Protected by Copyscape Plagiarism Scanner

Wednesday 25 January 2012

Calista Kaz "Penyihir Naga Arkhataya" (Chapter 17)


17. NYANYIAN SIHIR LEVIATHAN

Zorca Anthea mengayunkan kedua tangannya ke udara. Bibirnya seperti merapalkan mantra sihir yang menyerupai nyanyian.
Dengan wajah tegang Orion Xander dan Prechia berdiri tegak diikuti dengan beberapa ksatria sihir yang masih tersisa. Kini suara nyanyian sihir Zorca semakin keras. Mendengung seperti suara ribuan lebah yang tengah terbang mencari madu bersama.
 Samar samar terdengar suara gemerisik pepohonan diantara kencangnya angin yang tengah bertiup. Dan sebuah bayangan hitam merayap pelan dari kejauhan. Bayangan itu kini semakin jelas terlihat. Meliuk liuk seolah tengah menari mengikuti irama nyanyian sihir yang dirapalkan Zorca. Kemudian berhenti tepat dihadapan Zorca seraya mendesis.
Untuk sesaat napasku terhenti. Seekor ular raksasa yang sangat mengerikan dengan sisik hitamnya yang besar mendesis keras dengan tujuh kepalanya yang  menatap liar ke segala arah terlihat menunggu perintah untuk membunuh.
Zorca tertawa keras hingga terasa bergema ke seluruh lembah. Wajah wajah tegang bercampur resah tergambar jelas dari wajah Brisa, Titus, Helena dan Shenai yang terlihat mengatur ulang barisan pertahanan dari para ksatria yang tersisa. Prechia menatap wajah lelah Orion yang tak sedikit pun mengalihkan pandangannya pada ular raksasa dihadapannya itu.
”Hari ini kalian semua akan mati! Bahkan penyihir naga Arkhataya pun takkan sanggup melindungi kalian dari kebuasan leviathan ini!!” tawa Zorca membahana sementara ular raksasa itu hanya menggeliatkan badannya dengan tujuh kepalanya yang bergerak kesana kemari tak sabar.
Tersadar dari ketidak berdayaanku. Kucoba untuk menggerakan kedua kaki yang terasa lemas ini. Dengan keteguhan hati aku berjalan perlahan keluar dari tempat persembunyianku selama ini. Kutarik napas panjang dan meyakinkan diri lalu berlari secepat mungkin menuju tempat Orion Xander yang berdiri gagah bersama dengan para ksatrianya.
Dengan langkah tak kalah cepat Brisa mengejarku. ”Apa yang kau lakukan disini!!” seru Brisa marah begitu melihatku keluar dari tempat persembunyianku. Kudorong tubuh Brisa dengan seluruh kekuatanku dan kembali berlari kearah Zorca.
”Akulah yang kau inginkannn! Akulah penyihir naga Arkhatayaaa!!” teriakku lantang menatap marah kearah sepasang mata gelap Zorca dengan mengangkat lengan kananku seraya menunjukkan gelang emas Arkhataya padanya.
Zorca menatapku dingin tak berkedip.
Orion berlari menghampiriku dengan resah dan memegangi bahuku untuk menahan langkahku. ”Jangan bertindak bodoh  Calista!” sentak Orion marah.
Tawa Zorca pecah seketika. Terdengar keras membahana. Sepasang mata gelapnya menatapku dalam.
”Baguss!! Kini bersiaplah untuk matiii!!!” teriaknya seraya mengacungkan tangan kanannya kearahku dan meneriakkan perintah pada ular raksasa itu untuk menyerangku. Makhluk itu merayap cepat dengan tujuh kepalanya yang saling berkejaran sambil membuka mulutnya lebar lebar bersiap untuk menancapkan taringnya yang tajam menghujam seluruh tubuhku.
Dengan cepat Orion menarik tubuhku kebelakang punggungnya dan menjadikan tubuhnya sebagai perisaiku. ”Pergilahh makhluk buas atas perintahkuuu!!!” teriak Orion kencang seraya mengetukkan tongkat sihirnya ke tanah lalu mengangkatnya tinggi tinggi kearah leviathan buas itu.
Seketika itu juga terdengar suara angin puyuh menderu kencang keluar dari tongkat Orion. Dengan cepat angin itu menggulung tubuh leviathan yang nampak menggeliat marah. Namun kekuatan leviathan yang sangat besar, membuatnya mampu keluar dari gulungan angin puyuh buatan Orion meski tubuhnya harus terhempas sepuluh langkah ke tanah.
Zorca berteriak marah dan kembali menyenandungkan nyanyian sihir untuk membangunkan makhluk neraka tersebut, yang terlihat bangun dan mulai kembali merayap pelan. Prechia menarik lenganku namun sayang, Rufus terlebih dulu melancarkan sihir api kearahnya, hingga tepat mengenai lengan kanan Prechia. Prechia menjerit kesakitan. Dengan sigap Brisa membalas serangan Rufus dengan melancarkan hujaman esnya. Namun Herzog Mandal telah terlebih dulu menyerang kaki Brisa dengan sambaran api dari jemarinya. Untungnya serangan itu meleset dan hanya mengenai ujung sepatu Brisa. Namun panasnya sambaran api yang keluar dari jemari Herzog cukup membuat Brisa kehilangan keseimbangan dan terjatuh. Melihat itu dengan penuh kesadaran kurapalkan sihir es ajaran Brisa dan kuarahkan tepat ke wajah jelek Herzog yang langsung pingsan seketika terkena hujaman batu es yang keluar dari telapak tanganku.
Aku berlari kearah Brisa untuk membantunya berdiri hingga tak menyadari serangan api Rufus yang tertuju kearahku. Asap hitam menggulungku cepat dan membawaku melayang ke udara. Lalu dengan perlahan menurunkanku tepat dihadapan Tristan yang menatapku cemas. Aku selamat dari jilatan api Rufus karena Tristan telah menyelamatkanku. Kupeluk Tristan dengan perasaan haru.
”Kau baik baik saja kan?” tanya Tristan lembut seraya memegangi wajahku dengan kedua tangannya. Sepasang mata ungunya terlihat resah.
”Aku sudah menduga kau akan melakukan itu Readick!!” seru Rufus dengan  sorot matanya yang kejam menatap sinis kearah kami.
Wajah Tristan berubah tegang. Sepasang matanya terlihat waspada menatap lurus kearah Rufus yang berdiri tegak dihadapan kami.
”Aku tak akan membiarkan kau membunuhnya Rufus,” ujar Tristan seraya berdiri didepanku seolah melindungi.
Rufus tertawa parau. ”Bajingan kecil yang tak tahu diri. Kau memohon untuk bergabung dengan kami namun kini kau berbalik melawanku. Seharusnya aku mempercayai ucapan Herzog. Kau sama pengecutnya dengan Arias.”
”Tidak ada yang boleh menghina ayahkuu!!!” seru Tristan marah.
Rufus tertawa puas lalu menatap kami tajam. ”Aku akan membunuh kalian berduaaa!!” serunya seraya melancarkan serangan sihir api yang keluar dari kedua tangannya bertubi tubi.
Tristan mendorong tubuhku hingga terhempas lima langkah kebelakang dan menjadikan tubuhnya sebagai perisaiku. Dalam keadaan tertelungkup ke tanah aku dapat mendengar suara jeritan Tristan yang cukup memilukan. Kuarahkan pandangan kearah Tristan yang kini terbaring memegangi pinggangnya seraya merintih menahan rasa sakit. Aku menjerit histeris meneriakkan namanya.
Shenai Readick berlari cepat dan melayangkan sihir asap kearah Rufus yang langsung mengarahkan serangan balik kearah Shenai. Shenai jatuh terjerembab dengan luka bakar di kaki kirinya sementara Rufus Black tergulung asap hitam Shenai dan terseret lima langkah menghantam pohon oak tua yang sudah separuh hangus. 
Kukerahkan seluruh tenagaku untuk menghampiri Tristan yang terbaring lemah. Pinggangnya terlihat berasap dan menghitam. Sambaran api Rufus telah menghanguskan separuh baju dan kulit dipinggang Tristan. Aku menangis kencang begitu melihat luka bakar Tristan yang begitu dalam. Kurangkul Tristan dalam pelukanku dan mulai menangis lagi.
Wajah Tristan terlihat pucat. Ia mencoba bernapas untuk mengurangi rasa sakitnya. ”Maafkan aku ... aku...tak bisa melindungimu,” bisiknya lemah seraya menatapku.
”Bertahanlah Tristan. Kumohon....” isakku marah.
Tristan tersenyum lembut. ”Aku mencintaimu Calista..,” desahnya dalam kesakitan.
Kubelai lembut wajahnya yang terlihat pucat. Menatap sepasang mata ungunya dengan kesedihan yang tak dapat kulukiskan. Segaris senyum kelegaan tergambar diwajah bekunya yang menawan. Airmataku pun jatuh ketika sepasang mata ungu itu mulai meredup seiring hembusan napas terakhirnya.
Aku meraung memanggil manggil namanya. Mengguncang guncangkan tubuhnya yang terbaring kaku dalam pelukanku. Namun wajah tampan yang biasa tersenyum sinis itu kini telah membeku. Isak tangisku semakin keras dan tak terbendung. Kupeluk tubuh kaku Tristan erat erat seolah tak rela melepaskannya.
Titus menghampiriku. Seluruh tubuhnya nampak basah kuyup.
”Diaa..te..telah pergi.. Calis..ta..” gigilnya, mencoba untuk mengingatkanku.
Aku tak memperdulikan ucapan Titus dan terus menangisi kematian Tristan.
”Apakah ....dia sudah meninggal?” sebuah suara ragu bertanya pada kami.
Kulihat Chaides Borzy berdiri tegak dihadapanku dan Titus, dengan sepasang mata hijaunya yang meredup. Titus seketika berdiri waspada dan bersiap siap merapalkan mantra sihir namun Chaides hanya tertegun menatap Tristan yang terbaring kaku dalam pelukanku.
Pergilah Chaides!!” seru Shenai marah.
Chaides menatap Shenai linglung.
”Kubilang pergi atau aku akan menghabisimu!!” kemarahan Shenai semakin meledak bercampur dengan isak tangis kesedihan.
”Ayo Chaides...,” bisik Amara Pedigo seraya menarik tangan pendek Chaides yang masih terlihat enggan mengalihkan pandangannya dari Tristan yang terbaring kaku dipelukkanku.
Sekilas, Amara melirik kearahku dengan duka dikedua sudut matanya.
Titus tertegun untuk sesaat begitu melihat Chaides dan Amara yang berjalan menjauh dan sama sekali tidak melayangkan serangan sihir mereka pada kami.
Shenai menatap wajahku yang basah oleh air mata. ”Berikan dia padaku..,” ucapnya kaku.
Kulepaskan pelukanku dari tubuh kaku Tristan dengan enggan. Dan membiarkan Shenai berganti memeluknya. Wajah Shenai terlihat basah oleh airmata. Kini ia memeluk Tristan erat seraya bersenandung pelan.
Aku kembali meneteskan air mata begitu menatap pemandangan di depanku. Aku tak sanggup melihat kematian Tristan yang begitu cepat. Rasa sedihku kini bercampur amarah. Dengan napas memburu aku berlari kearah ular raksasa yang berada dalam kendali Zorca. Titus berteriak geram memanggil namaku.
Kulihat Orion Xander tengah berjuang keras menghalau serangan tujuh kepala ular raksasa dengan melancarkan serangan petir berkali kali kearah makhluk buas itu dibantu oleh barisan ksatria psychic yang diarahkan oleh Darren yang sudah terlihat payah karena menahan rasa sakit dibahunya. Barisan psychic itu berusaha sekuat tenaga mencari celah dan menyarangkan serangan dengan pukulan pukulan jarak jauh kesekeliling tubuh leviathan yang nampak tidak merasakan sakit sama sekali.
Dalam kemarahan dan tangis air mata kucoba merapalkan sihir pemanggil sang naga,
 Bangun bangunlah Arkhataya..
            Tunjukan kesetiaanmu padaku..tunjukan kekuatanmu sebagai pelindungku...
            Dengar dengarlah Arkhataya...
            Menyatulah dalam pikiranku.. dengarkan perintahku..
Tidak ada yang terjadi.
Kembali kurapalkan kata kata sihir Obidia untuk membangunkan naga Arkhataya. Namun aku gagal bahkan untuk yang ketiga kalinya. Dengan marah kembali kurapalkan mantra pemanggil Arkhataya tanpa menyadari akan bahaya dari salah satu salah satu kepala leviathan yang meluncur cepat dan telah berada dalam jarak lima langkah diatas kepalaku. Titus berteriak keras mencoba memperingatkanku. Dan ketika aku mendongak, bulu bulu halus ditengkukku seketika itu juga meremang. Kulihat ujung lidah bercabang menjulur cepat dengan mulutnya yang terbuka, siap menancapkan taringnya yang berbisa kearahku. Sepasang matanya yang hitam menatapku liar. Jantungku berhenti berdetak dan tubuhku terasa lemas. Aku hanya tertegun melihat taring leviathan yang terlihat mulai mendekat untuk menghujam tubuhku.
Melihat jiwaku berada dalam bahaya, Orion Xander seketika itu juga mengarahkan tongkat sihirnya yang langsung mengeluarkan cahaya terang kearah makhluk buas itu hingga membutakan pandangannya untuk beberapa saat dan memberikan waktu bagi Titus untuk mendorong tubuhku hingga berguling beberapa langkah menjauhi makhluk mematikan itu.
Aku meringis menahan rasa sakit dikepalaku.
            ”Kau terluka..,” cemas Titus begitu menghampiriku dan melihat darah yang menetes di dahiku yang  sempat menghantam bebatuan kecil ketika terguling tadi.
            Aku terlalu trauma untuk menjawab pertanyaanya. Kuusap tetesan darah di dahiku sembarangan.
”Biar kulihat lukamu,” Titus memegangi dahiku lalu mengamatinya. Kemudian ia mengeluarkan sapu tangannya yang lusuh untuk menahan cucuran darah dikeningku.
            ”Aku tak bisa membangunkannya Titus,” gusarku marah tanpa memperdullikan darah dikeningku atau rasa pusing yang mulai terasa menyakitkan.
            Titus menatapku resah. ”Aku sudah menduganya. Sebaiknya kita mencari tempat yang aman.”
            ”Tidak! Aku tidak akan bersembunyi,” tolakku tegas. ”Aku akan mencoba untuk membangunkannya kembali,” ujarku keras kepala.
”Kau belum siap Calista,” ingat Titus penuh penekanan.
”Jika aku tidak membangunkan Arkhataya. Zorca akan menghancurkan lembah Crystal dan membunuh kita semua dengan ular raksasanya itu,” sahutku marah.
Titus menatapku ragu.
Tanpa kami sadari sosok tinggi dengan air muka tegang telah berdiri disamping kami.  Wajah tampan itu terlihat resah dan sangat pucat. ”Orion menyuruh kita mundur Titus. Makhluk itu terlalu kuat untuk dikalahkan,” desah Ness kesal. Sepasang mata emasnya sekilas melirik ke dahiku. Dengan satu tangan Ness menyentuh keningku dan membisikkan sesuatu. Sebuah cahaya keluar dari telapak tangannya dan menutupi luka dikeningku. Luka kecil dikeningku perlahan menutup dan membuat aliran darah di dahiku berhenti seketika.
”Kau harus lebih berhati hati lagi,” sepasang mata emas Ness terlihat cemas menatapku.
Kutatap Ness hampa. Titus melirik kami sekilas.
Bisakah kau menjaga Calista, Ness. Sepertinya aku harus mengumpulkan ksatria yang tersisa untuk mundur. Meski Zorca takkan melepaskan kita begitu saja,” Titus menyapukan pandangannya kesekeliling arena pertempuran yang porak poranda dengan jasad para ksatria lembah Crystal yang sebagian terlantar.
”Tentu. Aku akan menjaganya,” sahut Ness menatapku dalam tanpa berusaha mengalihkan pandangannya kearah Titus.
 Titus terlihat kikuk melihat sikap protektif yang ditunjukkan Ness padaku. ”Ambil ini Calista,” ujar Titus seraya menyerahkan jurnal Obidia yang sempat terjatuh dibalik hamparan pakis disamping pohon oak tua tempat persembunyianku tadi. 
Orion telah memanggil pegasus untuk meminta bantuan ke Amorilla. Berharap saja pasukan cahaya Zordius datang tepat waktu,” kali ini Ness menatap Titus mencoba memberi harapan.
Begitu Ness menyebut nama Orion seketika itu juga aku melayangkan pandanganku kearah pemimpin lembah Crystal itu.
Orion terlihat tengah berjuang mati matian menghalau serangan buas leviathan bersama dengan Prechia dan Helena. Tapi makhluk itu terlihat semakin ganas dan bertahan oleh serangan yang dilontarkan bertubi tubi. Bahkan Prechia harus merelakan pedangnya yang patah ketika berusaha menghalau salah satu kepala Leviathan yang semakin mengamuk itu.
”Munduuuurrrr!!!” perintah Orion memberi peringatan.
Beberapa penyihir muda yang kelelahan terlihat saling berpandangan.
”Semuanya mundur!!” ulang Orion terdengar marah bernada memerintah.
Brisa, Darren dan beberapa ksatria yang tersisa segera mundur perlahan seraya menyarangkan serangan bergantian.
Dengan cepat Orion mengangkat tongkat kristalnya yang mengeluarkan cahaya yang menyilaukan untuk mengaburkan pandangan ular raksasa itu dan memberi kesempatan pada para ksatrianya untuk bergerak mundur.
”Rufuss..!” teriak Zorca murka begitu melihat Orion menarik mundur pasukan sihirnya.
Seolah memahami perkataan tuannya Rufus memberikan isyarat pada pengikutnya untuk terus menyerang. Seketika itu juga Chaides, Amara dan beberapa penyihir berjubah hitam berlari cepat kearah ksatria ksatria Crystal yang telah mengambil langkah mundur seraya melayangkan serangan sihir. Tiga orang ksatria Crystal tewas ditempat begitu terkena serangan para penyihir Zorca tersebut.
Aku benar benar muak dan tak tahan melihat pembantaian yang diperintahkan Zorca. Kudorong tubuh Ness sekuat tenaga dan berlari kearah Zorca Anthea. Aku berniat menyerangnya dengan segenap kekuatan sihir yang kumiliki. Tak kuperdulikan kecemasan suara Ness yang berteriak memanggil namaku.
Zorca tersenyum puas melihat sosok tubuh rapuhku yang berlari marah kearahnya. Wajah pucatnya nampak senang dan menyambutku. Aku dapat melihat jubah hitamnya berkibar tertiup angin kencang yang menderu disekelilingnya.
”Datanglah padaku penyihir naga Arkhatayaaa. Takdirmu adalah mati ditangankuuu!!” raungnya seraya mengacungkan tangan kanannya memberi isyarat pada leviathan untuk menyerangku.
Tujuh kepala ular raksasa yang terhipnotis berpaling padaku. Belasan matanya yang sehitam malam menatapku buas. Kemudian ular raksasa itu mendesis keras.
”Bunuhhh diaaaa..!!!!” seru Zorca memberikan perintah.
Tujuh kepala ular raksasa itu saling berkejaran dan meluncur cepat kearahku. Aku hanya terpaku mengagumi kecepatan gerak tubuhnya yang merayap cepat dengan masing masing lidahnya yang mendesis dan taring taring besarnya yang siap menghujam.
Jarak kami sudah begitu dekat. Kulayangkan jemariku dan menghujami tubuh makhluk mengerikan itu dengan butiran butiran es ke tubuh dan kepalanya, namun usahaku sia sia. Tubuhnya bagai karang yang sulit dihancurkan. Jantungku berdetak kencang dan mataku hanya dapat menatap leviathan dengan pasrah untuk menerima kematianku.
Namun suara petir yang menggelegar keras menghantam dua dari kepala makhluk buas itu membuat konsentrasi serangan lima kepala lainnya terpecah. Ular raksasa itu meraung kesakitan. Sepertinya serangan petir Orion telah membutakan sepasang mata dari salah satu kepalanya.
”Lari Calista!! Selamatkan dirimuu!!!” seru Orion seraya menatapku tajam.
Belum sempat kulangkahkan kaki kaki rapuhku. Sambaran api meluncur cepat dan mendarat tepat mengenai dada Orion Xander yang langsung terlempar sepuluh langkah dan tertelungkup ke tanah. Tubuh Orion seketika itu juga terbaring kaku.
Aku menjerit histeris dan berusaha menghampiri Orion. Namun Sebuah tangan kekar menyambar tubuhku dan menyeretku dengan cepat. Kutatap sepasang mata emas Ness yang terlihat sedih ketika memeluk tubuhku dan membawaku pergi dari tempat itu.
Tawa kemenangan Zorca membahana keseluruh lembah. Melemahkan mental para ksatria lembah Crystal yang tersisa. Samar samar kulihat Prechia dan Titus berlari ke tempat dimana Orion terbaring.
Kembali tujuh kepala leviathan yang tak pernah merasakan lelah itu meluncur cepat mengejar sosok Prechia dan Titus. Teriakan kemarahan dan tangisku meledak. Tak sanggup melihat kekejaman di depan mataku. Kubenamkan kepalaku dalam dalam kepelukan Ness.
Keajaiban terjadi. Datangnya sebuah cahaya terang menyilaukan ke arena pertempuran mengaburkan pandangan kami. Memberikan kesempatan pada Prechia dan Titus lolos dari serangan leviathan yang menggeliat tak terarah dan mendesis marah.
”Mereka datang...,” bisik Ness dengan nada kelegaan.
Kuangkat kepalaku dan melihat puluhan laki laki bertubuh langsing dengan berpakaian serba putih lengkap dengan jubah berwarna sama dengan gambar kepala unicorn tersulam dengan benang perak. Mereka memegang pedang perak yang masing masing telah terhunus keatas dan membentuk barisan untuk mengepung leviathan.
”Siapa mereka...” isakku.
”Pasukan cahaya Zordius. Mereka datang untuk menyelamatkan kita,” desah Ness seraya menarik tanganku menuju tempat Orion yang telah diamankan oleh Prechia dan Titus.
Aku dapat melihat barisan pasukan cahaya Zordius mengepung rapat makhluk dari neraka tersebut. Sementara sebagian lainnya membentuk barisan pertahanan, membentengi kami dari kawanan Rufus dan para penyihir hitam pengikutnya. Sepertinya perang ini telah diambil alih oleh pasukan cahaya Zordius.
Orion Xander terbaring kaku tak bergerak. Jubahnya hangus terbakar dibagian dadanya yang terlihat menghitam. Kelopak matanya menutup dalam kedamaian. Sepertinya, aku tidak akan pernah lagi menatap sepasang mata biru langitnya yang bijak ketika berbicara padaku. Airmataku mengalir deras. Aku menangis pilu dan tak sanggup memaafkan diriku karena harus kehilangan sosok pemimpin yang telah menyelamatkan nyawaku itu.
”Kita harus membawa tubuhnya ke Amorilla,” tangis Prechia putus asa.
Tangisku kembali pecah layaknya seorang pengecut yang tak berguna.
Seorang laki laki muda yang terlihat tampan berambut pirang menghampiri kami.
”Atas perintah jenderal Odile kami mengambil alih pertempuran ini. Sebaiknya kalian segera meninggalkan lembah ini dan mencari perlindungan ke Amorilla. Yang mulia raja Zordius telah menanti kalian. Aku akan menahan mereka semampuku,” pintanya lembut.
”Terimakasih Amaris,” senyum Titus kaku dengan pipi tirusnya yang basah dengan airmata. 
”Titus kumpulkan ksatria yang tersisa. Kita akan pergi secepatnya dari sini,” perintah Prechia mencoba untuk menguasai diri.
Prechia menatapku dan Ness bergantian. ”Aku akan memanggil pegasus untuk membawa jasad Orion ke Amorilla. Tugasmu menjaga keselamatan Calista sampai negri Amorilla, Ness. sisa airmata masih membasahi pipi Prechia Gold karena telah kehilangan sahabatnya.
Ness mengangguk.
Titus dan Ness menaikkan tubuh Orion keatas punggung pegasus. Prechia membisikkan sesuatu ditelinga kuda gagah bersayap itu sambil mengelus punggungnya. Dengan cepat makhluk indah yang menakjubkan itu meringkik pelan dan mengepakkan kedua sayapnya membawa Orion dipunggungnya dan melambung terbang, menghilang diantara awan menuju Amorilla.
Untuk sesaat kami sempat menatap barisan pasukan cahaya Zordius yang telah mengambil alih pertempuran ini. Amaris nampak berusaha keras menahan mereka untuk memberi waktu bagi kami untuk menyelamatkan diri.
Prechia menatap wajah kami bergantian. Dipandanginya tongkat Crystal Orion yang berada dalam genggamannya itu dengan sedih. Lalu dihembuskan napasnya perlahan dan menatap kami satu persatu.
”Baiklah. Kita berangkat sekarang!” perintahnya seraya bersiul keras.
Seketika itu juga puluhan kuda jantan yang gagah datang berlarian kearah kami dan berhenti tepat dihadapan kami hanya dengan sebuah siulan. Sepertinya Prechia telah menyihir kuda kuda itu untuk datang lalu membawa kami pergi dari sini sebagai persiapan untuk menyelamatkan diri jika sesuatu yang buruk terjadi.
”Kau ikut denganku,” bisik Ness seraya meraih pinggangku dan mengangkat tubuhku keatas kuda jantan berbulu hitam lebat. Lalu dengan lincah Ness meloncat cepat keatas punggung kuda hitam ini dan duduk dibelakangku. Sekilas kulirik Brisa menatap resah kearah kami. Sementara Shenai Readick terlihat menaikkan jasad Tristan keatas kuda jantan berwarna hitam dibantu oleh Titus.
Jiwaku terasa melayang mengingat kematian yang merengut Orion dan Tristan. Aku bahkan tak memperdulikan lagi perhatian Ness lewat sentuhan lembut kedua tangannya yang kekar disekeliling pinggangku saat kami tengah berkendara.
Napasku terasa sesak. Aku tak dapat mengenyahkan kata kata Orion Xander yang terus terdengar ditelingaku, ”Lari Calista. Selamatkan dirimuu!” Kedua mataku terasa panas. Setitik airmata mengalir cepat di kedua pipiku ketika mengingat kembali ucapan terakhir dari Orion padaku menjelang kematiannya saat melindungiku dari serangan leviathan Zorca.
Kuda kuda kami berlari sangat kencang dan cepat seolah melayang terbang.  Seperti pikiranku yang kembali melayang terbang mengingat ucapan terakhir Tristan sebelum menghembuskan napas terakhirnya,”Aku mencintaimu Calista,” kembali tetes airmataku tak terbendung. Kedua pipiku basah seketika. Aku terisak pilu diantara kerasnya suara derap langkah kuda kuda ini. Kedua tangan Ness kini semakin erat memelukku.
”Semuanya akan baik baik saja,” bisik Ness lembut mencoba untuk menenangkan perasaanku.
Kami berkendara ke Amorila selama dua hari tanpa berhenti. Beberapa kuda tunggangan kami menggelepar kelelahan. Bahkan Titus sempat terjatuh dari kuda tunggangannya. Untungnya kami telah mendekati kawasan pengungsian dipinggir hutan Sprhonia.
Beberapa pasukan cahaya yang berjaga jaga disepanjang hutan Sprhonia ini, segera membawa tubuh tubuh lelah kami ke istana Amorila untuk berlindung. Meski terluka cukup parah namun Prechia menyempatkan diri menenangkan penduduk lembah Crystal yang terlihat senang akan kedatangan para ksatrianya dan menunggu kabar baik dari hasil pertempuran. Prechia terlihat sangat tertekan dan menahan diri untuk tidak langsung menyampaikan berita jatuhnya lembah Crystal dan juga kematian pemimpin kami, Orion Xander.
”Kaukah penyihir naga Arkhataya itu,” tanya raja Zordius bijak seraya menatapku yang tengah menunduk memberi penghormatan bersama yang lainnya ketika kami menghadap pemimpin negri para bangsa elf tersebut.
”Benar yang mulia,” anggukku sopan tanpa berani menatap wajahnya.
Kerut di kening Zordius menandakan rasa penasaran yang besar. ”Bangunlah. Dan tatap mataku ksatria,” perintahnya.
Kuberanikan diri menatap wajah halusnya yang tampan. Sepasang matanya yang berwarna abu abu gelap terlihat bersinar cerah dan menatapku antusias. Garis wajahnya terlihat mirip sekali dengan putri Quilla. Begitu elegan dan bersinar. Bangsawan elf memang terkenal bewajah halus dan rupawan.
”Dia begitu muda dan rapuh,” sindir ratu Orelia menatapku tajam. Zordius melirik istrinya sekilas seolah mengiyakan ucapannya.
”Orion mengatakan padaku jika kau adalah cucu dari Ghorfinus Anthea,” tanya Zordius lagi dengan sopan.
Kuanggukan kepalaku degan hormat. Zordius kembali menelusuri gelang emas yang kukenakan dipergelangan tangan kananku dengan sepasang mata abu abunya.
”Sayang sekali kau tidak dapat membangunkan naga itu,” ucapnya bernada penyesalan.
”Sihir Calista belum sekuat Zorca. Tapi aku yakin ia akan segera membangunkan Arkhataya untuk merebut kembali negri kami dari cengkraman Zorca, yang mulia Zordius,” sahut Prechia mengangguk hormat memberikan pembelaannya padaku.
”Baiklah. Meski Orion Xander telah tiada. Tapi aku telah berjanji padanya untuk memberikan perlindungan bagi kalian penduduk lembah Crystal dan menjamin keselamatan penyihir naga Arkhataya ini,” seru Zordius tegas ditengah tengah kami yang masih memberikan penghormatan.
”Sampai batas yang telah kami sepakati bersama. Yakni hingga waktu berpihak pada gadis ini untuk membangunkan sang naga dan memenuhi takdirnya sebagai pelindung negri kalian,” ujar Zordius menambahkan ucapannya.
Hatiku menjadi kecut begitu mendengar ucapan Zordius. Meski Orion telah membuat kesepakatan yang menguntungkan akan keadaanku namun aku tak dapat memungkiri keresahan dihatiku ini. Sepertinya aku harus secepatnya bersatu dengan jiwa dan pikiran Arkhataya jika aku ingin menyelamatkan seluruh penduduk negri lembah Crystal atau kami akan menjadi orang buangan selamanya.
”Baiklah. Para pelayanku akan menunjukkan kamar kalian. Supaya kalian dapat beristirahat terlebih dahulu sebelum makan malam nanti.” ujar raja Zordius menutup sambutannya.
Dan seketika itu juga sepuluh orang pelayan wanita bertubuh langsing dengan wajah mereka yang rupawan berjalan kearah kami dengan senyum ramah yang menghanyutkan. Kami pun pergi menuruti langkah langkah para pelayan itu.
Paginya upacara pemakaman Orion berjalan khidmat. Diiringi dengan pemakaman para ksatria ksatria lembah Crystal yang jasadnya sempat kami selamatkan termasuk Tristan. Tak ada tangis lagi karena airmata kami sudah terasa kering karena terlalu banyak menangis. Kutatap wajah bijak yang telah menutup mata untuk yang terakhir kali. Rasa sesak di dada kembali menghimpit dan terasa sakit. Kulirik Prechia yang terlihat tegar menatap kepergian sahabatnya itu. Sementara para ksatria yang tersisa hanya membisu dan kehilangan semangat.
Malamnya salah satu pasukan cahaya yang telah diutus Amaris kembali dari pertempuran mereka di lembah Crystal melaporkan jika pemimpin mereka yaitu Amaris telah tewas dalam pertempuran. Dan lembah Crystal telah jatuh dalam cengkraman Zorca dan para pengikutnya.
Kami bahkan tak sanggup mengangkat kepala dan menikmati makan malam mewah yang terhidang di meja makan karena kesedihan yang mendalam. Nasib kami benar benar tak jelas. Tersingkir dari tanah leluhur sendiri. Prechia, Helena dan Shenai terlihat lesu. Sementara Brisa dan Titus hanya membisu. Aku dapat merasakan kesedihan yang mendalam di hati mereka karena harus kehilangan rumah dan berlindung dibawah belas kasihan raja Zordius di negri Amorilla.
Kutatap lurus lurus ke depan. Putri Quilla nampak menikmati makan malam ini seolah tak memperdulikan duka di wajah tampan Ness Ferin yang duduk termenung memegangi cangkir tehnya. Berkali kali wajah cantiknya yang sedingin es tersenyum riang menatap cerah kearah Ness yang duduk disampingnya. Sementara Piphylia Ferin menatapku dalam dari tempat duduknya seolah memahami penderitaanku.
Ness Ferin milikku, penyihir ..
Aku tersentak kaget begitu mendengar sebuah suara melengking berdenging tajam ditelingaku. Kuarahkan pandanganku kesekeliling meja. Semuanya nampak wajar dan tak terganggu. Sepertinya tak ada yang mendengar teriakan tadi selain aku. Instingku mengatakan jika suara itu berasal dari depanku. Benar saja. begitu kuangkat kepalaku dan kembali menatap lurus ke ujung meja dihadapanku, kulihat wajah cantik Quilla menatapku dengan sorot mata penuh kebencian.
Kau adalah penyihir sial yang tidak berguna..
Kembali lengkingan tajam itu menembus gendang telingaku. Aku terhenyak kaget. Sepasang mata emas Ness menyipit tajam kearahku. Sepertinya ia dapat merasakan kegelisahanku. Kualihkan pandangan ke piring makan dihadapanku. Aku tak ingin membuat Ness mencemaskan keadaanku mengingat kami tengah berada dalam belas kasihan ayah Quilla.
Suara lengkingan tawa bernada kepuasan kini terdengar kencang dikepalaku. Tak sanggup menahan rasa sakit kututup telingaku rapat rapat. Brisa yang duduk tepat disampingku memegangi lenganku dan menatapku tajam. ”Ada yang salah Calista,” tanyanya curiga.
Kugelengkan kepalaku kuat kuat tak menjawab pertanyaannya.
Kembali kutatap Quilla dengan sedikit kesal. Quilla terlihat tenang dan tersenyum penuh kemenangan. Sementara itu Ness terlihat melamun menatap cangkir kosong dihadapannya.
Quilla hanya memancing kesabaranku. Aku tak ingin memperbesar perselisihan kami sebagai alasan baginya untuk mengusirku dari Amorilla.
Kutatap wajah sedih Titus yang tengah mengaduk aduk makanan dipiring makannya. Waktuku sedikit. Aku harus segera mempersiapkan diri untuk membangunkan Arkhataya. Aku harus membangunkan naga itu jika ingin merebut kembali lembah Crystal. Aku takkan membiarkan kematian Orion dan Tristan menjadi sia sia karena telah mengorbankan nyawa mereka untuk menyelamatkanku.
Aku harus segera memenuhi takdirku sebagai penyihir naga Arkhataya.
Kutegakkan kepalaku menatap lurus ke depan dengan penuh keyakinan. Kulihat sepasang mata emas Ness yang redup menyorot dalam kearahku. Kutarik segurat senyum samar kearahnya sebagai tanda terimakasihku.
Kau benar, Ness. Semuanya akan baik baik saja.
Ness membalasnya dengan senyum indah yang terlukis diwajah tampannya. Dan untuk beberapa saat jiwa ini terasa hangat ditengah bekunya musim dingin yang mengelilingi tembok istana Amorilla.

-------THE END-------  
Writer : Misaini Indra
Image taken from : http://deepseamonsters.blogspot.com/