5. PENGORBANAN
Sosok punggung kekar yang
sangat kukenal, terlihat, tengah duduk dengan menopang dagu. Dari tempatku
berdiri aku dapat melihat sepasang mata emasnya terlihat meredup dan ia nampak
termenung sambil memandangi cucuran air di kolam kecil yang menetes perlahan.
Ketika menyadari kehadiranku,
ia memalingkan wajahnya untuk menatapku. Dan setitik airmata mulai jatuh
perlahan di kedua pelupuk mata lelahku ini.
”Jangan lakukan itu Ness,”
mohonku parau tak mampu menahan tangis.
Ness tersenyum getir dan
berdiri dari tempat duduknya. ”Hebat. Akhirnya kau mengetahui rencanaku,” desahnya
samar.
Aku menggeleng kesal seraya
menghapus airmata yang membasahi kedua pipiku dengan kasar. ”Kau dengar aku
kan! Aku tak akan membiarkanmu menjalankan rencanamu itu untukku,” tukasku
dingin.
”Kurasa kau terlalu
berlebihan. Aku tidak melakukannya untukmu,” dusta Ness seraya memalingkan
wajah dariku.
”Dengarkan aku Ness. Aku tidak
mengijinkan kau mengorbankan tubuhmu untuk Arkhataya!” seruku marah.
Kini kami saling bertatapan.
”Hanya itu satu satunya jalan
merebut kembali lembah Crystal dari tangan Zorca. Aku harus melakukannya untuk
penduduk lembah Crystal dan untuk kebaikanku sendiri,” desah Ness meyakinkanku.
Kugigit bibirku kesal tak
memahami maksud ucapannya yang terakhir. ”Kebaikanmu sendiri?”
Ness tersenyum kaku.
”Percayalah padaku.....
Kuhembuskan napas keras dan mencoba
menguasai perasaanku. ”Tidak. Ini salah, aku...
”Dengarkan aku Calista. Aku tidak
akan benar benar memberikan tubuhku pada Arkhataya tanpa perlawanan,” bujuk
Ness dengan suara tertahan.
Kugelengkan kepalaku kuat kuat.
”Jangan lakukan ini padaku.”
Ness terdiam.
”Kita cari rencana lain,”
tukasku.
Ness tersenyum hangat dan menggeleng
pelan. ”Waktu kita sempit. Dan untuk saat ini, rencanaku adalah yang terbaik yang
kita punya,” tegasnya.
Kubuang pandangan jauh ke
depan menghindari sorot matanya.
”Tatap aku Calista..” pinta Ness
lembut.
Kupandangi wajah tampannya
yang terlihat sendu dengan perasaan kacau.
”Semuanya akan baik baik saja.
Kita semua akan kembali ke lembah Crystal dan hidup tenang tanpa gangguan lagi
dari mereka,” ucapnya seolah tengah menghibur seorang anak kecil yang telah
kehilangan mainannya.
Ucapannya justru membuatku
semakin menitikkan air mata. Ness mengusap airmata di pipi kananku dengan
lembut. ”Kembalilah ke kamarmu. Udara disini terlalu dingin. Aku tak ingin
kakimu membeku nanti,” ujarnya seraya melirik pada kedua kaki telanjangku.
Aku tersadar oleh ucapannya.
Kulirik kedua kakiku yang kini mulai membiru dan terasa luar biasa dingin.
”Ness, aku...
Ness menatapku.
Untuk sesaat aku tersipu.
Kubalas tatapannya dengan
sedikit canggung. ”Terimakasih telah begitu banyak membantuku,” ujarku
tertahan.
Pangeran peri itu hanya
menghela napas panjang lalu mengangguk lemah. Kemudian membalikkan badan dan
beranjak pergi dari tempat ini. Meninggalkan aku yang masih terpaku menatap
punggung kekarnya dengan perasaan kacau.
Setiap kali aku berada dekat
dengan Ness. Aku selalu merasakan ini. Perasaan canggung dan tak karuan hingga
membuat dadaku sesak. Begitu banyak yang ingin kusampaikan padanya namun tak
ada satu ucapan pun yang keluar dari mulutku. Seolah semua kata kata itu
menguap seiring dengan kepergiannya dariku.
Aku telah kehilangan Tristan.
Dan sekarang aku tak sanggup jika harus kehilangan sosok laki laki yang mulai
hadir mengisi kesendirianku. Aku tidak
ingin mengkhianati kenangan Tristan. Karena aku pernah mencintainya. Tapi aku
tak dapat memungkiri rasa nyaman yang muncul di hatiku setiap kali Ness berada
disisiku. Yang kutahu sekarang aku tak ingin berada jauh dari Ness. Sedikit
demi sedikit aku mulai menikmati kebersamaan kami dan segala perhatiannya
padaku. Sayangnya, aku tak mempunyai kekuatan untuk mengatakan apa yang
kurasakan pada pengeran peri itu.
Siangnya Prechia mengadakan
pertemuan dengan para ksatria lembah Crystal di aula pertemuan istana Amorilla.
Shenai, Helena dan Brisa terlihat duduk tenang di kursi masing masing sementara
Titus terlihat merenung seolah ada yang tengah dipikirkan olehnya. Kulirik Ness
yang duduk disampingku dengan wajah tegang. Tidak sedikit pun sepasang matanya
menatapku. Namun dari hembusan napasnya aku dapat merasakan beban berat yang
sama kurasakan karena telah menutupi kebenaran akan kebangkitan sang naga.
”Calistaaa!” panggil Oggie
riang dari arah pintu masuk.
Dengan rasa terkejut bercampur
haru aku berdiri dan menghampiri Oggie. Kami berpelukkan untuk sesaat.
”Sukurlah kau baik baik saja
Ogg,” ucapku haru.
Sepasang mata biru kehijauan
terangnya menyorot ramah. ”Ya, berkat perawatan dan ramuan obat penyembuh dari Piphylia,”
tawa Oggie seraya menggoyangkan rambut pirang keritingnya yang terlihat mulai
panjang.
”Selamat Calista! akhirnya kau
berhasil membangunkan naga itu untuk keselamatan lembah Crystal,” suara Darren
yang tertahan memotong pembicaraan kami.
Aku mengangguk pelan. Untuk
sekilas kulemparkan pandangan kearah pintu keluar dimana wajah sinis yang
sangat kukenal tengah menatap kearahku. Kulemparkan senyum tulus pada Cleo yang
membalas ragu dengan senyum kakunya.
”Kalian tinggal dimana selama
ini?” tanyaku pada Oggie penasaran.
Oggie tersenyum. ”Kami tidak
seistimewa kau dan Ness,” kelakarnya sambil tertawa riang.
”Selain mengemban misi, kami juga
tinggal di penampungan sepanjang hutan Sphronia. Aku, Darren, Cleo, Agnes dan
beberapa ksatria lembah Crystal yang lain, selama ini membantu penduduk untuk
membangun pondok pondok kecil sebagai pemukiman sementara. Tinggal ditengah
tengah mereka sekaligus menjaga keamanan penduduk lembah Crystal yang tengah
dilanda ketakutan,” ujar Oggie menjelaskan.
Hatiku teriris.
”Aku menyesal tidak dapat
bergabung dengan kalian,” ucapku tulus.
Oggie menggeleng. ”Tidak ada
yang perlu disesalkan. Kau memiliki misi yang jauh lebih berat dan berbahaya.”
”Apakah akhir akhir ini Ferin
sering melamun seperti itu,” bisik Darren ditelingaku seraya mengalihkan
pandangannya kepada Ness yang terlihat tengah terpaku.
Aku hanya menghela napas
perlahan.
”Sebaiknya kau kembali duduk
disamping manusia aneh separuh peri itu. Hanya kau satu satunya yang bisa
membuatnya tertawa,” goda Darren seraya tersenyum.
Perkataan Daren membuat
wajahku semakin memanas. Apakah dia mengetahui sesuatu tentang perasaan yang
mulai terjalin diantara kami.
”Sebaiknya kalian segera
duduk. Pertemuan ini akan segera dimulai,” ujar Brisa ketus seraya menghampiri kami
yang masih berdiri dan tengah terlibat perbincangan.
”Ayolah Bris, jangan bersikap
menyebalkan seperti itu,” sungut Darren kesal.
”Kau tahu Dar, keterlambatan
kalian membuat kami semua menunggu,” tukas Brisa lagi dengan nada kesal. Kini
sepasang mata birunya mengarah padaku. ”Dan kau, kembalilah ke tempat dudukmu.
Kau dan Oggie bisa melepas rindu selepas pertemuan ini,” perintahnya seraya
berlalu dari hadapan aku dan Oggie.
Kugigit bibir bawahku menahan
kesal.
Sementara Oggie terlihat
menggelengkan kepalanya dan tersenyum sendirian. ”Itulah salah satu penyebab
laki laki di setiap sudut lembah Crystal enggan mendekati Brisa.”
Kulirik Brisa yang kembali
duduk disamping Titus. Titus terlihat sangat canggung dan tersenyum kaku ketika
Brisa menyapanya.
”Kurasa kau salah Ogg.
Sepertinya, ada seseorang yang sangat perduli pada si penggerutu itu,” gumamku
seraya menyunggingkan seulas senyum tanpa melepaskan pandangan pada Brisa dan
Titus yang kini terlibat pembicaraan serius.
Oggie melirik kearah Brisa dan
Titus. Seketika itu juga Oggie tertawa begitu mendengar ucapanku. ”Kau pasti
bergurau. Kami menyebut master Titus seorang pertapa karena sikapnya yang
dingin pada wanita. Lagipula Brisa bukanlah gadis yang tepat untuknya,” geleng
Oggie menahan tawa.
”Lihat saja nanti,” kerlingku
seraya berlalu meninggalkan Oggie yang kembali tersenyum geli.
Pertemuan yang dihadiri oleh
seluruh ksatria lembah Crystal yang tersisa terasa begitu mengharukan. Prechia,
Shenai dan Helena mengatur strategi pertahanan untuk membantu Amorilla apabila
Zorca dan para pengikutnya melakukan serangan mendadak nanti.
Cahaya keriangan terpancar
dari wajah Prechia yang terlihat bersemangat berbicara ditengah ruangan pada
kami semua. Kupalingkan wajah kearah Ness dan mendapati laki laki tersebut tengah
tenggelam dalam lamunan.
”Apa yang tengah kau
pikirkan?” bisikku pelan.
Ness tersadar dan menoleh
kearahku. ”Kau dan naga jelek mu itu, pastinya,” desahnya pelan diiringi
senyumannya yang menawan.
”Sudah kuduga,” ujarku kesal
karena ia menggodaku tanpa memperdulikan kekhawatiranku padanya.
Senyum samar kembali terlihat
disudut bibirnya. ”Kau terlihat sangat tegang?” sindir Ness pelan.
Kutarik napas perlahan dan
membuang pandangan ke depan. ”Siapa yang tidak? hadir dalam pertemuan ini dan
berpura pura semuanya akan membaik dengan kebangkitan sang naga yang dipercaya
dapat menolong kita semua dari kehancuran yang dibuat Zorca,” bisikku marah.
Ness tertawa pelan. Untuk
sesaat beberapa pasang mata menatap kearah kami termasuk Prechia yang tengah
memberi pengarahan.
”Ada yang ingin kau sampaikan
tuan Ferin?” tanya Prechia.
Ness menggeleng. ”Tidak
Prechia. Maafkan aku, kau bisa melanjutkan pengarahanmu,” sahut Ness pelan
seraya mengangguk sopan.
Prechia membalas anggukkan
Ness dan kembali melanjutkan ucapannya di depan para ksatria lembah Crystal
yang berada di aula ini.
”Kita tidak bisa
menyembunyikan kebenaran pada mereka,” bisikku bernada penekanan.
”Aku tahu. Aku hanya ingin
memastikan jika rencanaku harus berjalan dengan baik hingga kita tidak perlu
memberitahu mereka akan hal yang sebenarnya,” ujarnya datar.
Kutatap Ness dengan geram.
Sementara Ness hanya menatap
lurus ke depan mencoba mendengarkan pengarahan dari Prechia seolah tak
memperdulikan kegeramanku.
”Ketika ruh Arkhataya masuk ke
dalam ragaku. Berjanjilah kau akan membunuhku jika aku tak bisa
mengendalikannya nanti,” pinta Ness datar.
Aku terkesiap. Jantungku
serasa berhenti berdenyut untuk beberapa saat.
”Tidak Ness. Aku tidak akan
melakukannya. Membunuhmu bukanlah jalan keluar untuk menyingkirkan ruh
Arkhataya selamanya,” tukasku setengah berbisik.
Ness terdiam.
”Aku akan mencari cara untuk
menyingkirkan ruh Arkhataya dan mengembalikannya ke neraka,” gumamku tertahan.
”Jika kau gagal? Tidak ada
jalan lain Calista. Kau harus menidurkan ruhnya kembali dalam ragaku dan
menghancurkan tubuhku,” tukas Ness kesal.
Kini seluruh mata menatap
kearah kami.
”Ada yang ingin kalian
sampaikan disini,” kembali suara Prechia terdengar menunggu jawaban kami dengan
tak sabar.
Kutahan napasku. Kulirik
sekilas senyum samar yang tergambar disudut bibir Ness.
”Tidak Prechia, maafkan kami,”
gelengku pelan.
Prechia mengamati wajahku dari
tempatnya berdiri dengan wajah bingung. ”Kau terlihat sangat pucat hari ini. Kau
baik baik saja Calista?”
”Nona Kaz memang sedang tidak
enak badan sejak tiba kembali di Amorilla, Prechia. Jika anda tidak keberatan
aku akan mengantar ia kembali ke kamarnya untuk beristirahat,” ujar Ness seraya
beranjak dari tempat duduknya.
Kutatap wajahnya yang terlihat tenang dan
datar itu dengan sedikit gusar.
”Baiklah. Kau mendapatkan
ijinku Ferin,” ucap Prechia dengan raut cemas di wajah gemuknya.
Ness mengulurkan sebelah
tangannya padaku. Kusambut dengan kaku. Lalu Ness menarik tanganku dengan cepat
untuk beranjak dari tempat dudukku dan melangkah tergesa meninggalkan ruangan
pertemuan ini.
Rasa kesal yang tertahan pun
meledak menjadi amarah begitu kami telah berada cukup jauh dari ruangan
pertemuan. Kutatap Ness dengan luapan emosi di dada.
”Permintaanmu tadi sangat
menggelikan!” ucapku kasar.
”Hanya itu satu satunya cara
untuk melenyapkan ruh Arkhataya,” sahut Ness tertahan.
”Tidak. kita akan pikirkan
cara lain. Kau dengar! Kita harus meminta pertolongan Prechia dan ksatria
lainnya,” parauku seraya menatap laki laki yang telah membuat separuh hatiku
terobati rasa kehilangan ini dengan pilu.
”Melibatkan banyak orang hanya
akan membuat kita semakin kehilangan teman. Hanya kita berdua yang dapat
menghancurkan makhluk itu.”
Kubuang pandanganku jauh ke
depan menghindari tatapannya.”Ini tidak adil,” desahku menahan tangis.
Ness memegang bahuku dan
membalikkan tubuhku perlahan. Kini ia menatapku dengan lembut. ”Berjanjilah
padaku kau akan melakukannya,” sepasang mata emas itu terlihat berharap dengan
wajah cemas.
Permintaannya benar benar
melukai perasaanku. Kucoba mengusap airmata yang perlahan mengalir dari sudut
mataku. Rasanya aku tak sanggup jika harus kehilangan lagi seseorang yang mulai
mengisi separuh hatiku yang telah mati karena kepergian Tristan.
”Apa yang kau minta dari gadis
penyihir itu hingga membuatnya menangis seperti itu Ness?” tukas Quilla dengan
nada tinggi.
Putri kesayangan Zordius itu
duduk diatas kuda putih yang gagah, menatap kearah aku dan Ness dengan tatapan
dingin. Wajah cantiknya terlihat tegang dan membeku.
”Berpikirlah tentang hal
lain,” bisik Ness padaku.
Kutatap wajah Ness bingung.
Sementara itu Quilla terlihat turun dari kuda tunggangannya dan berjalan
perlahan menuju kearah kami.
Ness menatap Quilla dengan
datar. ”Bukanlah suatu hal penting dan
berhubungan dengan anda, yang mulia,” ucap Ness sopan seraya menganggukkan
kepalanya.
”Hentikan omong kosongmu itu
Ness!” tukas Quilla kasar.
Kini tatapan Quilla beralih
padaku. Meski putri peri itu terlihat luar biasa cantik dan mengagumkan namun
dimataku Quilla terlihat begitu menakutkan. Ditambah lagi dengan raut wajahnya
yang dingin dengan pandangan meremehkan.
”Sepertinya kebangkitan
Arkhataya justru membawa kesusahan hati, bagimu,” sindirnya sinis.
Aku tersentak. Kini aku mengerti
maksud ucapan Ness. Quilla dapat membaca pikiran seseorang.
Dengan cepat aku mencoba
memikirkan hal lain. Sayangnya yang ada dikepalaku kini hanyalah sosok Ness
yang lembut dan penuh perhatian yang selalu menjagaku sepeninggal Tristan dari
sisiku.
Wajah Quilla berubah garang
dan terlihat marah.
Aku sudah memperingatkanmu jika Ness Ferin adalah milikku, penyihir sial
Lengking Quilla
ditelingaku.
Kututup kedua telingaku
menahan lengkingannya yang menyakitkan.
Pertunangan kami belum selesai. Sampai kapan pun, Ness Ferinn tetap milikkuuu...
”Kumohon hentikannn....!
teriakku seraya jatuh berlutut menutupi kedua gendang telingaku yang rasanya
mau pecah.
Seketika itu juga Ness
berlutut dan memelukku.
Sepasang mata emasnya menatap Quilla
dengan marah. ”Hentikan Quillaa!!” teriak Ness keras.
Tawa Quilla melengking tinggi.
Terdengar menakutkan dan membuat bulu bulu halusku meremang.
”Apa yang terjadi disini?”
suara Brisa terdengar cemas seraya menghampiri aku dan Ness yang masih berlutut.
Sekilas kulihat Darren, Oggie,
Agnes dan Cleo berdiri dari kejauhan menatap kearah kami dengan bingung.
Kini Quila menyapukan seluruh
pandangan kearah kami satu persatu.
”Lihat baik baik pewaris
pusaka Arkhataya itu!!!” seru Quilla lantang.
Semua mata tertuju padanya.
”Kalian benar benar membuatku
tertawa telah menggantungkan seluruh harapan akan kembalinya negri kalian
padanya.”
”Meski kau putri Zordius, kau
tidak berhak berkata hal yang tak pantas terhadap Calista!” lengking Brisa
seraya maju dan menatap Quilla dengan marah.
Sepasang mata abu abu terang Quilla
berubah menjadi gelap dan wajahnya terlihat garang. Tiba tiba saja Brisa
memegangi lehernya dengan napas tersengal sengal.
”Hentikan Quilla!” teriak Ness
marah seraya berdiri dari sisiku.
”BRISAAA!!!” teriak Oggie dan Darren
berbarengan, mereka terlihat berlari menghampiri kami.
”AKULAH PUTRI ZORDIUS RAJA
AMORILLAA!! AKU AKAN MENGHUKUMMU KARENA MENENTANGKU!!” raung Quilla dengan
suara parau dan berat.
Tubuh Brisa terangkat perlahan
ke udara. Wajah Brisa nampak pucat dan napasnya terdengar payah.
”Apa yang dia lakukan?! teriak
Agnes panik.
Dengan cepat dan tanpa pikir
panjang Cleo menyarangkan pukulan jarak jauh dengan kekuatan telekinetisnya.
Sayangnya Quilla bukanlah lawan yang sepadan baginya. Quilla telah membaca
pikiran Cleo terlebih dahulu dan mematahkan serangannya dengan melemparkan
jepit rambut perak dari kepalanya yang langsung menghujam bahu gadis kekar
tersebut hingga roboh ke tanah bersamaan dengan tubuh lemas Brisa yang
tertelungkup jatuh ke tanah.
Bahu Cleo teriris dan
mengeluarkan darah segar. Wajah gadis tersebut terlihat pucat menahan sakit
sementara Brisa tak sadarkan diri.
Ness menarik lengan Quilla
dengan kasar. ”Kau tak pantas menjadi seorang putri untuk negri apapun dengan
sikapmu yang seperti ini!!” tukasnya dingin.
Quilla tertawa lantang
kemudian menatap dingin kearah Ness.
”Aku akan memastikan jika kau
dan penyihir itu tidak akan pernah bersama,” serunya marah seraya menepis
cengkraman tangan Ness dan berbalik menuju kuda tunggangannya.
Dengan lincah Quilla melompat
keatas kuda putih tunggangannya dan berteriak kencang memerintahkan kuda
tersebut membawanya pergi dari tempat ini dengan berlari cepat.
Wajah Ness terlihat sedikit
pucat. Namun dengan cepat ia menguasai diri dan melihat keadaan Brisa.
Ness meletakkan telapak
tangannya di kening Brisa dan menyalurkan energi cahaya untuk menyadarkan
Brisa. Sepasang mata biru itu kini membuka perlahan dan menatap Ness. ”Dia
membuatku tak dapat bernapas,” gumam Brisa mencoba bangun dari pembaringannya.
Ness tersenyum lega. ”Sukurlah
kau tidak apa apa Bris. Ogg bawa Brisa kembali ke kamarnya. Biar aku lihat
keadaan nona Maltese!” hembusnya kencang berusaha menguasai diri.
”Bawalah Calista bersamamu!”
ujar Ness pelan seraya menatapku cemas.
”Tentu saja!” lirik Oggie
kearahku.
Aku hanya dapat mengangguk
lemas dan membantu Oggie memapah Brisa pergi meninggalkan tempat ini.
Sekilas kulirik Darren yang
telah memegangi Cleo didampingi Agnes terlihat resah. ”Bisakah kau sembuhkan
dia, Ness?” tanya Darren lirih.
Sementara Cleo terlihat
merintih kesakitan.
”Tentu saja. Lukanya bersih,”
sahut Ness pelan.
Ness terlihat kembali meletakkan
telapak tangannya disekeliling bahu Cleo yang terluka. Sementara aku hanya
dapat melihat dari jauh dengan perasaan sedih melihat keadaan Cleo yang merintih
kesakitan.
Pikiranku melayang mengingat
kajadian tadi. Kekuatan Quilla benar benar menakutkan. Dan kemarahannya di picu
hanya karena aku tak sengaja memikirkan Ness, laki laki pujaannya.
”Lepaskan aku. Aku bisa
berjalan sendiri!” ujar Brisa dengan nada kesal.
Aku dan Oggie melepaskan
pegangan kami dari bahu Brisa.
”Lain kali aku akan menghajar
gadis bengal itu dengan hujaman es ku,’ gerutu Brisa seraya berjalan mendahului
kami.
Oggie tersenyum geli sementara
aku hanya diam membisu.
”Jika kau melakukan itu, Zordius
akan mengusir kita semua dari Amorilla, Bris,” sahut Oggie sambil menggaruk
rambut keritingnya.
”Akuu tak perdulii. Aku akan
menghancurkan dia dalam duel jika aku memiliki kesempatan lagi!” Teriak Brisa
kesal.
”Baiklah. Baiklah ....” sahut Oggie
mengalah.
Kini sepasang mata biru langit
Brisa menatapku tajam. ”Dan kauu...
Kutatap Brisa bingung.
”Seharusnya kau membela harga
dirimu dan menghajar Quilla dengan sihir anginmu itu!” bentak Brisa
melampiaskan kemarahannya padaku.
Aku hanya membisu dan terdiam
mendengarkan gerutuan Brisa.
”Hari ini benar benar
menyebalkan!!” seru Brisa kesal seraya berbalik dan berjalan mendahului kami.
”Kurasa otak Brisa menjadi
kacau akibat serangan Quilla tadi,” bisik Oggie pelan.
Kuhembuskan napas kencang dan
menatap Oggie kecut.
Brisa benar. Quilla telah
menghancurkan harga diriku. Dia benar benar membuatku berpikir jika aku memang
tak pantas menjadi harapan bagi para rakyat lembah Crystal untuk mengembalikan
kembali tanah leluhur mereka dari cengkraman Zorca.
Kini kepercayaan diriku
kembali jatuh dan melemah.
Writer : Misaini Indra
Image from : http://www.desibucket.com/pictures/sad/page/4/
No comments:
Post a Comment