13. KEMATIAN SANG
PENYIHIR
Perlahan namun pasti sinar mentari pagi
menyebar ke seluruh langit di negri Amorilla.
Zorca Anthea berdiri tegak dengan sorot
mata dingin yang tertuju padaku. Zorca
seolah tengah berusaha membaca pikiranku.
Sementara itu terlihat Rufus Black
dengan wajah pucat berdiri disamping Zorca diiringi dengan Herzog Mandal dan
Roven Lefre yang langsung mengambil posisi melindungi Zorca.
”CALISTA KAZ!” suara parau Zorca terdengar
dalam dan bergema.Pertempuran terhenti beberapa saat. Seluruh mata tertuju kearah Zorca berdiri.
Ness menggenggam tanganku erat lalu
berdiri di depan tubuhku, menjadikan tubuhnya sebagai perisaiku.
Rufus terlihat berbisik pada Zorca.
Sepasang mata hitam Zorca menatap lurus kearah kami. Jantungku berdegup
kencang.
Tangan kanan Zorca teracung perlahan
kearahku dan Ness. Bibirnya yang pucat seolah mengucapkan sesuatu padaku. Namun
lebih menyerupai sebuah bisikan.
Datanglah
padaku wahai Cucu Ghorfinus.
Kau
dan aku adalah satu garis darah.
Bergabunglah
denganku dan bersama sama menghancurkan mereka!
”Tidakkk!!” Pekikku mendengar bisikan
Zorca yang begitu menyakitkan telinga.
”Kenapa Cal?!” Suara Ness terdengar cemas.
”Tidak akan pernah, sampai kapan pun!!”
lengkingku parau seraya menatap Zorca dengan marah.
Ness menatapku dengan bingung.
Zorca tertawa keras. Hingga Seluruh mata
kini menatap kearah kami bergantian.
”Jika kematian yang kau pilih. Maka
bersiaplah untuk menyambutnya,” ujarnya datar.
Bibir Zorca terlihat membisikkan sesuatu seraya menyilangkan kedua
tangannya di dada. Suara angin kencang mulai menderu disekeliling kami dan
menerbangkan apa saja yang ringan ke udara.
Prechia berteriak meminta seluruh ksatria
Crystal yang tersisa untuk mundur. Lalu ia memegang tongkat sihir pemberian
Orion dan mengangkatnya ke udara seraya mengucapkan mantra serangan. Kilau
cahaya yang keluar dari tongkat pusaka Orion tertuju cepat kearah Zorca,
sayangnya seolah sudah menyadari serangan yang akan datang kerahnya, Zorca
dengan cepat menahan serangan Prechia dengan kedua telapak tangannya yang
tertuju kearah Prechia. Sambaran api dari kedua tangan Zorca berkobar sangat
cepat tertuju ke arah Prechia
mengalahkan cahaya putih yang dilontarkan Prechia sebelumnya. Dan Prechia pun
ambruk ke tanah dengan cukup keras. Separuh tubuhnya terkena sambaran api
Zorca.
Aku menjerit keras berbarengan dengan
Brisa dan Shenai. Helena Ginka yang menyadari akan datangnya kembali serangan
Zorca dengan cepat mengantisipasi dengan mengorbankan tubuhnya untuk melindungi
Prechia yang terkapar ditanah.
Dan Zorca pun tidak memberi kesempatan
pada kami untuk melakukan serangan balasan karena sambaran api kedua berhasil
menghanguskan tubuh Helena Ginka, sahabat sekaligus orang kepercayaan Prechia
Gold tanpa ampun. Bahkan butiran es yang ditujukan Brisa kearah tubuh Helena
terlambat menyelamatkan wanita malang itu. Dengan teriakan histeris Shenai dan
Agnes menghampiri tubuh Helena dan Prechia untuk memberikan pertolongan.
Sebuah sambaran cahaya kebiruan datang
dengan cepat dari arah utara dan nyaris mengenai tubuh Zorca seandainya Roven
Lefre tidak mematahkannya dengan sambutan sihir apinya.
Terjadi ledakan dashyat di udara. Percikan
api yang bertebaran diudara sedikit mengenai ujung jubah Zorca. Yang terlihat tetap tenang tanpa
berusaha untuk menghindar.
Sepasang mataku mencari sumber serangan
tadi. Zordius berdiri tegak menatap lurus tak berkedip kearah Zorca.
Raja Zordius terlihat gagah mengenakan
pakaian perang kebesarannya yang berwarna perak. Sementara Odile berdiri disisi
kanannya bersama tujuh orang prajurit cahaya yang menatap waspada kesekeliling
Zordius.
Sepertinya Zordius lah yang melontarkan
serangan kearah Zorca hingga mengenai ujung jubah penyihir hitam tersebut.
”Yang mulia Zordius.” Ucap Zorca kaku dengan suara parau
yang sangat dalam.
”Roh terkutuk dari sihir hitam tidak
diterima di negri mulia Amorilla!!” Seru Zordius lantang. Membuat Zorca tertawa
keras hingga bergema.
”Kau pikir kau sesuci itu Zordius?! Kedua
Tangan Ayah tercintamu Thadeaus bahkan penuh dengan darah saat merebut Oprhesia
dari Seresima. Thadeaus bahkan tidak menyisakan satu pun manusia di negri sihir
salju. Amorilla tidaklah sesuci seperti yang kalian banggakan!!” Teriak Zorca
penuh amarah seraya menyapukan pandangan ke segala arah.
Semua mata saling berpandangan dengan
gugup.
”Keresahan hati akan menghancurkan seorang
penyihir hebat sepertimu menjadi penyihir dengan jiwa yang terkutuk. Seharusnya
kau tidak membangunkan ketujuh ruh sesat itu ke negri ini.” Sahut Zordius
tenang namun kedua matanya tak mau melepaskan pandangan sedikit pun dari Zorca.
Zorca kembali tertawa dengan keras.
”Kalian bangsa elf memang pintar menyusun kata kata yang indah. Untuk menutupi
kemunafikan kalian sendiri. Tapi hari ini aku akan membungkam semua ucapanmu
itu yang mulia. Untuk selamanya.” Seringai Zorca puas.
”Kata-katamu itulah yang akan membawa
kematian bagi dirimu sendiri Zorca!!” Teriak Odile murka.
Dengan cepat Zordius memberi isyarat pada
jendral perangnya, Odile untuk tenang.
”Kami tidak akan menyerahkan siapapun
padamu hari ini atau kapan pun juga!” ujar Zordius dengan tegas. Sepasang mata
abu abu gelapnya terlihat menatap tajam kearah Zorca.
Zorca tersenyum dingin lalu melayangkan
pandangan keji ke segala arah.
”Aku datang bukan untuk itu Zordius. Hari
ini aku akan menghancurkan Amorilla dan para sekutumu. Aku akan memastikan tidak
ada satu pun yang tersisa hari ini!” parau Zorca dengan teriakan kemarahan yang
membahana seraya melemparkan bola api yang berkobar dari tangan kanannya kearah
Zordius yang dengan lincah melompat untuk menghindar.
Tiga orang prajurit cahaya maju untuk
melindungi Zordius. Sementara Odile melayangkan serangan balasan kearah Zorca.
Sayangnya Rufus Black menghalau serangan cahaya Odile dengan sihir apinya yang
berkobar.
Ness menarik tanganku untuk menghindar.
Kami terus berlari mencari tempat aman dalam hujanan api yang berkobar.
Sementara api mulai yang berkobar kencang
membakar sekeliling kami. Zorca Anthea berteriak keras penuh amarah melayangkan
sihir api bertubi tubi kearah prajurit cahaya yang memagari Zordius dengan
rapat. Empat orang prajurit cahaya langsung terbakar dan berteriak kesakitan.
Odile kembali memerintahkan pasukan cahaya
lapis kedua untuk bergerak maju. Mereka melompat gagah dan menerjang para
penyihir hitam yang terlihat panik dan mulai melontarkan sihir apinya ke segala
arah.
Dari kejauhan terlihat Titus sedikit
kewalahan menghadapi si gila Herzog Mandal yang seakan tak pernah lelah
menyerangnya dengan lontaran api.
”Ness!! Titus membutuhkan bantuan!” Seruku
cemas.
Ness melayangkan pandangannya kearah
Titus. Yang kini dikelilingi empat orang penyihir api yang di pimpin oleh Herzog.
Ness mengangguk kearahku dan kami mulai
berlari kearah Titus melayangkan serangan. Kuarahkan mantra dizzante kearah salah seorang penyihir yang
tengah mengepung Titus sementara Ness melayangkan kedua tangannya kearah dua
orang penyihir hitam Zorca yang langsung terpental keras ke tanah.
Herzog berteriak marah dan berbalik untuk
menyerang, sayangnya Titus dengan cepat melayangkan sihir anginnya kearah
Herzog. Terdengar suara gemuruh yang kencang berbarengan dengan keluarnya
kumparan angin dari kedua tangan Titus yang mengarah kepada Herzog. Kumparan angin
puyuh itu berputar cepat dan menyapu tubuh Herzog hingga menabrak pinus tua
yang separuh hancur. Tubuh Herzog tertelungkup kaku tak bergerak.
”Tituusss!! Kau baik baik saja? Dimana
yang lainnya?!” seruku tak sabar.
”Prechia telah dibawa kembali ke istana.
Ia terkena luka bakar yang cukup parah. Ibumu sedang berusaha mengobatinya Ness.”
Tatap Titus dengan wajah sedih kearah Ness.
Ness hanya menghembuskan napasnya.
”Kita harus mencari tempat aman untuk
kalian,” ajak Titus seraya bergerak cepat dan memberi isyarat pada kami untuk
mengikutinya.
Namun seolah memiliki mata yang terlalu tajam,
Zorca terlihat murka begitu melihat kearah kami yang berusaha menghindari medan
pertempuran. Hal yang paling mengerikan mulai membayangiku. Zorca Anthea
mengayunkan tangannya ke udara seolah tengah mengisyaratkan pada sesuatu untuk
datang. Wajah pucatnya tersenyum kejam. Dan bibir tipisnya kini merapalkan
sebuah mantra bernada seperti senandung.
Jantungku berdebar kencang. Zorca tengah merapalkan nyanyian sihir untuk
memanggil makhluk mematikan dari nerakanya untuk menghancurkan lembah ini.
Penyihir hitam itu mulai mengayunkan kedua
tangannya ke udara. Bibirnya kembali mendengungkan mantra sihir yang menyerupai
nyanyian. Kini suara nyanyian sihir Zorca semakin keras.
Kulihat raja Zordius bersama Odile berdiri
terpaku. Pasukan cahaya yang berada dibelakangnya lamgsung mengambil posisi
melindungi sang raja. Brisa, Shenai, Agnes terlihat berhenti melakukan serangan
dan beralih menatap kearah Zorca dengan wajah tegang.
Ness kembali menggenggam tanganku.
Sementara Titus terlihat menghembuskan napas panjang dengan wajah cemas.
Kami melihat ke satu arah.
Menunggu.
Sementara Zorca kembali tertawa keras dan
memandang rendah kearah kami yang tengah terpaku. ”Ucapkan selamat tinggal pada
kehidupan.” Desis Zorca dengan seringainya yang kejam.
Ness melirik kearahku. ”Bersiaplah untuk
membangunkan Arkhataya.” Ucapnya kaku.
Kedua kakiku tiba tiba terasa lemas.
Jantungku berdetak lebih kencang.
Samar samar terdengar suara gemerisik
pepohonan diantara kencangnya angin yang tengah bertiup. Dan sebuah bayangan
hitam merayap pelan dari kejauhan. Bayangan itu kini semakin jelas terlihat.
Meliuk liuk seolah tengah menari mengikuti irama nyanyian sihir yang dirapalkan
Zorca. Kemudian berhenti tepat dihadapan Zorca seraya mendesis.
Odile mulai berteriak memberikan aba-aba
pada pasukannya yang langsung menghunus pedang mereka yang berkilauan. Mereka
mulai membuat barisan berlapis. Sementara Zordius terlihat berdiri tegak dengan
gagah. Airmuka Zordius begitu tenang
seolah ular berkepala tujuh itu bukanlah makhluk mengerikan yang membuatnya
gentar.
Brisa berlari menghampiriku dan memelukku
erat. ”Aku percaya padamu Calista. Berjanjilah kita akan mengakhirinya dengan
tawa bahagia. Berjanjilah padaku!” Isak Brisa seraya mencium keningku.
Kuanggukkan kepalaku dengan keharuan. Tanpa
sadar airmataku terjatuh.
Brisa menoleh pada Ness. ”Jaga dia untukku
Ness.”
Segaris senyum tipis terulas di wajah
cemas Ness.
Lalu Brisa melepaskan tanganku dan berlari
kembali pada posisinya. Berdampingan dengan Shenai yang menatapku sendu seraya
menganggukkan kepalanya seolah memberikan dukungannya untukku. Aku membalasnya
dengan senyuman kaku.
Ular raksasa yang sangat mengerikan dengan
sisik hitamnya yang besar mendesis keras dengan tujuh kepalanya yang menatap liar ke segala arah terlihat menunggu
perintah untuk membunuh. Sepasang mata dari salah satu tujuh kepala ular
raksasa tersebut terlihat buta. Meski begitu indra penciumannya yang tajam sepertinya
masih sanggup untuk mengikuti keenam kepala lainnya.
Zorca tertawa keras hingga terasa bergema
ke seluruh wilayah Amorilla. Wajah-wajah tegang bercampur resah tergambar jelas
dari wajah Brisa, Titus, Shenai yang terlihat mengatur ulang barisan pertahanan
dari para ksatria Crystal yang tersisa.
”Bunuhhh merekaa!!” Teriakan Zorca bergema
keseluruh negri Amorilla yang diliputi
ketegangan.
Ular raksasa itu menggeliatkan badannya
hingga menggetarkan tanah tempat kami berpijak. Tujuh kepalanya yang bergerak
kesana kemari dan badan besarnya meluncur cepat kearah pertahanan kami.
”Kuatkan hatimu Calista! Selamat berjuang.”
Tatap Ness dengan suara parau seolah ini adalah saat perpisahan kami.
Aku hanya dapat mengangguk haru dan
mengatupkan rahangku kuat-kuat.
”Tunggu disini. Aku akan kembali bersama
Griffin untuk melindungimu!” Seru Ness seraya melompat dengan cepat meninggalkanku
dengan segala asa.
Airmataku menetes perlahan. Aku mencintaimu Ness batinku perih dalam
hati kecilku.
Kulihat sosok Ness mulai menjauh mencari
dataran tinggi untuk memanggil Griffin.
Ku kuatkan hati dan mulai merapal mantra
untuk membangkitkan Arkhataya.
Bangun
bangunlah Arkhataya ...
Tunjukan kesetianmu padaku ...tunjukan
kekuatanmu sebagai pelindungku...
Dengar dengarlah Arkhataya...
Menyatulah dalam pikiranku ...
dengarkan perintahku...
Teriakan para prajurit cahaya mulai
bergema dimana-mana.
Beberapa prajurit nampak berlarian
menghindari Leviathan yang sibuk menghujamkan taringnya yang besar ke
tubuh-tubuh mereka. Sementara barisan penyihir hitam mulai menebarkan teror
dengan melontarkan mantra api keseluruh negri Amorilla.
Teriakan ketakutan seiring dengan kepulan
asap dari api yang membakar bangunan- bangunan di jantung negri Amorilla
semakin membuat suasana mencekam.
Barisan pertahanan Zordius pun goyah. Para
ksatria Crystal berusaha keras menghalau Leviathan dengan melontarkan mantra
angin untuk menghalaunya. Sayangnya hanya membuat Leviathan semakin murka dan
mengamuk lalu melumat tubuh mereka.
Dari kejauhan terlihat awan putih
menggumpal di langit. Bergerak pelan seolah memberikan jalan pada sesuatu.
Setitik bayangan melayang pelan dan perlahan-lahan semakin terlihat jelas
menuju ke bumi. Sosok seekor burung elang raksasa dengan kakinya yang bercakar
menyerupai singa terlihat melayang anggun terbang diantara gumpalan awan-awan
putih.
Burung elang itu mengeluarkan lengkingan
panjang seolah memberitahu kehadirannya pada si pemilik pusaka. Dengan lincah
Ness melompat ke punggung Griffin ketika burung elang raksasa itu terbang pada
jarak terdekatnya dengan Ness. Ness berpegangan erat pada punggung Griffin dan
mulai terbang menuju arah Leviathan yang tengah mengamuk.
Kembali kuramalkan mantra pemanggil
Arkhataya dengan perlahan.
Dengarkan
aku Arkhataya....
Bangunlah
Arkhataya..
Sementara itu Griffin nampak kewalahan
karena serangan tiga kepala Leviathan yang meliuk-liuk ganas. Ness mencoba
menghindar dengan membawa Griffin menjauh. Sayangnya tiga dari tujuh kepala
Leviathan begitu murka dan mengejar Griffin tanpa ampun.
Sayap kanan Griffin pun terluka terkena
hujaman taring Leviathan meski sempat melepaskan diri.
Griffin menukik cepat dengan sekuat tenaga
yang tersisa meski mengepak lemah dengan separuh sayapnya yang terluka.
Wajah Ness terlihat cemas dan membisikkan
Griffin untuk mundur menghindari Leviathan.
Zorca seolah tak mau membiarkan Ness dan
Griffin melarikan diri begitu saja. Zorca berteriak lantang merapal mantra api
hitamnya dan melemparkannya kearah Ness.
Untungnya Zordius tidak tinggal diam dan
menahan serangan api hitam Zorca dengan lontaran cahaya biru yang keluar dari
kedua telapak tangannya. Terdengar suara ledakan yang cukup keras begitu api
hitam Zorca berbenturan dengan cahaya biru Zordius.
Ness menoleh cemas lalu menepuk punggung
Griffin untuk mengepakkan sayapnya lebih cepat lagi meninggalkan medan
pertempuran.
Sementara aku berusaha berkomunikasi
dengan Arkhataya lewat mantra pemanggil yang diberikan Obidia. Dalam kekacauan
dan hingar bingar pertempuran. Bau daging terbakar dan bau asap dari bangunan
yang terbakar. Lengkingan kesakitan dari pihak kawan bahkan lawan.
Dengan
teriakan keras kurapalkan mantra pemanggil bagi Arkhataya dengan sepenuh jiwa,
mencoba untuk menyatukan pikiran kami,
Bangun
bangunlah Arkhataya ...
Tunjukan kesetianmu padaku ...tunjukan
kekuatanmu sebagai pelindungku...
Dengar dengarlah Arkhataya...
Menyatulah dalam pikiranku ...
dengarkan perintahku...
Setengah putus asa aku berteriak kencang ditengah
pertempuran.
BANGUN
DAN DATANGLAH DENGAN KEKUATAN SIHIRKU .....
BANGUN
DAN TURUTI PERINTAHKU ....
BERIKAN
KEKUATANMU PADAKU, WAHAI ARKHATAYAA....
Suara erangan keras terdengar datang dari
balik langit yang memerah karena api para penyihir hitam. Dari kejauhan
terlihat sosok makhluk yang terbang bagaikan sebuah titik hitam dilangit. Lama
kelamaan titik hitam itu mendekat dan semakin jelas.
”GADIS PEWARIS GELANG OBIDIA. APALAGI YANG
KAU INGINKANN DARIKU??!!!” erang Arkhataya terdengar jelas di kedua telingaku
meski kulihat naga tersebut masih berada jauh diatas langit dan tengah terbang
menuju tanah Amorilla ini.
”Bertempurlah untuk ku!! Hancurkan
Leviathan itu!!!” Sahutku dalam diam. Mencoba bertelepati padanya.
Kembali terdengar raungan kencang dari
sosok hitam yang terbang dan mulai mendekati wilayah pertempuran. Setidaknya
itu yang terdengar oleh mereka. Sementara erangan yang terdengar bagiku saat
ini adalah sebuah ucapan normal dari jiwa Arkhataya yang terperangkap di tubuh
seekor naga berkat berkat gelang warisan Obidia, aku dapat berkomunikasi dengan
Arkhataya.
”BERIKAN AKU RAGA!! ATAU AKU AKAN
MEMBINASAKAN KALIAN SEMUAA!!” raung Arkhataya gusar.
Napas Calista memburu.
”Jika kuberikan apakah kau akan membantu
kami membunuh Leviathan Zorca??” ucap Calista dalam kesunyian. ”Maukah kau
bertempur untuk kami??!!!” tuntutku pada Arkhataya.
Arkhataya mengerang keras dan semakin
dekat menuju tempat ini.
”BERTEMPURLAH UNTUK KAMI ARKHATAYAA!! jerit Calista ke
udara.
Tubuh besar Arkhataya tiba-tiba saja menukik
tajam menuju kearah Leviathan yang di kepung para prajurit cahaya dan ksatria
Crystal. Sepasang mata hitamnya yang berbintik merah menatap garang kearah
Calista yang berdiri tegak menatapnya.
”AKU AKAN MENGIRIM MEREKA KEMBALI KE
NERAKAAA!!!” Raungan keras Arkhataya begitu memekakkan telinga.
Seketika itu juga Arkhataya menukik cepat
kearah Leviathan seraya menyemburkan api dari moncongnya yang tertuju pada dua
kepala Leviathan yang terdekat darinya. Seketika itu juga dua kepala Leviathan
terbakar hangus oleh semburan api yang keluar dari moncong Arkhataya.
Para ksatria Crystal berteriak senang dan
mengelu-elukan sang naga.
Wajah Calista terlihat gusar. Diliriknya
Ness yang tengah memegang separuh sayap Griffin yang terluka. Ness hanya dapat
menganggukkan kepalanya pada Calista dan tersenyum kaku.
Napas Calista memburu. Dengan cepat
Calista berlari kearah medan pertempuran dengan perasaan kacau.
Aku
harus menemukan Titus. Titus dapat menolongku menyelamatkan jiwa Ness. Batinnya penuh harap.
Calista terus berlari dan berlari. Dengan
sepasang matanya mencari-cari sosok kurus Titus.
Sementara itu perlawanan berbalik. Para
ksatria Crystal seakan mendapatkan semangat baru dengan adanya bantuan dari
sang naga. Beberapa penyihir hitam pun kewalahan karena mendapatkan perlawanan
balik.
”Titusss!!!!” panggil Calista lega begitu
menemukan sosok Titus yang tengah berusaha mematahkan serangan penyihir Zorca.
”Kau berhasil Calista!!” seru Titus terharu.
Calista terengah-engah. Menatap Titus
dengan wajah tegang lalu menarik tangan Titus dari keramaian. ”Kau harus
menolongku Titus!” Calista berusaha mengatur napasnya.
”Apa? Kenapa??” wajah tirus Titus terlihat
kebingungan.
”Arkhataya menginginkan sebuah raga,
Titus! Ness hendak menyerahkan raganya pada Arkhataya demi kemenangan kita.” Isak
Calista tak tertahankan.
Titus terpana.
”Ness memintaku untuk merahasiakannya. Dia
..dia akan mengorbankan tubuhnya untuk Arkhataya. Aku tak bisa membiarkan jiwa
sesat Arkhataya merasuki Ness, Titus. Kau harus menolongku!” seruku tertahan.
”Sial
Calistaaa!! Kenapa kau tidak memberitahuku sebelumnya???” teriak Titus marah.
”Maafkan
aku. Tapi Ness melarangku!!” sahut Calista panik.
Titus mengusap dahinya dengan kesal. Ditatapnya
Calista dengan gusar.
”Aku
butuh waktu untuk mencari jalan keluarnya Cal. Butuh pemikiran tepat, apalagi kau
sudah membangunkan makhluk itu sekarang! Aku..aku akan mencoba mencarinya meski
waktu kita sangat sempit sekali!” Titus berteriak panik.
”Kumohon
tolong aku Titus.” Isak Calista.
”Ferinn
memang brengsek!! Dan kau!! Kau seharusnya datang lebih awal padakuuu!” seru
Titus kesal bercampur panik.
Sementara
itu Arkhataya kembali menghanguskan dua kepala Leviathan dengan semburan
apinya. Sayangnya sayap Arkhataya tak sempat menghindari hujaman taring dari
dua kepala leviathan yang berhasil menyerangnya. Sedangkan satu kepala
Leviathan dengan sepasang matanya yang buta nampak disibukkan dengan serangan
prajurit cahaya.
Ness Ferin berhasil menyalurkan energi hangat
pada sayap Griffin yang terluka. Ness terlihat membisikkan sesuatu pada makhluk
indah itu. Dan tak berapa lama Griffin mengepakkan sayapnya yang terluka namun
sayangnya makhluk itu kembali tersungkur. Wajah Ness terlihat tegang dan
kembali mencoba menyalurkan energi hangat untuk menyembuhkan sayap Griffin.
Zorca
tidak tinggal diam.
Begitu
melihat Leviathannya terluka. Zorca melontarkan serangan apinya bertubi-tubi ke
segala arah. Diikuti oleh Rufus dan Roven.
Titus
mendorong tubuh Calista agar terhindar dari jilatan api Zorca.
Calista
terjatuh dan terguling beberapa langkah. Sedangkan Titus menjatuhkan tubuhnya
untuk menghindari lontaran api Roven. Lalu Titus berteriak memanggil Calista
dengan cemas.
”Aku
akan pikirkan jalan keluarnya nanti. Sebaiknya kau dan Ness secepatnya
bersembunyi!!” teriak Titus yang langsung berdiri dan berlari membantu Shenai
menahan serangan api Rufus dan Roven.
Kali
ini Titus bekerjasama dengan Shenai. Mencoba memisahkan Rufus dan Roven yang
selalu bersama. Titus mengucapkan mantra dan melontarkan sihir anginnya pada
Roven yang langsung terjerembab jatuh. Kemudian Shenai dengan cepat melafalkan
mantra dizzante tertuju pada tubuh
Roven yang langsung tergulung asap hitam yang membumbung tinggi ke angkasa.
Rufus yang panik berusaha menolong Roven namun Titus tidak tinggal diam dan
melayangkan sihir apinya kearah Rufus yang nampak terkejut dan tak sengaja
malah melontarkan sihir apinya ke tubuh Roven. Seketika itu juga tubuh Roven
hangus dan jatuh ke tanah.
Rufus
berteriak marah begitu melihat tubuh Roven yang hangus karena sihir apinya.
Sepasang mata liciknya menatap Titus dengan murka.
”MATIII!”
teriak Rufus seraya melontarkan sihir apinya pada Titus.
Titus
berusaha menghindar namun sayang kakinya tersandung batu hingga bahu kirinya jadi
terkena sambaran api Rufus. Titus berteriak kesakitan dan terguling ke tanah
menahan luka bakar di bahunya.
Brisa
yang kebetulan melihat langsung melontarkan butiran-butiran es tajam kearah
Rufus. Rufus yang terkena serangan dadakan Brisa telat menghindar. Butiran
butiran es tajam menghujam wajah Rufus seketika. Rufus berteriak kesakitan.
Darah mengalir dari wajahnya yang tertancap butiran es di wajahnya.
Tanpa
membuang waktu Shenai mengucapkan mantra dizzante
yang langsung menggulung tubuh Rufus lalu menghempaskannya ke udara dengan
bantingan keras ke tanah. Rufus berteriak marah dan bersiap melontarkan sihir
apinya kearah Shenai. Dengan gemas Brisa melontarkan hujaman es ke tubuh Rufus yang
terdorong keras ke belakang menabrak sebatang dahan pinus yang patah. Tubuh
Rufus tertancap dahan pinus patah yang sangat tajam.
Shenai mendekati Rufus yang tengah
mengerang kesakitan.
”Ini untuk Tristan.” ujar Shenai seraya
mengarahkan jemarinya kepada Rufus. Perlahan-lahan gulungan asap hitam yang
tipis mengelilingi leher Rufus. Lalu mengikat leher Rufus dengan erat hingga
akhirnya Rufus berhenti bernapas tanpa sempat mengeluarkan umpatan kasar yang
biasa terlontar dari mulutnya.
Brisa hanya memalingkan wajah tak mau
melihat. Lalu berlari menghampiri Titus.
”Kau
terluka parah Titus.” Ucap Brisa cemas.
”Calista
butuh pertolongan Bris...” ucap Titus terengah-engah.
”Kau
tidak perlu mencemaskan Calista. Arkhataya akan menolongnya.” sahut Shenai
ketus yang kini telah berdiri disamping Brisa.
”Kalian
tidak mengerti! Arkhataya meminta sebuah raga. Dia membantu Calista karena ia
menginginkan sebuah raga untuk lompatan jiwanya, Shenai..” napas Titus mulai
terputus-putus.
”Ya
ampun, jika benar naga itu akan sangat berbahaya nantinya!!” seru Shenai.
”Aku
akan menghukum Calista jika semua ini berakhir karena tidak memberitahukan
perihal ruh sesat Arkhataya yang meminta raga!” seru Brisa kesal.
”Tidak
ada waktu mengumpat Bris. Calista bilang Ness telah memberikan janji untuk
memberikan tubuhnya pada Arkhataya.” ucap Titus lemah.
”Brengsek!!
Aku sudah mencurigai hal ini sebelumnya jika melihat gerak gerik mencurigakan
mereka berdua akhir-akhir ini,” maki Brisa lagi gusar.
”Sebaiknya
kita membawa Titus ke tempat aman terlebih dahulu Bris.” ujar Shenai begitu
melihat keringat Titus membasahi dahinya.
Brisa
mengangguk lalu berdua Shenai membantu Titus berdiri dan berjalan meninggalkan
medan pertempuran.
Sementara
Calista dengan segenap kemampuan sihirnya berusaha membantu pertahanan di
benteng Amorilla. Seraya mengawasi Arkhataya yang tengah bertarung dengan
Leviathan Zorca.
Dari
kejauhan Zorca menatap tajam punggung Calista. Zorca berjalan di tengah medan
pertempuran menuju tempat dimana Calista berdiri. Calista yang berdiri
membelakangi Zorca tidak menyadari kehadiran Zorca dibelakangnya.
Dengan
senyum licik penuh kemenangan Zorca mengangkat tangan kanannya. Mulutnya
membisikkan mantra sihir. Kemudian Zorca mengacungkan tangan kanannya
tinggi-tinggi tertuju tepat kearah Calista.
Zordius
yang melihat bahaya tengah mengancam Calista dengan secepat kilat melompat dan
berlari kearah Calista. Dengan cepat Zordius mengarahkan kedua telapak
tangannya ke tubuh rapuh Zorca yang tertutup jubah hitam. Sinar terang kebiruan
menyilaukan pandangan Zorca. Seiring dengan lontaran pijaran api berwarna biru
yang menghantam tubuh Zorca.
Tangan
kanan Zorca tersambar pijaran api biru milik Zordius. Teriakan parau kemarahan
menggema dari mulut Zorca Anthea, si penyihir hitam yang terkutuk jiwanya.
Zorca
memegang bahu kanannya yang terasa perih terkena sambaran api Zordius.
Calista
yang baru menyadari nyawanya diselamatkan Zordius hanya dapat menatap Zordius
dengan wajah pucat. Wajah angkuh Zordius terlihat dingin menatap Calista. Kedua
tangan Zordius menarik tubuh Calista lalu menatap kedua mata Calista dengan
sedikit kesal.
”Jangan
pernah lepaskan pandanganmu pada musuh meski sebentar, penyihir naga!” nada
suara Zordius begitu dingin dan tajam.
Zordius
melepaskan pegangannya pada Calista. ”Sekarang kendalikan naga itu. Sebelum dia
menghancurkan kita semua,” ucap Zordius dingin.
Calista
tersentak. Ucapan Zordius padanya seolah-olah menyiratkan jika Zordius
sebenarnya telah mengetahui permintaan Arkhataya padanya.
”Zorca
Anthea milikku. Sekarang pergilah dari sini.” ucap Zordius pelan.
Aku
hanya mengangguk ragu pada Zordius.
Sepasang
mata Zordius kembali tertuju pada Zorca.
Zorca
terlihat murka dan mulai merapalkan mantra. Dengan suara parau Zorca berlari
kearah Zordius yang begitu tenang menunggu serangan sihir Zorca. Benturan
cahaya tak terhindarkan. Kali ini Zordius terdorong kebelakang beberapa
langkah.
Zorca
yang mulai melemah apalagi tangan kanannya Rufus telah binasa mulai marah.
Memaksakan tubuh lemahnya untuk berdiri dan mulai merapal mantra.
Tak
ingin membuang waktu Zordius kembali
melemparkan api dari kedua tangannya. Dan kembali pijaran api biru yang keluar
dari tangan Zordius menghantam sihir api Zorca yang berwarna merah. Zordius
kembali mendesak Zorca dengan menyarangkan pijaran api biru ke tubuh Zorca
bertubi-tubi.
Jubah
Zorca terbakar seiring dengan teriakan parau Zorca yang merasakan sakit
ditubuhnya terkena hujaman api sihir negri Amorilla.
Seulas
senyum dingin tergambar di bibir Zordius.
”Seperti
yang kuucapkan sejak awal. Roh terkutuk dari sihir hitam tidak diterima di
negri mulia Amorilla.” gumam Zordius seraya menatap Zorca yang meregang menahan
rasa sakit diseluruh tubuhnya. Zordius membalikkan badan hendak berlalu dan tak
menyadari jika tangan kanan Zorca mencoba mengeluarkan sesuatu dari balik jubah
hitamnya. Calista yang kebetulan belum beranjak pergi melihatnya. Begitu
dilihatnya Zorca mengeluarkan sebilah pisau perak dari jubah hitamnya itu.
Calista segera merapalkan mantra sihir angin dan menyapukannya kearah tangan
Zorca yang tengah memegang sebilah pisau.
Seketika itu juga pisau Zorca terjatuh.
Zordius menoleh kembali kearah Zorca. Dengan cepat Zorca meneriakan mantra api
dan melemparkannya kearah Zordius yang nampak tak menduga akan serangan sihir
Zorca.
”Icessendrios!!”
Teriak Calista geram.
Seketika itu juga hujaman butiran butiran
es tajam menghantam Zorca. Sihir api Zorca yang tertuju kepada Zordius pun
menghantam pohon cemara yang langsung terbakar.
Dengan geram Zordius menghujamkan sinar
kebiruan tepat ke dada Zorca Anthea yang seketika itu juga tewas dengan luka
bakar diseluruh tubuh rapuhnya.
Kupandangi wajah raja Zordius yang puas
akan kematian Zorca.
”Kau telah menyelamatkan aku,” ujar
Zordius datar.
”Sekarang kita impas yang mulia,” sahutku
seraya menundukkan kepala sebagai tanda penghormatan padanya.
Zordius tersenyum dingin pada Calista.
Sementara
itu pertarungan antara naga dan ular raksasa tersebut masih berlangsung sengit.
Arkhataya terbang mengelilingi Leviathan dengan menyemburkan api dari
moncongnya tak henti-henti. Membakar sisik sisik Leviathan yang tebal.
Leviathan
Zorca mulai goyah dan meliuk-liuk kesana kemari. Arkhataya mengambil kesempatan
tersebut dengan menghujamkan cakarnya ke salah satu leher leviathan yang mulai
melemah.
Aku tidak punya banyak waktu. Arkhataya akan
segera membunuh Leviathan terkutuk milik
Zorca. Batin Calista cemas.
Diliriknya
Ness yang masih berusaha menyembuhkan sayap Griffin.
Berpikirlah Calista. Kau harus menyelamatkan
Ness. Laki-laki yang kau cintai selama ini.
Butiran
airmata Calista mulai jatuh perlahan.
Pikirannya
mulai kacau.
Calista
menarik napas perlahan Memejamkan mata dan mencoba berpikir tenang mencari
jawaban.
Arkhataya, ruh penyihir yang dikutuk. Ruh
Arkhataya bersemayam di tubuh naga untuk hidup lebih lama meski tidak menyukai
raganya yang sekarang.
Calista menghembuskan napas panjang.
Aku
tidak akan membiarkan ruh jahat Arkhataya mengisi raga Ness.
Kini pandangannya tertuju kepada Arkhataya
yang mulai menumbangkan Leviathan. Arkhataya tanpa ampun menyemburkan api tak
henti-henti keseluruh tubuh makhluk yang mulai tak berdaya itu. Dan akhirnya semburan
api Arkhataya berhasil menumbangkan Leviathan.
Berpikirlah
Calista. Berpikirlah...
batin Calista tegang.
Tiba-tiba Calista teringat ucapan Titus
beberapa waktu yang lalu ketika Titus tengah menceritakan dongeng tentang ruh
hitam Orua yang menginginkan jiwa Coress salah satu penyihir kembar yang
terbujuk rayuan Orua. Dan jiwa Coress terselamatkan oleh saudara kembarnya sendiri
yang bernama Therice yang menjadikan tubuhnya sebagai perisai Coress
saat jiwa terkutuk Orua tengah berusaha memasuki raga Coress. Ruh hitam Orua
tidak berhasil menembus tubuh Coress yang terhalang tubuh Therice. Karena
Therice adalah seorang penyihir berjiwa ksatria yang memiliki segala kebaikan
dan ketulusan hati. Dan Therice akhirnya berhasil menyelamatkan Coress dari ruh
hitam Orua.
Calista menghembuskan napas panjang
perlahan.
Wajahnya begitu tegang begitu melihat
sorak sorai para ksatria Crystal dan prajurit cahaya yang mengelu-elukan sang
naga yang berhasil membunuh Leviathan.
Arkhataya sepertinya tidak mau membuang
waktu. Naga hitam yang mengerikan itu mengepakkan sayapnya ke udara. Matanya
garang mencari sosok seseorang yang telah menjanjikannya sebuah raga. Dan sosok yang dicarinya itu adalah Calista.
Calista menoleh kearah Ness. Ness yang
berhasil menyembuhkan Griffin tersenyum lega begitu melihat Griffin mulai berdiri dan mengepakkan
sayapnya yang terluka.
”Nessss!!!” Panggil Calista dengan nada
suara cemas.
Ness berpaling dan mendapatkan wajah
Calista yang terlihat begitu resah.
Sementara
itu Arkhataya menukik tajam kearah Calista. Sepasang cakarnya yang besar dan
tajam siap mencengkram tubuh rapuh Calista hanya dalam hitungan jari saja.
Wajah
Ness berubah pucat menyadari jika Calista berada dalam bahaya.
Dengan
cepat Ness melompat ke punggung Griffin yang baru saja ia sembuhkan sayapnya.
Tapi
terlambat.
Cakar-cakar
kokoh Arkhataya telah berhasil mencengkram tubuh Calista yang langsung menjerit
panik.
Membawa
gadis pewaris gelang Arkhataya itu terbang tinggi ke langit biru yang berkilau.
”CALISTAAAAA!!!!”
teriakan Ness terdengar pilu membahana di tengah raungan amarah Arkhataya yang begitu memekakkan telinga.
Writer : Misaini Indra
Image from : http://awoiaf.westeros.org/index.php/Dragon
Image from : http://awoiaf.westeros.org/index.php/Dragon
No comments:
Post a Comment