Protected by Copyscape Plagiarism Scanner

Wednesday 4 July 2012

PART II : Calista Kaz “Bangkitnya Sang Naga” (Chapter 7)


7. JALAN BUNTU

Titus mengernyitkan dahi dan menatapku dengan raut wajah penuh rasa penasaran.
”Lupakan saja Titus. Kurasa itu hanya sebuah mimpi buruk bukan sebagai sebuah pertanda apapun,” gusarku jengah dengan tatapannya yang penuh selidik.
Titus menghela napas panjang. ”Seingatku kau begitu resah saat datang ke tempatku menanyakan perihal permintaan Obidia dalam mimpimu itu.”
Aku mencoba tersenyum. ”Saat itu reaksiku sepertinya terlalu berlebihan hingga kau menarik kesimpulan ada yang aneh dengan hal itu.”
Titus terdiam. Namun sepasang mata sedihnya tetap tak mau melepaskan pandangannya padaku.
”Bagaimana tanganmu? Kau sudah merasa baikan? tanyaku mencoba mengalihkan pembicaraan.
”Seperti yang kau lihat,” sahutnya seraya menunjukkan tangan kanannya yang sudah tidak dibebat kain lagi.
”Sukurlah,” ujarku bersimpati.
”Ceritakan padaku dari awal Calista, bagaimana akhirnya hingga kau bisa membangkitkan naga Arkhataya dari tidur panjangnya,” desak Titus penuh selidik.
Kuberanikan diri menatap Titus dan mencoba bersikap wajar.
”Chaides Borzy membantuku untuk memahami riak air terjun Farfasian tempat bersemayamnya Arkhataya,” ucapku datar.
”Sulit dipercaya! Laki laki cebol yang menguasai sihir air itu musuh yang sangat berbahaya. Untuk apa dia membantumu!” dengus Titus keheranan.
”Sepertinya Chaides mulai lelah akan dendam Zorca yang tak pernah terpuaskan, ujarku seraya menghembuskan napas panjang.
Titus terdiam untuk beberapa saat. Lalu kembali menatapku.
”Keberuntungan nampaknya selalu berpihak padamu,” senyum sedih Titus terlihat samar diwajah tirusnya.
Rasanya kata kata Titus kurang tepat ditujukan padaku. Justru kemalangan selalu datang sejak kutahu siapa diriku dan silsilah keluargaku.
”Berharap saja kali ini keberuntungan kembali menyertaiku saat kuperintahkan Arkhataya menghancurkan leviathan Zorca nanti,” desahku kesal.
Kening Titus kembali berkerut. Kukatupkan rahangku rapat rapat. Betapa bodohnya aku memberikan pernyataan yang akan membawa Titus pada prasangka yang baru saja ditudingkan padaku sebelumnya.
”Kau terdengar seperti tidak yakin pada kekuatan sihirmu,” ucap Titus menyudutkan.
Terlambat. Sepertinya Titus mulai membaca keresahanku. Aku harus memberikan jawaban tepat supaya ia tidak semakin mencurigaiku.
”Terkadang....” sahutku mencoba bersikap wajar.
Kali ini sepasang mata sedihnya mengamati  airmukaku.
”Aku pasti akan mengetahui dengan cepat jika kau menyembunyikan sesuatu dariku Calista,” tukasnya dengan nada tinggi yang mengganggu.
”Apa yang membuatmu berpikir seperti itu,” senyum palsuku terlontar lepas, mencoba menyamarkan kerucut di kedua bibirku yang sedikit bergetar.
”Matamu tidak dapat membohongiku,” sungut Titus. ”Kau tahu dimana mencariku jika kau siap untuk menceritakan hal yang sebenarnya padaku,” sambung Titus memperingatiku.
”Sikapmu sangat berlebihan Titus. Tidak ada apapun yang kusembunyikan darimu,” gerutuku kesal.
”Lalu untuk apa kau dan Ness bersikap aneh saat pertemuan kemarin, jika tidak ada rahasia yang kalian sembunyikan,” balas Titus tak kalah kesal.
”Brisa pasti telah meracuni pikiranmu,” ejekku setengah tertawa.
Wajah Titus merona. ”Semua ini tidak ada hubungannya dengan Brisa,” lengking Titus geram. Gerak tubuhnya terlihat sedikit kikuk manakala aku menyebut nama Brisa.
”Sepertinya wajahmu terlihat berubah warna setiap kali aku menyebut nama Brisa,” bisikku pelan sekedar untuk menggodanya.
Wajah Titus menegang. ”Aku sama sekali tidak mengerti maksud ucapanmu itu, tapi apapun yang kau dan Ness rencanakan diam diam akan sangat berbahaya dampaknya bagi keselamatan negri kita dan Amorilla,” tegasnya setengah berteriak dengan wajah sedikit bersemu.
Aku terdiam sesaat. Sial. Apakah Titus bisa membaca pikiran kami semudah itu hanya dengan melihat gerak gerik aku dan Ness diruang aula kemarin.
”Dengar Calista. Aku tidak akan memaksamu. Tapi aku berjanji akan membantumu jika kau siap menceritakan apapun itu yang kau dan Ness rencanakan,” sorot tajam dari sepasang mata sedihnya terlihat tulus dan mencoba untuk membujukku.
Kutatap Titus dengan menunjukkan sikap seolah olah  praduganya salah.
”Terimakasih Titus. Aku sangat menghargai semua ucapanmu itu,” senyumku sedatar mungkin mencoba menyembunyikan keresahan yang selalu menghantuiku.
Kepergian Titus membuatku galau.
Mungkin dia benar. Mungkin memang seharusnya aku menceritakan hal yang sebenarnya perihal Arkhataya. Tapi aku telah terlebih dahulu memberikan janjiku pada Ness.
Entah berapa kali sudah aku berjalan mondar mandir di kamar ini dengan pikiran kacau. Jika aku memberitahukan Titus perihal pengorbanan Ness, kurasa Ness tidak akan mau berbicara lagi padaku karena aku telah mengkhianati kepercayaannya.
Tapi Titus adalah solusi bagi masalah ini. Titus adalah orang yang tepat untuk menyelesaikan masalah Arkhataya.
Aku benar benar buntu.
Kucoba keluar kamar dan berjalan disekitar taman istana. Pelayan pelayan istana Amorilla terlihat sibuk berjalan keluar masuk pintu samping ruang utama. Masing masing membawa rangkaian bunga dan beberapa diantaranya nampak membawa makanan dan buah buahan disebuah nampan perak.
Sepertinya ada sebuah perayaan. Batinku.
Sekilas kulihat Quilla dari kejauhan. Gadis tersebut terlihat duduk disebuah kursi taman dengan meja kecil dihadapannya yang penuh dengan nampan yang berisi rangkaian bunga beraneka warna. Wajah angkuhnya nampak bercahaya dan terlihat senang. Quilla terlihat sibuk memilih beberapa bunga yang disorongkan para pelayan istana dihadapannya.
Mata kami bertemu.
Dengan canggung kuanggukkan kepala sebagai tanda hormatku padanya. Sayangnya Quilla terlihat tak perduli dan kembali menyibukkan diri memilih rangkaian bunga yang berada di meja kecil dihadapannya.
Kulangkahkan kakiku cepat cepat dan meninggalkan taman ini. Kucoba melupakan penghinaan kecil yang ia lakukan padaku. Meski Quilla telah mengabaikan sikap hormat yang telah kutujukan padanya, tapi semua itu tidak membuatku gentar.
Brisa benar. Sudah saatnya aku menentukan sikap. Aku akan tetap berjalan tegak meski Quilla tak pernah menganggapku. Satu satunya kesabaran yang kumiliki dan membuatku bertahan atas sikapnya yang menyebalkan itu adalah karena kebaikan hati Zordius yang mau menampung kami selama ini.
Aku harus merebut lembah Crystal bagaimanapun caranya. Dan mengembalikan kehormatan negri leluhurku yang telah terampas. Demi darah Anthea yang mengalir ditubuhku. Dan juga penduduk lembah Crystal yang menggantungkan harapan mereka padaku. Aku bersumpah merebut kembali tanah leluhurku apapun resikonya.
Aku akan menunjukkan pada Quilla jika aku pantas menjadi pelindung lembah Crystal. Aku akan membuktikan padanya jika semua perkataannya kemarin salah.
Keesokkan harinya aku melewatkan sarapan dan langsung mendatangi ruang peristirahatan Ness. Sayangnya, aku tidak dapat menemuinya disana. Salah satu pelayan mengatakan padaku jika Ness telah pergi pagi sekali meninggalkan ruangan tanpa berpesan apapun.
Kucoba menemui Piphylia Ferin di kamarnya. Raut wajah ibu Ness tersebut nampak senang begitu melihat kehadiranku. Diraihnya kedua tanganku dan mendudukkanku disebuah kursi kayu. Piphylia mulai bercerita tentang ramuan minuman penguat tubuh yang baru ditemukannya. Disodorkannya cairan berwarna hijau pupus tersebut di depan hidungku. Meski wajahku terlihat menunjukkan ekspresi keraguan namun kedua tanganku tetap mengambil cangkir dari kedua tangannya yang disorongkan di depan hidungku ini. Aku tak sanggup menolak pesona Piphylia yang nampak tersenyum lembut seraya mengangguk kearahku.
Aroma tajam dari rasa asam bercampur manis mulai membasahi kerongkonganku. Dan aku tersedak pelan karena tidak mengira akan merasakan dua rasa tersebut secara bersamaan.
Sepasang mata Piphylia menatapku dengan ekspresi wajah menunggu.
”Bagaimana nak?” tanyanya dengan wajah antusias.
”Terasa asam dan manis...” ujarku menggantung.
Piphylia tertawa pelan. ”Tentu saja. Minuman itu terbuat dari sari buah Apel dan daun Ethor.”
”Daun...Ethor?”
”Ya.. ya Ethor. Sejenis tanaman rambat yang hanya tumbuh di hutan Amorilla. Aku menemukannya kemarin sore dan tak dapat menutupi rasa bahagiaku karena menemukan tumbuhan itu secara tak sengaja,” ujarnya menjelaskan.
Sementara aku hanya tertegun mendengar penjelasannya.
”Kau tahu. Tanaman Ethor akan mati jika dibawa keluar dari hutan Amorilla. Seingatku dulu, sewaktu aku kecil, ibuku pernah mengingatkanku jika tanaman Ethor memiliki cerita tersendiri.”
”Benarkah?” tanyaku penasaran.
Piphylia tersenyum lembut padaku. ”Kau tahu, Ethor adalah nama seorang laki laki keturunan peri yang memiliki kekuatan penyembuh segala penyakit. Selama hidupnya, Ethor tidak memiliki cinta sejati karena baginya sebuah kasih sayang adalah perwujudan dari pengorbanannya untuk membantu mereka yang membutuhkan pertolongan dan kesembuhan. ”
Kutatap wajah Piphylia yang terlihat menerawang.
”Lalu apa yang terjadi kemudian padanya?” tanyaku hati hati.
Piphylia menatapku dan tersenyum. ”Meski Ethor tidak memiliki seorang kekasih dalam hidupnya namun saat tutup usia, Ethor memiliki seluruh cinta dari semua rakyat Amorilla yang merasa sangat kehilangan karena ketulusan hatinya yang tak pernah lelah menolong siapa pun.”
Aku tertegun untuk sesaat.
”Mereka mengubur Ethor dibawah rindangnya pohon maple dan beberapa hari kemudian tanaman rambat memenuhi seluruh tanah pembaringannya yang terakhir. Meski telah dibersihkan berkali kali, tanaman itu terus tumbuh dan semakin merambat bebas kesegala arah.”
            Piphylia berhenti sejenak mengambil napas sebelum kembali melanjutkan ceritanya. ”Anak angkat Ethor yang bernama Gorloin tak sengaja membawa tanaman rambat tersebut pulang setelah membersihkannya dari makam Ethor, Gorloin  merebusnya dan meminumkannya pada anaknya yang tengah demam tinggi. Dan saat pagi menjelang anak perempuan Gorloin pun sembuh dan menjadi lebih ceria dari biasanya.”
            ”Suatu kebetulan yang tak terduga,” gumamku pelan.
            Piphylia menoleh kearahku. ”Gorloin pernah mengatakan pada isterinya, ia melakukan hal tersebut semata mata karena mendengar seseorang membisikinya untuk melakukan itu semua. Beberapa tetua mengatakan jika Ethor lah yang membisiki telinga Gorloin untuk melakukan itu semua. Begitu tulusnya hati Ethor hingga dalam pembaringan terakhirnya masih dapat berpesan dan mewariskan tanaman ini untuk keselamatan kita semua.”
            Piphylia menutup ceritanya dan memandangku.
            ”Betapa mulianya hati Ethor,” desahku pelan. ”Begitu besar pengorbanan yang ia lakukan untuk pengabdian yang ia lakukan.”
Tiba tiba saja pikiranku kembali melayang pada pengorbanan Ness untuk Arkhataya.
”Kau tahu nak. Aku jadi terkenang masa kecil ketika membantu ibuku mencari tanaman Ethor di hutan Amorilla ini,” sepasang mata Piphylia memandangi daun Ethor yang ada dalam genggaman tangannya itu.
”Anella adalah ibumu, benarkah begitu?” tanyaku ragu.
Piphylia tersenyum kearahku. Dan mengangguk pelan. ”Dia mengajarkan banyak hal padaku. Kami sering pergi ke hutan bersama untuk sekedar mencari jenis tanaman baru sebagai racikan obat. Menghabiskan waktu sepanjang hari menelusuri setiap jengkal hutan Amorilla untuk mengumpulkan berbagai tumbuhan berkhasiat sambil menyanyikan lagu kesukaan kami,” kini sudut mata Piphylia terlihat sayu.
”Terkadang aku merindukan masa masa itu bersamanya nak,” wajah Piphylia menjadi sendu.
”Anda sungguh beruntung nyonya Ferin. Aku bahkan tidak mempunyai kesempatan apalagi memiliki kenangan bersama ibuku sewaktu kecil,” dengusku mencoba menghiburnya dengan kegetiran masa laluku.
Piphylia tersenyum bijak lalu mengelus sebelah pipiku. ”Maafkan aku yang tidak peka akan keadaan masa kecilmu.”
Aku tersenyum samar. ”Tidak. Bukan salah anda nyonya. Kurasa aku hanya terlalu cengeng dan iri pada masa kecil anda yang penuh oleh kehangatan seorang ibu,” sanggahku dengan perasaan tak enak hati.
”Kita semua memiliki masa lalu. Terlepas dari indah dan tidaknya kita harus menghargai itu semua karena merupakan bagian dari hidup kita sekarang. Apa yang terjadi di masa lalu menjadikan kita kuat menghadapi masa sekarang,” kedua tangan Piphylia merengkuh wajahku dan menatapku dalam.
”Kau adalah gadis pemberani yang pernah kutemui dalam hidupku. Darah Anthea yang mengalir ditubuhmu membuktikan jika kau setegar dan sebijak mendiang kakekmu, Ghorfinus.”
Kutatap Piphylia haru.
”Jangan pernah merasa sendirian. Karena aku akan selalu ada jika kau membutuhkan bantuan nak,” janji Piphylia padaku.
Sebuah pikiran terlintas dibenakku. Haruskah kukatakan padanya jika anak laki laki satu satunya itu akan mengorbankan jiwanya untuk Arkhataya.
Kutatap Piphylia dengan tegang. Jantungku berdegup cepat. Mungkin saja jika aku mengatakan pada Piphylia, Ness akan merubah keinginannya itu. Piphylia bisa membujuk Ness untuk membatalkan niat gila dikepalanya itu.
”Ness.....,”desahku ragu.
Piphylia memandangku dengan bingung. ”Ada apa dengan Ness?” tanyanya penasaran.
Kutarik napas panjang mencoba untuk menguasai getaran dalam nada suaraku.
”Anakmu Ness akan melakukan suatu...
”Apakah kau tengah mencariku!” sebuah seruan memotong pembicaraanku. Seruan itu terdengar di pintu masuk kamar Piphylia.
Ness terlihat berdiri disana dan menatapku tajam.
Piphylia tersenyum riang. ”Suatu kebetulan kau berada disini Ness. Sepertinya Calista memang tengah mencarimu.”
Wajahku memanas. Kucoba tersenyum dengan raut ketegangan di wajahku.
”Sebaiknya kita tidak mengganggu ibuku dan mencari tempat untuk bicara,” ujar Ness menawarkan. Nada suaranya terdengar santai dan raut wajahnya berubah menjadi ramah.
Piphylia tertawa seketika. ”Jangan berpikir seperti itu Ness. Kehadiran Calista sama sekali tidak menggangguku.”
Satu alis Ness terangkat lalu mengalihkan pandangannya padaku.
Aku tersenyum gugup. ”Tapi...Ness benar. Ada sesuatu yang harus kami bicarakan berdua saja jika anda tidak keberatan nyonya Ferin,” ucapku sopan.
”Oh tentu saja tidak nak. Pergilah dan selesaikan masalah kalian berdua,” ujar Piphylia seraya memelukku cepat dan tersenyum lembut kearahku.
Aku mengangguk pelan. ”Terimakasih nyonya Ferin. Senang sekali berbicara dengan anda meski hanya sebentar saja.”
Piphylia tersenyum datar. ”Aku juga merasakan hal yang sama nak.”
Setelah mengucap salam perpisahan dengan cepat Ness meraih tanganku dan membawaku pergi dari sini.
Wajah Ness nampak tegang dan bercampur kesal ketika menatapku.
”Apakah kau berniat untuk menikamku dari belakang?” tanyanya sinis.
Aku hanya membisu dan melemparkan pandangan jauh jauh dari sepasang mata teduhnya itu.
”Aku tak ingin membicarakan lagi hal ini. Dan kuharap kau berhenti dalam usahamu untuk mencegah niat baik ku untuk mengembalikan lembah Crystal,” tambah Ness dengan nada terkendali.
”Niat baik atau semua itu hanya usaha untuk menghindar dari pertunangan yang tidak kau inginkan itu!” seruku marah.
Ness menatapku tegang.
”Terkejut?! Karena aku berhasil mengetahui rahasia dibalik pengorbananmu itu,” sindirku kesal.
Ness tertawa keras begitu mendengar seruan kekesalanku.
”Jangan mempermainkanku Ness. Aku tidak sebodoh perkiraannmu!” lengkingku lagi semakin marah.
Sepasang mata emas Ness menatapku dalam. ”Aku tidak perlu menjelaskan apapun padamu.”
”Jika kau ingin membantuku. Kau harus mengatakan padaku alasan sesungguhnya. Kau berhutang sebuah penjelasan padaku?” sahutku ketus.
”Mengapa kau begitu perduli akan pertunanganku dengan Quilla?” tandas Ness tanpa basa basi.
Untuk sesaat aku terhenyak. Kuputar kedua bola mataku dan berpikir keras untuk menjawab pertanyaannya itu.
”Katakan padaku Calista? Kenapa?” desak Ness dengan satu alis terangkat dan menatapku penuh tanda tanya.
”Jangan mencoba untuk mengalihkan pembicaraan,” sanggahku marah.
Ness tertawa.
Napasku memburu. Meski kutahu tidak ada nada ejekan dalam nada tawanya. Tetap saja hatiku terasa kesal seolah ia telah memenangkan separuh perdebatan ini.
”Apakah kau takut kehilangan aku, nona Kaz?” kerling Ness menggodaku.
Wajahku panas seketika. Kutarik napas mencoba menahan degup jantungku yang berdetak tak karuan. ”Aku hanya tak ingin tunanganmu yang sinting itu mengejarku jika terjadi hal buruk padamu. Terus terang saja, lengkingan suaranya benar benar membuatku gilaa!” cetusku kasar.
Suara tawa Ness kembali terdengar keras.
”Kau tahu, perkataanmu itu benar benar menghiburku,” gelengnya masih menyisakan tawa di bibir indahnya.
Aku terduduk lemas di tanah. Putus asa dan tak tahu lagi harus mengatakan apa untuk membuat Ness merubah pikirannya.
Ness berjongkok lalu duduk disampingku.
”Dengarkan aku Calista. Aku tidak akan mempersulit semua ini. Tapi seperti yang kau lihat keadaan ini benar benar membuat kita harus percaya satu sama lain. Kau tidak membutuhkan alasan atas pengorbananku. Karena semua itu tidak penting. Ada hal besar yang menjadi tanggung jawab kita saat ini dan jauh lebih penting. Mengembalikan lembah Crystal, rumah para ksatria dan seluruh penduduk lembah Crystal,” desahnya pelan disampingku.
Aku terdiam.
”Jika ada yang ingin kau ucapkan padaku. Sekarang adalah waktu yang tepat untuk menyampaikannya padaku,” tawar Ness.
Aku hanya membisu.
Seolah tak ingin berlama lama berada dalam situasi dramatis, Ness berdiri dari sisiku. ”Aku ingin tinggal lebih lama dan berbincang denganmu. Tapi sayangnya, aku harus menghadiri acara bodoh kerajaan yang dirancang Quilla untukku.”
Aku tak bergeming.
”Semoga hari ini kau mengalami hari yang jauh lebih menyenangkan dari hari ku,” ujarnya seraya berlalu dari hadapanku.
Kutatap punggung kekar Ness dengan perasaan tak karuan. Sebagian hatiku menginginkan ia tinggal dan menemaniku meski hanya sesaat. Tapi mulutku terkunci. Dan aku hanya dapat menelan kekecewaan lagi karena Quilla mencoba meraih Ness kembali dalam pelukannya perlahan lahan.
Brisa benar untuk satu hal. Seharusnya aku menjauhi Ness. Karena Ness adalah milik Quilla. Dan Quilla tidak akan menyerahkan Ness pada siapa pun tanpa perlawanan.
Dengan langkah gontai aku berjalan menyusuri jalan kearah perbatasan hutan Amorilla tempat dimana para pengungsi berada. Meski terlihat tegar tapi aku dapat merasakan apa yang mereka alami saat ini. Terombang ambing dengan perasaan rindu akan tanah kelahiran.
Aku terus berjalan dengan pikiran buntu dan kegelisahan yang meluap. Pikiranku tak bisa lepas dari sosok Ness. Aku benci perasaan aneh ini. Menjalar begitu cepat dan meracuni pikiranku. Dan setiap aku memikirkan Ness yang tengah bersama Quilla saat ini, ada perasaan kesal luar biasa di hatiku.
Kutepiskan jauh jauh perasaan itu. Kucoba menekan sebisa mungkin seluruh perasaanku pada Ness. Aku harus bisa melakukannya. Mencoba melupakan Ness. menjauhkan sosoknya dari benakku.
Aku berteriak kesal ke udara. Dan terduduk lemas pada sebuah batang kayu yang telah tumbang.
Bodoh. Sepertinya sulit sekali untuk menghilangkan perasaan yang mulai tumbuh dihatiku ini. Dan aku benar benar tersiksa.
”Calista...?! lengkingan suara seorang gadis mengejutkanku seketika.
Kudongakkan kepala menatap pemanggilku.
Seorang gadis berambut ikal panjang berwarna merah. Tersenyum cerah kearahku. Bola matanya yang berwarna coklat tua memandangku dengan sorot ramah.
“Apa yang kau lakukan disini?” tanyanya dengan nada setengah berteriak.
“Evelyn...” tanyaku ragu.
Gadis didepanku itu tertawa. “Sukurlah kau masih mengingatku.”
“Apakah kau tinggal di pemukiman pengungsian bersama para penduduk lembah Crystal?” tanyaku ragu.
“Yah benar, mau tinggal dimana lagi?” kelakarnya seraya tertawa.
Kini Evelyn duduk disampingku. “Apa yang kau lakukan disini sendirian? Kau terlihat seperti... kehilangan arah,” ujarnya sok tahu.
Kuhembuskan napas kencang seraya mengerutkan dahi. “Kau pembaca pikiran juga sekarang?” Sindirku tak senang akan pernyataannya.
Evelyn terpingkal.
“Maaf. Aku hanya menebak saja,” sahutnya sambil mengangkat bahu.
Kubuang pandanganku dari tatapannya.
“Menurutku, apapun itu yang ada dikepalamu, lepaskanlah karena hanya akan menghalangi jalanmu,” nasihatnya sok tahu.
Kulirik Evelyn dengan raut sebal yang terpapar jelas diwajahku. “Aku tak mengerti apa yang kau maksudkan Keech.”
Evelyn tersenyum samar. “Menjadi seorang pahlawan bukan berarti memendam semua penderitaan dan tersenyum setiap saat seolah semua baik baik saja padahal sebenarnya tidak.”
Aku berdiri seketika dan memandangnya jengkel. “Aku bukan seorang pahlawan. Berhentilah mengejekku seperti itu,” ucapku dengan nada tinggi.
“Owh maaf. Aku tak bermaksud berkata seperti itu. Hanya saja terkadang aku suka mengatakan hal hal diluar kendaliku,” ujar Evelyn seraya mengangkat kedua tangannya dengan wajah penyesalan.
“Baru kali ini aku menemukan seseorang yang mengucapkan sesuatu diluar pemikirannya. Kau bahkan lebih hebat dari para ksatria psichic di lembah Crystal,” sindirku halus.
Evelyn mendengus kesal,” Hey, ucapanmu itu benar benar tidak sopan, Calista,” sungutnya.
Kuhembuskan napas kencang dan meliriknya sekilas sebelum membuang pandangannku lagi darinya. ”Maaf. Hanya saja kau membuatku merasa sangat tak nyaman hanya dengan mendengarkan ucapanmu itu.”
Evelyn menunduk. Dan kami sama sama terdiam.
“Jika ada yang bisa kubantu. Dengan senang hati aku akan melakukannya untukmu,” ucap Evelyn pelan memecahkan kebisuan.
“Kurasa.. tidak ada seorang pun yang dapat membantuku keluar dari permasalahanku saat ini,” ucapku enggan, setengah berbisik.
Kini aku berdiri dan mulai kembali menatap Evelyn yang masih duduk disampingku.
“Senang bertemu denganmu lagi Keech.“
Evelyn tersenyum.
“Sampai nanti...,”  ujarku  seraya melangkahkan kaki meninggalkannya.
“Calistaa...
Suara penggilan Evelyn membuatku berbalik dan menatap sepasang mata coklatnya yang terlihat tulus menatapku.
“Jika kau butuh sesuatu. Kau bisa mencariku disini,” tawarnya lagi dengan gigih kembali mencoba meyakinkanku.
Kuanggukkan kepala dan hanya menatapnya datar.
Kemudian kembali melangkahkan kedua kakiku menuju jalan setapak menuju istana Amorilla.
Sepertinya aku akan tidur lebih awal untuk melupakan sejenak permasalahan Arkhataya ini.


Writer : Misaini Indra