Setelah selesai ia menatapku.
“Sekarang buatkan api untukku,”  pintanya sopan seraya melirik susunan ranting kayu yang telah disusunnya.
Kutatap sepasang mata emasnya kebingungan. “Tapi aku tak pernah melakukan sihir api sebelumnya,” ujarku dengan nada tinggi.
Ness tesenyum datar. “Aku tahu. Bukankah sekarang waktu yang tepat untuk mempelajarinya,” desaknya penuh penekanan.
Aku tertawa getir. “Dengan senang hati jika aku mengetahui mantranya,” sahutku tanpa berusaha mengejeknya.
Ness berdiri seketika lalu ditatapnya aku dengan sorot mata aneh.
“Bangunlah. Aku akan mengajarkannya padamu,” pintanya sopan.
Seketika itu juga tawaku pecah. Kutatap wajah tampannya dengan sedikit meremehkan. “Kau seorang psychic Ness.”
“Aku separuh peri. Bangsa peri memiliki kekuatan sihir murni saat mereka terlahir ke dunia. Namun kami hanya menggunakan kekuatan sihir kami untuk kebaikan dan sebatas yang diperlukan saja,” ujar Ness menjelaskan.
Kini kami saling bertatapan. Ness masih berdiri tegak dan menanti jawaban. Kurasa tak ada salahnya aku mempelajari sihir api dari seorang keturunan peri sepertinya. Maksudku apa yang salah dengan hal itu.
“Baiklah,” ujarku seraya berdiri dan menatapnya lurus lurus mencoba menunjukkan keseriusanku.
Ness menatapku datar. “Sekarang berdirilah disampingku dan coba perhatikan aku baik baik,” perintahnya.
Kuturuti permintaanya. Kuambil posisi disebelah kanan tubuhnya dan mulai memperhatikan raut wajahnya yang tenang. Bibirnya nampak membisikkan sesuatu seiring dengan telunjuk tangannya yang berputar dan mengeluarkan sebuah cahaya redup yang sedikit demi sedikit membesar berwarna kebiruan. Dengan tenang, ia menggerakkan jari telunjuknya itu terarah pada tumpukan ranting ranting kayu yang telah disusunnya. Sebuah liukan api tersulut keluar dari telunjuk tangannya dan mulai membakar tumpukan ranting ranting kayu itu dengan cepat.
Seketika itu aku berdecak kagum.
“Sewaktu serangan Zorca ke lembah Crystal, mengapa kau tidak melakukan sihir api mu untuk melawan kaki tangan mereka?” tukasku penasaran.
Ness tersenyum hambar.  Sepasang mata emasnya menatapku. “Seperti yang kubilang meski kami memiliki kekuatan sihir sejak kelahiran kami, tapi sihir kami begitu lemah jka dibandingkan kalian bangsa penyihir.”
Dahiku mengerut. Mencoba menganalisa penjelasannya.
Ness tersenyum begitu melihat raut wajahku. Mungkin sekarang ia berpikir aku gadis bodoh yang kurang pengetahuan.
“Jika kau perhatikan, sihir api yang kubuat lebih menyerupai sebuah cahaya yang berubah menjadi sebuah api dengan sinarnya yang kebiruan. Sementara sihir api yang dilontarkan Zorca terlihat terang, merah dan membara.”
Ness benar. Aku bahkan masih dapat merasakan hawa panas api sihir Zorca ketika menghanguskan sebagian wilayah lembah Crystal dan bau daging terbakar teman teman kami yang terkena sihir apinya yang mengerikan itu. Sedangkan api yang tersulut dari telunjuk Ness, nampak lebih bersahabat, hangat dan sepertinya tidak terlalu berbahaya.
Buku tengkukku meremang. Aku benci sekali jika harus kembali mengingat serangan Zorca dan pengikutnya ke lembah Crystal. Kutatap sepasang mata emas yang tengah termenung menatap api yang meliuk liuk di depan kami.
“Apakah sihir api yang kau hasilkan dapat mengalahkan kekuatan sihir api Zorca?” tanyaku antusias.
Ness tersenyum.”Kurasa aku tidak bisa menjawab pertanyaanmu itu. Karena aku belum pernah mencobanya.”
Ada sedikit rasa kecewa di hatiku begitu mendengar jawabannya.
 “Kau tidak perlu mempelajarinya jika kau tidak menginginkannya,” tandas Ness menghentikan lamunanku. Dari nada suaranya sepertinya ia memahami kekecewaanku.
Aku menggeleng cepat dengan wajah memerah.”Maaf. aku tak bermaksud seperti itu. Tentu saja dengan senang hati aku mau mempelajari sihir api mu itu,” sahutku canggung.
Ness tertawa. Sepasang mata emasnya terlihat bersinar dan menyenangkan untuk dipandang.
“Baiklah. Sekarang ikutilah ucapanku,” perintahnya pelan.
Kini kami berdiri sejajar menghadap sebuah pohon pinus kering yang dahannya hangus terbakar semburan api Arkhataya kemarin. Ness kembali mengangkat telunjuknya dan bibirnya kembali mengucapkan sebuah mantra dengan perlahan,
“Dengan segala kekuatan cahaya bumi. Datang dan sinarilah keinginanku”
Telunjuk tangan Ness kembali berputar dan mengeluarkan sebuah cahaya redup yang sedikit demi sedikit membesar berwarna kebiruan. Lalu ia menggerakkan jari telunjuknya itu terarah pada dedaunan yang tersisa di pohon pinus yang telah hangus. Sebuah liukan api mulai membakar dedaunan dengan perlahan.
Ness melirik kearahku. Kuanggukkan kepala dan mulai meniru gerakkannya seiring dengan mengucapkan mantra sihir apinya. Ness, nampak puas begitu melihatku dapat melakukannya tanpa harus mengulang untuk kedua kali. Kupandangi sinar kebiruan yang mulai membakar dahan perlahan dengan rasa tak puas.
“Jika kau tak keberatan. Aku akan melakukannya sekali lagi dengan caraku sendiri,” ucapku meminta persetujuan seraya memandangi wajah tampannya yang sedikit keheranan.
Ness mengangguk ragu.
Kutarik napas panjang perlahan mencoba memfokuskan pikiranku. Dengan sangat perlahan kuangkat tangan kananku hingga setinggi dada dengan posisi telapak tangan menghadap ke atas, aku mulai mengucapkan mantra sihir api dari Ness untuk yang kedua kalinya,
“Dengan segala kekuatan cahaya bumi. Datang dan sinarilah keinginanku …
Sebuah cahaya terang kebiru biruan nampak berputar menyerupai bola sekepalan tangan dengan sinarnya yang terlihat lebih terang dan sangat menyilaukan. Bola cahaya itu berputar sangat cepat di dalam genggaman tanganku. Dan dengan lantang kuteriakkan kembali rapalan mantra sihir api Ness dibibirku,
“Bakar dan hanguskan keinginanku!!! Raungku seraya melontarkan bola cahaya kebiruan di telapak tanganku ini, kearah pohon pinus hangus yang kini menjadi terbakar kembali oleh kobaran api sihir buatanku dengan menimbulkan suara mengelegar. Pohon malang itu berderak dan tumbang dengan api yang masih menyala dan membakar batangnya yang sebenarnya memang sudah hangus.
Wajah tampan Ness terlihat pucat seketika.
Kutatap Ness dengan perasaan senang dan tersenyum puas.  
“Aku sedikit mengubah mantranya. Tadinya kupikir tidak akan berhasil tapi ternyata …” kulirik jilatan api yang masih membakar batang pinus hangus di depanku itu.
Ness hanya melemparkan senyum samar tanpa berkata apa apa. Dan sepanjang hari itu kami lebih banyak terdiam. Hingga aku tak tahan dan mulai melontarkan pertanyaan konyol yang sebenarnya tak perlu kulontarkan padanya.
“Katakan sesuatu Ness. Apakah aku telah membuat kesalahan?” lengkingku dengan nada tinggi.
Ness menatapku datar. “Untuk apa kau menanyakan hal itu?” sahutnya rendah seolah menjaga nada suaranya.
“Entahlah. Kau… begitu pendiam..”
Kini sepasang mata emasnya menatapku dalam. “Satu satunya kesalahanmu adalah terlahir menjadi seorang penyihir alami yang brilian,” gumamnya tanpa terkesan menyanjungku.
Pipiku terasa hangat. “Apakah itu suatu hal yang buruk?”
Ness menggeleng lemah. “Tidak untukmu.”
Ness kembali mengulangi kebiasaan lamanya yang berkata sepotong sepotong dan meninggalkan misteri untuk kupecahkan. Aku benci itu.
“Sebaiknya kita kembali ke Amorilla. Karena misi pemanggilan Arkhataya telah terselesaikan,” ucapnya datar.
Sekelebat bayangan tiba tiba saja berdiri dihadapan kami.
“Cis, sebaiknya kalian mematikan api sial itu terlebih dahulu karena asapnya sangat menggangguku!!” seru seorang laki laki bertubuh kecil dengan wajahnya yang terlihat tua dengan kupingnya yang meruncing dan wajahnya yang sangat tirus. Nada bicaranya terdengar aneh seolah tengah mengejek.
Aku berdiri tegak dan mengepalkan kedua tanganku bersiap untuk melancarkan serangan. Ness memberi isyarat dengan tangan kanannya yang terangkat keatas memintaku untuk menahan serangan.
“Sudah lama sekali kita tidak berjumpa, Pinsky,” sapa Ness ramah.
Laki laki bertubuh kecil yang dipanggil Pinsky nampak mengerutkan wajah tirusnya. Sepasang matanya yang bulat dan berwarna hijau terang menatap Ness angkuh lalu melirikku tajam.
Aku terkesiap. Tiba tiba aku teringat perkataan Orion padaku beberapa waktu lalu. Seorang peri buangan bernama Pinsky memberitahu Ghorfinus akan keberadaan bayi Zorca yang telah terlantar berhari hari ditinggal mati ibunya.
“Cis, tidak cukupkah keributan yang kau bawa dengan membangunkan Arkhataya hingga mengganggu seluruh penghuni Farfasian. Dan sekarang, Cis.. dengan sihir apimu itu,” cemoohnya masih dengan logat anehnya itu.
Nada cemoohnya membuat darahku mendidih.
Kembali kutatap wajah angkuh peri buangan itu yang menatapku tak berkedip. Ingatanku akan wajah licik Alberich yang bergumam kesal muncul dibenakku seketika,”Si dungu Pinsky yang memberitahukan Zorca perihal gelang itu. Dasar peri hina dan tercela. Aku akan membunuhnya suatu hari nanti,”
Dengan luapan emosi kulayangkan sihir asapku ke tubuh kecilnya. Seketika itu juga asap hitam yang tebal menggulung tubuhnya keatas hingga ia berteriak ketakutan.
 ”Hentikan Calista. Apakah kau sudah sinting?!” teriak Ness marah.
”Dia yang memberitahukan Zorca perihal gelang Arkhataya, Ness. Dan aku akan menghukumnya untuk itu!” teriakku marah.
”Turunkan dia sekarang juga!” perintah Ness garang.
Aku tidak memperdulikan ucapan Ness, sebaliknya malah mempermainkan tubuh peri malang itu di udara dengan sihir asapku. Hingga akhirnya sebuah dorongan angin keras menghempaskan tubuhku dan membuyarkan sihir asapku seketika.
Pinsky terhempas keras jatuh ke tanah sementara aku terguling enam langkah dengan posisi tertelungkup. Aku terbatuk batuk karena tersedak debu tanah. Kudongakkan kepala dan mendapati Ness tengah meletakkan telapak tangannya di dada peri kecil itu seraya menggumamkan sesuatu di bibirnya.
Dengan kesal kuhampiri Ness dengan wajah kusut dan debu diseluruh pakaianku.
”Mengapa kau menyerangku, Ness! Aku harus memberikan pelajaran pada makhluk pengadu itu!” teriakku marah.
Ness tak memperdulikan ucapanku dan terus berusaha mengembalikan keadaan Pinsky yang kini tak sadarkan diri.
”Apakah kau sudah mulai tuli Ferin!” kali ini aku berteriak kalap karena ia sama sekali tidak menggubris ucapanku.
 Ness berdiri seketika dan mencengkeram kedua lenganku dengan tatapan berkilat. Wajah tampannya terlihat sangat marah. ”Kau dulu begitu rapuh dan rendah hati. Tapi sekarang kau sangat sombong dan pemarah!” serunya tertahan.
Aku terhenyak seketika.
”Memiliki kekuatan sihir sehebat itu bukan berarti kau dapat berbuat sesukamu dan menyakiti yang lemah. Kau hampir saja membunuh peri malang itu,” ingat Ness tajam seraya melepaskan cengkeramannya dari kedua lenganku dengan kasar dan kembali menyalurkan energi murni ke dada Pinsky untuk mengobati luka dalamnya.
Aku tersadar oleh ucapannya. Tubuhku terasa lemas. Aku merasa malu dan tercela. Sepertinya hubungan baikku yang telah terjalin kuat dengan Ness akan menjadi rusak kembali karena keangkuhanku.
Pinsky terbatuk batuk pelan. Dengan cepat Ness memegangi dahi peri kecil itu.
”Kau baik baik saja. Apakah kau dapat mendengarku?” tanya Ness pelan.
Kelopak mata Pinsky membuka perlahan. Raut wajahnya terlihat lemah. ”Cis, mengapa ia mencoba membunuhku?” ujarnya pelan.
Tak sanggup melihat pemandangan di depanku aku membalikkan badan dan berlari menjauhi mereka dengan pikiran kacau.
Kini aku terduduk lemas di depan air terjun tempat peraduan Arkhataya. Menatap derasnya air terjun yang meluncur tajam dengan riaknya yang cepat. Mencoba memikirkan perbuatanku ditengah derasnya suara air terjun ini. Untuk beberapa saat aku terhanyut oleh irama riaknya dan merasa sedikit lebih baik.
Sebuah sentuhan lembut di bahuku menyadarkan lamunan. Tanpa berani menoleh aku dapat mengira jika Ness telah berhasil menemukanku. Sosok menawan itu duduk disampingku dengan menghembuskan napas kencang.
”Aku tak berniat menyakitimu,” dengusnya canggung.
Aku tersenyum datar. ”Kurasa ucapanmu itu ada benarnya,” sahutku pelan.
Ness terdiam.
”Bagaimana keadaan peri itu?”
”Lukanya tidak dalam. Namun ia sangat ketakutan jika kau akan kembali dan membunuhnya.” Dahi Ness berkerut menatapku. ”Pinsky langsung pergi dan menghilang dibalik pepohonan pinus karena rasa takut yang berlebihan,” tambahnya.
Aku menggeleng kesal. ”Ini salahku. Aku melampiaskan kemarahanku akan Zorca, padanya.”
Ness tersenyum. ”Yah setidaknya, sekarang Pinsky bisa belajar mengendalikan ucapannya dan berhenti mencampuri urusan orang lain.”
Kutatap Ness bingung.
Ness menghela napas panjang. ”Thaddeus mengasingkan Pinsky ke Farfasian karena ia telah membuat kesalahan fatal dengan mencampuri urusan kerajaan. Dia menyebarkan berita kebohongan akan kebencian bangsa penyihir dari negri Ophresia yang sengaja membunuh unicorn kesayangan Thaddeaus untuk memicu perang.”
Kedua alisku terangkat tinggi. ”Hingga berakhir dengan kehancuran negri Ophresia oleh Amorilla,” desahku.
”Benar. Meski sebenarnya semua itu murni ketidaksengajaan Ira Molina yang membunuh unicorn Thaddeaus ketika tengah berburu elang di hutan Sphronia.”
Aku melirik Ness ragu. ”Yang kudengar Thaddeus memang tak menginginkan perdamaian dengan Seresima karena tak mau menyerahkan Ira Molina. Hingga Thaddeaus murka dan memutuskan untuk menghancurkan Ophresia dengan kejam.”
”Awalnya Thaddeaus bersedia melakukan perdamaian dengan Seresima, pemimpin negri Ophresia. Tapi kemarahan Thaddeus kembali muncul berdasarkan prasangka yang dibuat Pinsky yang telah menyebarkan berita kebohongan itu ke seluruh negri Amorilla.”
Mataku mengerjap. ”Ternyata mulut peri kecil itu sangat tajam.”
”Bangsa elf seperti yang kau lihat sangat menyukai keseimbangan. Hidup dalam keteraturan sebagai peri hutan. Begitu halus, sopan dan sangat peka terhadap situasi apapun. Thaddeaus tidak seburuk perkiraan orang. Meski raut wajah mereka terlihat begitu dingin dan datar namun saat merasa terancam dan tidak nyaman mereka akan berubah garang dan jadi mengerikan untuk dipandang,” desah Ness.
Kulirik Ness dengan ekor mataku.
”Harga diri kami terlalu tinggi untuk menitikkan air mata. Kami berusaha untuk tidak menunjukkan ekspresi kesedihan karena hanya akan melemahkan jiwa kami sendiri. Tangisan kesedihan hanya akan membunuh kami perlahan lahan,” hembus Ness kencang.
Terbayang isak tangis Piphylia ditengah pemakaman ibunya, Anella beberapa waktu lalu. ”Seperti yang dilakukan Piphylia,” gumamku tak sadar.
Ness tersenyum. ”Jiwa Piphylia telah menjelma menjadi manusia begitu Aisling membawanya untuk hidup bersama di lembah Crystal. Kenangan indah dan kebahagian yang dirasakannya bersama Aisling tidak akan melemahkan jiwanya.” Ness kini menatapku. ”Sebaliknya, kerinduan dan kesedihan akan kehilangan anak satu satunya yang memilih pergi, membuat Anella terus menangis hingga membunuh jiwanya perlahan lahan.”
Kubalas tatapannya ragu.
”Odile tahu itu. Itulah sebabnya ia memintaku dan Piphylia untuk kembali dan mengobati penderitaannya akan rasa kehilangan yang cukup besar yang dirasakannya pada Anella.”
 Ness kini membuang pandangannya ke air terjun Farfasian. Pikirannya nampak melayang sebelum akhirnya ia membuka suara. ”Yang aku tahu, separuh anting pemberian Quilla telah membuatku terlatih untuk mengendalikan seluruh perasaanku.”
”Kau seharusnya tidak mengembalikan anting tersebut,” ucapku nyaris tak terdengar.
Senyum datar terbentuk kaku disudut bibir indah Ness. ”Jiwaku tidak akan melemah hanya kerena melepaskan anting Quilla. Aku ini hanya separuh peri. Separuh darah manusia yang mengalir ditubuhku akan menguatkan separuh jiwa keperianku.”
Kulempar senyum terbaikku untuknya.
”Jadi, apa rencanamu selanjutnya terhadap makhluk itu,” tanya Ness seraya melirik kearah air terjun di hadapan kami yang mengalir deras.
Aku terdiam untuk beberapa saat. Dan hanya memandangi air terjun di depan kami dengan seksama.
”Naga itu, maksudku ruh Arkhataya yang bersemayam dalam tubuh naga itu telah berbicara banyak padamu, meski aku tak mendengarnya tapi aku sempat mendengar ucapanmu padanya Calista,” nada suara Ness terdengar penasaran.
Kutatap Ness bimbang. ”Arkhataya menginginkan sebuah raga baru bagi ruh nya Ness.”
”Tentu saja. dia membutuhkan tubuh manusia sebagai tempat bersemayamnya yang baru. Berada dalam tubuh naga itu merupakan satu satunya jalan yang terpaksa diambilnya karena ia tidak memiliki pilihan lain saat itu,” tukas Ness dalam.
”Arkhataya sangat cerdas. Aku takkan mungkin bisa mengelabuinya,” ucapku putus asa.
Ness menatapku tajam. ”Dia berharap dengan tubuh barunya akan kembali menjadi Arkhataya yang dulu. Kita tak mungkin membiarkan itu terjadi. Jika ia mendapatkan tubuh manusia bagi ruhnya, akan sangat berbahaya mengingat ia penyihir hitam yang kejam dan hebat  di masanya,” ujar Ness meninggi.
”Tapi kita membutuhkan kekuatannya untuk membebaskan seluruh negri dari cengkaraman Zorca dan leviathan terkutuk itu,” lengkingku kesal.
Ness berdiri dari sisiku.
Diulurkan tangannya kearahku dengan tatapan lembut. ”Kita akan pikirkan itu nanti. Sebaiknya kita kembali ke Amorilla sekarang dan melaporkan misi ini pada Prechia,” ujar Ness tanpa bermaksud untuk mengecilkan perasaanku.
Kusambut uluran tangannya dan memutuskan jika tindakan yang diambil oleh Ness adalah sebuah langkah terbaik untuk saat ini.
Pegasus membawa kami melayang diantara awan awan putih dengan cepat. Pelukan erat Ness disekeliling pinggangku membuat rasa nyaman dan terasa sangat menyenangkan. Untuk sesaat aku sempat melupakan Tristan. Aku benar benar merasa bersalah pada Tristan setiap aku merasakan kehangatan yang ditawarkan Ness padaku.
Menjelang senja kami tiba di Amorilla. Sambutan hangat Prechia terasa berlebihan dan membuatku merasa semakin terbebani. Kulirik senyum kaku Titus dengan sebelah tangannya yang terbebat kain.
”Meski kami tidak dapat melihatnya tapi kami mendengarnya dari mereka yang melihat sosok naga Arkhataya yang melayang terbang diatas hutan Farfasian. Selamat nak, kau berhasil membangunkan kekuatan yang telah kami nantikan selama ini,” suara Prechia terdengar tulus dan bangga.
”Tapi Prechia....
”Kami membutuhkan istirahat Prechia. Setelah perjalanan dari misi yang melelahkan ini,” ujar Ness memotong ucapanku.
Prechia menatap aku dan Ness bergantian. ”Tentu saja,” senyum riang menghiasi wajah gemuk Prechia.
Ness menarik tanganku. ”Sebaiknya kita tidak perlu menjelaskan apapun pada Prechia atau siapa pun tentang permintaan Arkhataya,” bisiknya.
Kutatap Ness tak sabar. ”Mereka perlu mengetahui yang sebenarnya, Ness.”
”Dan mengecewakan mereka semua begitu tahu jika Arkhataya hanya makhluk kejam yang sangat angkuh,” nada suara Ness penuh penekanan.
Kubuang pandanganku jauh jauh darinya dengan galau.
Ness meraih daguku dengan lembut. Kedua mata kami kini saling bertautan. ”Sebaiknya kita tidak menceritakan hal yang sebenarnya sampai aku mempunyai rencana pada makhluk menyebalkan itu,” kerling Ness mencoba menghiburku.
Kutatap Ness ragu. ”Entahlah Ness...
”Percayalah padaku Calista. Tapi aku ingin kau berjanji padaku jika kau tidak akan menceritakan hal yang sebenarnya tentang permintaan Arkhataya pada mereka,” pinta Ness lembut.
Aku mengangguk ragu.
”Bagus. Aku hanya tak ingin menghancurkan harapan mereka pada Arkhataya. Biarkan mereka berpikir jika lembah Crystal akan terselamatkan oleh Arkhataya yang akan menghancurkan leviathan Zorca.” Sepasang mata emas itu kini membulat.
”Katakan padaku rencanamu itu Ness,” tuntutku.
Ness menggeleng. ”Jika waktunya telah tiba aku akan memberitahukanmu. Saat ini kau harus meyakinkan diri untuk mengalahkan Zorca dan para pengikutnya ketika pertempuran itu tiba.”
Ness mengucapkan hal itu seolah olah Amorilla akan diserang esok. Dan harapan kami hanya bertumpu pada Arkhataya yang menolak memberikan kekuatannya tanpa imbalan.
Memikirkan permasalahan Arkhataya membuat pikiranku lelah. Kamar tamu Amorilla yang indah tak mampu membuatku merasa nyaman sedikit pun. Ditambah lagi dengan pertanyaan pertanyaan antusias Brisa yang  sangat menantikan kisah kebangkitan sang naga dari mulutku sendiri.
Malam itu aku bermimpi berjalan diantara kelamnya hutan Farfasian. Berjalan jauh diantara patahan ranting ranting di dalam hutan mengerikan ini dengan kaki kaki telanjangku. Suara erangan keras mengejutkanku seketika. Dengan rasa takut luar biasa aku berlari menjauh dan terus berlari diantara pepohonan pinus. Sepasang mata hitam kemerahan terlihat terbang dan memburuku. Kucoba melarikan diri dari makhluk mengerikan itu. Sayangnya aku terjatuh. Dan begitu aku mencoba untuk bangkit kulihat sosok Ness berdiri diantara kami. Sepasang mata emasnya terlihat redup. Dia hanya menatapku datar. Namun aku dapat merasakan kesedihan yang mendalam dari sorot matanya. Belum sempat aku berteriak untuk memanggilnya, makhluk pengejarku telah mencengkram tubuhnya dan terbang diantara deretan pinus dan membawanya pergi jauh dariku.
Aku terbangun dengan gemetar dan sekujur tubuhku basah keringat. Kulirik Brisa yang terlihat lelap di ranjangnya.
Kuusap wajahku dengan kedua telapak tanganku. Aku tidak pernah memimpikan Ness sebelum ini. Kuhembuskan napas perlahan mencoba untuk menjernihkan pikiranku.
Itu hanya mimpi buruk. Batinku menenangkan diri.
Untuk sesaat aku tertegun begitu teringat kembali ucapan Ness akan rencana yang telah dipersiapkannya untuk Arkhataya. Napasku memburu. Kusingkirkan selimutku dengan tegesa dan melompat turun dari ranjangku. Aku berlari menyusuri anak tangga dan terus berlari keluar menuju kolam kecil disamping taman istana Amorilla.
Sosok punggung kekar yang sangat kukenal, terlihat, tengah duduk dengan menopang dagu. Dari tempatku berdiri aku dapat melihat sepasang mata emasnya terlihat meredup dan ia nampak termenung sambil memandangi cucuran air di kolam kecil yang menetes perlahan.
Ketika menyadari kehadiranku, ia memalingkan wajahnya untuk menatapku. Dan setitik airmata mulai jatuh perlahan di kedua pelupuk mata lelahku ini.

Writer : Misaini Indra        
Image source : http://amazzingpicture.blogspot.com/2010_04_01_archive.html

Thursday 8 March 2012

PART II : Calista Kaz “Bangkitnya Sang Naga” (Chapter 3)


3. BANGKITNYA SANG NAGA

Kugenggam tangan Ness dan menariknya pelan untuk berjalan disisiku mendekati air terjun besar dihadapan kami.
Aku berhenti di depan gundukan bebatuan yang tak rata tepat diujung jatuhnya air terjun yang mengalir deras. Tak kuperdulikan cipratan halus butiran airnya yang dingin membasahi pakaianku. Kulepaskan genggaman tanganku dari tangan Ness dan menatapnya sendu.
”Jangan pernah berpaling dariku saat aku membangunkan Arkhataya, Ness.” pintaku lembut, menyiratkan rasa takutku.
Seolah memahami perasaan takut ini, Ness membelai rambut coklatku dengan ujung jemarinya. ”Aku akan memastikan kau hidup dan menaklukkan makhluk itu Calista,” ucapnya dengan ketegasan diantara sepasang mata emasnya.
 Kali ini kupejamkan kedua mataku. Mencoba mendengarkan suara derasnya air terjun Farfasian yang keras dan berisik. Kukosongkan pikiranku dan mencoba untuk tenang. Kuambil napas dalam dalam dan kembali menyelami irama air terjun ini dengan hatiku seperti saran Chaides.
Sayangnya, masih belum dapat kurasakan.
Sentuhan di bahu membuatku terpaksa membuka mata dan menatap Ness yang tengah tersenyum menatapku.
”Mungkin aku bisa membantumu sedikit.”
Aku menatap Ness dengan bingung.
”Tatap mataku dan jangan berkedip meski sesaat,” perintahnya.
Kutatap sepasang mata emasnya yang indah. Tak berapa lama kemudian, pikiranku terasa jauh lebih tenang. Dan Ness kembali mempertegas tatapannya. Kali ini ia memintaku untuk menutup kedua mata dan berkonsentrasi penuh mendengarkan riak air terjun yang terdengar deras.
Iramanya masih sama. Keras dan deras.
Suara lembut Ness yang memintaku untuk terus berpikir tenang seolah membiusku. Hal yang sama yang pernah kurasakan sebelumnya ketika Tristan menghipnotisku dengan sihir mimpinya.
Samar samar suara deras air terjun mengalun seirama. Meski masih terdengar keras dan berisik namun aku mulai mendengar irama yang teratur, seperti nada nyanyian yang menenangkan.
Ini pasti mimpi. Karena suara irama air terjun itu kini mengalun merdu di kupingku. Kunikmati irama air terjun dihadapanku dengan memejamkan kedua mata. Tiba tiba aku menangkap suara lain. Suara dengkuran kasar yang perlahan lahan terdengar jelas. Suara itu berasal dari balik air terjun.
”Aku mendengarnya Ness. Aku dapat mendengar suara Arkhataya yang tengah tertidur,” bisikku antusias masih dengan mata terpejam.
”Ini kesempatanmu. Segera ucapkan mantra itu Calista!” perintah Ness samar di kupingku.
Kutarik napas dalam dalam dan menghembuskannya perlahan. Kemudian dengan penuh keyakinan kembali kubisikkan mantra pemanggil Arkhataya dengan sepenuh hati.
Bangun bangunlah Arkhataya ...
            Tunjukan kesetianmu padaku ...tunjukan kekuatanmu sebagai pelindungku...
            Dengar dengarlah Arkhataya...
            Menyatulah dalam pikiranku ... dengarkan perintahku...
Tidak ada respon.
Tidak. ini salah. Suaraku terlalu pelan untuk didengarnya. Seingatku Obidia mendendangkan mantra pemanggil Arkhataya ini dengan perlahan seperti sebuah nyanyian. Lalu menghentaknya dengan suara lengkingan tinggi dan mengakhirinya dengan teriakan keras sebagai suatu perintah. Tapi aku harus terlebih dulu menyatukan jiwaku dengan Arkhataya. 
Kembali kuatur napasku, seraya berdendang pelan mengucapkan mantra pemanggil dengan sepenuh jiwaku,
Bangun bangunlah Arkhataya ...
            Tunjukan kesetianmu padaku ...tunjukan kekuatanmu sebagai pelindungku...
            Dengar dengarlah Arkhataya...
            Menyatulah dalam pikiranku ... dengarkan perintahku...
            Dan kini dengan penuh keyakinan, kuhentakkan suaraku dengan lengkingan tinggi, seraya menatap tajam kearah air terjun dihadapanku,
Bangun dan datanglah dengan kekuatan sihirku...
            Bangun dan turuti perintahku...
Berikan kekuatanmu padaku, wahai Arkhataya....
Suara erangan keras terdengar dari balik air terjun besar di depanku hingga mengalahkan derasnya suara air yang mengalir jatuh. Kutegaskan pandanganku dan menguatkan hati. Sementara Ness berdiri disampingku dengan raut tegang.
Kembali erangan parau yang cukup keras terdengar dari balik air terjun.
Bulu kudukku meremang. Aku dapat merasakan suatu kekuatan besar akan datang. Sebuah kepala bertanduk perlahan lahan keluar dari balik air terjun. Begitu besar dengan moncongnya yang mengeluarkan napas yang berasap. Sepasang mata hitam dengan bintik kemerahan di bola matanya kini menatap buas mengarah padaku.
”Kau berhasil membangunkannya,” bisik Ness tertahan.
Dengan cepat kutarik Ness untuk mundur beberapa langkah kebelakang bersamaku karena Arkhataya sepertinya hendak keluar dari balik air terjun di depan kami dengan tak sabar.
Arkhataya kembali mengerang keras seraya menunjukkan deretan giginya yang besar dan tajam. Dengan gerakan cepat naga itu keluar dari peraduannya. Tubuhnya yang sama besarnya dengan leviathan Zorca terlihat bergerak perlahan ke kanan dan ke kiri. Ia mengepakkan kedua sayapnya yang bersirip dan setajam mata pisau itu dengan gerakan cepat. Punggung besarnya yang bertanduk hingga ujung buntutnya terlihat menakutkan. Sementara kedua kakinya yang memiliki cakar tajam terlihat mencengkram bebatuan dipinggiran air terjun yang mengalir deras. Punggungnya terlihat licin dan basah karena siraman air terjun yang deras. Sepasang mata hitam dengan bintik merah di bola matanya kini menatapku buas seraya mengerang keras.
”BERANI SEKALI KAU MEMANGGILKUUU!!!” erang Arkhataya marah.
Aku tersentak kaget. Napasku memburu.
Naga ini berbicara padaku. Batinku dengan jantung berdebar seolah masih tak percaya. Dia terlihat tak senang akan perbuatanku ini.
Dengan tergesa aku mundur beberapa langkah ke belakang diantara bebatuan yang tak sama besarnya.
Naga itu kini mengibaskan kedua sayapnya dan mengejar langkah langkah kecilku dengan amarah yang meluap. ”KAUU BUKANN OBIDIAA. DIMANA OBIDIAAA!!!” Erangnya keras seraya menunjukkan deretan giginya yang setajam pedang.
Ness berusaha melindungiku dengan menyarangkan serangan ke punggung Arkhataya yang nampak terkejut dan berbalik arah padanya dengan erangan keras. 
Arkhataya mengibaskan buntutnya yang bertanduk ke tubuh Ness hingga ia terhempas delapan langkah diantara bebatuan keras ini.
Kini sepasang mata hitam Arkhataya terlihat memerah dan pandangannya tertuju pada Ness yang jatuh tertelungkup.
            ”KUMOHON HENTIKANN!” teriakku begitu melihat reaksi Arkhataya atas serangan Ness padanya.
            ”AKU AKAN MEMBUNUH KALIANNN!!” raung Arkhataya seraya bersiap siap untuk meniupkan api dari moncongnya kearahku.
            Perlahan Ness berusaha keras mendongakkan kepalanya dan menatapku. ”GELANGNYA CALISTA!! TUNJUKKAN GELANGNYA!! teriak Ness kesal dari tempatnya berbaring dengan wajah penuh goresan luka.
Dengan cepat kuacungkan gelang pusaka di lengan kananku pada naga yang terlihat murka tersebut. ”OBIDIA MEWARISKAN GELANG INI PADAKU. KAU DENGARR!!! LIHATLAH GELANG INI!! LIHATLAH GELANG INIII!!”  Teriakku panik.
Arkhataya memiringkan kepalanya untuk melihat gelang yang melingkar di tangan kananku. Dan dengan gerakan cepat, pandangan makhluk itu kini mengarah padaku. Sepasang mata liarnya seolah menembus pandanganku. Tak mau melewatkan kesempatan ini, dengan cepat kuteriakkan kembali rapalan mantra panggilnya dengan menatap langsung kedua mata liarnya itu,
TUNJUKKAN KESETIANMU PADAKU...
TUNJUKKAN KEKUATANMU SEBAGAI PELINDUNGKU...
DENGARLAH ARKHATAYA...
MENYATULAH DALAM PIKIRANKU...
DENGARKAN PERINTAHKU...
Sepasang mata liar itu terpaku begitu mendengarkan rapalan mantra yang kuucapkan. Seolah terbius. Arkhataya terlihat memiringkan kepalanya kembali dan terdiam.
Berhasil. Napasku memburu dan dengan lengkingan tinggi seraya menunjukkan gelang Obidia kearahnya kuucapkan mantra perintah yang kedua pada naga mematikan ini,
            DENGAN KEKUATAN SIHIRKU.. TURUTI PERINTAHKU...
            BERIKAN KEKUATANMU PADAKU, WAHAI ARKHATAYA...
            Arkhataya terlihat lebih tenang. Tubuhnya yang berukuran besar dan tinggi menjulang kini membeku.
            ”Mulai sekarang kau akan menuruti perintahku!!” seruku tertahan.
            Arkhataya hanya mengibaskan buntutnya yang besar dan panjang.
            ”Namaku Calista. Obidia mewariskan gelang ini padaku. Dan kau akan menuruti semua perintahku!!” tegasku.
            ”Apakah kau tengah berbicara pada makhluk itu?” desah Ness terheran heran yang kini telah berdiri disampingku. Ada goresan darah terlihat jelas di pelipisnya.
            Kutatap Ness bingung. ”Ya. Bukankah kau juga mendengar semua ucapan dan kemarahannya?!” ujarku balik bertanya.
            ”Sayangnya tidak,” geleng Ness seraya melirik Arkhataya yang terlihat membeku ditempatnya berdiri. ”Apakah dia tengah tertidur saat ini?” tanya Ness lagi dengan nada setengah mengejek.
Kualihkan kembali pandanganku pada naga dihadapanku ini.
”Aku tahu kau ada di dalam sana Arkhataya,” ucapku hati hati.
Kini Arkhataya menghembuskan napasnya yang berasap. ”APA YANG KAU INGINKAN DARIKUU!” erangnya pelan.
Kutatap sepasang mata hitamnya lekat lekat. ”Aku ingin kau membantuku membunuh leviathan, makhluk dari neraka yang telah merampas negri leluhurku,” ujarku tertahan menunggu reaksinya.
Arkhataya mengerang kencang seolah tengah tertawa keras keras.
Membuat aku dan Ness terkejut karena suara tawanya lebih menyerupai jeritan panjang.
”KAU TIDAK BISA MEMBUNUH JIWA TERKUTUK YANG TELAH MATII!!” pandangan liarnya tertuju padaku.
”Kalau begitu kembalikan jiwa jiwa terkutuk itu kembali ke asalnya. Kau pernah melakukan itu sebelumnya kan?!” desakku putus asa.
”BODOH!! KAU MERAGUKAN KEHEBATANKUU. AKUU, ARKHATAYA ADALAH PENYIHIR TERHEBAT DARI UTARA!!!” erangnya bergema keseluruh hutan, mengalahkan derasnya suara air terjun Farfasian ini.
Ternyata legenda itu benar. Batinku resah. Rupanya ruh Arkhataya, telah masuk ke dalam tubuh naga mematikan milik kerajaan Amorilla ini.
”KETIKA OBIDIA MEMBANGUNKAN TUBUHKU. DIA MENJANJIKAN SESUATU PADAKU!!” kini Arkhataya menatapku dengan sorot garang.
Aku menatap bingung kearah makhluk mengerikan itu.
”KAU INGIN KEKUATANKU, KAU HARUS MEMENUHI PERMINTAANKU!!” erangnya kasar.
Hatiku ciut seketika.
”Apa yang kau inginkan dariku?” tanyaku ragu.
Ness melirikku resah. ”Sebenarnya apa yang tengah kalian rundingkan? Bukankah seharusnya makhluk itu menuruti semua permintaanmu?” nada suara Ness terdengar gusar karena tidak dapat mendengar satu pun ucapan Arkhataya.
Kutatap Ness nanar. Arkhataya adalah seorang penyihir cerdas di masanya. Tapi, sepertinya, jiwanya itu sekelam ilmu sihir yang dimilikinya.
Kini aku mulai mengetahui arti mimpiku beberapa hari yang lalu, akan ucapan Obidia yang melarangku untuk membangkitkan Arkhataya.
”Percayalah padaku Ness. Tapi ini benar benar diluar dugaan. Tidak semudah seperti yang kita bayangkan sebelumnya,” bisikku pelan pada Ness tanpa mengalihkan pandangan sedikit pun pada Arkhataya yang tengah mengawasiku.
”Jangan turuti permintaannya, kau dengar aku Calista?!!” seru Ness marah. Sepasang mata emasnya kini menatap tajam pada naga Arkhataya.
Arkhataya mendengus keras seolah terusik oleh seruan Ness.
Dengan cepat kuangkat tangan kananku tinggi tinggi kearah sang naga. ”Aku pewaris gelang pusaka milik Obidia. Itu berarti kau harus menuruti semua perintahku!!” seruku sedikit bergetar.
Arkhataya kembali mengeluarkan suara erangan tinggi. Menyerupai suara tawa bernada mengejek.
”KAU PIKIR KAU DAPAT MENGENDALIKANKU LEWAT GELANG ITU!!”  
Wajahku terasa tegang. Kata katanya membuatku kehilangan percaya diri dan semakin tersudut. Apakah makhluk buas ini hanya ingin menakutiku saja dengan ucapannya barusan.
Seakan dapat membaca pikiranku. Arkhataya kembali tertawa keras yang bernada raungan tinggi. ”OBIDIA MEMBUAT GELANG YANG ADA DITANGANMU ATAS PERMINTAANKU. TAPI AKULAH YANG MEMANTRAI GELANG ITU!!” kini sepasang mata merah sang naga menyorot tajam padaku. ”SAAT KAU MEMAKAINYA MAKA KAU DAPAT MENDENGAR SEMUA UCAPANKU!!” raungnya kasar.
Aku terperangah untuk beberapa saat. Kupandangi gelang perak dilengan kananku dengan ragu. Jadi gelang ini hanya berfungsi sebatas itu saja. Batinku kecut.
”TAPI OBIDIA MENGKHIANATIKUUU!!!  DIA MEMBUAT MANTRA UNTUK MENGURUNGKU DILUBANG KOTOR INI!!!” raungnya seraya memiringkan kepalanya kearah air terjun Farfasian.
Nafasku memburu. Sepertinya aku cukup beruntung karena dalam keadaan marah, Arkhataya telah membuka rahasia terbesar yang belum kuketahui sebelumnya akan fungsi gelang pusaka ini.
”BERTARUNGLAH UNTUKKU!!! DAN DAPATKAN KEMBALI KEHORMATANMU!!” teriakku mencoba membujuknya.
Naga mematikan dihadapanku ini mengerang keras, ”BERIKAN AKU SEBUAH RAGA!! MAKA AKU AKAN BERTARUNG UNTUKMUU!!” raungnya tinggi mengalahkan derasnya suara air terjun seraya mengibaskan sayapnya ke udara dan terbang tinggi ke langit biru hutan Farfasian yang luas ini.
”NESS!!! AKU HARUS MENIDURKANNYA KEMBALI. DIA TERLALU BERBAHAYA UNTUK DIBIARKAN BEBAS!!!” teriakku panik seraya berlari cepat mencoba untuk mengejar naga tersebut dengan sekuat tenaga.
Dengan sigap, Ness melompat lincah mengikuti langkah langkah rapuhku.
Kurapalkan mantra penidur Arkhataya dengan putus asa tapi naga tersebut terlalu cepat dan telah berada jauh dari jangkauan. Kini ia mulai menyemburkan api dari moncongnya ke segala arah hingga menghanguskan sebagian pohon pohon pinus yang dilaluinya.
”Sial! Kita tidak mungkin mengejarnya seperti ini,” maki Ness kesal.
Aku hampir menangis mendengar kebenaran dalam ucapannya itu. ”Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan. Kekuatan pikiran dari ruh Arkhataya lah yang mengendalikan tubuh naga mematikan itu,” sahutku parau.
Ness hanya menatapku resah.
”Seharusnya aku tidak membangunkannya. Obidia telah memperingatkanku sebelumnya dalam mimpi. Dan itu juga penyebab Obidia berduel mati matian dengan Balthazar dengan tujuan mencegah makhluk mengerikan itu bangkit dari tidurnya. Arkhataya hanya mementingkan dirinya sendiri dan ambisinya. Dia sangat berbahaya Ness!” cerocosku kalut.
”Baiklah, aku mengerti maksudmu. Kita akan menidurkan kembali makhluk itu,” ujar Ness mencoba menenangkanku.
Airmata mulai menggenang disudut kedua mataku. Kuhapus dengan kasar dan merasa muak dengan sikap cengengku.
Ness menatapku ragu. ”Aku akan mencoba mengalihkan perhatiannya untuk mengejarku. Lalu membawanya pada jarak pandang terdekatmu. Setelah itu berusahalah untuk memantrainya,” suara Ness terdengar lembut mencoba untuk menenangkanku.
Aku mengangguk dengan rasa gemetar disekujur tubuhku.
”Kau harus bisa melakukan itu Calista,” tegas Ness.
Seperti orang bodoh aku kembali menganggukkan kepala tanpa bersuara.
”Bagus! karena jika kau tidak dapat melakukannya, kita berdua akan mati di hutan ini dengan sia sia,” desah Ness datar seraya menghembuskan napas kencang.
Kukatupkan rahangku rapat rapat. Aku benci mendengarnya tapi semua ucapan Ness itu benar.
”Bersembunyilah dibalik pohon pinus dekat batu besar itu. Jika aku berhasil membawanya kemari. Berjanjilah padaku, kau akan menidurkan makhluk jelek itu,” sungut Ness bernada sarkastis.
Aku hanya mengatupkan rahangku kuat kuat.
Ness melompat lincah diantara bebatuan dipinggiran tebing. Dan mulai mendaki dengan cepat. Sementara aku berlari dengan segenap kekuatanku dan bersembunyi di tempat yang diperintahkan Ness padaku.
Jantungku terus berdetak kencang. Tak henti hentinya aku memaki diriku yang begitu bodoh membangunkan Arkhataya, tanpa pemikiran matang.
Kudongakkan kepala dan melihat Ness berdiri diantara undakan tebing tertinggi. Ia berdiri tegak disebuah batu besar kemudian menyilangkan kedua tangannya di dada lalu menatap langit biru seraya mengucapkan sesuatu.
Dari jarak pandangku yang cukup jauh, aku masih dapat melihat sinar menyilaukan yang terpancar dari kedua gelang kembar perak Griffin yang berada di pergelangan tangan Ness.
Keajaiban terjadi. Awan awan putih yang menggumpal di langit terlihat bergerak pelan seolah memberikan jalan pada sesuatu. Setitik bayangan melayang pelan dan perlahan lahan semakin terlihat jelas menuju kearah Ness. Sosok seekor burung elang raksasa dengan kakinya yang bercakar menyerupai singa terlihat melayang anggun terbang diantara gumpalan awan awan putih.
Burung elang itu mengeluarkan lengkingan panjang seolah memberitahu kehadirannya pada si pemilik pusaka. Burung elang raksasa bercakar singa itu adalah Griffin sang penjaga matahari. Senjata pusaka milik Odile, jenderal pasukan cahaya negri Amorilla, yang diwariskan pada cucu satu satunya, Ness Ferin.
Dengan gerakan lincah Ness melompat ke punggung Griffin ketika burung elang raksasa itu terbang pada jarak terdekatnya dengan Ness. Sosok Griffin pun menghilang bersamaan dengan Ness yang duduk diatas punggung, tubuh besarnya.
Sementara itu, aku hanya berjongkok kesal dibalik pohon pinus dengan perasaan sangat tersiksa. Menunggu kedatangan sang naga.
Ketakutan terbesarku adalah kegagalan menidurkan kembali makhluk buas yang cerdas itu kedalam gua dibalik air terjun Farfasian dihadapanku ini.
Tak perlu menunggu terlalu lama, samar samar terlihat sosok Ness duduk diatas punggung burung elang raksasa yang terbang menukik dari kejauhan dengan diikuti seekor naga berwajah garang yang tengah memburunya.
Sepertinya Ness benar benar telah membuat Arkhataya marah. Wajah tampan Ness yang duduk diatas punggung Griffin terlihat tegang. Sementara itu sosok Griffin terlihat semakin dekat dan menukik tajam kearahku. Sedangkan Arkhataya mengekorinya terus seraya mengerang keras dengan garang.
Dengan murka Arkhataya menyemburkan api dari moncongnya, ditujukan pada punggung Griffin, untungnya dengan lincah burung elang raksasa itu berbelok arah menuju deretan pinus tempat persembunyianku dan terhindar dari semburan api Arkhataya.
”SEKARANG CALISTAA!!!” teriak Ness sekuat tenaga diatas punggung Grifin yang terbang begitu rendah hingga nyaris menghantam bebatuan.
Aku berlari sekuat tenaga dan menghadang Arkhataya yang tengah menukik tajam, berusaha mengejar sosok Grifin.
Dengan teriakan keras kurapalkan mantra nyanyian tidur bagi Arkhataya dengan sepenuh jiwa, mencoba untuk menyatukan pikiran kami,
DENGARLAH AKU ARKHATAYA YANG AGUNG...
PEJAMKAN MATA DAN BERMIMPILAH KEMBALI ....
DENGARLAH AKU ARKHATAYA YANG HEBAT ...
PEJAMKAN MATA SAMPAI AKU MEMANGGILMU LAGI ....
Tubuh besar Arkhataya mendarat dengan cepat dan menghancurkan beberapa bebatuan besar yang diinjaknya. Sepasang mata hitam berbintik merah itu menatap buas kearahku. Kembali kurapalkan mantra nyanyian tidur untuknya. Kali ini ia meraung keras, memekakkan telinga. Kutatap sorot mata liarnya yang tengah menatapku. Aku bahkan dapat merasakan hawa panas yang keluar dari tenggorokannya.
Dengan cepat kembali kurapalkan mantra penidur untuk yang ketiga kali,
Raungannya berubah menjadi erangan yang mulai melemah. Tubuh besarnya nampak sedikit bergetar.
”Kembalilah ke peraduanmu dan tidurlah dengan damai,” ucapku pelan sebagai penutup nyanyian sihir penidur untuknya.
Sepasang mata kelam Arkhataya nampak meredup. Dalam keadaan terbius tubuh besar Arkhataya perlahan menembus derasnya curahan air terjun untuk masuk kembali dalam gua dibalik air terjun di hadapanku. Perlahan lahan tubuh besarnya menghilang diantara derasnya riak air terjun yang meluncur deras.
Kutarik napas panjang penuh kelegaan. 

Writer : Misaini Indra        
Image source :http://img-cache.cdn.gaiaonline.com/af1ff49b3d75cea37ac6156ebb7224b2/http://i245.photobucket.com/albums/gg44/Pheonix_flower_rising/dragon%20warriors/Wyvern-3.jpg