8. BISIKAN
HATI
Kucoba
berlari menghindar dan mencari perlindungan. Namun Akhataya terus menukik tajam
tak mau melepaskanku begitu saja. Suara raungan kemarahan bergemuruh keras
memekakkan telingaku.
Napasku
memburu. Dan aku terus berlari. Sayangnya sosok seseorang di depanku yang
muncul tiba tiba membuatku tertahan dan menghentikan langkah langkahku.
Sepasang mata teduh keemasan yang menatapku resah nampak berdiri bimbang. Dan hanya
dalam hitungan jari saja, Arkhataya membawa sosoknya pergi dengan menancapkan
kuku kuku kakinya yang setajam pedang pada tubuh laki laki pujaanku itu. Aku
menjerit keras memanggil nama Ness dan terbangun seketika.
Kuatur napas perlahan. Kuusap wajah
hingga rambutku dengan kasar. Ada rasa kesal bercampur lelah mengingat mimpi
buruk yang baru saja kualami. Saat ini aku benar benar berada dalam puncak
tekanan yang sangat membebani pikiranku. Dan tak tahu harus berbuat apa.
Malam itu juga aku tak dapat
memejamkan mata hingga fajar menjelang.
Ketika aku
melewatkan makan pagi. Brisa menatapku dengan wajah cemas. Brisa menyorongkan
sepotong roti padaku. Dengan enggan kuraih roti itu dari tangannya. Dan hanya
memainkan makanan malang itu dalam genggaman tanganku.
“Wajahmu pucat sekali,” ujar Brisa
membuka percakapan.
Aku hanya mendengus pelan.
“Kau terlihat kusut dan sangat
menyedihkan,” sambungnya lagi dengan nada mengejek.
Aku kembali tak menanggapinya, hanya
melamun dan sibuk mencubit cubit pinggiran roti pemberian Brisa hingga
mengotori lantai dengan remahannya.
Dengan kasar Brisa merebut potongan
roti ditanganku dan berjalan cepat kearah jendela kamar lalu melemparnya
keluar. Kemudian ia kembali menghampiriku dan berdiri dihadapanku dengan
bertolak pinggang seraya menatapku kesal.
“Jatuh cinta pada orang yang salah
bukan berarti kau .harus menyiksa dirimu dalam penderitaan!” ucapnya ketus.
Seketika itu juga aku tertawa begitu
mendengar ucapannya padaku. Aku tak mengira jika Brisa berpikir aku tertekan
karena mengalami percintaan yang bertepuk sebelah tangan.
Brisa menggelengkan kepalanya dengan
wajah menahan marah.
“Kurasa kau mulai menjadi gila,”
sungutnya kesal.
Kuhela napas panjang. “Mungkin saja….
“Ayolah Calista. Katakan sesuatu
padaku.. Apapun itu. Aku ingin membantumu melalui semuanya,” ujar Brisa
setengah berteriak.
Kupandang Brisa dengan tatapan yang
menyiratkan jika aku tak menyukai perkataannya padaku.
“Kau harus berkonsentrasi menghadapi
permasalahan Zorca dibandingkan hal hal konyol seperti cinta,” tukas Brisa
tanpa perasaan.
Kupingku mulai terasa panas.
“Ada seratus orang pengganti Ness
diluar sana yang jauh lebih baik memperlakukan wanita jika kau berniat
mencarinya…
“Hentikan Bris!” sahutku marah.
“Berhentilan berbicara seolah olah kau tahu apa yang tengah kupikirkan saat
ini,” suaraku sedikit bergetar mencoba mengendalikan amarah.
Wajah Brisa terlihat tegang.
Kuusap wajahku seraya menghela napas
panjang.
“Aku hanya tak ingin kau semakin
terluka jika kau terus memikirkan Ferin. Aku hanya ingin melindungimu…
Kulirik Brisa dengan enggan. Dan
mencoba untuk tersenyum mendengar penuturannya. “Aku tahu. Hanya saja aku
sedang tidak memikirkan Ness saat ini…
Brisa melunak. Segaris senyum lega terlihat
di sudut bibirnya.
“Jangan khawatirkan aku Bris. Aku
hanya ingin menyendiri dan berpikir,” ujarku memberi alasan untuk
menenangkannya.
“Baiklah. Aku tidak akan
mengganggumu lagi,” ucap Brisa pelan.
Kami terdiam untuk beberapa saat.
“Sebaiknya aku pergi dan
membiarkanmu tenggelam dalam lamunan,” sindir Brisa halus seraya menyunggingkan
senyum.
“Sebaiknya begitu,” sahutku seraya
membalas senyumannya.
Brisa berjalan lambat lambat menuju
pintu kamar.
“Bris…” panggilku ragu.
Brisa menoleh kearahku.
“Percayalah padaku..
Brisa mengangguk lembut dan berjalan
keluar kamar seraya menutup pintu.
Kuhembuskan napas panjang dan
membanting tubuhku kembali ke tempat tidur. Memandangi langit langit kamar
dengan pikiran melayang.
Tidak ada yang dapat membantu karena
aku tidak mengatakan permasalahan yang sebenarnya. Ness membuatku terjebak
dalam perjanjian rahasia mengungkap kebenaran akan permintaan Arkhataya.
Tiba tiba aku teringat kembali akan
mimpiku beberapa hari yang lalu. Obidia melarangku untuk membangunkan naga
terkutuk itu.
Dengan cepat aku bangun dari tempat
tidurku. Kurasa aku telah menemukan jawaban atas permasalahan Arkhataya ini.
Batinku senang.
Dengan
penuh semangat aku berjalan mengelilingi kamar kecil ini seraya berpikir akan
Obidia. Obidia datang dalam mimpiku dan memberi peringatan. Obidia tahu sesuatu tentang Arkhataya. Obidia pula yang
membuat gelang pusaka yang berada di lenganku ini untuk berkomunikasi dengan
Arkhataya.
Kuraih
mantelku dan memakainya asal asalan. Berlari cepat keluar kamar dengan tergesa
gesa tanpa memperdulikan tatapan para pelayan istana yang mungkin melihat
betapa kacaunya penampilanku yang masih mengenakan gaun tidur dengan wajah
kusut dan rambut coklatku yang terlihat tak rapih.
Aku
terus berlari menyusuri anak tangga istana menuju taman kecil. Lalu berjalan
cepat tanpa memperdulikan tatapan para penjaga gerbang istana yang sedikit
keheranan menatapku. Dan baru kusadari tatapan mereka tertuju pada kedua
telapak kakiku yang tak memakai alas kaki. Meski kedua telapak kakiku terasa
sakit saat melewati jalan setapak yang sedikit tak rata menuju perbatasan hutan
Sphronia. Aku tak perduli.
Rasa senang atas pengharapan jawaban akan
semua permasalahan Arkhataya membuatku begitu bersemangat hingga melupakan
semuanya termasuk mengganti pakaian dan mengenakan alas kaki.
Dari jauh kulihat sosok Evelyn Keech yang
tengah bercanda dengan dua orang temannya sambil mengumpulkan ranting kayu yang
jatuh di sepanjang jalan setapak ini.
”Evelynnn!” panggilku dengan napas
terengah.
Evelyn Keech menghentikan kegiatannya
sejenak dan menoleh padaku. Sedangkan kedua temannya menatapku dengan pandangan
heran.
Kuhampiri Evelyn dengan tergesa.
”Calista, apa yang kau lakukan di sini dengan
gaun tidur dan tanpa alas kaki,” ujar Evelyn seraya menatapku dari atas kebawah
dengan keheranan.
Kurapatkan mantelku dengan kikuk mencoba
menutupi gaun tidurku yang tersingkap.
”Bisakah kita berbicara berdua saja,”
pintaku pelan berusaha untuk tidak menyinggung perasaan kedua temannya.
”Hey tak masalah. Kami akan meninggalkan
kalian berdua. Benarkan Audrey,” sahut salah satu teman Evelyn dengan senyum
ceria. Sementara gadis yang dipanggil Audrey hanya tersenyum datar dan
mengangguk.
”Aku segera kembali,” ujar Evelyn pada
kedua teman perempuannya itu.
Mereka hanya tersenyum dan berlalu dari
hadapan kami.
Sepasang mata coklat tua Evelyn kini
beralih padaku. ”Apa yang ingin kau bicarakan padaku?”.
“Kau
seorang ilusionist kan...
Evelyn menatapku dengan pandangan aneh.
”Ya.. itu benar. Untuk apa kau tanyakan hal yang sudah kau ketahui,” kernyit
Evelyn bingung.
”Pernahkah kau melakukan ritual
pemanggilan arwah,” sambungku tak sabar.
”Itu sebuah permintaan besar Calista,”
ujar Evelyn setengah tertawa.
”Aku serius Eve, pernahkah kau melakukannya,”
desakku tak sabar.
Evelyn Keech hanya menghembuskan napas panjang
lalu menatapku dalam. ”Terus terang aku belum pernah melakukannya. Tapi Aku
pernah mengikuti ritualnya dulu atas permintaan nyonya Ginka. Yah setidaknya
aku mengetahui caranya.”
Seulas senyum lega kulontarkan kearahnya.
”Bagus. Aku ingin kita melakukannya Eve. Sesegera mungkin.”
”Tunggu. Kau tidak berpikir kita berdua
saja yang akan melakukan hal itu kan,” protes Evelyn gugup.
Kutatap lurus lurus wajah Evelyn. ”Kau
keberatan?”
”Ya ampun Calista. Kita membutuhkan energi
dari beberapa orang lagi untuk melakukan ritual itu. Apalagi untuk memanggil arwah
yang memiliki kekuatan sihir. Kita tidak tahu seberapa berbahayanya arwah
tersebut akan bereaksi,” lengking Evelyn sedikit bergetar.
“Tidak.
Tidak boleh terlalu banyak orang yang mengetahui hal ini Eve,” tolak ku dengan
panik.
“Tapi
aku tak yakin aku sanggup melakukannya sendirian. Aku akan sangat membutuhkan bantuan
ketika suatu hal buruk akan terjadi ditengah tengah ritual.” Nada suara Evelyn
terdengar tegang.
Kutarik
napas sedikit keras untuk mengusir kekesalanku.
“Maaf,
bukannya aku tak mau membantumu. Tapi aku tak berani mengambil resiko yang
dapat membahayakan keselamatan kita berdua. Kau memiliki tugas penting untuk
menyelamatkan kami semua disini,” tukas Evelyn cepat.
Kuhela
napas panjang seraya melayangkan pandangan kearah dua orang teman Evelyn yang
tengah bercanda tak jauh dari tempat kami duduk.
“Bagaimana
dengan mereka?” gumamku.
Evelyn
melayangkan pandangan kearah dua orang temannya tadi.
“Maksudmu
Elise dan Audrey?”
“Ya,”
sahutku ragu. “Apakah mereka dapat diandalkan?”
Evelyn
terdiam untuk sesaat.
“Apakah
mereka dapat dipercaya, Eve?” tanyaku lagi tak sabar.
“Tentu
saja mereka dapat dipercaya. Kami bersahabat sejak kecil,” ujar Evelyn pasti.
“Bagus!
Lalu bagaimana dengan kemampuan mereka?”
“Elise
sangat bisa diandalkan karena memiliki nilai terbaik. Tapi Audrey.. yah
maksudku Audrey sedikit acuh. Tapi sejauh ini kemampuan Audrey cukup memuaskan
dalam kelas nyonya Ginka.”
Kucoba
untuk meyakini ucapan Evelyn. Mungkin ini resiko yang harus kuambil. Aku tak
memilki pilihan lain juga kan.
“Baiklah.
Minta pada mereka untuk menemani kita dalam ritual ini.” Getarku ragu.
Evelyn
menatapku lurus lurus. “Sebenarnya ada arwah tertentu kah yang ingin kau
panggil?” tanya Evelyn sedikit menyelidik.
Aku
berusaha mengacuhkan pertanyaan Evelyn.
Bibir
Evelyn sedikit mengerucut.“Kau terdengar tak begitu yakin. Mengapa kau tidak
meminta Brisa Ackron untuk menemanimu dalam ritual ini.”
“Tidak.”
Gelengku kuat kuat. “Berjanjilah kalian akan merahasiakan pemanggilan arwah ini
pada siapapun.” Tegasku sedikit tegang.
“Terserah
kau saja,” Evelyn mengangkat bahu.
“Panggil
mereka Eve. Ada beberapa hal yang ingin aku bicarakan pada kalian sebelum kita
memulai ritual ini.” Desahku.
Dengan
malas Evelyn berdiri dan mulai berteriak memangil Elise dan Audrey.
Kami
berkenalan sebentar dan berjanji akan bertemu lagi disini untuk melakukan
ritual pemanggilan arwah.
Hari
itu aku kembali ke istana Amorilla dengan memakai alas kaki milik Evelyn yang
sedikit kotor di bagian ujungnya.
Kuayunkan
langkahku dengan cepat karna aku tak ingin seseorang yang kukenal melihatku
dalam keadaan berantakan seperti ini. Kurapatkan mantelku untuk menutupi gaun
tidurku yang tipis.
Ketika
melewati kolam kecil di samping taman istana, aku tak mengira akan bertemu
dengan Ness yang tengah berdiri dengan wajah kaku menatap Quilla yang
menatapnya dengan pandangan kesal.
Ness
melirik kearahku. Begitupula dengan Quilla. Aku tersenyum kaku kearah mereka
dan kembali menyeret langkahku dengan cepat karena terus terang aku tak ingin
menyaksikan apa yang ada dihadapanku saat ini.
Dengan
cepat kubuka pintu kamar dan menutupnya dengan tergesa. Begitu aku berbalik.
Kulihat Oogie tengah duduk diatas tempat tidurku dan tersenyum kearahku.
“Kau
melewatkan makan pagi, makan siang dan berkeliaran sepanjang hutan Amorilla
hanya dengan mengenakan baju tidur tanpa alas kaki,” ledeknya seraya tertawa.
“Bangunlah
dari tempat tidurku Oog!” sahutku kesal.
Oogie
menggeleng tertawa seraya bangkit dari tempat tidurku. Kemudian ia bersandar
dekat jendela sambil menatap keluar jendela yang terbuka.
Aku
duduk diatas tempat tidurku seraya mengusap telapak kakiku yang terasa perih.
Sepertinya sewaktu berlari menuju tempat Evelyn aku tak sengaja menginjak
ranting ranting kayu kering yang cukup tajam.
“Kau
adalah gadis yang sangat aneh Calista,” sindir Oogie.
Kuhampiri
meja kecil disamping tempat tidur Brisa dan membuka salah satu lacinya. Kuraih
sepotong kain dan mencelupkannya dalam mangkuk disamping jendela kamar yang
berisi air segar.
“Sama
anehnya dengan laki laki yang tengah bertengkar disana,” gumam Oogie tanpa
melepaskan pandangannya keluar jendela.
Kulirik
keluar dan mendapati Ness masih berada disana terlibat adu mulut yang hebat
dengan Quilla.
“Setidaknya
aku tidak kehilangan pikiranku,” desahku pelan seraya memandang acuh kearah Quilla.
“Kita
semua kehilangan akal ketika berada dalam negri pengasingan ini,” ujar Oogie
sinis.
Tiba
tiba saja dari tempatnya berdiri bersama Quilla, Ness menoleh kearah kami. Wajahnya
terlihat tegang dan airmukanya terlihat sangat kaku. Sepasang mata emasnya
berkilat tajam seolah menembus pandanganku.,
Kubalikkan
tubuhku untuk menghindari tatapannya. Aku tak ingin membuat Quilla bertambah
marah jika melihat kekasihnya memandangiku seperti itu.
“Apa
yang kau lakukan di kamarku Oog?” tanyaku kesal seraya menatapnya.
Bola
mata Oogie berputar lalu tersenyum kaku. “Hanya berkunjung dan melihat
keadaanmu?”
“Apakah
Titus mengirimmu untuk memata mataiku,” tudingku tajam.
Oogie
tertawa. “Kau salah sayang. Master Titus
tidak pernah menyuruh seseorang untuk melakukan sesuatu.” Gelengnya meyakinkan.
“Prechia?”
kejarku.
“Tepat
sekali,” angguknya seraya mengerling padaku.
Kuhembuskan
napas kencang.
“Mengapa
Prechia tidak pernah mempercayaiku?” ujarku kesal seraya melempar potongan kain
kotor yang kupegang tadi keatas meja dengan kasar dan duduk dipinggir tempat
tidurku.
Oogie
menghampiriku dan ikut duduk disampingku.
“Prechia
hanya bermaksud baik. Dia hanya mencemaskan keselamatanmu. Mengingat kau sering
berkeliaran sesuka hatimu dalam keadaan seperti ini,” sindir oogie dengan bibir
berkerucut sambil mengamatiku dari atas kebawah.
“Terimakasih.
Tapi aku bisa menjaga diriku sendiri,” ucapku tegas seraya tersenyum sinis.
“Sayangnya,
beberapa orang tidak berpikir sama seperti pikiranmu itu,” tukas Oogie datar.
Kami
sama sama terdiam.
“Kau
kecewa?’ tanya Oogie pelan
Kugelengkan
kepalaku dan melirik kearahnya. “Aku sama sekali tak mengerti maksud
perkataanmu itu?”
“Karena
Prechia telah mengirimku untuk jadi pengasuhmu.”
“Sedikit.
Seharusnya Prechia mengirim seseorang dengan ilmu sihir yang lebih tinggi
diatasku,” gurauku sarkastis.
Kami
tertawa.
“Kuberitahu
sebuah rahasia padamu dan kuharap kau tidak terlalu kecewa ketika mendengarnya
sayang,” kerling Oogie.
Kukernyitkan
dahiku seraya memicingkan mata menatap Oogie.
“Awalnya
Prechia meminta Ferin untuk melakukannya. Tapi seperti yang kau lihat. Kisah
percintaannya sedikit terganggu karena kecemburuan Quilla padamu.” Bisik Oogie
ditelingaku.
Wajahku
panas seketika.
Oogie
tertawa puas karena telah membuatku tak berkutik.
Sebuah
ketukan di pintu membuat Oogie menghentikan tawa dan berdiri untuk membuka
pintu kamar.
Sosok
Ness terlihat berdiri tegak dengan airmuka tegang. Sorot matanya terlihat tajam
menatap Oogie. Dan belum sempat Oogie mengucapkan sesuatu. Tangan kekar Ness
mencengkram leher Oggie dan berseru marah padanya.
“Apa
yang kau lakukan disini!?” nada suara Ness terdengar parau dan meninggi tidak
seperti biasanya.
Aku bangkit seketika dari tempat tidurku dan
berseru kearah Ness.
“Apa
kau sudah gila!!. Lepaskan dia atau kau akan membunuhnya!” Kutepiskan tangan
kekar itu dengan sedikit emosi.
Terlepas
dari cengkaraman kuat Ness. Oogie terbatuk batuk dan mengatur napas.
Dengan
kasar Ness menarik lenganku. “Seseorang mengatakan padaku jika kau tengah
berkeliaran disepanjang hutan Sprohnia tanpa alas kaki. Tahukan kau kalau itu
sangat berbahaya?” dengus Ness marah.
“Brengsek
kau Ferin! Lepaskan Calista atau aku bersumpah akan menggunakan sihirku!” kedua
tangan Oogie menyilang di dada dan bersiap siap untuk merapal mantra.
Tapi
Ness lebih cepat. Dengan berteriak marah ia melayangkan tangan kirinya ke tubuh
kecil Oogie hingga Oogie terlempar ke tembok kamar dan jatuh tersungkur.
“Nessss..hentikann!”
lengkingku marah seraya menepiskan cengkramannya dan berlari menghampiri Oogie untuk
membantunya berdiri.
“Lepaskan
aku Calista. Aku akan memberikan pelajaran padanya!!” teriak Oogie marah.
“Tidak!
Kalian tidak akan bertempur di kamar ini. Pergilah keluar dan saling membunuh
disana!” lengkingku parau.
Baik
Ness dan Oogie terdiam dan hanya saling memandang dengan emosi meluap.
“Dan
kau…berhentilah mengaturku seolah olah kau berhak akan hidupku Ness.” Ancamku kesal.
Sepasang
mata emas itu meredup. Ness menatapku datar. Airmukanya mulai terlihat sedikit
tenang dan tidak segarang tadi sewaktu melempar Oogie ke udara.
“Aku
hanya mencoba untuk melindungimu.” Sahutnya datar.
“Kau
tidak perlu melakukan itu! Prechia telah mengutusku untuk melindungi Calista.”
Teriak Oogie kesal,
“Aku
tidak berbicara padamu Kircey,” tandas Ness tanpa berusaha mengalihkan
pandangannya padaku.
“Baiklah.
Kalau begitu mengapa kau tidak mengurusi urusanmu sendiri. Dan menjauhkan kekasihmu
yang menyebalkan itu supaya ia tidak menyakiti Calista seperti kemarin,” ejek Oogie
yang kembali memancing amarah Ness.
“Aku
tidak perduli dengan apa yang kau ucapkan. Jika kau gagal melindungi si keras kepala ini, maka aku akan melemparmu lebih
keras dari yang tadi kulakukan padamu Kircey,” sepasang mata Ness menatap tajam
kearah Oogie lalu kembali terarah padaku.
Mata
Oogie hanya terbelalak kesal. Sedangkan Ness kembali melayangkan pandangannya
kearahku.
“Kau
tahu persis dimana mencariku. Tapi jika aku melihatmu berkeliaran seperti tadi
aku sendiri yang akan menyeretmu kembali ke kamar ini dan mengikatmu dikursi
itu demi keselamatanmu sendiri.” Ucap Ness santai seraya berlalu dari kamarku
dan membanting pintu kamar ini dengan keras.
Aku
terduduk lemas dan tak dapat berpikir jernih.
Sementara
Oogie terlihat kesal dan mengumpat Ness dengan kasar.
Malam
itu tidurku tak nyenyak. Memikirkan cara menyelinap dari penagawasan Oogie dan
Ness untuk kembali ke tempat pengungsian. Karna aku telah berjanji pada Evelyn
untuk melakukan ritual.
Kulirik
Brisa yang terlihat nyenyak ditempat tidurnya.
Benar
benar buntu.
Jika
aku menyelinap sebelum fajar datang. Brisa pasti berteriak histeris seperti
kemarin. Dan semua ksatria akan dikerahkan untuk mencariku karena aku telah
melewatkan sarapan pagiku. Tapi jika menyelinap siang hari, dengan mudah Oogie
akan menemukanku.
Akhirnya
aku tertidur kelelahan akibat terlalu banyak memikirkan masalah yang tidak ada
jalan keluarnya itu.
Pagi
itu Brisa membangunkanku. Ia menungguiku membersihkan diri dan dengan sedikit
memaksa menarik tanganku untuk mengikuti sarapan pagi bersama anggota kerajaan.
Kucoba
untuk bersikap wajar dan sedikit ceria ketika memasuki ruang makan istana.
Meski kutahu Ness tengah memperhatikan gerak gerikku saat ini. Senyum cerah Oogie
terlihat mengembang manakala melihatku. Kami duduk berdampingan. Dan Oogie
mulai mengoceh betapa beruntungnya dia mendapat kepercayaan Prechia hingga
mendapatkan kesempatan menyantap hidangan istana karena selama ini ia selalu
makan dengan apa yang ada di pengungsian. Bahkan Brisa hampir berseru kesal
meminta Oogie menutup mulut dan menyantap hidangan dengan tenang karena
ocehannya hampir membuat kami jadi perhatian hampir semua mata di meja ini yang
sesekali melirik kearah kami.
Tanpa
sengaja pandangan aku dan Ness bertemu.
Ness
yang duduk disamping Quilla seolah tak mau melepaskan pandangannya dariku. Sorot
mata emasnya terlihat seolah olah hendak mengatakan jika ia akan mengawasi
semua gerak gerikku sekecil apapun. Ness benar benar membuatku tak dapat
bernapas lega diruangan ini. Ia bahkan tidak memperdulikan sapaan lembut Quilla
disampingnya dan terus menatapku dengan tajam.
Aku
mulai berpikir Ness sudah mulai tak waras dan membuatku ketakutan.
Kubuang
pandanganku darinya dan mulai mereguk jus plumku dengan perasaan tak karuan.
“Ya
ampun, sepertinya si brengsek itu benar benar tak mau melepaskanmu Calista,”
gumam Oogie memanasiku.
“Pelankan
suaramu atau aku akan melemparmu dari ruangan ini Kircey,” bisik Brisa penuh
penekanan.
Oogie
mendengus kesal. “Mengapa semua orang mengatakan hal yang sama seperti itu
padaku.”
“Karna
suara nyaringmu itu sangat mengganggu siapapun yang mendengarnya!” sahut Brisa
tertahan karna kesal seraya menepuk kepala Oogie dengan gemas.
“Dan
kau. Jangan perdulikan tatapan Ferin. Dan jangan sekali kali berpikir Ferin
akan berpaling dari Quilla untuk berada disisimu,” tukas Brisa setengah
berbisik.
Aku
mendengus kesal dan melirik Brisa sekilas.
“Aku
heran mengapa wanita bertingkah aneh ketika Ferin menatap mereka. Kupikir kau
yang paling cerdas dari gadis gadis disini Kaz. Seharusnya kau tidak terpancing
oleh tatapan penipu itu,” gumam Oogie dengan mulut penuh makanan dan saus yang
tercecer.
Kulirik
Oogie dengan hati panas. “Sebaiknya kau bersihkan saus tomat yang menempel
diseluruh mulutmu itu. Kau membuatku sangat mual Oog.” Balasku tak mau kalah.
“Bisakah
kalian diam sesaat dan menikmati hidangan dengan tenang,” Brisa kembali menepuk
kepala Oogie dengan geram. Oogie mengelus kepalanya dengan cengir kesakitan.
Aku
hanya mendengus kesal dan kehilangan nafsu makanku.
Meski
Brisa telah memperingatiku untuk mengacuhkan tatapan Ness tapi aku tak mampu menolak
perasaan yang terus mengelitikku untuk tetap menikmati pesonanya itu. Kulirik
sekilas dengan ekor mataku. Dan benar saja. Sorot mata emas itu tak pernah
lelah menatapku walau sekedip saja. Begitu lembut tersorot hanya untukku, sekilas
aku bersumpah melihat senyum kaku terulas di bibirnya ketika aku memberanikan
diri untuk membalas tatapannya itu.
Untuk
beberapa saat kami hanya saling memandang. Tapi aku dapat merasakan kenyamanan
dan rasa tenang darinya. Sorot mata emasnya seolah tengah menyampaikan kata
kata lembut dan menyiratkan jika ia akan selalu berada disampingku.
Melindungiku. Dan anehnya lagi, lewat tatapan matanya Ness seolah ingin
mengatakan padaku jika ia mencintaiku.
Aku
benar benar hanyut dalam pesonanya.
Samar
samar aku dapat mendengar suara merdunya yang begitu lembut membisikkan sesuatu
padaku. Aku bisa gila jika terjadi
sesuatu padamu, Calista.
Untuk
sesaat aku tertegun. Antara sadar dan tidak. Sepertinya aku telah terhipnotis
oleh laki laki setengah peri itu.
Sebuah
tepukan di pundak menyadarkanku. Brisa menghela napas kesal dan mengomel pelan
ditelingaku. “Aku bilang jangan perdulikan Ferin.”
Kutatap
Brisa linglung lalu kembali mengarahkan pandangan kearah Ness yang kini telah
mengalihkan tatapannya pada Quilla dengan enggan.
“Tapi
Bris..
“Jangan
jadi bodoh dan terlalu banyak berharap,” dengus Brisa. “Kita berada disini
untuk menyelesaikan misi kembali ke negri sendiri bukan untuk membuka konflik
karena percintaan segitiga.”
Aku
benci mendengar kata kata Brisa yang penuh kebenaran itu.
“Ferin
itu laki laki aneh. Lihat dia baik baik. Kau pikir dia akan melepaskan semua
kemewahan yang ditawarkan Zordius untukmu Kaz,” gumam Oogie seenaknya menambah
goresan dihatiku.
Dengan
cepat tangan Brisa melayangkan tamparan ringan tepat diatas kepala Oogie.
“Apakah aku bilang kau boleh menyuarakan pendapat konyol mu itu.” Sembur Brisa
geram.
“Ouch
Bris. Mengapa kau selalu melakukan itu. Itu sangat menyakitkan,” protes Oogie
seraya mengusap kepalanya.
“Aku
melakukannya untuk memberimu pelajaran berbicara sopan. Karena kau sepertinya
tidak tahu kapan waktunya untuk menutup mulut.”Cetus Brisa.
Sementara
aku tak begitu perduli dengan pertengakaran Brisa atau Oogie.
Aku
kembali termenung. Mungkin aku tengah berkhayal. Rasanya mustahil bisikan yang
kudengar tadi keluar dari mulut Ness. Ness bukanlah tipikal orang yang
mengumbar kata kata seperti itu.
Sepanjang
hari itu aku memilih berdiam diri di kamar dan membuat Oogie ketakutan setengah
mati.
Berkali
kali ia mengetuk pintu kamarku.
“Pergilah
Kircey. Aku mau tidur seharian ini. Dan aku malas melihat wajahmu itu,” ucapku
sopan.
“Apakah
kau benci padaku,” suara Oogie terdengar cemas.
“Sedikit.
Tapi jangan khawatir. Aku akan mengatakan pada Prechia jika kau telah menjagaku
dengan baik. Jadi bisakah kau pergi dari hadapanku,” pintaku sopan.
Oogie
mendengus malu. “Kau benar benar gadis yang aneh, kau tahu itu.”
Aku
hanya tersenyum.
“Baiklah.
Aku tidak akan menganggumu hari ini. Tapi aku akan datang besok pagi dan
bersiaplah jika aku akan mengetuk pintu kamarmu lebih keras dari hari ini,”
kekeh Oogie.
“Terserah
kau saja Kircey,” ujarku seraya membanting pintu kamar tepat di depan seringai
anehnya itu.
Kubanting tubuhku ke tempat tidur lalu menyelimuti
seluruh tubuhku. Kurasa aku akan tidur sepanjang hari ini seperti tupai di
musim dingin.
Writer : Misaini Indra
Image from : www.all-free-download.com
No comments:
Post a Comment