6. TEMAN
Keadaaan Cleo mulai membaik. Meski terlihat enggan berbicara namun aku
cukup puas jika gadis itu mulai sedikit melunak dan membiarkanku melihat
keadaannya.
Darren menyorongkan secangkir jus plum padaku dan Oggie. Kemudian mata
coklatnya menatapku dalam. “Jangan hiraukan ucapan Quilla kemarin,” ujarnya
pelan.
Aku hanya tersenyum padanya.
“Kemarahannya disebabkan oleh kedekatanmu dengan Ness,” sambungnya lagi
sambil meneguk jus plumnya sedikit sedikit.
”Aku tahu..” gumamku pelan.
”Aku tak mengerti mengapa
putri secantik dia begitu mengharapkan sebuah cinta dari sosok Ferin yang kaku
dan membosankan,” tukas Oggie yang tengah bersandar di kursi kayu dekat jendela
besar disampingku dengan santai.
Darren tergelak kencang.
Sementara aku mau tak mau menyunggingkan senyum tertahan.
Seolah mendapatkan reaksi
dukungan, Oggie meneruskan kembali ucapannya. ”Yah, kau tahu Ness kan. Dengan sikapnya
yang kaku dan datar, senyum yang dipaksakan. Ditambah lagi kebiasaannya minum
teh sambil melamun. Ya ampun Ness itu seperti kakek tua yang terperangkap dalam
tubuh anak muda, jika kau tahu maksudku,” desah Oggie padaku seraya
menggelengkan kepalanya.
Suara lengkingan tawa Darren kembali
terdengar menyakitkan telinga.
Kini, dahi Oggie nampak
berkerut. ”Kurasa aku jauh lebih baik darinya,” gumam Oggie riang.
”Sayangnya, kau tidak memiliki
wajah sesempurna Ness, Ogg.” ejek Darren geli penuh kepuasan.
Mulut kecil Oggie berkerucut
kesal seraya menyipitkan pandangan kearah Darren. ”Aku tak mengira kau juga
menaruh perhatian begitu besar pada Ferin. Jangan katakan jika kau juga
mencintainya Darr,” balasnya puas.
Perkataan Oggie membuatku
tertawa seketika.
Airmuka Darren terlihat kesal.
”Aku juga tak mengira jika kau bisa berpikir sebodoh itu!” maki Darren diiringi
gelak tawa Oggie yang keras dan tak terkendali.
Tak memperdulikan tingkah
Oggie, kini Darren mengalihkan pandangannya padaku. ”Menjaulah dari Ness, Calista.
Atau Quilla akan menghancurkanmu,” nada ucapan Darren terdengar seperti
peringatan yang tak dapat ditawar.
”Aku dan Ness hanya berteman.
Saat ini Ness hanya berusaha membantuku,” ucapku mencoba menepis kekhawatiran
Darren.
Darren tersenyum. ”Kau tahu,
aku telah menjadi sahabat Ness sejak kecil. Kami tumbuh bersama di lembah Crystal.
Namun, baru kali ini aku melihat sosok Ness yang begitu bersemangat dan mulai
membuka diri ketika berada di dekatmu.”
Aku tertegun untuk sesaat
mendengar perkataan Darren.
”Ness Ferin menyukaimu,
Calista. Tapi Quilla tidak akan membiarkan hal itu terjadi,” Darren menatapku
tajam.
Kuhembuskan napas kencang dan
menggeleng pelan. ”Kau salah Darr. Aku tidak berniat mengambil Ness dari sisi
Quilla,” sanggahku getir.
”Tapi kedekatan kalian membuat
Quilla menjadi sinting dan membahayakan jiwamu,” sahut Oggie seenaknya.
Aku hanya membisu.
”Biarkan saja Quilla menjadi
sinting karena tidak mendapatkan cinta Ness!” seru Cleo yang kini berdiri
dihadapan kami.
Seketika itu juga, aku, Darren
dan Oggie menoleh kearah Cleo berbarengan.
Cleo tampak berdiri tegak
dengan balutan kain dibahu kirinya.
”Kau seharusnya tidak bangun
dari tempat tidurmu Cle,” nada suara Darren terdengar cemas seraya menghampiri
Cleo.
Dengan cepat Cleo menepis
tangan Darren dan menghampiriku yang langsung berdiri tegang. Kini kami berhadapan
dan saling memandang. Tidak ada sorot kebencian yang biasa ditujukan padaku.
”Kau telah memenangkan hati Ness,”
ucap Cleo pelan.
”Tidak. Kurasa kau salah,” tepisku
canggung.
Cleo tersenyum kaku. ”Kau
tidak bisa membohongiku, Calista.”
”Sebaiknya kau urus dirimu sendiri
dari pada kau mengurusi hubungan percintaan Ness!” seru Oggie melontarkan
ejekan pada Cleo.
Sebuah pukulan ringan menghantam
kursi kayu tempat duduk Oggie hingga membuat kursi kayu itu pecah berantakan.
Seketika itu juga Oggie terjerembab jatuh dan meringis kesakitan.
”Jangan meledek kekasihku Kircey
atau aku akan melakukan sesuatu yang lebih dari itu,” kerling Darren puas.
”Avilos...” ujar Oggie seraya melayangkan tangan kanannya kearah Darren
hingga membuat laki laki berbadan kekar tersebut melayang layang di udara.
”Ayolah hentikan itu Ogg!” seruku
kesal.
”Sebaiknya kau dengarkan
Calista, atau aku akan menghajarmu!” seru Cleo panik.
Kircey tertawa riang dan
dengan gerakan tangan yang cepat menghempaskan Darren sedikit keras ke tanah dengan
sengaja.
Raut muka Darren terlihat
marah, ”Aku akan menghajarmu kali ini Kircey,” makinya kesal seraya bangkit dan
memburu Kircey yang berlari menghindar.
”Kelakuan mereka benar benar
sangat dewasa,” helaku seraya menggelengkan kepala.
”Yeah. Sangat!” sungut Cleo. Sepasang
matanya menatap marah kearah Darren dan Oggie. ”Jika kalian tidak
menghentikannya, aku akan menghajar kalian berdua sekaligus!” teriak Cleo
kesal.
Sayangnya, baik Darren ataupun
Oggie nampak tak memperdulikan peringatan Cleo.
Aku tersenyum sendirian demi
melihat kelakuan Darren dan Oggie. Mereka bagaikan kera yang tengah bertengkar.
Berteriak teriak gaduh saling mengejek dan berkejaran. Namun jika dilihat lagi,
Oggie lebih menyerupai seekor monyet kecil yang tengah menggoda kera raksasa
seperti Darren.
Kunjungan ke tempat
pengungsian tempat berkumpulnya teman teman ksatria Crystal lainnya membuatku
sedih karena harus berakhir. Dan penerimaan Cleo akan keberadaanku sekarang, membuat
hati ini terasa senang. Melihat hubungan pertemanan yang begitu kuat dan dekat
membuatku merindukan seorang sahabat. Sepanjang ingatanku, aku hanya memiliki
Tristan sebagai seorang sahabat dan kekasih.
Kuhembuskan napas perlahan dan
menatap langit cerah yang mulai berubah jingga. Kuurungkan niat untuk kembali
ke istana dan mulai melangkah pelan menuju tempat peristirahatan terakhir
Tristan.
Setibanya disana ternyata aku
tidak sendirian. Kulihat sosok tubuh besar Prechia yang tengah berdiri menatap
batu nisan Orion Xander. Makam Tristan dan Orion memang berdekatan. Karena
kehendak Prechia untuk menguburkan Orion dekat dengan para ksatrianya. Meski
Tristan telah melakukan kesalahan besar, namun semua itu telah ditebus dengan sangat
mahal oleh nyawanya untuk menyelamatkan jiwaku. Prechia menganggap pengorbanan
Tristan adalah sebuah perbuatan ksatria, sama seperti para ksatria Crystal lain
yang telah gugur untuk mempertahankan tanah leluhur kami yang telah dirampas
Zorca.
Mata kami bertemu.
Dan Prechia tersenyum lembut
kearahku. ”Senang bertemu denganmu disini, Calista.” Ada setitik airmata
tertinggal disalah satu sudut matanya.
Aku mengangguk pelan.
Prechia kembali memalingkan
wajah kearah batu nisan Orion. ”Ketika aku merasa lelah, aku merasa harus
berada disini. Aku ingin dia tahu jika ia telah membuat rencana hidupku
berantakan untuk semua permintaannya padaku,” tawa Prechia getir.
Aku hanya membisu.
”Terkadang aku merasa dia
tidak pernah meninggalkanku. Semua ini hanya mimpi dan aku akan terbangun suatu
hari nanti melihat dia duduk dikursi kebesarannya di kastil Crystal sambil
tersenyum kearahku,” ucap Prechia menerawang.
Tanpa sadar airmataku jatuh
perlahan.
”Saat aku jatuh dan berduka
ketika kehilangan keluargaku. Orion selalu ada disampingku untuk memberikan
semangat hidup. Aku tidak akan pernah melupakan itu,” desah Prechia.
”Kau kehilangan keluarga?”
tanyaku pelan.
Prechia mengangguk pelan.
”Suami dan anak perempuanku yang baru berumur lima tahun.”
Kutatap Prechia dengan iba.
”Kami tengah berlayar menuju
utara dan mencari kehidupan tenang tanpa perselisihan. Kami melakukan itu
karena aku dan Gregorian begitu pengecut untuk menghadapi Zorca dan
pengikutnya. Tapi kami hanya ingin mencari tempat aman bagi Toryana yang tak
berdosa,” ujar Prechia emosional.
Prechia menarik napas panjang
dan mengusap sisa airmata.
”Ketika ombak menggulung
Toryana kecil dalam pelukan Gregorian, sihir sehebat apapun tak dapat
menyelamatkan mereka berdua. Dan aku terbangun pada sebilah kayu sisa sisa
pecahan perahu kami dengan diliputi rasa penyesalan hingga sekarang.”
”Tidak ada yang menyalahkanmu
untuk itu Prechia,” sela ku pelan.
Prechia tertawa sinis. ”Entahlah.
Aku tidak pernah menganggap keselamatanku adalah sebuah keberuntungan. Aku
selalu menganggapnya sebuah hukuman yang harus kujalani sepanjang umurku atas
kenangan tentang mereka.”
”Kurasa, pernyataan sikapmu
itu sangat tidak adil,” desisku pelan.
Prechia tertawa pelan. ”Kau
terdengar seperti Orion.”
Untuk beberapa waktu kami sama
sama terdiam.
”Orion adalah sahabat
terbaikku. Dia telah membuka mata hatiku untuk merelakan semuanya dengan tulus.
Tapi rasanya sulit sekali melalui semua itu tanpa kehadirannya yang selalu
menyemangatiku nak,” desah Prechia.
Kuhampiri nisan Tristan dan berjongkok
pelan. Kemudian membelainya dengan lembut seolah ia tengah berada di depanku.
”Aku tahu perasaan itu Prechia. Sepertinya, mulai sekarang kita harus mencoba
untuk merelakan mereka.”
Prechia terdiam.
”Aku sangat merindukan Tristan
sama halnya seperti kau merindukan sosok Orion. Tapi, masih ada teman teman
disekeliling kita. Mereka adalah orang orang baik yang akan ada disampingmu,
untuk menyemangatimu dan menolongmu jika kau membutuhkan mereka,” getarku
pelan.
Kualihkan pandanganku pada
Prechia dengan senyum getir. ”Yang perlu kau lakukan adalah mulai mempercayai
mereka dan menjadikan mereka sahabatmu,” desahku pelan. Untuk sesaat terbayang
wajah Ness dengan sorot mata emasnya yang lembut.
Prechia mengangguk pelan.
”Tahukah kau, jika kau begitu istimewa nak. Kau telah membuat kami bangga
karena memilikimu sebagai seorang sahabat dan ksatria di lembah Crystal,”
senyum Prechia padaku.
Kemudian Prechia berjalan
pelan kearahku. ”Saat kau berbicara dengan Tristan. Sampaikan salamku padanya,”
bisiknya seraya menepuk bahuku pelan.
Kupandangi sosok gemuk yang
kini berjalan memunggungiku. Aku tak pernah mengira jika Prechia begitu berduka
akan kepergian Orion.
Kutatap tempat pembaringan terakhir
Tristan. Angin dingin perlahan bertiup mempermainkan rambutku. Langit semakin
jingga, dan kabut mulai turun perlahan lahan.
”Aku mencintaimu Tristan,”
desahku menahan rasa sesak didada.
Kucoba untuk menahan emosi
diantara airmata yang mulai menetes.
”Tapi aku tidak dapat
mengingkari perasaanku pada Ness,” parauku.
Kini airmataku jatuh satu
persatu.
”Maafkan aku......” isakku
pelan.
Kunikmati senja itu dengan memandangi
rindangnya jajaran cemara diantara kabut yang mulai turun. Kuhembuskan napas
penuh kelegaan sambil menatap surya yang mulai tenggelam.
Rasanya sudah lama sekali aku
mulai melupakan untuk menikmati diriku sendiri. Menjadi aku yang dulu, seorang
gadis kikuk yang hanya melalui hari hari yang sangat biasa dalam hidupnya.
Kutatap langit yang mulai
gelap dan mulai menangis sendirian. Tiba tiba saja aku teringat rumahku di
Essendra. Teringat masa masa indah bersama ayahku, Arman. Aku sungguh
merindukan semua itu, sayangnya aku tidak dapat memutar waktu untuk kembali ke
masa itu. Semua itu, kini hanya menjadi kenangan indah. Sama seperti rasa
kehilangan yang dialami oleh Prechia.
Rasa kesendirian ini begitu menyedihkan
dan membuatku semakin takut. Takut akan rasa kehilangan lagi jika aku kembali
memiliki seseorang dalam hidupku. Dan tangisku pecah begitu terbayang wajah
Ness dengan sorot mata emasnya yang teduh.
Hatiku terasa pilu karena aku
tak sanggup membayangkan pengorbanan yang akan dilakukan Ness pada Arkhataya.
Keesokkan paginya ada sebuah
kejutan yang datang dari raja Zordius. Zordius mengundang para ksatria Crystal
untuk makan siang bersama seluruh keluarga kerajaan. Meski tak begitu yakin
akan maksud baik Zordius tapi perkiraanku tepat. Rupanya, secara pribadi
Zordius meminta maaf atas sikap tak bersahabat yang telah ditunjukkan Quilla
dua hari yang lalu. Meski tanpa kehadiran Quilla di meja makan namun sikap
tulus dari Zordius dan Orelia telah membuat para ksatria Crystal merasa sangat dihargai.
”Sepertinya Zordius tengah
mengurung anak manja itu dalam kamarnya,” sungut Brisa puas.
Kuraih cangkir perak di depan
hidungku. ”Darimana kau tahu itu?” tanyaku penasaran seraya meneguk isinya
perlahan.
”Oggie tak sengaja mendengar
percakapan dua orang pelayan istana sewaktu melewati aula pertemuan kemarin,”
seringai Brisa.
Kutarik napas perlahan.
”Seharusnya Zordius tidak
melakukan hal itu pada Quilla,” bisikku.
Bola mata Brisa berputar. ”Kau
seharusnya senang karena Quilla pantas mendapatkan hukuman dari ayahnya itu.”
”Hukuman yang diberikan Zordius
hanya membuat Quilla menjadi sakit hati dan semakin tak terkendali,” ucapku
tertahan.
”Kau takut dia akan membalas
dendam padamu?” sindir Brisa.
Aku menggeleng lemah. ”Bukan
itu yang menjadi ketakutanku. Kebenciannya padaku justru akan menghancurkan
jiwanya perlahan lahan.”
Sepasang mata Brisa menyipit
kearahku. ”Lalu, hal apa yang menjadikan rasa ketakutanmu pada anak manja itu,”
”Quilla memiliki kecenderungan
sifat yang sulit berubah. Sikapnya yang angkuh dan sedikit manja ditambah lagi
menjadi seorang putri raja sebuah kerajaan peri sehebat Amorilla membuatnya
berpikir ia memiliki segalanya dan dapat melakukan apa saja yang
dikehendakinya. Quilla satu satunya penerus tahta Zordius di Amorilla.
Bayangkan jika ia mengambil alih kepemimpinan dengan sifatnya yang seperti itu.
”
Brisa terdiam.
”Amorilla akan berada diambang
kehancuran jika dipimpin oleh Quilla yang begitu pemarah dan hanya mementingkan
diri sendiri.” desahku.
”Mengapa kau begitu perduli?
Amorilla bukan negrimu?” protes Brisa.
Kuhela napas panjang. ”Kau
benar, tapi Amorilla adalah sekutu terbesar lembah Crystal. Jika terjadi
perselisihan, hal terburuk yang akan terjadi adalah kedua negri akan saling
menghancurkan kekuatan sihir yang dimiliki negri masing masing.”
Kualihkan pandanganku pada
Odile yang terlibat pembicaran dengan Prechia dan Zordius.
”Itu benar. Tapi hal itu tidak
akan terjadi jika Lembah Crystal dan Amorilla saling menjaga hubungan baik,”
sanggah Brisa.
Kulirik Ness yang tengah melamun
sambil menyesap secangkir tehnya.
”Mereka tidak bisa membatalkan
pertunangan Ness dengan Quilla,” gumamku sendirian.
Brisa memiringkan kepala dan
melemparkan pandangan kearah Ness. ”Tentu saja tidak. Merupakan sebuah
penghinaan bagi Zordius sekeluarga jika Ness nekat melakukan itu,” sahut Brisa seenaknya.
Aku terhenyak seketika. Bodohnya aku. Tentu saja mereka tak akan
membatalkan pertunangan itu. Meski Ness menolaknya mati matian.
Sekilas kembali teringat
ucapan Ness pagi itu sewaktu aku menemuinya tengah duduk termenung menatap
kolam kecil disamping taman istana.
”Hanya itu satu satunya jalan merebut kembali lembah Crystal dari tangan
Zorca. Aku harus melakukannya untuk penduduk lembah Crystal dan untuk
kebaikanku sendiri.”
Tubuhku terasa lemas dan jantungku
berhenti berdetak.
Itulah sebabnya mengapa Ness berniat mengorbankan dirinya sebagai raga
pengganti Arkhataya. Batinku resah.
Kuletakkan cangkir minumku
dengan tangan bergetar.
”Odile meminta Ness untuk
bertunangan dengan Quilla. Odile dapat melihat ketakutan di hati Zordius akan perilaku
dan sifat buruk putri kesayangannya itu. Zordius dan Odile membutuhkan Ness
untuk mendampingi Quilla memimpin Amorilla. Zordius tidak menginginkan Amorilla
mengalami kehancuran ditangan Quilla, anak kesayangannya itu sebagai satu
satunya penerus tahta Amorilla. Hanya Ness, yang dapat mengendalikan sifat
buruk Quilla,” bisikku tertahan.
Brisa tertegun.
Kepalaku terasa berputar. Itulah sebabnya Ness menginginkan sebuah
kematian bagi dirinya sendiri. Ness tidak mencintai Quilla. Aku tak pernah
mengira jika Ness begitu tertekan selama ini. Batinku dengan perasaan tak
karuan.
Dengan kesadaran penuh, aku
berdiri dari tempat dudukku dengan wajah tegang menatap Ness dengan galau. Ness
meletakkan cangkir tehnya dan balik menatapku dalam meski raut mukanya terlihat
bingung.
Sementara seluruh mata yang
berada diruang makan ini memandang tepat kearahku. Dengan tergesa Brisa berdiri
dan mengangguk hormat pada Zordius. ”Maaf yang mulia raja Zordius. Sepertinya
nona Kaz sedang tak enak badan dan berharap yang mulia mengijinkannya kembali
ke kamarnya untuk beristirahat,” ucap Brisa sopan seraya meraih tanganku dan
memberi isyarat dengan lirikkan matanya.
Aku mengangguk kaku dan
membungkuk pelan.
Zordius tersenyum datar.
”Tentu saja. Aku akan mengijinkan kalian meninggalkan ruang makan ini. Pastikan
ksatria kita mendapatkan cukup istirahat supaya kesehatannya pulih kembali,”
perintahnya datar.
Aku dan Brisa meninggalkan
ruang makan istana.
Dengan langkah tergesa
kulangkahkan kaki ku tanpa memperdulikan teriakkan Brisa yang meminta
penjelasan akan sikap drastisku.
”Dengar Cal. Aku berhak
mendapatkan jawaban karena aku telah menyelamatkanmu dari jamuan tadi,” ujar Brisa
kesal.
Aku membisu.
”Ayo bicaralah. Apa yang membuatmu bersikap aneh seperti ini jika menyinggung
perihal pertunangan Ness dan Quilla,” sentak Brisa galak.
Kuhela napas perlahan. Aku tak mungkin memberitahukan rencana Ness
untuk menyerahkan raganya pada ruh Arkhataya demi keselamatan lembah Crystal
dan pelarian dari pertunangannya dengan Quilla.
Brisa mengerutkan dahinya
untuk sesaat dan tak membutuhkan waktu lama ia mengerucutkan mulut mungilnya
padaku.”Jangan katakan jika kau menyukai Ferin?” tuduhnya dengan sorot mata
kesal.
Kukatupkan rahang dan membuang
pandanganku dari tatapannya.
”Owhh tidak!” rutuk Brisa. ”Bukankah aku sudah memperingatkanmu
sebelumnya untuk menjauhi Ness?! Ness itu milik Quilla. Seharusnya kau
mendengarkanku!” jerit Brisa histeris.
Kupejamkan kedua mataku.
Brisa kini berjalan mondar
mandir dan mulai mengoceh tak karuan. ”Aku tahu ada sesuatu diantara kalian
berdua. Apakah semuanya terjadi saat Tristan masih ada atau sesudahnya...
Aku tak memperdulikan ucapan
Brisa yang bernada omelan. Hatiku terlalu perih membayangkan harus kehilangan
sosok Ness yang mulai mengisi kesendirianku.
”Kau hanya mencari masalah
jika tak berhenti mendekati Ferin?” nada suara Brisa semakin meninggi.
”Aku lelah Bris. Aku ingin
kembali ke kamarku,” desahku pelan meminta ijin.
”Seharusnya kau mendengarkanku
Calista,” kali ini nada suara Brisa merendah.
Aku menggeleng resah. ”Maafkan
aku Bris. Aku tak ingin membicarakan apapun tentang Ness saat ini,” ujarku
seraya beranjak meninggalkan Brisa yang hanya terdiam di tempatnya berdiri.
Pikiranku melayang. Duduk
termenung menatap kolam kecil disamping istana. Meski aku tak ingin memikirkan
Ness namun hati dan pikiranku penuh dengan bayangan akan sosoknya.
Teringat kembali sikap lembut dan perhatian
yang ditujukannya padaku. Kuraba bibirku perlahan dengan jemari tanganku. Rasanya
masih terasa hangat sentuhan bibir indahnya ketika menyentuh bibirku sewaktu
dia menciumku dulu.
Apakah dia merasakan apa yang kurasakan
saat itu. Tulus kah ucapannya beberapa hari yang lalu ketika ia berjanji pada
Prechia akan menjagaku dengan seluruh hidupnya.
Semakin aku memikirkannya
semakin terasa perih hati ini. Bagaimana jika aku salah. Mungkin saja Ness
hanya mencoba bersikap ramah dan mencoba untuk berteman denganku.
Aku benci hatiku yang rapuh.
Begitu lemah dan mudah sekali terjatuh. Dan sekarang aku jatuh cinta pada sosok
laki laki yang nasibnya telah ditentukan sebagai kekasih seseorang.
Ness bukan ditakdirkan untukku. Ness ditakdirkan untuk bersama Quilla.
Kutatap kolam kecil didepanku nanar.
Writer : Misaini Indra
Image from : www.thinkstockphotos.com
No comments:
Post a Comment