9.
RITUAL
Setengah
berlari aku menyeberangi taman kecil disamping istana dengan tergesa gesa.
Semuanya kulakukan karena aku tak ingin melihat wajah konyol Kircey muncul
terlebih dahulu di pintu kamar ku pagi ini.
Dengan
sedikit mengendap endap aku menyusuri bagian barat lorong istana Amorilla.
Sinar matahari belum sepenuhnya muncul tapi kesibukan para pelayan istana mulai
terlihat.
“Ada
yang bisa kami bantu nona?” tegur sopan seorang laki laki berparas menawan
dengan wajah kaku. Sementara kedua tangannya terlihat memegang nampan minuman
dengan cangkir cangkir perak diatas permukaannya.
“Tahukah
kau dimana kamar Master Titus?” tanyaku sedikit gugup.
“Kamar
kamar tamu para ksatria dari lembah Crystal berada di lorong unicorn. Berjalanlah
lurus ke depan lalu berbelok kah ke kanan, setelah kau melihat patung unicorn
kecil kau akan melihat kamar yang kumaksud tadi.” Sahut datar pelayan istana sambil berjalan meninggalkanku.
Tanpa
membuang waktu aku segera melangkahkan kaki. Setelah melewati patung unicorn
kecil, lambang kebanggaan kerajaan Amorilla ini, terlihat jejeran pintu pintu
kamar bercat coklat marun masih tertutup rapat. Pemandangan disepanjang pintu
kamar begitu menyejukkan mata dengan adanya jejeran cemara berembun yang berada
tiga puluh langkah dari masing masing pintunya yang memudahkanku untuk
bersembunyi.
Kutarik
napas panjang. Bagaimana caranya aku menemukan kamar Titus. Aku tak mungkin
mengetuk semua pintu kamar satu persatu. Saat
ini aku merasa sangat bodoh karena datang tanpa rencana.
Salah
satu pintu kamar deretan ketiga dari tempatku berdiri tiba tiba terbuka
perlahan. Dengan panik aku kembali berlindung dibalik cemara tempatku
bersembunyi. Kuatur napas dan mengintip sosok yang keluar dari pintu kamar
tersebut.
Aku
nyaris teriak kegirangan begitu melihat muka kuyu Titus yang keluar dari kamar
tersebut. Kali ini aku benar benar beruntung.
Aku
segera keluar dari tempat persembunyian. Titus terlihat sedikit terkejut akan
kehadiranku. Dahinya nampak berkerut menatapku.
“Calista?!
Apa yang kau lakukan disitu?” tanyanya agak heran.
Aku
tersenyum samar. “Hanya kebetulan lewat untuk menyapamu.” Lalu kuhampiri Titus.
“Bagaimana kabarmu Titus?”
Titus
memiringkan kepalanya dan kembali menatapku dengan dahi berkerut.
“Seperti
yang kau lihat aku baik baik saja. Dan kau? Apa ada masalah?” Tanya Titus
penasaran.
Kutarik
napas pelan dan duduk di bangku kayu yang terletak diantara jejeran cemara. “Sedikit….”sahutku
enggan.
Kini
Titus duduk disampingku. “Mungkin aku bisa membantumu?” tawarnya sedikit ragu.
Kutegakkan
posisi dudukku lalu menatap Titus yang duduk disampingku dengan rasa penasaran.
“Apakah kau tahu cara mengalahkan jiwa yang terkutuk?” desahku pelan.
Titus
terdiam sesaat. Kemudian ia memiringkan kepalanya seolah tengah berpikir.
“Kau
tahu Calista. Jiwa jiwa yang terkutuk seperti Zorca tidak akan hidup selamanya.
Penyihir hanya seorang manusia biasa. Kami dapat mati kapan saja.” Ujar Titus
datar.
“Bahkan
jiwa yang bersemayam di raga lain,” kejarku meminta penjelasan lebih.
“Yahh..bahkan
jiwa yang bersemayam di raga lain,” sahut Titus seraya melirikku.
“Tapi
bagaimana cara mengalahkan jiwa jiwa tersebut. Maksudku mereka sangat kuat dan
kejam karena kekuatan ruh jahat yang membantu mereka?” tanyaku sedikit putus
asa.
Titus
menghela napas panjang. “Kuberitahu kau sesuatu.” Gumamnya. Lalu ia melirikku
sekilas kemudian meluruskan pandangan ke depan. “Ada sebuah dongeng tua di
lembah Crystal yang cukup terkenal. Kurasa kau belum pernah mendengarnya tapi
aku akan menceritakannya sedikit padamu.” Senyum tipis menghias wajah kuyu
Titus.
Kutatap
Titus dengan antusias.
“Dahulu
kala hidup penyihir kembar bernama Coress dan Therice. Meski mereka terlahir
kembar namun sifat mereka sangat berlawanan. Coress begitu penuh semangat dan
sangat periang. Sementara Therice sangat pendiam dan lembut. Bahkan kekuatan
sihir mereka pun tak sama, Therice memiliki kekuatan dan kecerdasan diatas
Coress. Hal ini membuat Coress menjadi sangat iri.” Titus menghela napas
perlahan.
“Penduduk
desa begitu mengelukan Therice yang ringan tangan dan membantu mereka dengan
segala kebaikan sihirnya. Hal ini membuat kedengkian Coress mencapai puncaknya.
Hingga akhirnya Coress pergi meninggalkan desa dan menyendiri di pegunungan.
Sayangnya, pegunungan tempat Coress tinggal dikuasai ruh jahat penunggu hutan.
Penduduk desa menyebutnya ruh hitam Orua.”
Kutatap
Titus dengan penuh perhatian.
“Ruh
hitam Orua sering mendatangi Coress dalam mimpi mimpinya. Membujuk Coress untuk
menerima kekuatannya serta membisiki Coress untuk menentang saudara kembarnya
sendiri, Therice. Meski waktu itu Therice tengah mencari Coress dengan penuh
kekhawatiran di lebatnya hutan tempat Coress mengasingkan diri.”
“Lalu
apa yang terjadi?” tanyaku penasaran.
“Coress
yang dengki terbujuk rayuan ruh hitam Orua. Dan dengan liciknya Orua meminta
imbalan berupa sebuah raga. Raga sebagai tempat persemayamannya yang baru.
Awalnya Coress ragu. Tapi karena rasa dengkinya yang begitu kuat terhadap
Therice. Coress membuat perjanjian dengan ruh hitam Orua. Yaitu sihir hitam
Orua dengan tubuhnya sebagai pengisi jiwa terkutuk Orua di dalamnya, nanti.”
Tubuhku
bergetar. Dongeng Titus mirip sekali dengan situasi yang tengah kuhadapi dengan
Arkhataya. Untuk sesaat Titus memperhatikan gerak tubuhku.
“Kau
baik baik saja? Apa aku terlalu cepat bercerita?” Tanya Titus bingung.
Kugelengkan
kepala seraya tersenyum kaku. “Teruskan Titus. Aku sangat ingin mendengar
dongeng ini sampai selesai.”
“Baiklah!”
Titus menarik napas perlahan. “Setelah pencarian berhari hari, akhirnya Therice
menemukan Coress di dalam hutan. Dengan rasa haru ia memeluk saudara kembarnya
itu dan mengajaknya pulang ke desa. Sayangnya Coress yang telah termakan
bujukan Orua malah menyerang Therice dengan sihir hitam pemberian Orua dan
membuat Therice terluka parah. Untuk sesaat begitu mengira saudara kembarnya
telah mati. Coress pun turun ke desa dan berniat membalaskan sakit hatinya pada
penduduk desa yang menurutnya tidak menghargai dirinya selama ini.”
Wajah
tirus Titus menatap lurus ke depan.
“Hampir
separuh desa hangus terbakar sihir Coress. Coress tertawa puas diatas isak
tangis penduduk yang kehilangan keluarga dan rumah rumah mereka. Dan jiwa
terkutuk Orua pun tanpa membuang waktu menagih janji yang telah disepakati
bersama Coress. Ruh hitam Orua menagih raga Coress bagi jiwa terkutuknya yang
tersesat. Coress mulai ketakutan dan menolak perjanjian itu. Lalu berusaha melarikan
diri dari kemurkaan Orua. Disaat kritis, dimana Orua hampir berhasil menguasai raga
Coress. Therice datang untuk menyelamatkan saudara kembarnya itu. Dengan susah
payah dan kondisi tubuh yang terluka parah. Therice berusaha menyelamatkan
Coress dari cengkraman Orua. Rasa sayangnya yang begitu besar kepada Coress
membuat Therice seketika memiliki pertahanan sihir yang luar biasa.” Titus
mengatur napas nya sebentar.
“Lalu
apa yang terjadi Titus?” tanyaku tak sabar.
“Therice
menjadikan tubuhnya sebagai perisai Coress saat jiwa terkutuk Orua tengah
berusaha memasuki raga Coress. Ruh hitam Orua tidak berhasil menembus tubuh
Coress yang terhalang tubuh Therice. Karena Therice adalah seorang penyihir
berjiwa ksatria yang memiliki segala kebaikan dan ketulusan hati. Dan Therice
akhirnya berhasil menyelamatkan Coress dari ruh hitam Orua.” Senyum mengembang
di wajah Titus.
“Ruh
hitam Orua? Kemana perginya jiwa terkutuk itu? Apakah dia mengalami kematian?”
kejarku dengan napas memburu.
Mata
Titus menyipit. Ada sedikit kecurigaan dari raut wajahnya ketika menatapku.
Kucoba untuk bersikap wajar namun aku benar benar tidak bisa mengendalikan rasa
ingin tahuku.
Aku
benar benar berharap dongeng Titus ini sebagai jalan keluar dari permasalahan
Arkhataya.
Titus
menghembuskan napasnya seraya menggeleng pelan. “Entahlah. Mungkin kembali ke
hutan di pegunungan tempatnya bersemayam. Atau bisa saja jiwa terkutuknya itu
mati. Apapun itu, tidak ada yang tahu kemana perginya ruh hitam Orua.”
Kuhempaskan
tubuhku kesandaran kursi kayu dengan kesal. “Aku tidak menyukai dongengmu itu.”
“Mengapa
tidak? Bukankah semua berakhir dengan bahagia?” ujar Titus balik bertanya.
“Menurutku
tidak! Bagaimana jika ruh hitam Orua kembali datang dan menuntut raga Coress?
Apakah menurutmu semuanya akan berakhir bahagia lagi bagi Coress dan Therice?!”
Seruku marah.
Wajah
Titus terlihat serius menatapku dan dahinya sedikit mengernyit. “Itu hanya
sebuah dongeng Calista. Mengapa kau begitu kesal mendengarnya?”.
Kuhembuskan
napas pelan. “Maaf, aku tidak bermaksud meneriakimu seperti itu.”
“Kau
tahu, hal terpenting yang dapat kita pelajari dari dongeng tua lembah Crystal
itu adalah tidak ada kekuatan selain ketulusan hati lah yang akan mengalahkan
segala keserakahan dari jiwa kelam yang tersesat.” Nada suara Titus terdengar
penuh penekanan.
“Semudah
itukah Titus. Ketulusan hati mengalahkannya? Lalu bagaimana dengan jiwa
terkutuk dan sihir hitamnya yang kuat ketika membakar tubuh kita hingga kita
tak sempat berteriak meminta pertolongan. Apakah ketulusan hati akan
mengalahkan sihir Zorca dengan leviathan nya itu?!” lengkingku nyaris histeris.
“Ya
ampun Calista! Apakah ada sesuatu yang begitu menganggumu?!” kejar Titus dengan
suara tertahan sambil memicingkan kedua matanya.
Dengan
cepat aku beranjak dari kursi kayu. “Aku harus kembali ke kamarku.” Sahutku
datar dan mulai melangkahkan kaki.
“Rasanya
bukan suatu kebetulan kan jika kau mencariku sebelum matahari terbit hanya
sekedar untuk menyapaku?” nada suara Titus mulai meninggi.
Aku terus berjalan dan tidak memperdulikan
pertanyaan Titus.
“Cepat
atau lambat aku pasti akan mengetahui apa yang kau sembunyikan dariku Calistaa!”
seruan Titus samar samar menghilang seiring dengan kepergianku yang tergesa
gesa.
Benar benar dongeng konyol. Sama sekali
tidak membantuku.
Kubuka
pintu kamar dengan kasar dan mendapati Brisa tengah duduk diatas tempat tidurku
dengan kedua tangannya yang bersedekap.
“Aku
hampir saja tidak mempercayai ucapan Ness ketika mengatakan padaku kau suka
berkeliaran sesukamu tanpa pamit,” nada suara Brisa terdengar kesal.
“Aku
hanya menyapa Titus dan melihat keadaannya.” Sahutku acuh seraya membuka sepatu
bootsku.
“Haruskah
sepagi itu?” cecar Brisa.
“Selamat
pagi!” lengkingan Oogie menyelamatkanku dari gerutuan Brisa.
Dengan
kesal Brisa menghampiri Oogie dan menepuk pelan sisi kanan kepala laki laki
kecil itu. “Temani Calista ke ruang makan istana!” perintahnya seraya berjalan
keluar dengan menghentakkan kedua kakinya karena kesal padaku.
“Sial!
Kenapa dia selalu melakukan hal itu padaku?” sungut Oogie kesal seraya mengusap
usap kepalanya dari tepukan tangan Brisa.
“Pergilah
dari kamarku Oog!” seruku pelan.
“Kau
dengar perintah Brisa pada ku kan?” bantah Oogie.
“Kau
kan bisa menungguku diluar,” ucapku malas.
“Baiklah.
Aku akan…
Kudorong
Oogie dengan kesal lalu membanting pintu kamarku tepat di depan hidungnya.
Samar samar kudengar suara omelan Oogie dari balik pintu kamarku.
Seharian
aku mencari cara untuk menghindari Oogie namun semuanya sia sia. Akhirnya
kuputuskan untuk mengajaknya ke tempat pengungsian untuk menemui Evelyn.
Dan seperti biasa, Oogie tak berhenti henti bertanya. Mulut
kecilnya berkerucut dan terus menerus menanyakan perihal keperluanku untuk
menemui Evelyn di pemukiman para pengungsi.
Kami akhirnya tiba dipinggiran hutan Sphronia. Sepasang mataku mencari cari sosok
Evelyn kesekeliling. Mataku akhirnya menangkap sosok Audrey. Salah satu teman
Evelyn yang tengah mengumpulkan ranting kayu.
Dengan cepat
kuhampiri gadis itu.
”Audrey,” sapaku
pelan.
Gadis berambut
pendek yang dipanggil Audrey mengamatiku.
”Aku Calista.
Teman Evelyn. Apakah kau masih ingat padaku?”
Audrey
mengangguk. ”Tentu saja aku masih ingat.”
”Aku ingin
bertemu dengan Evelyn. Dimanakah dia?” tanyaku pelan.
Audrey melirik
Oogie sekilas.
”Aku Oogie salah
satu murid nyonya Prechia, kau pasti murid nyonya Ginka kan?” tanya Oogie ramah
seraya menyodorkan tangan kanannya.
Audrey hanya
mengangguk acuh.
”Bisakah kau
memberitahu Evelyn jika aku mencarinya,” ujarku meminta pertolongannya.
“Aku akan mengantarmu kesana.” Sahut Audrey sambil berlalu
dihadapanku dan Oogie.
Aku dan Oogie berjalan mengikuti gadis berambut coklat itu. Kami
menyusuri beberapa pondokan sederhana yang dibangun seadanya dengan kayu kayu maple.
Beberapa anak anak kecil berlarian senang seolah olah mereka tidak merasakan
kepedihan orangtua mereka berada dalam pengasingan.
Evelyn Keech terlihat tengah tertawa bersama seorang wanita
separuh baya yang tengah memegang sebuah cangkir.
“Eve!” panggil Audrey seraya melambaikan tangan kanannya.
Wajah Evelyn terlihat tegang begitu melihat kehadiranku
bersama Oogie.
“Sebenarnya apa yang kau inginkan dari Evelyn?” dahi Oogie
berkerut dan memandangku bingung.
“Bisakah kau membantuku sedikit Oog.” Pintaku setengah
memohon.
“Entahlah..kalau harus melibatkan suatu masalah besar
kurasa…
“Jika kau tidak menutup mulutmu dan mengikuti kemauanku. Aku
bersumpah akan menggantungmu di pohon maple itu dengan sihirku,” senyum sinis
menghias wajah kesalku.
“Kau mengancamku?” suara Oogie terdengar meremehkan.
“Aku hanya mengingatkanmu jika sihirku jauh melampaui
sihirmu.” Ujarku santai.
Oogie terbahak. “Baiklah kau menang. Asal kau tahu saja,
penyalah gunaan kekuatan sihirmu itu akan masuk dalam laporan tertulisku pada
Prechia. Ditambah dengan sikapmu yang cukup menyusahkanku.”
“Catatlah sesukamu. Tapi hari ini aku hanya ingin kau
menutup mulutmu. Lengkingan suaramu itu benar benar membuat kupingku lelah
beberapa hari ini.” Tandasku seraya berjalan menghampiri Evelyn.
Oogie menggerutu kesal dibelakangku.
“Kau datang juga.” ujar Evelyn sedikit terkejut.
“Tentu saja. Kau tidak berniat untuk membatalkan janji kita
kan?” Aku balik bertanya dengan nada curiga.
Evelyn tertawa sumbang.
“Hey Eve. Kalau boleh tahu sebenarnya apa yang kalian
rencanakan?” sambar Oogie dengan rasa ingin tahu.
Evelyn menatapku dengan sedikit ragu.
“Abaikan saja dia.” Bisikku seraya merangkul bahu Evelyn dan
berjalan meninggalkan Oogie yang memicingkan mata dengan wajah sedikit jengkel.
Evelyn kemudian meminta Audrey untuk mencari Elise. Setelah
itu kami pergi ke sebuah pondok kecil tempat Evelyn tinggal bersama Audrey.
Oogie terlihat menggerutu sesekali karena kami selalu mengabaikan
pertanyaannya.
Saat tiba di depan pintu pondok, kutahan bahu Oogie dengan
kedua tanganku.
“Sebaiknya kau berjaga di pintu depan. Jika ada sesuatu yang
aneh kau bisa mengetuk pintu ini dan memanggilku.” Pintaku sedikit memerintah.
“Tunggu Cal. Aku harus tahu apa yang akan kalian lakukan di dalam.
Karena aku memiliki tanggung jawab atas keselamatanmu!” seru Oogie mulai marah.
“Ini urusan perempuan Oog! Aku yakin kau tidak akan mau
mendengarkannya.” Senyumku mencoba menepiskan ucapannya.
“Baiklah! Tapi semua orang akan membunuhku jika terjadi
sesuatu pada dirimu!” desah Oogie resah.
“Sebenarnya sudah lama semua orang berpikiran ingin
menyingkirkanmu karena sikapmu yang menyebalkan itu Kircey,” ujar Evelyn
santai.
“Diamlah Keech. Tidak ada yang bertanya padamu!“ sahut Oogie
sewot.
Sementara Audrey dan Elise tertawa cekikikan.
“Dengar Oog….” ujarku menahan tawa. “Percayalah, kami tidak
akan melakukan hal aneh di dalam sana,” lanjutku seraya melirik pondok Evelyn.
Meski dengan berat hati akhirnya Oogie menuruti juga
permintaanku.
Kini kami duduk
mengelilingi meja segi empat dengan sebuah lilin yang menyala beserta setangkai
bunga lili. Terakhir kali aku melakukan
ritual pemanggilan arwah Obidia, aku tak sadarkan diri. Saat kuberitahukan hal
itu, wajah Evelyn terlihat sedikit tegang.
”Kumohon Eve. Aku
sangat membutuhkan ritual pemanggilan ruh Obidia ini. Demi kebaikan semua,”
rengekku setengah memohon.
Evelyn
mengalihkan pandangannya pada Audrey dan Elise bergantian. ”Apakah kalian siap?
Karena ruh yang akan kita panggil kali ini memiliki energi yang besar. Jika
ingin mundur sebaiknya katakan dari sekarang!” suara Evelyn terdengar sedikit
bergetar.
Audrey dan Elisa
saling memandang. Lalu mengalihkan pandangan mereka kearahku.
”Seberapa besar
ritual ini akan membantumu?” tanya Elise lembut.
Untuk sesaat aku
terbayang wajah Ness dengan senyum kaku nya yang menawan. Mata emasnya yang
kecoklatan menyorot lembut kearahku. Kutarik napas pelan dan menatap Elise
sendu. ”Sangat berarti melebihi apapun. Dan aku akan mati pelan pelan jika
kalian tidak membantuku saat ini.”
Kening Audrey
berkerut. ”Ucapanmu itu tidak mencerminkan seorang ksatria yang akan maju ke
medan perang, tapi lebih seperti seseorang yang tengah putus asa karena cinta,”
sindir Audrey.
Evelyn dan Elise
menegaskan pandangannya kearahku.
Seketika itu juga
wajahku memanas. ”Tolonglah. Aku benar benar membutuhkan bantuan kalian. Obidia
satu satunya penyihir yang tahu jalan keluar dari permasalahanku.”
”Kalau boleh aku
tahu, apa permasalahanmu itu?” singgung Evelyn.
Ekor mata Elise
dan Audrey kembali menyorot padaku.
Jika aku tidak memberikan jawaban, mereka akan
semakin mencurigaiku. Sedangkan aku sangat membutuhkan pertolongan mereka.
”Mengendalikan
naga seperti Arkhataya ternyata tidak semudah yang aku bayangkan. Itulah
sebabnya aku membutuhkan bantuan kalian untuk memanggil ruh Obidia.”
Mereka saling
berpandangan. Lalu menatapku.
”Dan kau berharap
ruh Obidia akan membantumu?” tanya Elise lugu.
Aku terseyum
datar. ”Dia pernah membantuku sebelumnya. Aku yakin dia akan membantuku juga
kali ini.”
Mereka terdiam
sesaat. Lalu Evelyn menatapku dalam.
”Aku akan membantumu Calista.”
Audrey dan Elise
serentak mengangguk dan tersenyum kearahku.
Aku nyaris
menjerit senang. ”Terimakasih. Aku tidak akan pernah melupakan bantuan kalian
ini.”
”Baiklah. Sebaiknya
kita segera memulai ritual pemanggilan ini,” nada suara Evelyn terdengar
bersemangat.
”Tunggu Eve. Jika
ruh Obidia memasuki ragaku saat ritual ini berlangsung. Maukah kau menyampaikan
pertanyaanku padanya,” pintaku.
Evelyn
mengangguk. ”Tentu saja. Katakan padaku.”
Kutarik napas
pendek dengan cepat. ”Tanyakan pada Obidia. Bagaimana membunuh jiwa tersesat
yang terkurung dalam raga lain yang bukan miliknya.”
Untuk sesaat
Evelyn memandangku. ”Pertanyaan yang sangat aneh?”
”Aku tahu. Tapi
tolong tanyakan saja padanya,” desakku.
”Hanya itu?”
Evelyn kembali bertanya.
”Ya. Hanya itu
saja,” tandasku.
”Baiklah. Kita akan
memulai ritual ini sekarang,” ujar Evelyn seraya mengalihkan pandangan pada
kami satu persatu.
Kemudian, kami
berempat, saling berpegangan tangan. Dengan suara rendah dan penuh penekanan Evelyn
memulai ritual pemanggilan arwah Obidia.
”Kami berkumpul disini untuk mencari tahu
kebenaran. Kami memanggil arwah dari masa sebelum kami untuk memperlihatkan
kepada kami apa yang sedang terjadi dan mencari tahu apa yang harus kami
lakukan.”
Belum ada tanda kehadiran Obidia. Dan aku
dapat merasakan ketegangan kala melihat lilin dihadapan kami mulai meliuk liuk
tertiup hembusan angin dingin yang datang tiba tiba.
”Tunjukan pada kami apa yang dapat kami lihat.
Tunjukan pada kami apa yang dapat kami dengar di masa lalu dan masa mendatang,”
ujar Evelyn lagi kali ini dengan nada suara sedikit bergetar.
Tiba tiba kurasakan dingin diseluruh
tubuhku. Aku menggigil hebat namun aku tak bisa melihat apa apa. Tubuhku terasa
nyeri luar biasa. Kurasakan sesak di dada dan berusaha menghirup udara sekuat
tenaga namun paru paru ini terasa tertekan. Semuanya terasa berat. Aku tidak
dapat melihat dan tidak dapat mendengar apapun. Aku tidak dapat merasakan
apapun juga. Aku merasa melayang dan pada akhirnya tidak dapat berpikir.
Mataku terasa berat saat mencoba
membukanya. Samar samar kulihat wajah Evelyn dan Oogie memandangku dengan raut
cemas.
”Oog? Apa yang kau lakukan disini? Seharusnya
kau tak berada disini,” protesku dengan suara lemah.
”Kau ini sudah gila ya!? Meminta para Illusionist tidak berpengalaman
seperti mereka untuk memanggil ruh Obidia!!”sSeru Oogie histeris.
“Heyy jaga mulutmu Kircey! Kau pikir
dirimu lebih baik karena kau seorang penyihir?!” ujar Audrey ketus.
Oogie mencibir kesal kearah Audrey.
“Bagaimana perasaanmu Calista?”
tanya Evelyn cemas.
“Aku baik baik saja,” anggukku pelan
seraya tersenyum.
Kutarik lengan kanan Evelyn dan
berbisik,”Apakah kau sudah menanyakan yang kuminta?”
Evelyn tersenyum datar. “Obidia
bilang, kau tidak akan bisa membunuhnya. Kau hanya bisa mengurungnya dalam raga
yang mati.”
Untuk sesaat aku terdiam dan memikirkan
jawaban Obidia yang baru saja disampaikan Evelyn. Sayangnya gerutuan Oogie dan
suara ejekan balasan Audrey pada Oogie membuatku tidak dapat berpikir.
Kualihkan pandanganku ke setiap sudut
pondok Evelyn yang mungil ini. Semua barang barang disini nampak berserakan
dimana mana, seolah baru saja terhempas angin yang dashyat.
”Apakah aku yang melakukan semua itu?”
desahku meminta penjelasan pada Evelyn.
”Tidak sepenuhnya salahmu. Ruh Obidia yang
melakukannya lewat ragamu. Energinya sangat kuat dan membuat kami sedikit
kewalahan,” papar Evelyn.
Aku terdiam dalam perasaan bersalah.
”Aku terpaksa berteriak memanggil Kircey
untuk melumpuhkanmu yang tengah kerasukan ruh Obidia yang tak terkendali. Demi
kebaikan kita semua. Dan mencegah hal buruk yang bisa terjadi pada kita,
nantinya. Lagipula kau sudah mendapatkan jawaban dari pertanyaanmu kan?” Evelyn
menatapku meminta kepastian. ”Terus terang aku tidak mau melakukan ritual
pemanggilan Obidia lagi meski kau merengek dan mencium kedua kakiku,” desah
Evelyn sambil mengangkat kedua bahunya.
Aku hanya mengangguk lemas.
Aku dan Oogie kembali ke istana Amorilla
dengan sedikit tergesa. Suara lengking Oogie kembali menggerutu dan
menceramahiku. Untungnya aku terlalu sibuk memikirkan arti dari jawaban ruh
Obidia daripada mendengarkan lengkingan Oogie.
“Kau tidak akan bisa membunuhnya. Kau hanya bisa mengurungnya dalam raga
yang mati.”
Sebenarnya apa yang dimaksud oleh Obidia.
Aku tidak bisa membunuh jiwa Arkhataya yang tersesat. Dan hanya bisa
mengurungnya dalam raga mati.
Kutarik napas panjang. ”Aku tidak bisa
membunuh Arkhataya,” gumamku putus asa.
”Mengapa kau ingin membunuh naga itu? Bukankah
ada mantra untuk menidurkannya kembali untuk selamanya.” cetus Oogie seenaknya.
”Dengar Oog. Bisakah kita melupakan
kejadian hari ini. Dan kuminta kau tidak berbicara pada siapapun juga tentang
pemanggilan ruh Obidia hari ini.” Jantungku berdegup keras dan berharap Oogie
tidak mencurigai permintaanku ini.
Oogie menatapku ragu.
”Aku berjanji akan menuruti semua kemauanmu
seperti orang bodoh tanpa bertanya,” janjiku mencoba memberikan penawaran.
Oogie tertawa keras. ”Bagus! Tawaranmu
kuterima!” lengkingnya puas.
Dan mulai hari ini dan seterusnya aku akan
mempersiapkan telingaku untuk mendengar kicauan suara Oogie yang sangat
menyebalkan itu.
Dan baru hari pertama sejak perjanjianku
dengan Oogie, rasanya aku mulai kehilangan pikiran karena Oogie selalu mendominasi
semua percakapan dengan pembicaraan yang tak penting.
Dan keesokan harinya aku memutuskan untuk
melontarkan mantra pelumpuh pada Oogie dan membiarkannya terbaring kaku
dilantai kamarku dengan wajah marah menatap dendam kearahku.
Writer : Misaini Indra
tak like deh ceritanya ........ terima kasih aku bisa berperan dalam film yang mengangkat ceritamu by teddy ferian
ReplyDeleteKelanjutan'y cerita calista'y kapan lagi diposting mba'
ReplyDeletePasti akan dilanjutkan. Maaf ya kemarin saya sibuk bikin naskah FTV. Ditunggu saja lanjutannya ya ;D
Delete