7. JALAN BUNTU
Titus mengernyitkan dahi dan
menatapku dengan raut wajah penuh rasa penasaran.
”Lupakan saja Titus. Kurasa
itu hanya sebuah mimpi buruk bukan sebagai sebuah pertanda apapun,” gusarku
jengah dengan tatapannya yang penuh selidik.
Titus menghela napas panjang.
”Seingatku kau begitu resah saat datang ke tempatku menanyakan perihal
permintaan Obidia dalam mimpimu itu.”
Aku mencoba tersenyum. ”Saat
itu reaksiku sepertinya terlalu berlebihan hingga kau menarik kesimpulan ada
yang aneh dengan hal itu.”
Titus terdiam. Namun sepasang
mata sedihnya tetap tak mau melepaskan pandangannya padaku.
”Bagaimana tanganmu? Kau sudah
merasa baikan? tanyaku mencoba mengalihkan pembicaraan.
”Seperti yang kau lihat,” sahutnya
seraya menunjukkan tangan kanannya yang sudah tidak dibebat kain lagi.
”Sukurlah,” ujarku bersimpati.
”Ceritakan padaku dari awal Calista,
bagaimana akhirnya hingga kau bisa membangkitkan naga Arkhataya dari tidur
panjangnya,” desak Titus penuh selidik.
Kuberanikan diri menatap Titus
dan mencoba bersikap wajar.
”Chaides Borzy membantuku
untuk memahami riak air terjun Farfasian tempat bersemayamnya Arkhataya,”
ucapku datar.
”Sulit dipercaya! Laki laki
cebol yang menguasai sihir air itu musuh yang sangat berbahaya. Untuk apa dia
membantumu!” dengus Titus keheranan.
”Sepertinya Chaides mulai
lelah akan dendam Zorca yang tak pernah terpuaskan, ujarku seraya menghembuskan
napas panjang.
Titus terdiam untuk beberapa
saat. Lalu kembali menatapku.
”Keberuntungan nampaknya
selalu berpihak padamu,” senyum sedih Titus terlihat samar diwajah tirusnya.
Rasanya kata kata Titus kurang
tepat ditujukan padaku. Justru kemalangan selalu datang sejak kutahu siapa
diriku dan silsilah keluargaku.
”Berharap saja kali ini keberuntungan
kembali menyertaiku saat kuperintahkan Arkhataya menghancurkan leviathan Zorca
nanti,” desahku kesal.
Kening Titus kembali berkerut.
Kukatupkan rahangku rapat rapat. Betapa bodohnya aku memberikan pernyataan yang
akan membawa Titus pada prasangka yang baru saja ditudingkan padaku sebelumnya.
”Kau terdengar seperti tidak
yakin pada kekuatan sihirmu,” ucap Titus menyudutkan.
Terlambat. Sepertinya
Titus mulai membaca keresahanku. Aku harus memberikan jawaban tepat supaya ia
tidak semakin mencurigaiku.
”Terkadang....” sahutku
mencoba bersikap wajar.
Kali ini sepasang mata
sedihnya mengamati airmukaku.
”Aku pasti akan mengetahui
dengan cepat jika kau menyembunyikan sesuatu dariku Calista,” tukasnya dengan
nada tinggi yang mengganggu.
”Apa yang membuatmu berpikir
seperti itu,” senyum palsuku terlontar lepas, mencoba menyamarkan kerucut di
kedua bibirku yang sedikit bergetar.
”Matamu tidak dapat
membohongiku,” sungut Titus. ”Kau tahu dimana mencariku jika kau siap untuk
menceritakan hal yang sebenarnya padaku,” sambung Titus memperingatiku.
”Sikapmu sangat berlebihan
Titus. Tidak ada apapun yang kusembunyikan darimu,” gerutuku kesal.
”Lalu untuk apa kau dan Ness
bersikap aneh saat pertemuan kemarin, jika tidak ada rahasia yang kalian
sembunyikan,” balas Titus tak kalah kesal.
”Brisa pasti telah meracuni
pikiranmu,” ejekku setengah tertawa.
Wajah Titus merona. ”Semua ini
tidak ada hubungannya dengan Brisa,” lengking Titus geram. Gerak tubuhnya
terlihat sedikit kikuk manakala aku menyebut nama Brisa.
”Sepertinya wajahmu terlihat
berubah warna setiap kali aku menyebut nama Brisa,” bisikku pelan sekedar untuk
menggodanya.
Wajah Titus menegang. ”Aku
sama sekali tidak mengerti maksud ucapanmu itu, tapi apapun yang kau dan Ness
rencanakan diam diam akan sangat berbahaya dampaknya bagi keselamatan negri
kita dan Amorilla,” tegasnya setengah berteriak dengan wajah sedikit bersemu.
Aku terdiam sesaat. Sial. Apakah Titus bisa membaca pikiran
kami semudah itu hanya dengan melihat gerak gerik aku dan Ness diruang aula
kemarin.
”Dengar Calista. Aku tidak
akan memaksamu. Tapi aku berjanji akan membantumu jika kau siap menceritakan
apapun itu yang kau dan Ness rencanakan,” sorot tajam dari sepasang mata
sedihnya terlihat tulus dan mencoba untuk membujukku.
Kutatap Titus dengan
menunjukkan sikap seolah olah praduganya
salah.
”Terimakasih Titus. Aku sangat
menghargai semua ucapanmu itu,” senyumku sedatar mungkin mencoba menyembunyikan
keresahan yang selalu menghantuiku.
Kepergian Titus membuatku
galau.
Mungkin dia benar. Mungkin
memang seharusnya aku menceritakan hal yang sebenarnya perihal Arkhataya. Tapi
aku telah terlebih dahulu memberikan janjiku pada Ness.
Entah berapa kali sudah aku
berjalan mondar mandir di kamar ini dengan pikiran kacau. Jika aku memberitahukan
Titus perihal pengorbanan Ness, kurasa Ness tidak akan mau berbicara lagi
padaku karena aku telah mengkhianati kepercayaannya.
Tapi Titus adalah solusi bagi
masalah ini. Titus adalah orang yang tepat untuk menyelesaikan masalah Arkhataya.
Aku benar benar buntu.
Kucoba keluar kamar dan
berjalan disekitar taman istana. Pelayan pelayan istana Amorilla terlihat sibuk
berjalan keluar masuk pintu samping ruang utama. Masing masing membawa
rangkaian bunga dan beberapa diantaranya nampak membawa makanan dan buah buahan
disebuah nampan perak.
Sepertinya ada sebuah perayaan. Batinku.
Sekilas kulihat Quilla dari
kejauhan. Gadis tersebut terlihat duduk disebuah kursi taman dengan meja kecil
dihadapannya yang penuh dengan nampan yang berisi rangkaian bunga beraneka
warna. Wajah angkuhnya nampak bercahaya dan terlihat senang. Quilla terlihat
sibuk memilih beberapa bunga yang disorongkan para pelayan istana dihadapannya.
Mata kami bertemu.
Dengan canggung kuanggukkan
kepala sebagai tanda hormatku padanya. Sayangnya Quilla terlihat tak perduli
dan kembali menyibukkan diri memilih rangkaian bunga yang berada di meja kecil
dihadapannya.
Kulangkahkan kakiku cepat cepat
dan meninggalkan taman ini. Kucoba melupakan penghinaan kecil yang ia lakukan
padaku. Meski Quilla telah mengabaikan sikap hormat yang telah kutujukan
padanya, tapi semua itu tidak membuatku gentar.
Brisa benar. Sudah
saatnya aku menentukan sikap. Aku akan tetap berjalan tegak meski Quilla tak
pernah menganggapku. Satu satunya kesabaran yang kumiliki dan membuatku bertahan
atas sikapnya yang menyebalkan itu adalah karena kebaikan hati Zordius yang mau
menampung kami selama ini.
Aku harus merebut lembah Crystal
bagaimanapun caranya. Dan mengembalikan kehormatan negri leluhurku yang telah
terampas. Demi darah Anthea yang mengalir ditubuhku. Dan juga penduduk lembah Crystal
yang menggantungkan harapan mereka padaku. Aku bersumpah merebut kembali tanah
leluhurku apapun resikonya.
Aku akan menunjukkan pada
Quilla jika aku pantas menjadi pelindung lembah Crystal. Aku akan membuktikan padanya
jika semua perkataannya kemarin salah.
Keesokkan harinya aku
melewatkan sarapan dan langsung mendatangi ruang peristirahatan Ness.
Sayangnya, aku tidak dapat menemuinya disana. Salah satu pelayan mengatakan
padaku jika Ness telah pergi pagi sekali meninggalkan ruangan tanpa berpesan
apapun.
Kucoba menemui Piphylia Ferin
di kamarnya. Raut wajah ibu Ness tersebut nampak senang begitu melihat
kehadiranku. Diraihnya kedua tanganku dan mendudukkanku disebuah kursi kayu.
Piphylia mulai bercerita tentang ramuan minuman penguat tubuh yang baru
ditemukannya. Disodorkannya cairan berwarna hijau pupus tersebut di depan
hidungku. Meski wajahku terlihat menunjukkan ekspresi keraguan namun kedua
tanganku tetap mengambil cangkir dari kedua tangannya yang disorongkan di depan
hidungku ini. Aku tak sanggup menolak pesona Piphylia yang nampak tersenyum
lembut seraya mengangguk kearahku.
Aroma tajam dari rasa asam bercampur
manis mulai membasahi kerongkonganku. Dan aku tersedak pelan karena tidak
mengira akan merasakan dua rasa tersebut secara bersamaan.
Sepasang mata Piphylia
menatapku dengan ekspresi wajah menunggu.
”Bagaimana nak?” tanyanya
dengan wajah antusias.
”Terasa asam dan manis...”
ujarku menggantung.
Piphylia tertawa pelan. ”Tentu
saja. Minuman itu terbuat dari sari buah Apel dan daun Ethor.”
”Daun...Ethor?”
”Ya.. ya Ethor. Sejenis
tanaman rambat yang hanya tumbuh di hutan Amorilla. Aku menemukannya kemarin
sore dan tak dapat menutupi rasa bahagiaku karena menemukan tumbuhan itu secara
tak sengaja,” ujarnya menjelaskan.
Sementara aku hanya tertegun
mendengar penjelasannya.
”Kau tahu. Tanaman Ethor akan
mati jika dibawa keluar dari hutan Amorilla. Seingatku dulu, sewaktu aku kecil,
ibuku pernah mengingatkanku jika tanaman Ethor memiliki cerita tersendiri.”
”Benarkah?” tanyaku penasaran.
Piphylia tersenyum lembut
padaku. ”Kau tahu, Ethor adalah nama seorang laki laki keturunan peri yang
memiliki kekuatan penyembuh segala penyakit. Selama hidupnya, Ethor tidak
memiliki cinta sejati karena baginya sebuah kasih sayang adalah perwujudan dari
pengorbanannya untuk membantu mereka yang membutuhkan pertolongan dan
kesembuhan. ”
Kutatap wajah Piphylia yang
terlihat menerawang.
”Lalu apa yang terjadi
kemudian padanya?” tanyaku hati hati.
Piphylia menatapku dan tersenyum.
”Meski Ethor tidak memiliki seorang kekasih dalam hidupnya namun saat tutup
usia, Ethor memiliki seluruh cinta dari semua rakyat Amorilla yang merasa
sangat kehilangan karena ketulusan hatinya yang tak pernah lelah menolong siapa
pun.”
Aku tertegun untuk sesaat.
”Mereka mengubur Ethor dibawah
rindangnya pohon maple dan beberapa hari kemudian tanaman rambat memenuhi
seluruh tanah pembaringannya yang terakhir. Meski telah dibersihkan berkali
kali, tanaman itu terus tumbuh dan semakin merambat bebas kesegala arah.”
Piphylia
berhenti sejenak mengambil napas sebelum kembali melanjutkan ceritanya. ”Anak
angkat Ethor yang bernama Gorloin tak sengaja membawa tanaman rambat tersebut
pulang setelah membersihkannya dari makam Ethor, Gorloin merebusnya dan meminumkannya pada anaknya yang
tengah demam tinggi. Dan saat pagi menjelang anak perempuan Gorloin pun sembuh
dan menjadi lebih ceria dari biasanya.”
”Suatu
kebetulan yang tak terduga,” gumamku pelan.
Piphylia
menoleh kearahku. ”Gorloin pernah mengatakan pada isterinya, ia melakukan hal
tersebut semata mata karena mendengar seseorang membisikinya untuk melakukan
itu semua. Beberapa tetua mengatakan jika Ethor lah yang membisiki telinga
Gorloin untuk melakukan itu semua. Begitu tulusnya hati Ethor hingga dalam
pembaringan terakhirnya masih dapat berpesan dan mewariskan tanaman ini untuk
keselamatan kita semua.”
Piphylia
menutup ceritanya dan memandangku.
”Betapa mulianya hati Ethor,” desahku
pelan. ”Begitu besar pengorbanan yang ia lakukan untuk pengabdian yang ia
lakukan.”
Tiba tiba saja pikiranku
kembali melayang pada pengorbanan Ness untuk Arkhataya.
”Kau tahu nak. Aku jadi
terkenang masa kecil ketika membantu ibuku mencari tanaman Ethor di hutan
Amorilla ini,” sepasang mata Piphylia memandangi daun Ethor yang ada dalam
genggaman tangannya itu.
”Anella adalah ibumu, benarkah
begitu?” tanyaku ragu.
Piphylia tersenyum kearahku.
Dan mengangguk pelan. ”Dia mengajarkan banyak hal padaku. Kami sering pergi ke
hutan bersama untuk sekedar mencari jenis tanaman baru sebagai racikan obat.
Menghabiskan waktu sepanjang hari menelusuri setiap jengkal hutan Amorilla
untuk mengumpulkan berbagai tumbuhan berkhasiat sambil menyanyikan lagu
kesukaan kami,” kini sudut mata Piphylia terlihat sayu.
”Terkadang aku merindukan masa
masa itu bersamanya nak,” wajah Piphylia menjadi sendu.
”Anda sungguh beruntung nyonya
Ferin. Aku bahkan tidak mempunyai kesempatan apalagi memiliki kenangan bersama
ibuku sewaktu kecil,” dengusku mencoba menghiburnya dengan kegetiran masa
laluku.
Piphylia tersenyum bijak lalu
mengelus sebelah pipiku. ”Maafkan aku yang tidak peka akan keadaan masa
kecilmu.”
Aku tersenyum samar. ”Tidak.
Bukan salah anda nyonya. Kurasa aku hanya terlalu cengeng dan iri pada masa
kecil anda yang penuh oleh kehangatan seorang ibu,” sanggahku dengan perasaan
tak enak hati.
”Kita semua memiliki masa
lalu. Terlepas dari indah dan tidaknya kita harus menghargai itu semua karena
merupakan bagian dari hidup kita sekarang. Apa yang terjadi di masa lalu
menjadikan kita kuat menghadapi masa sekarang,” kedua tangan Piphylia merengkuh
wajahku dan menatapku dalam.
”Kau adalah gadis pemberani
yang pernah kutemui dalam hidupku. Darah Anthea yang mengalir ditubuhmu
membuktikan jika kau setegar dan sebijak mendiang kakekmu, Ghorfinus.”
Kutatap Piphylia haru.
”Jangan pernah merasa
sendirian. Karena aku akan selalu ada jika kau membutuhkan bantuan nak,” janji
Piphylia padaku.
Sebuah pikiran terlintas dibenakku.
Haruskah kukatakan padanya jika anak laki laki satu satunya itu akan mengorbankan
jiwanya untuk Arkhataya.
Kutatap Piphylia dengan
tegang. Jantungku berdegup cepat. Mungkin saja jika aku mengatakan pada
Piphylia, Ness akan merubah keinginannya itu. Piphylia bisa membujuk Ness untuk
membatalkan niat gila dikepalanya itu.
”Ness.....,”desahku ragu.
Piphylia memandangku dengan
bingung. ”Ada apa dengan Ness?” tanyanya penasaran.
Kutarik napas panjang mencoba
untuk menguasai getaran dalam nada suaraku.
”Anakmu Ness akan melakukan
suatu...
”Apakah kau tengah mencariku!”
sebuah seruan memotong pembicaraanku. Seruan itu terdengar di pintu masuk kamar
Piphylia.
Ness terlihat berdiri disana
dan menatapku tajam.
Piphylia tersenyum riang.
”Suatu kebetulan kau berada disini Ness. Sepertinya Calista memang tengah
mencarimu.”
Wajahku memanas. Kucoba
tersenyum dengan raut ketegangan di wajahku.
”Sebaiknya kita tidak
mengganggu ibuku dan mencari tempat untuk bicara,” ujar Ness menawarkan. Nada
suaranya terdengar santai dan raut wajahnya berubah menjadi ramah.
Piphylia tertawa seketika.
”Jangan berpikir seperti itu Ness. Kehadiran Calista sama sekali tidak
menggangguku.”
Satu alis Ness terangkat lalu
mengalihkan pandangannya padaku.
Aku tersenyum gugup. ”Tapi...Ness
benar. Ada sesuatu yang harus kami bicarakan berdua saja jika anda tidak
keberatan nyonya Ferin,” ucapku sopan.
”Oh tentu saja tidak nak.
Pergilah dan selesaikan masalah kalian berdua,” ujar Piphylia seraya memelukku
cepat dan tersenyum lembut kearahku.
Aku mengangguk pelan.
”Terimakasih nyonya Ferin. Senang sekali berbicara dengan anda meski hanya
sebentar saja.”
Piphylia tersenyum datar. ”Aku
juga merasakan hal yang sama nak.”
Setelah mengucap salam
perpisahan dengan cepat Ness meraih tanganku dan membawaku pergi dari sini.
Wajah Ness nampak tegang dan
bercampur kesal ketika menatapku.
”Apakah kau berniat untuk
menikamku dari belakang?” tanyanya sinis.
Aku hanya membisu dan
melemparkan pandangan jauh jauh dari sepasang mata teduhnya itu.
”Aku tak ingin membicarakan
lagi hal ini. Dan kuharap kau berhenti dalam usahamu untuk mencegah niat baik ku
untuk mengembalikan lembah Crystal,” tambah Ness dengan nada terkendali.
”Niat baik atau semua itu
hanya usaha untuk menghindar dari pertunangan yang tidak kau inginkan itu!”
seruku marah.
Ness menatapku tegang.
”Terkejut?! Karena aku
berhasil mengetahui rahasia dibalik pengorbananmu itu,” sindirku kesal.
Ness tertawa keras begitu
mendengar seruan kekesalanku.
”Jangan mempermainkanku Ness. Aku
tidak sebodoh perkiraannmu!” lengkingku lagi semakin marah.
Sepasang mata emas Ness
menatapku dalam. ”Aku tidak perlu menjelaskan apapun padamu.”
”Jika kau ingin membantuku.
Kau harus mengatakan padaku alasan sesungguhnya. Kau berhutang sebuah
penjelasan padaku?” sahutku ketus.
”Mengapa kau begitu perduli
akan pertunanganku dengan Quilla?” tandas Ness tanpa basa basi.
Untuk sesaat aku terhenyak.
Kuputar kedua bola mataku dan berpikir keras untuk menjawab pertanyaannya itu.
”Katakan padaku Calista?
Kenapa?” desak Ness dengan satu alis terangkat dan menatapku penuh tanda tanya.
”Jangan mencoba untuk
mengalihkan pembicaraan,” sanggahku marah.
Ness tertawa.
Napasku memburu. Meski kutahu tidak
ada nada ejekan dalam nada tawanya. Tetap saja hatiku terasa kesal seolah ia
telah memenangkan separuh perdebatan ini.
”Apakah kau takut kehilangan
aku, nona Kaz?” kerling Ness menggodaku.
Wajahku panas seketika.
Kutarik napas mencoba menahan degup jantungku yang berdetak tak karuan. ”Aku
hanya tak ingin tunanganmu yang sinting itu mengejarku jika terjadi hal buruk
padamu. Terus terang saja, lengkingan suaranya benar benar membuatku gilaa!”
cetusku kasar.
Suara tawa Ness kembali
terdengar keras.
”Kau tahu, perkataanmu itu
benar benar menghiburku,” gelengnya masih menyisakan tawa di bibir indahnya.
Aku terduduk lemas di tanah. Putus
asa dan tak tahu lagi harus mengatakan apa untuk membuat Ness merubah
pikirannya.
Ness berjongkok lalu duduk
disampingku.
”Dengarkan aku Calista. Aku
tidak akan mempersulit semua ini. Tapi seperti yang kau lihat keadaan ini benar
benar membuat kita harus percaya satu sama lain. Kau tidak membutuhkan alasan
atas pengorbananku. Karena semua itu tidak penting. Ada hal besar yang menjadi
tanggung jawab kita saat ini dan jauh lebih penting. Mengembalikan lembah
Crystal, rumah para ksatria dan seluruh penduduk lembah Crystal,” desahnya
pelan disampingku.
Aku terdiam.
”Jika ada yang ingin kau ucapkan
padaku. Sekarang adalah waktu yang tepat untuk menyampaikannya padaku,” tawar
Ness.
Aku hanya membisu.
Seolah tak ingin berlama lama
berada dalam situasi dramatis, Ness berdiri dari sisiku. ”Aku ingin tinggal
lebih lama dan berbincang denganmu. Tapi sayangnya, aku harus menghadiri acara
bodoh kerajaan yang dirancang Quilla untukku.”
Aku tak bergeming.
”Semoga hari ini kau mengalami
hari yang jauh lebih menyenangkan dari hari ku,” ujarnya seraya berlalu dari
hadapanku.
Kutatap punggung kekar Ness
dengan perasaan tak karuan. Sebagian hatiku menginginkan ia tinggal dan
menemaniku meski hanya sesaat. Tapi mulutku terkunci. Dan aku hanya dapat
menelan kekecewaan lagi karena Quilla mencoba meraih Ness kembali dalam
pelukannya perlahan lahan.
Brisa benar untuk satu hal.
Seharusnya aku menjauhi Ness. Karena Ness adalah milik Quilla. Dan Quilla tidak
akan menyerahkan Ness pada siapa pun tanpa perlawanan.
Dengan langkah gontai aku
berjalan menyusuri jalan kearah perbatasan hutan Amorilla tempat dimana para
pengungsi berada. Meski terlihat tegar tapi aku dapat merasakan apa yang mereka
alami saat ini. Terombang ambing dengan perasaan rindu akan tanah kelahiran.
Aku terus berjalan dengan
pikiran buntu dan kegelisahan yang meluap. Pikiranku tak bisa lepas dari sosok
Ness. Aku benci perasaan aneh ini. Menjalar begitu cepat dan meracuni
pikiranku. Dan setiap aku memikirkan Ness yang tengah bersama Quilla saat ini,
ada perasaan kesal luar biasa di hatiku.
Kutepiskan jauh jauh perasaan
itu. Kucoba menekan sebisa mungkin seluruh perasaanku pada Ness. Aku harus bisa
melakukannya. Mencoba melupakan Ness. menjauhkan sosoknya dari benakku.
Aku berteriak kesal ke udara.
Dan terduduk lemas pada sebuah batang kayu yang telah tumbang.
Bodoh. Sepertinya sulit
sekali untuk menghilangkan perasaan yang mulai tumbuh dihatiku ini. Dan aku benar benar tersiksa.
”Calista...?! lengkingan suara
seorang gadis mengejutkanku seketika.
Kudongakkan kepala menatap
pemanggilku.
Seorang gadis berambut ikal panjang berwarna merah.
Tersenyum cerah kearahku. Bola matanya yang berwarna coklat tua memandangku
dengan sorot ramah.
“Apa yang kau lakukan
disini?” tanyanya dengan nada setengah berteriak.
“Evelyn...” tanyaku
ragu.
Gadis didepanku itu
tertawa. “Sukurlah kau masih mengingatku.”
“Apakah kau tinggal di
pemukiman pengungsian bersama para penduduk lembah Crystal?” tanyaku ragu.
“Yah benar, mau tinggal
dimana lagi?” kelakarnya seraya tertawa.
Kini Evelyn duduk
disampingku. “Apa yang kau lakukan disini sendirian? Kau terlihat seperti... kehilangan
arah,” ujarnya sok tahu.
Kuhembuskan napas
kencang seraya mengerutkan dahi. “Kau pembaca pikiran juga sekarang?” Sindirku
tak senang akan pernyataannya.
Evelyn terpingkal.
“Maaf. Aku hanya menebak
saja,” sahutnya sambil mengangkat bahu.
Kubuang pandanganku dari
tatapannya.
“Menurutku, apapun itu
yang ada dikepalamu, lepaskanlah karena hanya akan menghalangi jalanmu,”
nasihatnya sok tahu.
Kulirik Evelyn dengan
raut sebal yang terpapar jelas diwajahku. “Aku tak mengerti apa yang kau maksudkan
Keech.”
Evelyn tersenyum samar. “Menjadi seorang pahlawan bukan
berarti memendam semua penderitaan dan tersenyum setiap saat seolah semua baik
baik saja padahal sebenarnya tidak.”
Aku berdiri seketika dan
memandangnya jengkel. “Aku bukan seorang pahlawan. Berhentilah mengejekku
seperti itu,” ucapku dengan nada tinggi.
“Owh maaf. Aku tak
bermaksud berkata seperti itu. Hanya saja terkadang aku suka mengatakan hal hal
diluar kendaliku,” ujar Evelyn seraya mengangkat kedua tangannya dengan wajah
penyesalan.
“Baru kali ini aku
menemukan seseorang yang mengucapkan sesuatu diluar pemikirannya. Kau bahkan
lebih hebat dari para ksatria psichic di lembah Crystal,” sindirku halus.
Evelyn mendengus kesal,”
Hey, ucapanmu itu benar benar tidak sopan, Calista,” sungutnya.
Kuhembuskan napas
kencang dan meliriknya sekilas sebelum membuang pandangannku lagi darinya. ”Maaf.
Hanya saja kau membuatku merasa sangat tak nyaman hanya dengan mendengarkan
ucapanmu itu.”
Evelyn menunduk. Dan
kami sama sama terdiam.
“Jika ada yang bisa
kubantu. Dengan senang hati aku akan melakukannya untukmu,” ucap Evelyn pelan
memecahkan kebisuan.
“Kurasa.. tidak ada
seorang pun yang dapat membantuku keluar dari permasalahanku saat ini,” ucapku enggan,
setengah berbisik.
Kini aku berdiri dan mulai
kembali menatap Evelyn yang masih duduk disampingku.
“Senang bertemu denganmu
lagi Keech.“
Evelyn tersenyum.
“Sampai nanti...,” ujarku
seraya melangkahkan kaki meninggalkannya.
“Calistaa...
Suara penggilan Evelyn
membuatku berbalik dan menatap sepasang mata coklatnya yang terlihat tulus menatapku.
“Jika kau butuh sesuatu.
Kau bisa mencariku disini,” tawarnya lagi dengan gigih kembali mencoba
meyakinkanku.
Kuanggukkan kepala dan
hanya menatapnya datar.
Kemudian kembali melangkahkan
kedua kakiku menuju jalan setapak menuju istana Amorilla.
Sepertinya aku akan
tidur lebih awal untuk melupakan sejenak permasalahan Arkhataya ini.
Writer : Misaini Indra
Image from : http://www.123rf.com/photo_5533869_a-ball-into-the-labyrinth-searching-s-a-solution.html
No comments:
Post a Comment