10.
PATAH
Mulut kecil Oogie tak henti-hentinya menceritakan keindahan para penari kerajaan yang begitu gemulai menari menghibur para tamu sepanjang makan malam berlangsung.
“Seandainya
saja aku punya kesempatan mengajak salah satu penari itu untuk berdansa
denganku. Kurasa aku tidak akan bisa tidur malam ini, Cal.” Kekeh Oogie.
“Senang mendengar angan-anganmu yang tidak
kesampaian itu Oog,” sindirku sambil tertawa.
“Kenapa
tertawa? Kau pikir aku tak pantas berdansa
dengan mereka?” delik Oogie kesal.
Aku
semakin tertawa lepas.
“Bukan
itu. Hanya saja sulit bagiku membayangkan kau berdiri di samping salah satu
penari itu Oog. Sadarkah kau begitu tingginya tubuh mereka.”
“Mengapa
kau senang sekali menghancurkan semua harapanku Cal,” Oogie menggelengkan
kepalanya.
Aku
pun kembali tertawa. “Maafkan aku.”
Tawaku
terhenti begitu sepasang mata coklat keemasan mengawasi kami dari jauh.
Perlahan namun pasti pemilik sepasang mata emas itu melangkah menghampiriku.
“Lihat
itu! Sepertinya masalah tak henti-hentinya datang padamu Calista,” ujar Oogie sinis.
Kuhembuskan
napas panjang saat melihat Ness mulai mendekati kami.
“Apapun
yang dimintanya sebaiknya kau menolak. Demi kebaikanmu sendiri.” Oogie
mengingatkanku dengan merendahkan nada suaranya.
“Dan
kuharap kau menjaga mulutmu jika dia sudah berdiri di sini. Aku tidak ingin kau
membuatnya gusar karena aku tak mau melihat kalian mencoba membunuh satu sama
lain,” ucapku tertahan seraya melirik Oogie yang mengerutkan dahi memandangi
Ness.
“Maaf
tapi aku tidak bisa berjanji padamu. Karena Ferin adalah makhluk aneh yang
menyebalkan,” sahut Oogie asal.
Kukatupkan
rahangku kuat-kuat. Aku jadi teringat kejadian di kamar ku siang itu kala Ness
melempar tubuh mungil Oogie dengan cepat hanya dengan kibasan tangannya karena
terbakar amarah.
“Ingat
Oog. Ness akan menghajarmu lebih keras jika kali ini kau kembali melontarkan
kata-kata tak pantas padanya seperti tempo hari,” ingatku pada Oogie.
“Heyy!
Dengar Calista, Dialah yang memulai perselisihan ini terlebih dahulu! kau kan
melihat semua itu dengan sangat jelas,” sungut Oogie kesal.
“Aku tahu itu tapi Ness tak akan perduli siapa
yang memulai. Tolonglah Oog, turuti saja permintaanku,” desahku resah.
Oogie
menarik napas panjang.
“Berhentilan
bermain api. Jauhi Ferin. Aku bisa melihat keadaan semakin kacau kini dengan
kehadiranmu dalam percintaan Ferin dan Quilla. Justru kaulah yang akan
tersakiti nantinya Calista,” sindir Oogie sinis.
“Terimakasih banyak telah mengingatkanku Oog,
kau sungguh perhatian padaku,” sahutku kesal.
Oogie
tersenyum sinis, “Itulah gunanya seorang teman, sayang.”
Ness
kini berdiri di depan kami. Matanya tak berkedip menatapku.
“Ikutlah
denganku. Ada yang ingin kubicarakan denganmu,” nada suara Ness terdengar
memerintah.
Oogie
mencondongkan tubuh mungilnya kearah Ness lalu berdehem keras.
“Calista
tidak akan pergi kemana pun tanpa aku,” lengking Oogie.
Ness
hanya menarik napas pendek lalu menatap Oogie datar.
“Kesetianmu
itu sudah melebihi harapan semua orang. Harus kuakui kau sangat hebat Kircey
tapi.. kau itu tak lebih dari seekor anjing penjaga yang tengah melakukan
tugas. Sebaiknya kau meredam sedikit gonggonganmu padaku,” sindir Ness santai.
“Kau
memang brengsek dan tak tahu malu!” seru Oogie kesal.
“Sudahlah
Oog. Hentikan semua ini,” pintaku seraya meraih lengan Oogie untuk menjauhi
Ness.
Ness
tertawa pelan. Begitu datar dan merdu.
“Kau
harus mengajarkan Kircey cara bersikap di depan tamu tuannya, Calista.” sindir
Ness tajam pada Oogie.
“Setidaknya
aku tidak harus menjual diriku pada Zordius seperti yang telah kau lakukan
selama ini. Terima takdir mu dan nikahi putri sinting itu. Kau tahu Ferin? Aku
ini jauh lebih berharga dibanding kau dan sifat munafikmu itu,” ejek Oogie puas
sambil tersenyum sinis.
Ness
terdiam. Sepasang matanya hanya mengawasi Oogie.
“Kau
ikut denganku atau tidak Cal?” tanya Ness
padaku tanpa melepaskan tatapannya pada Kircey.
Kulangkahkan
kakiku untuk menghampiri Ness namun Oogie menarik tanganku dengan cepat. “Ingat!
Terakhir kali kau ikut dengannya kau terlibat masalah dengan Quilla. Pikirkan
itu!”
Kutatap
Ness ragu.
“Kalian
tidak perlu takut. Aku bebas menemui siapapun yang ku mau. Quilla tahu itu dan
dia tidak akan bisa melarangku,” ujar Ness tinggi seraya menatap tajam pada
Oogie.
“Quilla
akan tetap menyalahkan Calista jika semua itu berhubungan dengan kau Ferin! dan
Quilla tidak akan berhenti sampai melihat Calista hancur!” Oogie berteriak
marah.
Ucapan
Oogie ada benarnya. Terakhir kali aku terlihat berduaan dengan Ness, Brisa dan Cleo
terluka terkena pelampiasan amarah Quilla.
“Jika
ada yang ingin kau sampaikan padaku, kau bisa mengatakannya disini.” ucapku
pelan.
Ness
tersenyum kecut. “Kini kau mulai termakan ucapan Kircey.”
“Aku
benar-benar lelah Ness. Dan sikapmu semakin membuat semuanya begitu melelahkan
untukku…” kutatap Ness takut-takut.
Ness
tertegun.
Oogie
memandangku dengan sorot aneh dan kerut di dahi sempitnya.
Kubuang
pandanganku dari tatapan Ness. “Lupakan
saja perkataanku. Tapi aku benar-benar sangat lelah dan tidak dapat berpikir
jernih untuk saat ini..
Ness
meraih lenganku dengan sedikit memaksa.
“Ikut
denganku dan berhenti mendramatisir keadaan,” ucap Ness mencoba membujukku.
Oogie
tidak tinggal diam. Dengan penuh emosi Oogie menarik tanganku dari cengkraman
tangan Ness.
“Apakah
kau sudah tuli Ferin. Calista tidak ingin ikut denganmu mengerti!” seru Oogie
marah.
“Aku
tidak tuli. Mungkin kau lah yang sudah mulai sinting dan haus pujian Prechia
untuk tugas bodohmu menjaga Calista!” ejek Ness sinis.
“Brengsek!!”
dengan sekuat tenaga Oogie melayangkan tinjunya ke wajah Ness.
Ness
terjatuh.
Aku
mencoba melindungi Ness dan berteriak kesal pada Oogie. “Hentikann Oog! Sudah
cukup!”
Oogie
terlihat marah dan mengepalkan tinjunya ke udara. “Brengsek!!”
Dengan
menggerutu Oogie berjalan pergi meninggalkan aku dan Ness yang kini terduduk di
tanah.
Kulirik
pipi Ness yang mulai terlihat membiru. Aku berjongkok disamping Ness dan
mengusap lembut pipi Ness dengan cemas. “Kau tidak apa apa?”.
Ness
memegang tanganku yang menyentuh pipinya. Meremasnya pelan dan menatap mataku
dengan sorot mata emasnya yang terlihat aneh ketika menatapku. Lalu dengan
cepat kedua tangan Ness memegang wajahku, mendekatkannya ke wajah tampannya.
Aku dapat merasakan hembusan napasnya yang memburu.
Dengan
kasar Ness mencium bibirku tanpa memberi kesempatan untukku bernapas. Aku tak
kuasa menolak dan terhanyut dalam kehangatan ciumannya itu. Perlahan kurasakan
kelembutan di bibirnya. Rasanya begitu menyenangkan. Aku merasa tenang dan
nyaman. Dengan kesadaran penuh aku membalas ciumannya tanpa merasa takut akan
rasa bersalah. Seakan Ness hanyalah milikku seorang. Kami begitu menikmatinya.
Dan ketika Ness menarik bibirnya perlahan-lahan menjauhi bibirku, ada perasaan
kesal karena aku tak ingin ia menghentikannya.
Kuhembuskan
napas panjang mencoba untuk mengendalikan perasaan yang bergemuruh di hatiku. Membuka
kedua mataku dan mendapati Ness tengah mengamatiku dengan senyum tipis di
bibirnya yang indah. Kubuang pandanganku darinya. Dia benar-benar telah
membuatku tersipu karena malu. Tangan kanan Ness menyentuh dagu ku dan
mengarahkan wajahku untuk menatapnya. Untuk sesaat aku begitu terpesona menatap
sepasang mata coklat emasnya yang terlihat berkilau di tengah indahnya sinar
bulan purnama malam ini.
“Kau
telah meracuni pikiranku,” ucap Ness pelan seraya menatapku tak berkedip.
Kata-katanya
melambungkan perasaanku. Ucapannya seolah mempertegas perasaannya padaku.
Ness
menarik napas panjang. “Aku …
Jantungku
berdebar kencang mencoba menahan gemetar yang kurasakan diseluruh tubuhku.
Sepertinya Ness hendak mengungkapkan perasaannya padaku.
“Maafkan
aku. Seharusnya aku tidak mencium mu tadi,“ ucap Ness nyaris tak terdengar.
Aku
tertegun.
Hanya itu. Batinku lemas.
Setelah
ciuman kami yang begitu hebat dan deru jantung yang saling menderu. Kini ia
menyesal telah menciumku.
Ness
kemudian berdiri. Mengulurkan tangannya padaku.
Dengan
rasa marah yang tertahan. Kuputuskan untuk tidak menyambut uluran tangannya. Aku
berdiri cepat lalu memalingkan wajahku darinya.
Dengan
sedikit terkejut tangan Ness yang kokoh menarik lenganku.
“Lepaskan
aku!” teriakku marah seraya menepis pegangan tangannya.
Ness
tak mau melepaskanku begitu saja sebaliknya ia merengkuh tubuhku dengan kedua
tangan kokohnya lalu memelukku kencang. Sepasang mata Ness menatapku dalam.
“Dengarkan
aku dulu Calista,” desahnya dengan nada sedikit bersalah.
“Aku
tidak perlu mendengarkan apapun lagi darimu. Kata-katamu hanya membuatku
marah!” seruku kesal.
Sepasang
mata emasnya yang berkilau indah menatapku dengan resah,” Lalu apa yang harus
kukatakan padamu untuk membuatmu tenang Calista? Katakan padaku?! sahut Ness
tak kalah kesalnya.
Kudorong
tubuh Ness dengan marah. “Lepaskan akuu!! Menjauhlah dariku!.”
Ness
mengendurkan kedua tangannya dan membiarkan aku lepas dari pelukannya. Kubalikkan
tubuhku dan berlari kencang meninggalkannya. Meninggalkan Ness yang menatapku
dengan wajah penuh penyesalan.
Aku
terus berlari.
Kurasakan
airmataku mulai mengalir hangat membasahi pipi.
Hatiku terasa sakit. Aku merasa sangat bodoh saat ini.
Seharusnya
aku menahan diri dan menolak ciumannya. Seharusnya aku menjauhi Ness sejak awal.
Ness tidak akan pernah menyatakan perasaannya padaku sampai kapan pun karena
dia tahu, itu hanya akan menyakiti perasaanku saja. Seharusnya aku tahu itu.
Ness
tidak mau memberikan harapan palsu padaku. Karena kami memang tidak pernah
ditakdirkan untuk saling memiliki.
Aku
benar benar lelah. Tubuh dan pikiranku seakan mati perlahan. Kulihat wajah
cemas Oogie yang berdiri di depan pintu kamarku. Matanya menyipit dan mulutnya mengerucut
menanyakan banyak pertanyaan tentang Ness.
Mendengar
nama Ness yang disebutnya membuat hatiku semakin sakit. Rasa kecewa yang
mendalam ini benar-benar menguras pikiran dan energiku. Kesedihan ini begitu
melelahkan. Kurasakan pandanganku mulai mengabur. Kepalaku pun terasa pusing. Lambat
laun pandanganku menjadi gelap. Samar-samar kudengar teriakan Oogie memanggil manggil
namaku. Setelah itu aku tidak mendengar atau melihat apapun. Yang ada hanyalah
kegelapan.
Aku
tersadar dengan Brisa yang duduk disamping tempat tidurku. Brisa tersenyum haru
dengan airmata membasahi pipinya.
“Sukurlah
kau telah sadar Calista,” ujar Brisa lega seraya mencium keningku.
“Aku
haus ..
Dengan
cepat Brisa mengambil segelas air lalu memberikannya padaku. Kuminum dengan
rakus tanpa menarik napas.
Brisa
meraih gelas kosong dari genggaman tanganku. Lalu menaruh gelas tersebut diatas
meja. Dan kembali duduk untuk mengamati wajahku.
“Kau
tak sadarkan diri selama dua hari dan membuat kami semua ketakutan karena
cemas,“ ucap Brisa hati-hati.
Aku
hanya diam.
“Hampir
semua orang ingin melihat kondisimu. Hingga aku meminta Oogie dan Darren
melakukan penjagaan ketat di depan pintu kamar kita dan memilih penjengukmu
dengan hati-hati,” ujar Brisa.
“Aku
tak tahu jika aku begitu dirindukan orang,” sahutku getir.
Brisa
tersenyum. “Siapa yang tidak? Tentu saja kami sangat merindukan mu...
Aku
tersenyum kaku pada Brisa
“Seharusnya
kau tidak mengijinkan orang mengunjungiku Bris. Lihat betapa menjijikkan rambutku
ini,” gusarku sambil memegangi ujung rambutku yang dua hari ini tidak kucuci.
“Anehnya,
kau terlihat semakin cantik saat tak sadarkan diri,” hibur Brisa padaku.
“Kau
yakin tak menginginkan sesuatu padaku untuk ucapanmu itu?” sindirku.
Brisa
tergelak senang mendengar sindiranku.
Aku
hanya terenyum datar. “Trimakasih telah berada disampingku selalu, Bris?”.
Brisa
menganggukkan kepalanya padaku dan tersenyum lembut.
Pintu
kamar terbuka.
Oogie
dan Darren tersenyum lebar menatapku. Oogie menghambur cepat dan duduk
disamping tempat tidurku.
“Kau
sadar!” ujar Oogie girang
Aku
tertawa pelan
“Oogie
sempat menangis saat pertama kali kau tak sadarkan diri,” ledek Darren.
“Kau
sungguh berlebihan kera besar,” protes Oogie kesal.
Darren
hanya menggelengkan kepalanya sambil tersenyum kecut.
“Oh
ya monyet kecil? Justru kau yang terlalu berlebihan karena menolak siapapun yang
hendak mengunjungi Calista,” sambung Darren geli.
“Larangan
konyol Oogie membuatku harus menjelaskan pada semua orang di Amorilla jika kau
tidak terkena penyakit menular atau kutukan penyihir jahat,” ujar Brisa.
Oogie
hanya menaikkan kedua bahunya seraya menatapku.
“Benar-benar
merepotkan,” sambung Brisa lagi sambil menepuk kepala Oogie gemas.
“Ouch!
Untuk apa kau lakukan itu padaku Bris?” protes Oogie. “Kau kan tahu aku
terpaksa melakukan semua itu supaya Ferin tidak datang mengganggu Calista
lagi,” seru Oogie.
Untuk
sesaat jantungku berhenti berdetak mendengar ucapan Oogie.
“Tapi
sayangnya si brengsek itu memang tidak punya perasaan. Karena dia sama sekali
tidak datang untuk sekedar melihat keadaanmu,” ucap Oogie puas seraya
melirikku.
“Ness
tidak seperti itu Oog. Dia hanya tidak mau terjadi kesalah fahaman lagi jika ia
mengunjungi Calista disini. Kau kan tahu betapa menyebalkan sikap Quilla pada
Calista,” sahut Darren membela sahabatnya itu.
“Sudahlah,
kalian berdua benar-benar tolol jika membahas Ness saat ini.” ucap Brisa
setengah berbisik seraya melirik kearahku yang hanya diam memandangi jendela
kamar.
Oogie
dan Darren menjadi salah tingkah.
“Sebaiknya
kau meminum ramuan yang telah disiapkan Piphylia untukmu.” Brisa meraih botol
diatas meja kayu disamping sisi tempat tidurku.
“Piphylia…”
bisikku pelan.
Semua
terdiam sesaat.
“Wanita
itu datang mengunjungiku,” senyum tipis terulas di bibirku.
“Tentu
saja Piphylia datang. Dia kan harus menyembuhkanmu dan memastikan keadaanmu
akan baik-baik saja,” sahut Brisa riang.
Aku
kembali terdiam. Berusaha keras, mencoba untuk tidak memikirkan Ness. Kuraih
ramuan dari gelas yang disodorkan Brisa padaku. Lalu meminumnya perlahan.
Malam
itu aku hampir tidak bisa tidur. Mungkin karena terlalu banyak memejamkan mata
saat tidak sadarkan diri. Kuakui tubuhku memang terasa sangat lelah diitambah
lagi rasa penat di otakku memikirkan urusan Arkhataya.
Kucoba
turun dari tempat tidurku. Brisa nampak begitu lelap. Sepertinya ia kelelahan
karena telah menjagaku selama dua hari ini. Kulirik jendela kamar. Ada rasa aneh
menjalari seluruh tubuhku. Rasanya seperti ada bisikan suara yang memintaku
untuk menghampiri jendela itu lalu membukanya.
Kucoba
untuk menepiskan keinginan itu. Tapi rasa itu semakin kuat. Hingga akhirnya aku
tak kuasa untuk tidak melakukannya. Kuhampiri jendela kamar dan membukanya
perlahan.
Kulihat
Ness berdiri tak jauh dari jendela kamar dan tengah menatapku. Sepasang mata
coklat keemasannya terlihat sayu. Raut wajah Ness yang biasa terlihat sinis
kala menatapku kini terlihat begitu cemas bercampur lega. Segaris senyum kaku
terlihat samar tertuju padaku.
Aku
hanya membeku. Menatapnya dengan pandangan kosong.
Kau baik baik saja. Suara lembut Ness bermain
dalam pikiranku. Ness mencoba mengajakku berbicara lewat pikiranku. Kubalikkan
tubuhku untuk menghindari tatapannya dari kejauhan.
Jangan berpaling dariku. Aku datang karena
aku sangat khawatir padamu Calista. Suara lembut Ness terdengar setengah
memohon.
Kubalikkan
tubuhku kembali untuk menatap Ness yang masih berdiri menatapku dari luar
jendela kamar. Kupejamkan kedua mataku dan menarik napasku perlahan. Pergilah Ness. Dan jangan perdulikan aku
lagi. Kubuka kedua mataku. Kini sepasang mata coklat keemasan itu terlihat
semakin sayu. Memandangiku. Sepertinya jawabanku sampai juga dalam pikirannya.
Kututup
jendela kamarku pelan. Membiarkan Ness yang masih tak beranjak dari tempatnya
berdiri dan masih terus menatap kearahku.
Aku
tidak tahu. Hati siapa yang hancur malam ini.Tapi yang aku tahu, Aku sangat
lelah. Dan perasaanku begitu hampa. Aku benar-benar merasa sendirian.
Writer : Misaini Indra
Image from : moonglowlilly.deviantart.com
No comments:
Post a Comment