Pagi
ini aku terbangun dengan perasaan tak menentu. Jantungku berdebar kencang tidak
seperti biasanya. Setiap barang di ruangan kamar ini seolah menolak kusentuh
dan terlepas dari genggaman tanganku yang bergetar.
Kubasuh
wajahku dengan air dingin. Kutarik napas perlahan dan menutup kedua mataku.
Terakhir kali aku merasakan perasaan aneh seperti ini adalah ketika aku akan
kehilangan ayahku di Essendra.
Kutatap
wajah lelahku di cermin dan bernapas perlahan-lahan untuk mengurangi
keteganganku.
Aku benci meresakan hal aneh seperti ini.
“Aku
akan pergi ke pengungsian. Kau mau ikut?” tanya Brisa mengejutkanku.
Kutatap
Brisa mencoba untuk berpikir.
“Jika
kau tidak mau aku tidak akan memaksa.” Sepasang alis Brisa yang indah terangkat
mengarah padaku.
“Tentu
saja aku mau. Aku akan bersiap-siap.” Senyum datar menghias wajahku.
“Bagus.
Aku akan menunggumu di luar.” Ujar Brisa seraya melangkahkan kakinya dengan
mantap meninggalkan aku yang masih terpaku menatap wajah kuyu di depan cermin.
Selang
beberapa waktu aku dan Brisa sudah menyusuri jalan menuju pengungsian.
Sepanjang jalan tak henti-hentinya para penduduk lembah Crystal yang tinggal di
pinggiran hutan Sphronia menyapa
atau sekedar melemparkan senyum mereka padaku.
Suara terompet yang melengking tinggi
mengejutkan kami seketika. Para penduduk yang tengah berada di pondok-pondok
mereka segera keluar dengan panik dan bertanya-tanya.
Agnes Heron terlihat berlari menghampiri
kami.
”Penyihir penyihir hitam Zorca telah
memasuki perbatasan hutan Sprhonia!!”teriak Agnes berkali-kali kepada para
penduduk.
Seketika itu juga suasana menjadi panik.
Para ibu memegang tangan anak-anak mereka dan mulai berlarian mengumpulkan para
anggota keluarga masing-masing.
”Tetap tenang dan jangan panik! Kumpulkan
keluarga kalian secepatnya!” seru Cleo nyaring mencoba menenangkan.
Brisa yang datang bersama Titus terlihat
berlarian panik memberi perintah penduduk untuk segera berbaris menuju istana
Amorilla.
”Dash, Kircey!! Amankan penduduk dan bawa
mereka masuk ke dalam istana Amorilla!” teriak Brisa.
”Baik Bris!” seru Darren dan Oogie
bersamaan seraya berlari menyusuri pondokan rumah penduduk untuk mengosongkan
tempat pengungsian secepatnya.
Dengan setengah berlari para penduduk
mulai menuju gerbang istana Amorilla mencari perlindungan.
Jantungku berdetak kencang melihat
ketenangan pengungsi mulai terusik. Terlihat wajah-wajah ketakutan dan tangisan
anak-anak kecil yang tak mau meninggalkan rumah pondokan mereka.
Brisa melirik kearahku lalu berseru kepada
Cleo. ”Cleo bawa Calista masuk ke istana Amorilla,” perintah Brisa.
”Tunggu Bris. Biarkan aku membantu kalian!” seruku tertahan.
”Tidak. Terlalu berbahaya. Biar aku, Titus
dan Agnes yang akan mencoba menghalangi serangan mereka!” sahut Brisa dengan
nada penekanan.
”Kau sudah melihat kemampuan sihirku Bris.
Aku bisa membantu kalian!” cetusku kesal.
Brisa memegang kedua bahuku dan menatapku
dalam. ”Tugasmu jauh lebih penting. Aku tidak akan memaafkan diriku jika
terjadi sesuatu padamu. Kau bisa membantu kami dengan membangkitkan Arkhataya
untuk menghancurkan Leviathan Zorca. Mengerti?!”
”Tapi Bris.... ”
”Untuk sekali ini saja tutup mulutmu dan
ikuti permintaanku Cal!” seru Brisa bernada marah.
Aku hanya dapat mengangguk pada Brisa
dengan pandangan nanar.
”Cleo! Bawa Calista pergi dari sini. Lalu
cari Ness di istana Amorilla!” perintah Brisa pada Cleo.
Cleo mengangguk dan dengan cepat menyeret
tanganku. ”Ayolah Calista. Aku harus membawamu pada Ness. Ness akan mendampingimu
mengalahkan Zorca demi lembah Crystal,” bisik Cleo menunjukkan harapan besar
padaku.
Aku mengangguk lemas.
Aku dan Cleo berlarian panik
ditengah-tengah para pengungsi. Pasukan cahaya nampak berjalan beriringan
menuju arah perbatasan hutan Sprhonia untuk menguatkan pertahanan.
Shenai dan beberapa orang ksatria sihir
didikkannya terlihat membariskan penduduk yang panik untuk berjalan teratur
menuju istana Amorilla. Sementara dari arah timur Helena yang juga didampingi
beberapa ksatria sihir nampak mengawal beberapa penduduk yang berusia lanjut
menuju arah yang sama yaitu benteng Amorillla. Benteng pertahanan terakhir dan
harapan bagi para penduduk lembah Crystal yang terbuang.
Dari kejauhan kulihat Piphylia nampak
melambaikan tangan kearahku. Ditangannya terdapat sekeranjang penuh tanaman.
Dan wajah ibu Ness tersebut sama sekali tidak terlihat cemas atau ketakutan
akan keadaan disekelilingnya yang hiruk pikuk.
”Cleo! Itu Piphylia!” seruku tertahan.
”Kita harus membawanya ke tempat aman,”
ujar Cleo panik.
Aku mengangguk. Degan susah payah akhirnya
kami berhasil menghampiri Piphylia yang tegah sibuk memotong tanaman rambat
seolah tak terusik oleh arus kepanikan disepanjang jalan menuju istana.
Kuraih bahu Piphylia. ”Apa yang kau
lakukan disini, Piphylia?”
”Aku lupa memetik beberapa daun Ethor
untuk persedian ramuan obatku, nak?” sahutnya resah.
”Kau harus pergi ke tempat aman karena
para penyihir Zorca sudah mendekati Amorilla,” ucapku cemas.
”Ohh..ya aku tahu itu. Aku mendengar
beberapa orang berteriak mengingatkan kami,” sahut Piphylia datar sambil
memetik dedaunan berwarna marun.
”Apakah kau sudah dapat yang kau inginkan
nyoya Ferin?” tanya Cleo tak sabar.
”Baru sedikit kurasa...
”Tidak ada waktu lagi. Kita harus segera
berlindung ke istana. Terlalu berbahaya berkeliaran seperti ini,” tandasku.
”Aku tahu nak. Tapi daun Ethor penting
sekali untuk campuran obat bagi yang terluka bakar, sayang. Aku takut jumlahnya
tak mencukupi. Zorca dan pengikutnya memiliki sihir api yang kuat. Aku harus
memastikan memiliki daun Ethor sebanyak mungkin untuk mengobati mereka yang terluka,
nantinya.” keluh Piphylia seraya menatapku.
”Aku akan mencarinya untukmu. Berikan daun
itu padaku!” pintaku pada Piphylia.
”Tidak Cal! Biarkan aku yang pergi. Kau
memiliki tugas yang jauh lebih penting.”
cetus Cleo spontan.
”Tapi Cle..
”Aku segera kembali,” Cleo mengambil daun
Ethor dalam genggamanku dengan cepat.
”Berjanjilah kau akan segera kembali Cle!”
ucapku memastikannya.
Cleo mengangguk. ”Sekarang bawa Piphylia
ke istana. Temui Ness dan bangunkan Arkhataya. Rebut kembali lembah Crystal
supaya kita semua bisa pulang Cal,” bisik Cleo.
Tak kuasa membendung rasa haru kupeluk
Cleo dengan segenap keresahan dihatiku.
”Tenang saja. Aku pasti kembali,” kerling
Cleo membuatku semakin menitikkan airmata.
Cleo berlari menuju hutan Sprhonia dan
melawan arus para pengungsi.
Piphylia memegangi bahuku. ”Maafkan aku
nak. Aku hanya ingin membantu dengan mengumpulkan sebanyak mungkin daun Ethor
yang berada dalam hutan ini.”
Kutatap lembut wajah Piphylia. Ada rasa
bersalah bercampur bingung di kedua mata ibu kandung Ness tersebut.
”Tidak apa apa Piphylia. Sekarang kita
harus bergabung dengan para pengungsi itu menuju istana Amorilla. Kita akan
aman berada disana,” sahutku lembut.
Piphylia mengangguk riang dan memelukku
erat. Kami pun membaur dengan arus pengungsi yang tengah berjalan tergesa
menuju pintu gerbang istana Amorilla.
Pasukan cahaya nampak
berbaris disepanjang jalan dekat gerbang istana. Zordius terlihat memakai jubah perak
kebesarannya didampingi Odile dan Prechia di kiri kanannya. Mata Prechia
seketika itu tertuju padaku, ketika melihat aku dan Piphylia memasuki gerbang
istana bersama para pengungsi dari lembah Crystal yang mencari perlindungan.
Seseorang menarik
lenganku tiba tiba. Wajah cemas Titus tergambar jelas menatapku resah. “Ikuti
aku Calista,” ucapnya gusar.
Aku hanya menganggukkan kepalaku.
Aku hanya menganggukkan kepalaku.
“Tunggu Titus!” pinta Piphylia.
Aku dan Titus seketika menghentikan langkah kami. Lalu
Piphylia menghampiri dan membelai kedua pipiku dengan lembut. “Kalahkan Zorca!
Dan selamatkan kami semua nak,” ucapnya dengan sepasang mata emasnya yang
teduh, seteduh tatapan Ness kala menatapku.
Seiring kepergian Piphylia dari hadapanku dan Titus.
Wajah Titus menegang. Kembali ditatapnya aku dengan penuh rasa penasaran.
“Aku tidak dapat menemukan Ness dimanapun. Apa yang
sebenarnya kalian rencanakan?” kali ini nada suara Titus memaksaku.
Aku hanya terdiam dan memandangi Titus dengan gelisah.
“Ness seharusnya mendampingimu saat ini untuk menghadapi
leviathan Zorca. Karena kami akan sangat disibukkan oleh kaki tangan Zorca yang
sudah memasuki perbatasan hutan Sphronia!” seru Titus panik.
Sosok Ness telah berdiri diantara kami dan menatap tajam kearah Titus.
Sosok Ness telah berdiri diantara kami dan menatap tajam kearah Titus.
“Aku bukan seorang pengecut Titus. Ada sesuatu yang
harus kuurus terlebih dahulu sebelum mendampingi Calista membangunkan
Arkhataya,” nada suara Ness terdengar satir.
Titus menoleh dan mendengus kesal. “Jangan berlagak
bodoh Ness. Ada sesuatu yang kalian sembunyikan akan kebangkitan Arkhataya.
Lebih baik kalian segera menceritakan padaku sebelum terjadi hal yang akan
membahayakan kita semua.”
“Apa yang membuatmu berpikir seperti itu” tandas Ness
dengan senyum mengejek.
Titus terdiam.
Ness meraih tanganku ”Ayo Calista. Saatnya untuk pergi.” Ujar Ness dingin.
Titus terdiam.
Ness meraih tanganku ”Ayo Calista. Saatnya untuk pergi.” Ujar Ness dingin.
Kutatap Titus dengan resah. Sepertinya ia dapat
menangkap kegundahan yang kini kurasakan. Meski Titus tak dapat berbuat apa-apa
karena kerasnya kemauan Ness.
Gerbang Amorilla kini tertutup rapat. Seluruh pasukan
cahaya bersiaga disekeliling benteng Amorilla. Menunggu kedatangan Zorca dan
para pengikutnya.
Kutatap wajah wajah cemas dan sorot mata ketakutan
diantara para pengungsi dan rakyat Amorilla sendiri. Dadaku berdebar kencang.
Kulirik Ness yng berdiri disampingku dan menatap lurus-lurus ke depan untuk
melihat kedatangan musuh. Kualihkan pandangan kearah jejeran ksatria Crystal
yang tersisa. Terlihat Darren, Oggie, Agnes dan Brisa berdiri tegak dengan
wajah tegang. Kembali kususuri satu satu wajah para ksatria Crystal yang
berdiri siaga. Hatiku lemas seketika. Aku tidak menemukan wajah Cleo disana.
“Cleo masih diluar sana Ness!” seruku panik.
Ness berbalik menatapku. “Darimana kau tahu itu?”
Jantungku berdetak kencang. Napasku terasa sesak seketika. “Ketika ibumu tengah mencari daun Ethor. Ia menawarkan diri untuk mencarikan daun itu di dalam hutan Sphronia,” nada suaraku sedikit histeris.
Ness berbalik menatapku. “Darimana kau tahu itu?”
Jantungku berdetak kencang. Napasku terasa sesak seketika. “Ketika ibumu tengah mencari daun Ethor. Ia menawarkan diri untuk mencarikan daun itu di dalam hutan Sphronia,” nada suaraku sedikit histeris.
Belum sempat Ness menyahutiku. Darren terlihat berlari
menghampiri kami.
“Apakah kau melihat Cleo?! Aku telah mencarinya ke
setiap sudut istana, tapi dia tidak ada,” keluh Darren cemas seraya menatapku.
Belum sempat aku menyahut. Ness memberi isyarat pada aku
dan Darren untuk menatap lurus ke depan dari atas benteng kokoh kerajaan
Amorilla ini.
Cleo terlihat berjalan susah payah, berusaha menuju pintu gerbang istana Amorilla yang telah tertutup rapat.
“Ada seseorang diluar sana!!!” seru seorang prajurit cahaya Amorilla yang berjaga di sisi kiri benteng.
“Itu Cleo!” seruku lega.
Cleo terlihat berjalan susah payah, berusaha menuju pintu gerbang istana Amorilla yang telah tertutup rapat.
“Ada seseorang diluar sana!!!” seru seorang prajurit cahaya Amorilla yang berjaga di sisi kiri benteng.
“Itu Cleo!” seruku lega.
“Buka gerbangnya. Dia salah satu ksatria lembah
Crystal!!” Perintah Prechia keras.
“Tidak!! Teriak Zordius lantang.
Prajurit cahaya segera berhenti begitu mendengar raja
mereka melarang permintaan Prechia.
Prechia dan para ksatria lembah Crystal menatap Zordius
dengan kebingungan.
“Tapi dia salah satu ksatria lembah Crystal!” teriak
Darren panik.
“Diam! Jangan menentang perintah yang mulia raja
Zordius!” hardik Odile kasar dengan wajah garang pada Darren.
Darren terlihat
menahan marah dengan wajah tegang.
Prechia menunduk hormat pada Zordius dan Odile. “Maafkan
ucapan ksatriaku yang lancang ini yang mulia Zordius. Tapi bisakah kau
memberikan alasan pada kami, mengapa kau tidak mengijinkan prajuritmu untuk
membuka gerbang Amorilla,” ucap Prechia sedikit tegang.
Zordius menatap Prechia dalam. “Aku tak ingin bersikap
kejam tapi aku dapat melihat dari sini bahwa itu sebuah jebakan. Pengikut Zorca
telah bersiap dibalik kegelapan hutan Sphronia untuk menembus benteng Amorilla
yang telah kumantrai ini.“
Jauh disana Cleo terlihat payah dan berusaha berjalan
dengan wajah tegar menuju pintu gerbang Amorilla. Sebelum akhirnya tertelungkup
jatuh tak kuat menahan sakit.
Kupalingkan wajah menahan kesedihan bercampur kemarahan.
Kupalingkan wajah menahan kesedihan bercampur kemarahan.
“Gadis itu sekarat. Tidak ada yang dapat kita lakukan
untuk menolongnya,’ desah Zordius menatap lurus-lurus kearah Cleo diwajah
kakunya yang begitu dingin. Zordius seolah tak perduli akan nasib Cleo yang
terbaring lemah jauh disana.
Darren berteriak marah dan Ness terlihat berusaha
menenangkan sahabatnya itu dengan memegangi bahunya sekuat tenaga.
“Kau tak pantas menjadi raja. Kau tak memiliki hati
nurani seputih Orion yang selalu melindungi kami!” teriak Darren menggila.
“Sebaiknya kau tenang sedikit atau Zordius akan
melemparmu keluar menemani kekasihmu itu!” bisik Ness tertahan di telinga
Darren.
“Aku tidak perduli Ness!!” teriak Darren kesal.
Odile bergerak maju kearah Ness dan Darren berdiri.
Odile bergerak maju kearah Ness dan Darren berdiri.
“Tangkap dan jebloskan dia dalam penjara atas
penghinaannya terhadap yang mulia Zordius!” perintah Odile marah seraya
mengangkat tangan kanannya memberikan isyarat pada dua orang prajurit cahaya
yang dengan cepat berlari kearah Darren yang tengah dipegangi oleh Ness.
“Aku yakin ini suatu kesalah fahaman, wahai sahabatku
Odile. Kami membutuhkan tuan Dash untuk bertempur bersama kami disini!” seru
Prechia mencoba membela Darren dengan berdiri menghalangi.
“Kalian harus menjebloskan kami semua ke dalam penjara
jika kalian berusaha menangkap tuan Dash!” teriak lantang Shenai dengan Helena
yang berdiri tegang disampingnya.
Shenai dan Helena pun berdiri diantara Prechia yang
tengah menghalangi prajurit cahaya yang hendak menangkap Darren.
Dengan cepat barisan ksatria Crystal mulai berkumpul
membentuk sebuah pertahanan. Memasang wajah waspada dengan tangan terkepal.
Wajah Zordius dan Odile terlihat berubah tegang. Mereka tidak menyangka jika
para ksatria Crystal terlihat mengambil sikap untuk melindungi pemimpin dan
teman mereka.
Beberapa prajurit cahaya mulai berhamburan dan
berhadapan dengan para ksatria Crystal. Raut wajah-wajah penuh ketegangan kini
terlihat jelas di masing-masing kubu.
Titus,
Brisa, Agnes bahkan Oogie terlihat mengepalkan tangan masing-masing.
Bersiap-siap untuk membalas serangan jika memang diperlukan.
“Apa yang ingin anda perintahkan pada kami Prechia!
Sebutkan!” teriak Shenai kalap meminta keputusan pada Prechia.
Wajah Prechia yang tenang terlihat tegang menatap lurus
pada Zordius yang membeku. Odile membisikkan sesuatu di telinga Zordius.
Zordius menarik napas panjang dan mendongakkan
kepalanya. “Akankah semua berakhir seperti ini Prechia? Inikah yang kau
inginkan? Hanya demi sebuah nyawa?” ucap Zordius puitis.
“Mungkin bagimu itu
hanya sebuah nyawa yang tidak berarti. Tapi bagi kami gadis itu adalah
keluarga. Aku lebih baik mati menolong para ksatriaku daripada harus berlindung
dibawah pemimpin yang tidak memiliki hati,” ucap Prechia menyorot tajam kearah
Zordius.
Napasku memburu menyaksikan ketegangan ini
Napasku memburu menyaksikan ketegangan ini
Zordius tersenyum
dingin. “Akan selalu ada yang dikorbankan dalam sebuah peperangan Prechia.
“Tidak dalam peperangan yang kupimpin Zordius!” cetus Prechia dengan nada tinggi.
“Tidak dalam peperangan yang kupimpin Zordius!” cetus Prechia dengan nada tinggi.
Kini Zordius melirik jauh kearah Cleo yang terlihat
berusaha bangkit untuk mencapai gerbang Amorilla. “Sayangnya gadis itu menjadi
salah satu korban pertempuran ini. Dan aku tidak akan mengambil resiko yang
membahayakan penduduk negri ini hanya untuk membuka pintu untuknya. Kalian
datang meminta perlindungan padaku. Maka kalian harus menuruti perintahku.
Kecuali atas keinginan kalian sendiri keluar dari benteng ini. Maka aku tidak
akan menghalangi kalian,” tandas Zordius tajam.
Semua terdiam.
Kutarik napas panjang seraya menatap Zordius tegang.
Kutarik napas panjang seraya menatap Zordius tegang.
“Jika itu perintahmu yang mulia. Maka biarkan aku yang
menjemputnya!” seruku seraya berlari
cepat kearah benteng sambil merapalkan mantra dizzante dan mengacungkan kedua tanganku pada tubuhku sendiri.
Dengan cepat asap hitam yang keluar dari jemariku
menggulung tubuh rapuhku ke udara. Dan dengan kesadaran penuh kulontarkan
tubuhku sendiri keluar dari benteng Amorilla yang cukup tinggi.
Terdengar teriakan Prechia memanggil namaku diiringi
seruan-seruan terkejut para ksatria Crystal lainnya.
Tubuhku yang masih tergulung asap hitam terlontar keluar
dan aku pun jatuh dengan kedua kaki terjejak rapih ditanah. Aku berhasil
menggunakan mantra ajaran Tristan dengan sempurna.
“Calistaaaaaa!!”
Teriakan Ness terdengar keras dari atas benteng.
Kulirik Ness dengan dingin. Wajah tampan Ness terlihat resah.
Kulirik Ness dengan dingin. Wajah tampan Ness terlihat resah.
Dengan cepat aku berlari menghampiri Cleo yang tertelungkup
cukup jauh dihadapanku.
Aku tak perduli apa kata Zordius dan yang lainnya. Aku
hanya merasa memiliki andil atas kesalahan yang kubuat dengan membiarkan Cleo
kembali ke hutan itu hanya demi sebuah daun. Dan aku harus menebusnya dengan
menjemput Cleo tanpa memperdulikan keselamatanku sendiri.
Aku kembali berlari sekuat tenaga untuk mengejar waktu.
Sebelum para pengikut Zorca keluar dari tempat persembunyian mereka dan
menyergapku.
Kuraih tubuh Cleo yang tertelungkup ditanah. Aku coba
membalikkan tubuhnya perlahan-lahan. “Bangun Cleo. Banguuuunnn!!” seruku
tertahan mencoba mengangkat tubuh Cleo sekuat tenaga.
Beberapa pasang wajah mulai bermunculan dari balik
jejeran cemara.
Kubelai wajah Cleo yang penuh goresan luka. Sepasang
mata birunya yang gelap terlihat lelah menatapku. “Calista..” desahnya susah payah.
“Aku akan membawamu ke tempat aman,” isakku pelan tak
sanggup melihat keadaannya yang cukup parah.
Aku dapat melihat luka bakar disekujur tubuhnya.
Sepertinya Cleo sempat mengalami siksaan dari para pengikut Zorca.
“Kau ..datang… untukku..,” napas Cleo terdengar payah.
“Aku datang untukmu. Aku datang untukmu sahabatku,” desahku diantara tangis.
“Kau ..datang… untukku..,” napas Cleo terdengar payah.
“Aku datang untukmu. Aku datang untukmu sahabatku,” desahku diantara tangis.
Kini sosok-sosok berjubah hitam mulai bermunculan dan
berjalan menuju kearahku dan Cleo. Aku mencoba berdiri sambil memapah tubuh
Cleo dengan segenap kekuatanku.
Sebuah sentuhan dibahu membuatku terkejut setengah mati
dan hampir saja menjatuhkan tubuh Cleo
kembali ke tanah.
Kulihat sepasang mata emas kecoklatan menatapku lembut.
Kulihat sepasang mata emas kecoklatan menatapku lembut.
“Biarkan aku membantumu,” suaraNess terdengar
menenangkan rasa takutku.
Darren terlihat berlari menghampiri kami bersama Brisa
dan Titus.
“Berikan dia padaku Ness!” isak Darren kasar seraya
meraih tubuh Cleo dan menggendongnya.
“Darren…Kaukah itu?” suara Cleo melemah.
“Ya aku disini. Aku disini untukmu…Kau aman bersama ku
Cleo..” suara Darren terdengar pilu berusaha menenangkan kekasihnya itu.
Tak kuasa menahan pemandangan di depanku. Kembali
airmataku tak terbendung.
“Kita harus membawanya kembali ke benteng. Piphylia akan
menyembuhkannya. Bawa Cleo pergi dari sini Darr!” teriakku resah.
Darren mengangguk lemah. “Trimakasih Cal, kau memang ksatria yang hebat.”
Aku hanya terisak tak tahu harus mengucapkan kata-kata apapun.
“Kita harus kembali. Mereka mulai mendekat!” seru Brisa tegang.
Benar saja. Sepuluh orang berjubah hitam nampak berlarian keluar dari jejeran cemara. Tangan mereka terlihat mengepal dan bersiap-siap untuk menyarangkan serangan. Salah satu dari mereka terlihat membuka tudung kepalanya dan terseyum licik kearah kami. Laki laki berjubah hitam itu adalah Roven Lefre. Penyihir sombong yang hampir saja membunuhku.
Darren mengangguk lemah. “Trimakasih Cal, kau memang ksatria yang hebat.”
Aku hanya terisak tak tahu harus mengucapkan kata-kata apapun.
“Kita harus kembali. Mereka mulai mendekat!” seru Brisa tegang.
Benar saja. Sepuluh orang berjubah hitam nampak berlarian keluar dari jejeran cemara. Tangan mereka terlihat mengepal dan bersiap-siap untuk menyarangkan serangan. Salah satu dari mereka terlihat membuka tudung kepalanya dan terseyum licik kearah kami. Laki laki berjubah hitam itu adalah Roven Lefre. Penyihir sombong yang hampir saja membunuhku.
Wajah Roven menyeringai kejam begitu melihatku.
“Ness bantu aku menahan mereka selama mungkin! Brisa
bawa mereka kembali ke benteng Amorilla secepatnya. Kami akan menyusul!”
perintah Titus tegang seraya melirik kearah Ness yang hanya menganggukkan
kepala pada Titus.
“Bodoh!! Kami tidak akan membiarkan kalian kembali ke
benteng Zordius dengan mudah!” teriak Roven seraya melayangkan serangan sihir
angin kearah Titus yang langsung terpental keras sepuluh langkah dan
tertelungkup ke tanah.
“Kembali ke benteng!! Larilah secepat mungkin!” teriak
Brisa pada aku dan Darren yang menggendong Cleo dengan susah payah.
Sementara itu Ness menyarangkan serangan jarak jauh dan
membuat seorang penyihir hitam Zorca terpental saat hendak mengarahkan serangan
pada Brisa.
Sementara Titus mencoba bangkit dengan susah payah. Kulirik penyihir-penyihir hitam itu dengan geram. Dan berbalik untuk melontarkan sihir apiku pada mereka.
Sementara Titus mencoba bangkit dengan susah payah. Kulirik penyihir-penyihir hitam itu dengan geram. Dan berbalik untuk melontarkan sihir apiku pada mereka.
“Dengan segala kekuatan cahaya bumi. Bakar
dan hanguskan keinginanku!!! Raungku seraya melontarkan bola cahaya
kebiruan di telapak tanganku ini, kearah tiga orang pengikut Zorca yang
langsung mati seketika karena tersambar api sihirku yang berwarna biru terang
dan berkekuatan besar.
Mereka
begitu terkejut melihat serangan sihir apiku yang berbeda.
Roven
menatapku kesal dan sedikit terkejut. Ia tidak mengira jika aku ternyata dapat
melontarkan sihir api sebagai serangan balasan.
“Dariman
kau mempelajari sihir api peri itu hahh?! Brisa terlihat shock dan penasaran.
Tak
kuperdulikan pertanyaan Brisa dan hanya berkonsetrasi pada musuh kami yang
semakin banyak bermunculan.
“Bakar
dan hanguskan keinginanku!!! teriakku lantang seraya kembali menyarangkan
sihir apiku pada dua orang penyihir Zorca yang berlari kencang kearahku.
Salah
satu dari mereka berhasil menghindar sementara yang satunya langsung menjerit
kesakitan dan terjatuh ketanah.
“Pergi
dari sini Calista!!” Brisa menarik lenganku dengan kesal.
Aku,
Brisa dan Darren terus berlari menuju gerbang Amorilla.
Pintu
gerbang sudah dekat. Kedua mataku mencari-cari sosok Titus dan Ness.
Dari
jarak pandangku terlihat Ness dan Titus kewalahan akan serbuan para penyihir
Zorca.
“Aku
harus menolong Titus dan Ness, Bris!” teriakku seraya berbalik kembali menuju
pertempuran.
“Apa
kau sudah gilaa hah?! teriak Brisa marah.
Aku
tak perduli dan berbalik arah kembali ke tempat Ness dan Titus yang tengah
bertempur. Sementara Brisa yang menemani Darren yang tengah menggendong Cleo
hanya pasrah dan kembali berlari menuju benteng Amorilla.
Kulihat
pertempuran terlihat sengit antara Titus, Ness dengan Rufus Black dan Herzog yang
bertubi-tubi melontarkan sihir api mereka yang tertuju pada Titus dan Ness.
“Bakar dan hanguskan keinginanku!!!
teriakku marah tertuju pada Rufus yang nampak terkejut mendapatkan serangan
sihir apiku.
Rufus
menahan seranganku dengan berlindung dibalik cemara yang seketika itu juga
terbakar dahannya.
Titus
menatapku tegang. “Darimana kau belajar sihir api para peri itu!!” tanya Titus
seraya melayangkan serangan sihir angin keberbagai arah. Seorang penyihir hitam
Zorca berteriak ketakutan dan terhempas ke tanah.
“Ness
yang mengajariku!” sahutku seraya menghalau penyihir Zorca yang hampir melukai
Ness dari sisi kiri.
Ness
mengangguk padaku sebagai ucapan rasa terimakasih.
“Bagaimana
menurutmu Titus? Karena aku mulai menyukai sihir api ini!” seruku tertahan.
Bibir
Titus berkerucut. “Kau cukup hebat nak! Sihir api birumu itu cukup
mengesankanku!” serunya Titus bernada pujian dengan kening berkerut lalu
meneriakkan mantra angin dan melontarkan sebatang pinus tua yang teronggok
ditanah kearah salah satu penyihir Zorca yang langsung roboh tak sadarkan diri.
Kulirik
kebelakang dan melihat punggung kekar Darren yang tengah menggendong kekasihnya
itu menghilang ke dalam bentenag Amorilla.
“Mereka
telah berhasil masuk!” teriakkku lantang pada Titus dan Ness.
“Bagus!”
balas Ness seraya menarik tanganku dan berlari menjauhi arena pertempuran
diikuti langkah Titus dibelakang kami.
Kulirik
Ness yang masih memegang tanganku kuat-kuat.
Kucoba
melepaskan genggaman tangannya perlahan, namun Ness malah mengencangkan
pegangannya dan melirikku dingin.
Jangan keras kepala. Aku hanya ingin
melindungimu Calista. Suara lembut Ness yang penuh ketegasan bermain-main
di benakku.
Aku tidak membutuhkan perlindunganmu.
Sahutku tajam mencoba membalasnya.
Wajah
Ness mengeras. Meski kami berkomunikasi dengan suara batin tapi aku dapat
merasakan kekesalan Ness padaku.
Sebuah
serangan terlontar kearah kami. Roven mengarahkan sihir anginnya hingga membuat
aku, Ness dan Titus terlempar ke tanah.
Meski
terasa nyeri diseluruh tubuh setidaknya aku berterimakasih pada Roven karena
telah membuat genggaman tangan Ness terlepas dari jemariku.
“Calista,
kau tidak apa-apa?” Ness terlihat cemas dan meraih lenganku.
Aku
mengangguk sambil berusaha bangkit dari tempatku terjatuh.
Dahiku
tergores batu dan terasa perih. Ness mengusapnya pelan dan menatapku resah.
“Ness,
bawa Calista pergi dari sini. Aku akan menghalau serangan mereka.” perintah
Titus.
“Tidak
Titus!” gelengku kuat.
“Pergiii
sekarang Ness!! perintah Titus kesal.
Dengan
cepat Ness menarik tanganku dan mengajakku berlari.
Napasku
memburu kulirik Titus dengan resah. “Kita tidak seharusnya meninggalkan Titus,
Ness!” teriakku marah.
“Lihat
keatas!” seru Ness.
Kudongakkan
kepalaku mengikuti kemauan Ness.
Prechia
duduk diatas Pegasus yang melayang di udara. Prechia terlihat merapalkan mantra
seraya mengacungkan tongkat Crystal yang mengeluarkan sinar menyilaukan kearah
pengikut Zorca yang terlihat menutupi mata mereka.
Titus
dengan cepat melompat ke punggung Pegasus dan duduk dibelakang Prechia. Pegasus
terbang dengan sangat cepat menuju gerbang Amorilla. Seiring dengan terbukanya pintu gerbang
Amorilla. Aku dan Ness juga telah sampai dan langsung berlari masuk ke dalam.
Kuatur
napas dengan penuh rasa lega.
Kami
semua selamat.
Pengikut
Zorca yang nyaris mengejar aku dan Ness langsung terlempar keras ke tanah
begitu tubuh mereka menyentuh sisi luar gerbang Amorilla yang telah terlindung
mantra Zordius.
Mereka
meraung kesakitan. Roven terlihat marah dan berteriak-teriak memerintahkan
mereka untuk terus maju menembus benteng Amorilla tanpa ampun.
Kulirik
Prechia dan Titus turun dari Pegasus dengan bernapas lega.
Tapi
pertempuran ini belum usai.
Karena
teriakan para pengikut Zorca masih terdengar membahana berusaha menembus
bentang Amorilla. Raungan kemarahan mereka sedikit meruntuhkan ketegaran kami
yang berada di dalam benteng ini.
Brisa
berlari kearahku. Brisa memelukku erat dan nyaris menangis.
“Aku
bangga padamu Cal!” ucapnya seraya memegang wajahku dengan kedua tangannya.
Aku
hanya mengangguk haru.
Quilla
berlari kencang dan menghampiriku. “PENYIHIR SIAL!!” maki Quilla penuh amarah.
“Berani sekali kau membahayakan keselamatan Ness demi aksi kepahlawanan
konyolmu itu!” hardik Quilla lagi dengan kasar.
“Hentikan
Quilla. Kau tidak berhak menyalahkan Calista!” seru Ness marah.
“Kau
tidak akan pernah mengerti arti dari ikatan persaudaraan para ksatria lembah
Crystal yang sesungguhnya!” sahut Brisa tak kalah keras berusaha membelaku.
“Aku
akan membunuhmu jika kau mengucapkan sepatah kata lagi padaku, penyihir!” ancam
Quilla pada Brisa.
“CUKUP QUILLA!!” Seru Zordius bergema marah.
Semua terdiam seketika begitu mendengar seruan Zordius.
Zordius menghampiri aku yang hanya menatap lurus-lurus kearahnya.
“Maafkan perlakuan putriku padamu selama ini,” ucap Zordius sopan.
Quilla meradang dan berteriak kesal. “Ayah!! Mengapa harus merendahkan diri pada penyihir sial itu. Dia tidak sederajat dengan kita!!” protes Quilla marah
Sebuah tamparan keras mendarat di pipi Quilla yang langsung shock mendapat perlakuan seperti itu dari sang ayah di depan seluruh mata yang menyaksikan.
Quilla terisak dan berlari kencang menyembunyikan rasa malu. Ratu Orelia hanya dapat memandang cemas kearah Zordius dan menyusul Quilla ke dalam istana.
Dengan wajah tenang Zordius kembali mengarahkan pandangannya padaku. Kutatap mata Zordius tanpa merasa takut lagi.
“Aku melihatmu bertempur dari sini. Kau memang cucu seorang penyihir hebat seperti kakekmu Ghorfinus. Hanya penyihir hebat yang dapat mengubah sihir api bangsa kami menjadi senjata yang sangat mematikan.. Sebaiknya pergunakan dengan bijak karena aku tak ingin kau menodai kesuciannya. Kami menggunakannya hanya untuk kebaikan. Bukan seperti sihir api Zorca yang membawa kematian.” ucap Zordius lembut.
“Aku terpaksa mempergunakannya untuk melawan pengikut Zorca. Setidaknya itu yang bisa kulakukan untuk menyelamatkan kami,” ucapku seraya mengangguk hormat.
Zordius menatapku. “Kau melakukannya untuk membela sebuah jiwa. Ketulusan hatimu benar-benar membuatku kagum.”
Kuanggukkan kepalaku sebagai tanda penghormatanku pada Zordius.
Zordius balas mengangguk lalu berjalan meninggalkan benteng dan memasuki istana.
Sementara para pengikut Zorca berusaha keras menembus mantra yang dibuat Zordius disekeliling benteng Amorila ini. Sayangnya setiap mereka mempergunakan sihir mereka untuk menembus benteng ini. Sihir mereka menjadi bumerang yang kembali menyerang mereka. Bahkan diantara mereka ada yang mati terkena sihir mereka sendiri yang terlontar kembali pada mereka setiap mereka melontarkan sihir ke benteng Amorilla.
Semua terdiam seketika begitu mendengar seruan Zordius.
Zordius menghampiri aku yang hanya menatap lurus-lurus kearahnya.
“Maafkan perlakuan putriku padamu selama ini,” ucap Zordius sopan.
Quilla meradang dan berteriak kesal. “Ayah!! Mengapa harus merendahkan diri pada penyihir sial itu. Dia tidak sederajat dengan kita!!” protes Quilla marah
Sebuah tamparan keras mendarat di pipi Quilla yang langsung shock mendapat perlakuan seperti itu dari sang ayah di depan seluruh mata yang menyaksikan.
Quilla terisak dan berlari kencang menyembunyikan rasa malu. Ratu Orelia hanya dapat memandang cemas kearah Zordius dan menyusul Quilla ke dalam istana.
Dengan wajah tenang Zordius kembali mengarahkan pandangannya padaku. Kutatap mata Zordius tanpa merasa takut lagi.
“Aku melihatmu bertempur dari sini. Kau memang cucu seorang penyihir hebat seperti kakekmu Ghorfinus. Hanya penyihir hebat yang dapat mengubah sihir api bangsa kami menjadi senjata yang sangat mematikan.. Sebaiknya pergunakan dengan bijak karena aku tak ingin kau menodai kesuciannya. Kami menggunakannya hanya untuk kebaikan. Bukan seperti sihir api Zorca yang membawa kematian.” ucap Zordius lembut.
“Aku terpaksa mempergunakannya untuk melawan pengikut Zorca. Setidaknya itu yang bisa kulakukan untuk menyelamatkan kami,” ucapku seraya mengangguk hormat.
Zordius menatapku. “Kau melakukannya untuk membela sebuah jiwa. Ketulusan hatimu benar-benar membuatku kagum.”
Kuanggukkan kepalaku sebagai tanda penghormatanku pada Zordius.
Zordius balas mengangguk lalu berjalan meninggalkan benteng dan memasuki istana.
Sementara para pengikut Zorca berusaha keras menembus mantra yang dibuat Zordius disekeliling benteng Amorila ini. Sayangnya setiap mereka mempergunakan sihir mereka untuk menembus benteng ini. Sihir mereka menjadi bumerang yang kembali menyerang mereka. Bahkan diantara mereka ada yang mati terkena sihir mereka sendiri yang terlontar kembali pada mereka setiap mereka melontarkan sihir ke benteng Amorilla.
Kualihkan
pandangan jauh ke depan. Penyihir kesayangan Zorca, Rufus Black mulai terlihat
kesal dan berteriak marah dengan melampiaskan kekesalannya pada Herzog Mandal.
Sementara itu Chaides terlihat santai
duduk beristirahat diatas sebatang pohon besar dan terlihat tak begitu perduli
dengan kejadian yang tengah berlangsung di hadapannya.
Siang
itu serangan pengikut Zorca berhenti. Dibalik benteng Amorilla tak terlihat
satu pun penyihir Zorca yang tadi pagi menyerang. Sepertinya mereka telah pergi
untuk menyusun strategi baru.
Writer : Misaini Indra
Image from : http://davidrapozaart.deviantart.com/art/Real-Mean-Witch-Battle-150732499
Image from : http://davidrapozaart.deviantart.com/art/Real-Mean-Witch-Battle-150732499
No comments:
Post a Comment