Pasukan
cahaya Zordius tetap berjaga-jaga disekeliling benteng. Odile terlihat
melakukan pengawasan tanpa henti. Sementara aku tak henti hentinya melayangkan
pandangan dari balik celah dinding benteng untuk melihat keadaan. Darren
datang padaku dengan berlinang airmata. Dipeluknya tubuh rapuhku sebagai ucapan
terimakasih yang mendalam. Cleo selamat meski mengalami luka dalam yang cukup
serius.
“Mereka
menghancurkan beberapa urat sarafnya hingga kecil kemungkinan Cleo dapat
mengerahkan tenaga dalamnya lagi,” isak Darren.
Aku
terduduk lemas.
“Jika
sembuh pun Cleo masih harus memulihkan syarafnya untuk kembali normal seperti
sedia kala. Dan itu membutuhkan waktu yang sangat lama.” Sambung Darren
berusaha menguasai diri.
“Kekuatan
yang begitu besar untuk kembali pada kami membuatnya berjalan sejauh itu
memaksakan syaraf-syarafnya yang terluka,” terawangku.
Darren
menghembuskan napas panjang. “Mereka telah menghancurkan bakatnya Cal,”
Airmataku
menggenang. “Tapi mereka tidak akan bisa menghancurkan semangatnya Darr.
Berjanjilah padaku kau akan selalu berada disampingnya,”
“Aku
akan selalu mendampinginya tanpa kau harus memintanya,” senyum tipis mengembang
di sudut bibir Darren.
“Kita
akan memenangkan pertempuran ini. Dan aku akan menghancurkan leviathan Zorca
dengan bantuan Arkhataya. Kita akan kembali pulang ke lembah Crystal,” janjiku.
“Aku
percaya kau akan melakukan semua itu. Aku percaya padamu Calista,” angguk
Darren mantap.
“Terimakasih.“
desahku haru.
Kecemasan
sedikit membuat kami merasa tidak bisa begitu saja percaya akan kekuatan mantra
Zordius. Zorca adalah seorang iblis kejam yang memilki segala cara untuk
menghancurkan semua yang diinginkannya. Mengingat dia menjual jiwa malangnya
pada ruh jahat penghuni neraka, semakin meyakinkanku jika Zorca tidak akan
menyerah semudah itu. Zorca akan menembus benteng Zordius. Hanya masalah waktu
saja hingga itu terjadi. Dan saat itu terjadi. Aku harus membangunkan Arkhataya
dan sekuat tenaga meyelamatkan jiwa kami dengan segala resiko yang ada.
Dan
saat itu terjadi. Adalah saat dimana jiwa Ness berada dalam bahaya.
Senja
telah tiba. Kabut tipis mulai turun perlahan. Hening. Dan tidak ada tanda-tanda
apapun akan kedatangan musuh. Pasukan cahaya Odile yang terus berjaga disekitar
benteng seolah tak pernah merasakan lelah dan tetap waspada.
Melihat
keadaan para penduduk lembah Crystal yang terlihat resah membuatku iba. Aku
dapat memahami rasa takut dibenak mereka jika Zorca benar-benar datang untuk
membinasakan kami semua. Beberapa penduduk nampak menyalami tanganku dan
mengucapkan kata-kata pengharapan secara bersamaan. Kutatap wajah mereka dengan
perasaan getir berkepanjangan. Aku bahkan tak sanggup berpikir jernih jika aku
adalah alasan bagi mereka untuk bertahan dan membawa mereka kembali ke tanah
kelahiran mereka, lembah Crystal. Terkadang aku berharap ini hanya sebuah mimpi
buruk dan berharap Orion masih hidup untuk menyelesaikan persoalanku.
Kupandangi
Ness yang terlihat tengah menikmati secangkir tehnya. Terlihat tenang
seolah-olah tidak merasakan ketegangan yang kurasakan. Kualihkan pandangan di
depanku. Semua terlihat tidak bersemangat meski Zordius bersikap seolah
semuanya wajar. Bahkan raja peri yang elegan itu dengan santai mengangkat gelas
minumnya mengajak kami untuk bersulang demi kemenangan Amorilla.
Kutatap
piring-piring perak berisi makanan lezat yang terhidang diatas meja makan ini.
Lalu aku teringat oleh para pengungsi yang berlindung di dalam benteng istana.
“Apakah
para pengungsi telah mendapatkan ransum makanan meraka?” tanyaku pelan pada
Brisa yang mengunyah lambat-lambat sambil termenung.
“Zordius
telah memastikan mereka mendapatkan jatah makan setiap hari yang di poskan di
taman istana,” sahut Brisa gundah.
Aku
kembali terdiam.
“Bisakah
aku berbicara denganmu sebentar Calista.” Sosok gemuk berwajah ramah berdiri
disampingku.
Aku
mengangguk hormat pada Prechia. “Tentu saja, Prechia.”
Prechia
membawaku ke kamarnya. Dan mempersilahkan aku untuk duduk.
Aku
duduk dengan resah. Prechia sepertinya dapat menangkap kegelisahanku.
“Kau
penyihir muda yang brilian Calista.” Ucapnya tanpa basa basi.
“Terimakasih
atas pujiannya tapi kurasa semua penyihir bisa mempelajari apapun yang mereka
inginkan, bukankah begitu Prechia?” sahutku kikuk.
Prechia
tertawa. “Kau begitu rendah hati Calista. Dan aku suka cara pandangmu itu.”
Kini
Prechia menatapku lekat lekat. “Kau tahu nak. Penyihir lain membutuhkan panduan
dan pengawasan ketika mempelajari sebuah mantra sihir. Tapi kau! Kau tidak
membutuhkan semua itu. Kau hanya perlu mendengar dan melihat sekali dan kau
melakukannya dengan sangat baik.” Puji Prechia.
Wajahku
memerah.
“Kau
mengingatkanku pada Orion muda.” Kenang Prechia tersenyum sendirian.
“Kurasa aku hanya beruntung
karena memiliki insting yang kuat,” sanggahku.
Prechia tertawa lepas. “Belum pernah aku tertawa seperti
ini sejak mereka merampas semua yang kita miliki di lembah Crystal,” desahnya
getir.
“Aku akan merebut kembali rumah kita Prechia, percayalah
padaku,” ucapku meyakinkannya.
“Aku tahu. Dan aku percaya padamu,” angguk Prechia lembut.
Tanpa sadar kupeluk Prechia dengan perasaan haru.
“Berjanjilah kau akan tetap hidup nak,” parau Prechia penuh
kesedihan.
Kulepaskan pelukanku dan tertawa getir. “Aku tidak akan
mati hari ini jika itu yang kau maksudkan,” kerlingku mengodanya.
Prechia tertawa lepas mendengar gurauanku.
“Tentu saja tidak. Tidak hari ini dan hari kapan pun.
Karena kami semua akan berdiri disekelilingmu dan mengorbankan nyawa untukmu
nak,” isak Prechia pecah.
Kuusap airmataku yang mulai mengalir dari kedua sudut mata.
Karena aku tak ingin terlihat rapuh di mata Prechia.
“Sepertinya aku membutuhkan semua itu,” anggukku seraya
tertawa dalam isak tangis.
Prechia mengangguk haru. “Kami semua akan berjuang untukmu
dan untuk kembalinya tanah leluhur kami.”
Ucapan Prechia semakin membuat beban dipundakku terasa
berat. Ada sedikit rasa bersalah karena tidak menceritakan hal yang sebenarnya
perihal Arkhataya.
Kulirik Ness yang tengah duduk bersedekap dan melamun
dengan perasaan kacau.
Kulangkahkan kaki ku lebar-lebar dan berdiri dihadapannya
dengan wajah tegang.
“Aku akan menceritakan sejujurnya pada Titus akan
permintaan Arkhataya, Ness!“ nada suaraku terdengar tertahan.
Ness menatapku dalam. “Jika kau melakukan itu. Kau akan menghancurkan
harapan semua orang sekaligus memberi alasan bagi Zordius untuk mengusir kami
keluar dari Amorilla. Itukah yang kau inginkan??”
Kugelengkan kepalaku pelan. “Kau terlalu berlebihan, justru
Titus akan membantu kita mencari jalan keluar untuk permasalahan ini.”
Ness berdiri dari tempat duduknya. Kini kami saling berdiri
berhadapan.
“Aku mengenal Titus lebih dari yang kau tahu Calista. Aku
tahu cara berpikirnya. Dia tidak akan mau mengambil resiko besar. Titus akan
mencegah rencana kita membangkitkan Arkhataya untuk melawan leviathan Zorca.”
“Tapi kita belum tau pasti Titus akan bersikap seperti
itu,” bantahku.
Ness mengatupkan rahangnya menahan kekesalan. Wajahnya pun
terlihat tegang.
“Membangunkan Arkhataya adalah satu-satunya harapan kita
untuk menghancurkan Zorca dan kembali ke lembah Crystal. Dan aku tidak mau
berdebat lagi denganmu. Kuharap kau mengerti itu!!” sentak Ness putus asa.
Kubuang pandanganku darinya. Karena aku sangat tidak
menyukai nada suaranya padaku.
“Dalam peperangan selalu ada yang dikorbankan,”desah Ness
pelan.
Kupejamkan mata tak ingin menatap wajah Ness yang selalu
berada di benakku. Aku benar-benar tak sanggup membayangkan kehilangan
sosoknya.
Kurasakan sepasang tangan Ness meraih wajahku. “Tatap aku
Calista.” Pintanya lembut.
Kubuka kedua mataku perlahan dan menatapnya sendu.
“Cobalah untuk bersikap ksatria dan perjuangkan terlebih
dahulu kepentingan mereka yang membutuhkan kita. Mereka menaruh harapan besar
padamu. Jangan kecewakan mereka sekarang.” Ada ketegasan dalam sorot matanya
yang dalam kala menatapku.
Kuanggukkan kepalaku layaknya seorang anak kecil.
“Bagus! Sekarang bersiaplah. Sepertinya pengikut Zorca akan
kembali melakukan penyerangan ketika senja tiba.” Ingatnya lagi.
Aku hanya dapat mengangguk lemah.
Dan perkiraan Ness tepat.
Sosok-sosok berjubah hitam kembali keluar dari balik
pepohonan. Diantara cahaya jingga sang mentari yang mulai memudar, sosok-sosok
tersebut terlihat sedikit aneh dari kejauhan.
Cara berjalan mereka yang terlihat kaku dan perlahan tanpa komando
di depan mereka seolah-olah mereka bergerak sesuka hati dan keluar dari balik
pepohonan secara terpisah-pisah.
Odile mulai menyerukan perintah pada para pasukan cahaya
untuk bersiap-siap. Titus, Shenai dan Brisa berlari keatas benteng pertahanan
dan mulai mengamati gerakan musuh. Sementara Ness, Helena, Darren, Oggie dan
Agnes mulai menyiapkan barisan ksatria dan memberikan instruksi secara
bergiliran.
Tak ingin tertinggal, dengan cepat aku berlari menaiki anak
tangga menyusul Titus. Seseorang menarik tanganku dari belakang. Ketika aku
berbalik kulihat wajah Prechia terlihat tegang, masih memegangi tanganku.
“Jangan terlalu dekat. Dan simpan energimu,” ucap Prechia
penuh penekanan.
“Tapi ada sesuatu yang ganjil disana. Ada yang aneh dengan
para pengikut Zorca dan aku harus melihatnya,” ujarku bersikeras.
“Aku tahu itu. Biarkan kami yang mengurus semua itu.
Tugasmu adalah berkonsentrasi untuk memanggil Arkhataya demi keselamatan kita
semua,” tegas Prechia.
“Prechia,” suara Shenai terdengar tegang ketika memanggil
nama Prechia. Aku dan Prechia menoleh kearah Shenai secara bersamaan.
Wajah ibunda Tristan tersebut terlihat pucat. “Kemarilah.
Kau harus melihat mereka!”
Dengan cepat Prechia melepaskan pegangan tangannya padaku
dan berlari menghampiri Shenai. Dengan rasa penasaran aku mengikuti
langkah-langkah cepat mereka dari belakang dan menaiki anak tangga ke atas
benteng pertahanan Zordius ini.
Disana sudah ada
Titus, Brisa dan Odile yang menatap lurus ke depan kearah sosok-sosok manusia
yang mulai bergerak perlahan menuju benteng pertahanan ini.
Kuamati dengan seksama. Meski bias-bias jingga sudah mulai
memudar dan malam mulai merayap pelan. Namun aku sempat melihat sebuah sosok
dengan jubah kumal dan wajah dingin berjalan lurus dengan pandangan garang.
Sosok laki-laki tersebut berjalan lurus diikuti oleh sosok-sosok lain yang
mulai berjalan cepat mendekati benteng ini. Postur tubuh mereka berbeda-beda
ukuran, bahkan ada beberapa orang dari bangsa kurcaci dengan tubuh cebolnya
mulai berteriak garang dan berlarian menuju kearah kami. Sebagian lagi berbadan
besar dan kekar dengan wajah sangar dan terlihat tidak menyenangkan. Dengan
senjata ditangan masing-masing berupa pedang, pisau dan gada.
Wajah Prechia pucat untuk sesaat. “Darimana orang-orang itu
berasal!” seru Prechia tegang.
“Mereka adalah kaum Gregoran.” Cetus Titus.
Seketika itu juga kami menoleh kearah Titus seolah meminta
penjelasan.
“Sekelompok orang yang melakukan apa saja demi mendapatkan
uang untuk membeli minuman. Mereka adalah sekumpulan pemabuk, perampok dan
penjudi yang memiliki kemampuan bertempur sangat baik.” Ujar Titus menjelaskan.
“Sepertinya Zorca sengaja membayar mereka untuk
mengintimidasi keberadaan kita,” ucap Prechia.
“Darimana kau tahu mereka adalah para Gregoran?? bisikku pelan
disamping Titus.
Titus terlihat kikuk sesaat. “Aku sering bepergian ke
berbagai tempat sebelum menetap di lembah Crystal,” sahut Titus pelan.
“Apakah mereka dapat
menembus sihir yang dibuat Zordius disekeliling benteng ini?” tanya Prechia
pada Odile.
Odile menghembuskan napas perlahan. “Sihir yang dibuat
Zordius hanya berlaku bagi para penyihir hitam seperti Zorca.”
“Dan mereka bukanlah para
penyihir, ” keluh Brisa cemas.
“Tenang sedikit nona Ackron. Apapun mereka kita akan menghadapinya
bersama-sama.” Ingat Prechia
Odile menatap Prechia dan kami satu-persatu. “Bersiaplah.
Jika mereka dapat melewati tiang pembatas benteng di depan sana. Maka semua
mantra penghalang Zordius akan pudar. Dan pertempuran kita akan segera
dimulai,” desah Odile pelan.
Ketegangan mulai menghiasi raut wajah kami.
Prechia kini menatap kami satu persatu. ‘Jika mereka dapat
menembus pertahanan benteng ini, kemungkinan besar penyihir hitam Zorca akan
bergerak dibelakang orang-orang bayaran itu. Jadi kuminta lakukan sesuai dengan
instruksi yang telah kita rencanakan bersama pada pembicaraan yang lalu.”
Semua mengangguk hormat pada Prechia sebagai tanda
mengerti.
Ketakutan mereka terjadi. Tak berapa lama suara teriakan
bergema dari mulut-mulut para Gregoran yang berlari cepat dan mulai mendekati
benteng pertahanan istana Amorilla.
Mereka berhasil melewati tiang pembatas dengan mudah dan
menghancurkan mantra disekeliling benteng dengan mudah.
“Pemanah bersiaplah!!” Teriak lantang Odile kepada pasukan
cahaya yang berjejer rapih disepanjang benteng dan mulai memasang anak panah
pada busur masing-masing.
“Tunggu aba-abaku!!” perintah Odile lagi.
Ketika para Gregoran telah mendekati benteng Amorilla,
Odile kembali berteriak lantang, “Sekarang!!” Teriaknya lantang pada para
pemanah kerajaan Amorilla.
Ratusan anak panah beterbangan di langit dan menukik tajam
ke tubuh-tubuh para Gregoran tanpa ampun.
“Nyalakan obornya sekarang!!!” teriak Odile memerintahkan
para prajurit cahaya untuk menyalakan obor di sekeliling benteng Amorilla.
Pemandangan menakutkan sempat menciutkan siapapun yang
melihatnya karena begitu banyaknya Gregoran yang berteriak-teriak dengan
beringas sambil berusaha memanjat benteng Amorilla.
Shenai, Titus dan Prechia bergerak menuruni anak tangga dan
menghampiri Darren, Agnes dan Helena yang telah bersiap-siap dengan beberapa
ksatria Crystal.
Brisa menarik lenganku dan berlari cepat. Brisa membawaku
ke jarak pandang aman untuk melihat keadaan.
“Tunggu disini, Cal. Aku akan memanggil Ferin untuk
mendampingimu hingga kau membangunkan Arkhataya.” ujar Brisa tegang.
Aku hanya mengangguk dan tidak membantah seperti biasanya.
Brisa mencari-cari sosok Ness diantara para prajurit cahaya
yang berlarian menempati pos masing-masing.
“Feriiiiinnnn!!!!” teriak Brisa begitu melihat sosok Ness
yang terlihat diam mengamati keadaan di bawah benteng Amorilla.
Ness menoleh kearah kami. Matanya menyorot tajam padaku dan
dengan sigap melompat dan berlari kearah kami.
“Pergilah Bris! Aku akan menjaga Calista!” ujar Ness.
Brisa mengangguk lalu memelukku erat. Tubuhku bergetar
hebat karena kami sadar ini adalah pertempuran terakhir hidup dan mati kami.
Brisa melepaskan pelukannya dan berlari meninggalkan aku
dan Ness tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Meski aku sempat menangkap airmata
haru di ujung matanya.
Para Gregoran mulai merayapi tembok benteng. Bahkan
sebagian sudah mulai bergerak naik dan berhasil masuk benteng.
Teriakan-teriakan Titus yang mulai menyerukan rapalan mantra sihir angin mulai
terdengar lantang. Beberapa diantara
mereka mulai terjengkang terkena sihir angin Titus
“Ikuti langkahku dan jangan terpisah, mengerti!” tatap Ness
padaku.
Aku mengangguk patuh.
Kami berlari menghindari serangan-serangan mantra di udara.
Mataku tertuju ke sisi Timur benteng Amorilla. Darren dan Agnes terlihat mulai
memberikan aba-aba untuk menyerang pada ksatria Crystal yang tersisa. Dengan
gagah berani para ksatria Crystal memberikan perlawanan terakhir mereka.
Sementara itu kakek Ness, Odile memimpin pasukan cahaya
untuk bertempur melawan para Gregoran dengan sebilah pedang ditangannya. Odile
berhasil melumpuhkan beberapa Gregoran yang berteriak-teriak menyerang dengan
membabi buta.
Pertempuran terlihat imbang.
Namun beberapa pemanah prajurit cahaya terlihat berjatuhan
satu persatu akibat keganasan para Gregoran yang melemparkan pisau ke dada atau
wajah mereka.
Lapisan kedua dari pihak Zorca mulai memasuki benteng
pertahanan Amorila. Rufus Black mulai melontarkan mantra api dan membakar semua
yang mereka lewati.
Kepanikan mulai
terlihat di wajah barisan pasukan cahaya. Namun teriakan penyemangat yang
keluar dari mulut pemimpin mereka, Odile mampu membuat para prajurit cahaya
untuk bangkit dan kembali menyusun barisan dan membuat pertahanan disekeliling
benteng.
“Calista!!” panggil Ness mengejutkanku.
Ness menarik tanganku kesal. “Lihat ke depan dan ikuti aku
mengerti!!!”
“Maaf… sahutku gugup.
Seruan-seruan di sisi barat pertahanan kembali mengalihkan
pandanganku.
Kulihat Shenai terlihat sangat terdesak dan dikelilingi
para Gregoran yang menyerang tak henti-henti.
”Icessendrios!”
seru Brisa marah seraya melontarkan hujaman batu es yang keluar dari telapak
tangannya. Tubuh para Gregoran tersebut seketika terlempar jauh dan tak
sadarkan diri. Shenai mengangguk pada Brisa sebagai tanda terimakasih.
Aku kembali menatap punggung Ness yang
berlari di depanku lalu mengikuti langkah-langkah panjangnya dari
belakang. Namun serangan api para
penyihir Zorca yang terlontar kearahku tak sengaja memisahkan aku dan Ness. Sosok
Ness tiba-tiba hilang dari jarak pandangku.
”Nesss!!! teriakku panik tanpa
memperhatikan percikan cahaya yang diarahkan salah satu penyihir Zorca yang
akan di lontarkan tepat kearahku.
Belum sempat terarah kepadaku sosok kecil
berambut keriting melontarkan serangan kearah penyihir Zorca yang hampir saja menyarangkan mantra
apinya kearahku.
Senyum riang Oogie terlihat puas seraya
mengerling kearahku. ”Sudah kubilang kan aku akan melindungimu,” sumbarnya
bangga.
Belum sempat aku membuka mulut untuk
mengucapkan terikamakasih pada Oogie. Roven Lefre melayangkan sihir anginnya
kearah Oogie hingga pelindungku itu terhempas jatuh menghantam tanah. Tubuh
Oogie tertelungkup dalam diam.
Aku
menjerit memanggil Oogie. Sementara tawa Roven melengking tinggi dan ia
terlihat puas. Kulihat sepasang mata hitamnya yang berkilat licik menyorot
tajam kearahku.
”Kau penyihir lemah yang tidak berguna.
Ramalan itu hanyalah omong kosong!!.” serunya mengejek.
”Dan kau begitu bodoh karena mempercayai
sebuah ramalan,” sahutku sinis seraya melayangkan mantra dizzante kearah Roven yang sama sekali tidak menduganya.
Gulungan asap hitam menderu dan menggulung
tubuh Roven terbang ke udara. Wajah Roven terlihat marah dan berusaha
membebaskan diri dari gulungan asap hitam buatanku. Kuarahkan kedua tanganku
berputar diatas kepala lalu kulepaskan cengkaraman asap hitam ke udara hingga
tubuh Roven terbanting ke tanah.
Dengan perasaan masih kesal kuhampiri
tubuh Roven yang menggeliat ditanah. Dari tempatku berdiri kupandangi wajah
angkuhnya yang terlihat lebam dengan pandangan puas.
”Aku tidak perduli sebuah ramalan. Tapi
aku akan memastikan jika Leviathan Zorca akan mati hari ini.” Ucapku pada
Roven.
Kutinggalkan Roven yang tengah meringis
kesakitan.
Dengan cepat aku berlari menghampiri sosok
Oogie yang masih tertelungkup.
”Bangun Oog. Kumohon.... ” parauku.
Wajah tirus Oogie terlihat pucat dan
sedikit kotor oleh tanah.
”Ayolah Oog. Kau harus bangun. Kau harus
melindungiku,” sengukku menahan tangis.
Kuarahkan pandangan kesekelilingku. Shenai
dan Brisa terlihat sibuk menghalau para Gregoran.
Sementara itu Titus terlihat terdesak oleh
para penyihir Zorca. Darren, Agnes dan Prechia terlihat mencoba membantu
mempertahankan barisan pasukan cahaya yang tengah dipimpin Odile mengingat para
prajurit cahaya mulai tumbang satu persatu.
”Bertahanlah Oog.. ” bisikku pelan.
Kuletakan tangan kananku kearah dada
Oogie. Aku masih dapat merasakan denyutnya yang semakin melemah.
Kembali kusapu pandanganku. Dimana kau Ness. Kami membutuhkanmu.
Batinku kecut.
”Sepertinya semua tengah sibuk bertempur
nak,” suara yang pernah kukenal menyapaku datar.
Kualihkan pandanganku seketika kearah
sumber suara tadi.
Kulihat Chaides berdiri sambil memainkan
topi bulat hitamnya lalu menaruhnya diatas kepala botaknya perlahan sambil
memandangiku.
”Chaides... ” desahku tegang.
”Apa dia sudah mati?” tanya Chaides lagi
begitu melihat sosok Oogie yang tak sadarkan diri berada di pangkuan Calista
”Aku... aku tak tahu...” ucapku bingung.
Chaides berdecak pilu. Lalu menatap
Calista iba. ”Jika kau terus memikirkan orang lain daripada diri sendiri kau
bisa terbunuh sia-sia sebelum menyelesaikan misi mu itu.” Gumam Chaides
bersimpati.
”Aku tidak bisa membiarkan Oogie mati. Dia
temanku Chaides.” Parauku dengan airmata yang mulai mengalir perlahan.
Caides menghela nafas panjang.
”Benar-benar mulia. Tristan pasti sangat bangga padamu nak.”
Untuk sesaat aku tertegun akan ucapannya.
”Calistaa!” Teriakan Ness membuyarkan
lamunanku.
Sepasang mata hijau terang Chaides
terlihat menyorot waspada kearah Ness.
”Pergilah!! Maka aku akan mengampunimu
mengingat kau telah membantu kami waktu itu!” seru Ness dengan angkuh kepada
Chaides.
Chaides terkekeh pelan. ”Kau benar-benar
mengagumkan. Sangat percaya diri dan begitu sombong nak.” ujar Chaides tajam.
”Ness. ..” gelengku pelan mencoba mencegah
Ness mengucapkan kata-kata buruk kepada Chaides..
Chaides melirikku sekilas. ”Calista Kaz!
Kau adalah gadis yang ada dalam ramalan Zorca Anthea. Kuharap kau menuntaskan
takdirmu!”
Untuk sesaat Chaides menerawang. ”Zorca
akan menghanguskan Amorilla bersama kalian di dalamnya. Kau harus membunuhnya
hari ini atau kau tidak akan melihat orang-orang yang kau sayangi lagi esok
hari.” Sepasang mata hijau terang Chaides mengerling kearahku lalu melirik
kearah Ness seraya tersenyum tipis.
Nafasku memburu mendengar ucapan Chaides.
Kulihat Ness terpaku di tempatnya berdiri. Chaides menganggukkan kepalanya
kearahku. ”Selamat berjuang nak.” ucapnya datar lalu berlari cepat seraya
melayangkan sihir airnya dari jemari pendeknya kearah para prajurit cahaya.
Yang seketika itu juga terjerembab jatuh seraya menggigil dalam kebekuan.
Ness segera meraih tubuh kecil Oogie dan
meletakkan kedua telapak tangannya di dada Oogie. Dengan pelan Ness membisikkan
mantra penyembuh ke dada Oogie. Perlahan lahan bibir Oogie yang membiru mulai
terlihat sedikit kemerahan. Aku dapat mendegar nafas Oogie yang tidak
beraturan. Ness lalu meletakkan tubuh kecil laki laki malang itu perlahan ke
tanah yang tidak rata.
”Kita tidak bisa meninggalkan Oogie
sendirian disini Ness,” ucapku cemas.
”Aku tahu, ” dengus Ness kesal.
”Kalian butuh bantuan!” lengking parau
Darren mengejutkan aku dan Ness.
Senyum kelegaan dan rasa sukur meliputiku.
”Bisakah kau membawa Kircey ke tempat yang
aman Darr.” Pinta Ness.
Darren tersenyum lebar lalu mengangkat tubuh
kecil Oogie ke pundak lebarnya. ”Aku akan mengamankan monyet satu ini. Kalian
pergilah dan bunuh Zorca demi kami.”
Lalu Darren berlari kencang membawa tubuh
Oogie tanpa kesulitan sedikit pun.
Ness menarik tanganku untuk berlindung
dibalik pohon pinus yang separuh hancur.
”Dengar aku Calista. Ketika Zorca datang
nanti membawa leviathan jelek itu, aku ingin kau membangunkan Arkhataya. Aku
akan mengalihkan perhatian Zorca supaya kau dapat kesempatan untuk membujuk
Arkhataya menghancurkan leviathan.”
”Mengapa kita tidak menghadapi leviathan
itu bersama sama. Kita tidak membutuhkan Arkhataya,” tolakku bersikeras.
”Kita membutuhkan Arkhataya, Cal.
Leviathan terlalu kuat untuk kita hadapi berdua!” seru Ness sedikit kesal..
”Percayalah padaku. Lakukan saja tugasmu.
Yakinkan Arkhataya jika kau telah menyiapkan sebuah raga untuknya. Lalu
perintahkan dia menghancurkan Zorca dan para pengikutnya.” Ujar Ness dengan
nada suara penuh penekanan.
Kutatap Ness dengan gundah.
Tiba-tiba kilatan api terpercik diatas
kepala kami hingga membuatku panik dan menjerit keras. Ness menarik tubuhku
dalam pelukannya lalu berguling ke samping dengan posisi tubuhnya menutupi
tubuhku sebagai upayanya untuk melindungiku.
Suara lengking tawa yang sedikit kasar
terdengar sangat puas. Sorot mata Rufus yang kelam menyipit kearah kami.
”Sembunyi adalah suatu hal yang sangat
sia-sia saat ini.” Decak Rufus dengan nada mengejek.
Dengan cepat aku dan Ness berdiri.
Para penyihir berjubah hitam kini
mengelilingi aku dan Ness.
”Sepertinya pekerjaan ini akan sangat
mudah. Bahkan master Zorca tidak perlu datang untuk menghancurkan kalian,” nada
angkuh Rufus meremehkan.
”Kau terlalu banyak bicara dan percaya
diri.” Ledek Ness dengan nada sinis.
Rufus terkekeh. Kemudian menyorot tajam
kearah Ness yang tengah menatapnya dingin. ”Kalau begitu matilah kau brengsek!!”
Teriak Rufus.
Rufus melontarkan lidah api yang keluar
dari kedua tangannya kearah Ness dan aku.
Ness meraih tubuhku dan kami berguling
menghindari lidah api yang nyaris menghanguskan tubuh kami.
Degan cepat aku bangkit tak memperdulikan
rasa nyeri ditubuhku. ”Icessendrios!!”
Teriakku marah seraya melayangkan kedua tanganku kearah Rufus untuk membalas
serangannya tadi. Butiran butiran es yang keluar dari telapak tanganku
menghujam keras kearah dada Rufus Black.
Rufus terjerembab keras ke tanah. Dengan
panik para penyihir hitam Zorca yang lain membalasa serangan sihie es ku dengan
lontaran api yang saling berkejaran. Ness tidak tinggal diam dan melayangkan
serangan telekinetisnya kearah para penyihir Zorca. Dua orang terpental kencang
hingga jatuh bergulingan.
Kemudian Ness meraih tanganku dan kami
kembali berlari mencari tempat yang aman untuk berlindung.
Sekilas kulihat Herzog Mandal meraung
marah begitu melihat majikannya Rufus Black terbaring lemas dengan wajah
kebiruan.
Sementara aku dan Ness terus berlari
menghindari kemungkinan Herzog akan mengejar kami. Bukan kami pengecut dan tak
berani menghadapi Herzog. Hanya saja kurasa Ness dan aku memiliki pikiran yang
sama jika kami tidak akan membuang tenaga untuk melawan Herzog. Karena
pertempuran kami yang sebenarnya belum dimulai.
Tiba-tiba saja sosok laki-laki berjubah
hitam panjang berdiri diantara kekacauan pertempuran ini. Sepasang mata
hitamnya yang sekelam malam terlihat menyorot dingin menatap kearahku. Wajah
putihnya yang seputih mayat terlihat membeku. Jantungku seketika berhenti
berdetak.
”Zorca.... ” bisikku dengan nada bergetar.
Ness menatap lurus kearah Zorca yang
tengah berdiri tak jauh dari tempat kami berdiri dengan wajah tegang.
”Bersiaplah Calista. Pertempuran kita akan
segera dimulai.” Desah Ness pelan.
Kucoba menguatkan hati demi mendengar
ucapan laki-laki yang sangat kusayangi ini.
Aku
tak akan membiarkan kau mengorbankan ragamu demi Arkhataya. Tidak
akan pernah Ness. Batinku seraya melirik Ness dengan sendu.
Sementara itu langit mulai terlihat
memerah, menandakan cahaya mentari tak sabar untuk menyambut pagi dalam
kekacauan di negri peri Amorilla.
Writer : Misaini Indra
Image from : http://janpospisil.blogspot.com/ Fat Kid blogs and stuff!
Image from : http://janpospisil.blogspot.com/ Fat Kid blogs and stuff!
No comments:
Post a Comment