Protected by Copyscape Plagiarism Scanner

Tuesday, 29 October 2013

PART II : CALISTA KAZ “BANGKITNYA SANG NAGA” (Chapter 9)



  

9. RITUAL

Kulirik Brisa yang mendengkur halus. Dengan langkah perlahan seraya meraih jaket dan sepatu boots, aku menutup pintu kamar. Kukenakan boots dan jaket dengan cepat dan membiarkan rambut panjangku yang mulai tak terurus tergerai berantakan.


Setengah berlari aku menyeberangi taman kecil disamping istana dengan tergesa gesa. Semuanya kulakukan karena aku tak ingin melihat wajah konyol Kircey muncul terlebih dahulu di pintu kamar ku pagi ini.
Dengan sedikit mengendap endap aku menyusuri bagian barat lorong istana Amorilla. Sinar matahari belum sepenuhnya muncul tapi kesibukan para pelayan istana mulai terlihat.
“Ada yang bisa kami bantu nona?” tegur sopan seorang laki laki berparas menawan dengan wajah kaku. Sementara kedua tangannya terlihat memegang nampan minuman dengan cangkir cangkir perak diatas permukaannya.
“Tahukah kau dimana kamar Master Titus?” tanyaku sedikit gugup.
“Kamar kamar tamu para ksatria dari lembah Crystal berada di lorong unicorn. Berjalanlah lurus ke depan lalu berbelok kah ke kanan, setelah kau melihat patung unicorn kecil kau akan melihat kamar yang kumaksud tadi.”  Sahut datar pelayan istana sambil berjalan meninggalkanku.
Tanpa membuang waktu aku segera melangkahkan kaki. Setelah melewati patung unicorn kecil, lambang kebanggaan kerajaan Amorilla ini, terlihat jejeran pintu pintu kamar bercat coklat marun masih tertutup rapat. Pemandangan disepanjang pintu kamar begitu menyejukkan mata dengan adanya jejeran cemara berembun yang berada tiga puluh langkah dari masing masing pintunya yang memudahkanku untuk bersembunyi.
Kutarik napas panjang. Bagaimana caranya aku menemukan kamar Titus. Aku tak mungkin mengetuk semua pintu kamar satu persatu. Saat ini aku merasa sangat bodoh karena datang tanpa rencana.
Salah satu pintu kamar deretan ketiga dari tempatku berdiri tiba tiba terbuka perlahan. Dengan panik aku kembali berlindung dibalik cemara tempatku bersembunyi. Kuatur napas dan mengintip sosok yang keluar dari pintu kamar tersebut.
Aku nyaris teriak kegirangan begitu melihat muka kuyu Titus yang keluar dari kamar tersebut. Kali ini aku benar benar beruntung.
Aku segera keluar dari tempat persembunyian. Titus terlihat sedikit terkejut akan kehadiranku. Dahinya nampak berkerut menatapku.
“Calista?! Apa yang kau lakukan disitu?” tanyanya agak heran.
Aku tersenyum samar. “Hanya kebetulan lewat untuk menyapamu.” Lalu kuhampiri Titus. “Bagaimana kabarmu Titus?”
Titus memiringkan kepalanya dan kembali menatapku dengan dahi berkerut.
“Seperti yang kau lihat aku baik baik saja. Dan kau? Apa ada masalah?” Tanya Titus penasaran.
Kutarik napas pelan dan duduk di bangku kayu yang terletak diantara jejeran cemara. “Sedikit….”sahutku enggan.
Kini Titus duduk disampingku. “Mungkin aku bisa membantumu?” tawarnya sedikit ragu.
Kutegakkan posisi dudukku lalu menatap Titus yang duduk disampingku dengan rasa penasaran. “Apakah kau tahu cara mengalahkan jiwa yang terkutuk?” desahku pelan.
Titus terdiam sesaat. Kemudian ia memiringkan kepalanya seolah tengah berpikir.
“Kau tahu Calista. Jiwa jiwa yang terkutuk seperti Zorca tidak akan hidup selamanya. Penyihir hanya seorang manusia biasa. Kami dapat mati kapan saja.” Ujar Titus datar.
“Bahkan jiwa yang bersemayam di raga lain,” kejarku meminta penjelasan lebih.
“Yahh..bahkan jiwa yang bersemayam di raga lain,” sahut Titus seraya melirikku.
“Tapi bagaimana cara mengalahkan jiwa jiwa tersebut. Maksudku mereka sangat kuat dan kejam karena kekuatan ruh jahat yang membantu mereka?” tanyaku sedikit putus asa.
Titus menghela napas panjang. “Kuberitahu kau sesuatu.” Gumamnya. Lalu ia melirikku sekilas kemudian meluruskan pandangan ke depan. “Ada sebuah dongeng tua di lembah Crystal yang cukup terkenal. Kurasa kau belum pernah mendengarnya tapi aku akan menceritakannya sedikit padamu.” Senyum tipis menghias wajah kuyu Titus.
Kutatap Titus dengan antusias.
“Dahulu kala hidup penyihir kembar bernama Coress dan Therice. Meski mereka terlahir kembar namun sifat mereka sangat berlawanan. Coress begitu penuh semangat dan sangat periang. Sementara Therice sangat pendiam dan lembut. Bahkan kekuatan sihir mereka pun tak sama, Therice memiliki kekuatan dan kecerdasan diatas Coress. Hal ini membuat Coress menjadi sangat iri.” Titus menghela napas perlahan.
“Penduduk desa begitu mengelukan Therice yang ringan tangan dan membantu mereka dengan segala kebaikan sihirnya. Hal ini membuat kedengkian Coress mencapai puncaknya. Hingga akhirnya Coress pergi meninggalkan desa dan menyendiri di pegunungan. Sayangnya, pegunungan tempat Coress tinggal dikuasai ruh jahat penunggu hutan. Penduduk desa menyebutnya ruh hitam Orua.”
Kutatap Titus dengan penuh perhatian.
“Ruh hitam Orua sering mendatangi Coress dalam mimpi mimpinya. Membujuk Coress untuk menerima kekuatannya serta membisiki Coress untuk menentang saudara kembarnya sendiri, Therice. Meski waktu itu Therice tengah mencari Coress dengan penuh kekhawatiran di lebatnya hutan tempat Coress mengasingkan diri.”
“Lalu apa yang terjadi?” tanyaku penasaran.
“Coress yang dengki terbujuk rayuan ruh hitam Orua. Dan dengan liciknya Orua meminta imbalan berupa sebuah raga. Raga sebagai tempat persemayamannya yang baru. Awalnya Coress ragu. Tapi karena rasa dengkinya yang begitu kuat terhadap Therice. Coress membuat perjanjian dengan ruh hitam Orua. Yaitu sihir hitam Orua dengan tubuhnya sebagai pengisi jiwa terkutuk Orua di dalamnya, nanti.”
Tubuhku bergetar. Dongeng Titus mirip sekali dengan situasi yang tengah kuhadapi dengan Arkhataya. Untuk sesaat Titus memperhatikan gerak tubuhku.
“Kau baik baik saja? Apa aku terlalu cepat bercerita?” Tanya Titus bingung.
Kugelengkan kepala seraya tersenyum kaku. “Teruskan Titus. Aku sangat ingin mendengar dongeng ini sampai selesai.”
“Baiklah!” Titus menarik napas perlahan. “Setelah pencarian berhari hari, akhirnya Therice menemukan Coress di dalam hutan. Dengan rasa haru ia memeluk saudara kembarnya itu dan mengajaknya pulang ke desa. Sayangnya Coress yang telah termakan bujukan Orua malah menyerang Therice dengan sihir hitam pemberian Orua dan membuat Therice terluka parah. Untuk sesaat begitu mengira saudara kembarnya telah mati. Coress pun turun ke desa dan berniat membalaskan sakit hatinya pada penduduk desa yang menurutnya tidak menghargai dirinya selama ini.”
Wajah tirus Titus menatap lurus ke depan.
“Hampir separuh desa hangus terbakar sihir Coress. Coress tertawa puas diatas isak tangis penduduk yang kehilangan keluarga dan rumah rumah mereka. Dan jiwa terkutuk Orua pun tanpa membuang waktu menagih janji yang telah disepakati bersama Coress. Ruh hitam Orua menagih raga Coress bagi jiwa terkutuknya yang tersesat. Coress mulai ketakutan dan menolak perjanjian itu. Lalu berusaha melarikan diri dari kemurkaan Orua. Disaat kritis, dimana Orua hampir berhasil menguasai raga Coress. Therice datang untuk menyelamatkan saudara kembarnya itu. Dengan susah payah dan kondisi tubuh yang terluka parah. Therice berusaha menyelamatkan Coress dari cengkraman Orua. Rasa sayangnya yang begitu besar kepada Coress membuat Therice seketika memiliki pertahanan sihir yang luar biasa.” Titus mengatur napas nya sebentar.
“Lalu apa yang terjadi Titus?” tanyaku tak sabar.
“Therice menjadikan tubuhnya sebagai perisai Coress saat jiwa terkutuk Orua tengah berusaha memasuki raga Coress. Ruh hitam Orua tidak berhasil menembus tubuh Coress yang terhalang tubuh Therice. Karena Therice adalah seorang penyihir berjiwa ksatria yang memiliki segala kebaikan dan ketulusan hati. Dan Therice akhirnya berhasil menyelamatkan Coress dari ruh hitam Orua.” Senyum mengembang di wajah Titus.
“Ruh hitam Orua? Kemana perginya jiwa terkutuk itu? Apakah dia mengalami kematian?” kejarku dengan napas memburu.
Mata Titus menyipit. Ada sedikit kecurigaan dari raut wajahnya ketika menatapku. Kucoba untuk bersikap wajar namun aku benar benar tidak bisa mengendalikan rasa ingin tahuku.
Aku benar benar berharap dongeng Titus ini sebagai jalan keluar dari permasalahan Arkhataya.
Titus menghembuskan napasnya seraya menggeleng pelan. “Entahlah. Mungkin kembali ke hutan di pegunungan tempatnya bersemayam. Atau bisa saja jiwa terkutuknya itu mati. Apapun itu, tidak ada yang tahu kemana perginya ruh hitam Orua.”  
Kuhempaskan tubuhku kesandaran kursi kayu dengan kesal. “Aku tidak menyukai dongengmu itu.”
“Mengapa tidak? Bukankah semua berakhir dengan bahagia?” ujar Titus balik bertanya.
“Menurutku tidak! Bagaimana jika ruh hitam Orua kembali datang dan menuntut raga Coress? Apakah menurutmu semuanya akan berakhir bahagia lagi bagi Coress dan Therice?!” Seruku marah.
Wajah Titus terlihat serius menatapku dan dahinya sedikit mengernyit. “Itu hanya sebuah dongeng Calista. Mengapa kau begitu kesal mendengarnya?”.
Kuhembuskan napas pelan. “Maaf, aku tidak bermaksud meneriakimu seperti itu.”
“Kau tahu, hal terpenting yang dapat kita pelajari dari dongeng tua lembah Crystal itu adalah tidak ada kekuatan selain ketulusan hati lah yang akan mengalahkan segala keserakahan dari jiwa kelam yang tersesat.” Nada suara Titus terdengar penuh penekanan.
“Semudah itukah Titus. Ketulusan hati mengalahkannya? Lalu bagaimana dengan jiwa terkutuk dan sihir hitamnya yang kuat ketika membakar tubuh kita hingga kita tak sempat berteriak meminta pertolongan. Apakah ketulusan hati akan mengalahkan sihir Zorca dengan leviathan nya itu?!” lengkingku nyaris histeris.
“Ya ampun Calista! Apakah ada sesuatu yang begitu menganggumu?!” kejar Titus dengan suara tertahan sambil memicingkan kedua matanya.
Dengan cepat aku beranjak dari kursi kayu. “Aku harus kembali ke kamarku.” Sahutku datar dan mulai melangkahkan kaki.
“Rasanya bukan suatu kebetulan kan jika kau mencariku sebelum matahari terbit hanya sekedar untuk menyapaku?” nada suara Titus mulai meninggi.
 Aku terus berjalan dan tidak memperdulikan pertanyaan Titus.
“Cepat atau lambat aku pasti akan mengetahui apa yang kau sembunyikan dariku Calistaa!” seruan Titus samar samar menghilang seiring dengan kepergianku yang tergesa gesa.
Benar benar dongeng konyol. Sama sekali tidak membantuku.
Kubuka pintu kamar dengan kasar dan mendapati Brisa tengah duduk diatas tempat tidurku dengan kedua tangannya yang bersedekap.
“Aku hampir saja tidak mempercayai ucapan Ness ketika mengatakan padaku kau suka berkeliaran sesukamu tanpa pamit,” nada suara Brisa terdengar kesal.
“Aku hanya menyapa Titus dan melihat keadaannya.” Sahutku acuh seraya membuka sepatu bootsku.
“Haruskah sepagi itu?” cecar Brisa.
“Selamat pagi!” lengkingan Oogie menyelamatkanku dari gerutuan Brisa.
Dengan kesal Brisa menghampiri Oogie dan menepuk pelan sisi kanan kepala laki laki kecil itu. “Temani Calista ke ruang makan istana!” perintahnya seraya berjalan keluar dengan menghentakkan kedua kakinya karena kesal padaku.
“Sial! Kenapa dia selalu melakukan hal itu padaku?” sungut Oogie kesal seraya mengusap usap kepalanya dari tepukan tangan Brisa.
“Pergilah dari kamarku Oog!” seruku pelan.
“Kau dengar perintah Brisa pada ku kan?” bantah Oogie.
“Kau kan bisa menungguku diluar,” ucapku malas.
“Baiklah. Aku akan…
Kudorong Oogie dengan kesal lalu membanting pintu kamarku tepat di depan hidungnya. Samar samar kudengar suara omelan Oogie dari balik pintu kamarku.
Seharian aku mencari cara untuk menghindari Oogie namun semuanya sia sia. Akhirnya kuputuskan untuk mengajaknya ke tempat pengungsian untuk menemui Evelyn.
Dan seperti biasa, Oogie tak berhenti henti bertanya. Mulut kecilnya berkerucut dan terus menerus menanyakan perihal keperluanku untuk menemui Evelyn di pemukiman para pengungsi.
Kami akhirnya tiba dipinggiran hutan Sphronia. Sepasang mataku mencari cari sosok Evelyn kesekeliling. Mataku akhirnya menangkap sosok Audrey. Salah satu teman Evelyn yang tengah mengumpulkan ranting kayu.
Dengan cepat kuhampiri gadis itu.
”Audrey,” sapaku pelan.
Gadis berambut pendek yang dipanggil Audrey mengamatiku.
”Aku Calista. Teman Evelyn. Apakah kau masih ingat padaku?”
Audrey mengangguk. ”Tentu saja aku masih ingat.”
”Aku ingin bertemu dengan Evelyn. Dimanakah dia?” tanyaku pelan.
Audrey melirik Oogie sekilas.
”Aku Oogie salah satu murid nyonya Prechia, kau pasti murid nyonya Ginka kan?” tanya Oogie ramah seraya menyodorkan tangan kanannya.
Audrey hanya mengangguk acuh.
”Bisakah kau memberitahu Evelyn jika aku mencarinya,” ujarku meminta pertolongannya.
“Aku akan mengantarmu kesana.” Sahut Audrey sambil berlalu dihadapanku dan Oogie.
Aku dan Oogie berjalan mengikuti gadis berambut coklat itu. Kami menyusuri beberapa pondokan sederhana yang dibangun seadanya dengan kayu kayu maple. Beberapa anak anak kecil berlarian senang seolah olah mereka tidak merasakan kepedihan orangtua mereka berada dalam pengasingan.
Evelyn Keech terlihat tengah tertawa bersama seorang wanita separuh baya yang tengah memegang sebuah cangkir.
“Eve!” panggil Audrey seraya melambaikan tangan kanannya.
Wajah Evelyn terlihat tegang begitu melihat kehadiranku bersama Oogie.
“Sebenarnya apa yang kau inginkan dari Evelyn?” dahi Oogie berkerut dan memandangku bingung.
“Bisakah kau membantuku sedikit Oog.” Pintaku setengah memohon.
“Entahlah..kalau harus melibatkan suatu masalah besar kurasa…
“Jika kau tidak menutup mulutmu dan mengikuti kemauanku. Aku bersumpah akan menggantungmu di pohon maple itu dengan sihirku,” senyum sinis menghias wajah kesalku.
“Kau mengancamku?” suara Oogie terdengar meremehkan.
“Aku hanya mengingatkanmu jika sihirku jauh melampaui sihirmu.” Ujarku santai.
Oogie terbahak. “Baiklah kau menang. Asal kau tahu saja, penyalah gunaan kekuatan sihirmu itu akan masuk dalam laporan tertulisku pada Prechia. Ditambah dengan sikapmu yang cukup menyusahkanku.”
“Catatlah sesukamu. Tapi hari ini aku hanya ingin kau menutup mulutmu. Lengkingan suaramu itu benar benar membuat kupingku lelah beberapa hari ini.” Tandasku seraya berjalan menghampiri Evelyn.
Oogie menggerutu kesal dibelakangku.
“Kau datang juga.” ujar Evelyn sedikit terkejut.
“Tentu saja. Kau tidak berniat untuk membatalkan janji kita kan?” Aku balik bertanya dengan nada curiga.
Evelyn tertawa sumbang.
“Hey Eve. Kalau boleh tahu sebenarnya apa yang kalian rencanakan?” sambar Oogie dengan rasa ingin tahu.
Evelyn menatapku dengan sedikit ragu.
“Abaikan saja dia.” Bisikku seraya merangkul bahu Evelyn dan berjalan meninggalkan Oogie yang memicingkan mata dengan wajah sedikit jengkel.
Evelyn kemudian meminta Audrey untuk mencari Elise. Setelah itu kami pergi ke sebuah pondok kecil tempat Evelyn tinggal bersama Audrey. Oogie terlihat menggerutu sesekali karena kami selalu mengabaikan pertanyaannya.
Saat tiba di depan pintu pondok, kutahan bahu Oogie dengan kedua tanganku.
“Sebaiknya kau berjaga di pintu depan. Jika ada sesuatu yang aneh kau bisa mengetuk pintu ini dan memanggilku.” Pintaku sedikit memerintah.
“Tunggu Cal. Aku harus tahu apa yang akan kalian lakukan di dalam. Karena aku memiliki tanggung jawab atas keselamatanmu!” seru Oogie mulai marah.
“Ini urusan perempuan Oog! Aku yakin kau tidak akan mau mendengarkannya.” Senyumku mencoba menepiskan ucapannya.
“Baiklah! Tapi semua orang akan membunuhku jika terjadi sesuatu pada dirimu!” desah Oogie resah.
“Sebenarnya sudah lama semua orang berpikiran ingin menyingkirkanmu karena sikapmu yang menyebalkan itu Kircey,” ujar Evelyn santai.
“Diamlah Keech. Tidak ada yang bertanya padamu!“ sahut Oogie sewot.
Sementara Audrey dan Elise tertawa cekikikan.
“Dengar Oog….” ujarku menahan tawa. “Percayalah, kami tidak akan melakukan hal aneh di dalam sana,” lanjutku seraya melirik pondok Evelyn.
Meski dengan berat hati akhirnya Oogie menuruti juga permintaanku.
Kini kami duduk mengelilingi meja segi empat dengan sebuah lilin yang menyala beserta setangkai bunga lili.  Terakhir kali aku melakukan ritual pemanggilan arwah Obidia, aku tak sadarkan diri. Saat kuberitahukan hal itu, wajah Evelyn terlihat sedikit tegang.
”Kumohon Eve. Aku sangat membutuhkan ritual pemanggilan ruh Obidia ini. Demi kebaikan semua,” rengekku setengah memohon.
Evelyn mengalihkan pandangannya pada Audrey dan Elise bergantian. ”Apakah kalian siap? Karena ruh yang akan kita panggil kali ini memiliki energi yang besar. Jika ingin mundur sebaiknya katakan dari sekarang!” suara Evelyn terdengar sedikit bergetar.
Audrey dan Elisa saling memandang. Lalu mengalihkan pandangan mereka kearahku.
”Seberapa besar ritual ini akan membantumu?” tanya Elise lembut.
Untuk sesaat aku terbayang wajah Ness dengan senyum kaku nya yang menawan. Mata emasnya yang kecoklatan menyorot lembut kearahku. Kutarik napas pelan dan menatap Elise sendu. ”Sangat berarti melebihi apapun. Dan aku akan mati pelan pelan jika kalian tidak membantuku saat ini.”
Kening Audrey berkerut. ”Ucapanmu itu tidak mencerminkan seorang ksatria yang akan maju ke medan perang, tapi lebih seperti seseorang yang tengah putus asa karena cinta,” sindir Audrey.
Evelyn dan Elise menegaskan pandangannya kearahku.
Seketika itu juga wajahku memanas. ”Tolonglah. Aku benar benar membutuhkan bantuan kalian. Obidia satu satunya penyihir yang tahu jalan keluar dari permasalahanku.”
”Kalau boleh aku tahu, apa permasalahanmu itu?” singgung Evelyn.
Ekor mata Elise dan Audrey kembali menyorot padaku.
Jika aku tidak memberikan jawaban, mereka akan semakin mencurigaiku. Sedangkan aku sangat membutuhkan pertolongan mereka.
”Mengendalikan naga seperti Arkhataya ternyata tidak semudah yang aku bayangkan. Itulah sebabnya aku membutuhkan bantuan kalian untuk memanggil ruh Obidia.”
Mereka saling berpandangan. Lalu menatapku.
”Dan kau berharap ruh Obidia akan membantumu?” tanya Elise lugu.
Aku terseyum datar. ”Dia pernah membantuku sebelumnya. Aku yakin dia akan membantuku juga kali ini.”
Mereka terdiam sesaat. Lalu  Evelyn menatapku dalam. ”Aku akan membantumu Calista.”
Audrey dan Elise serentak mengangguk dan tersenyum kearahku.
Aku nyaris menjerit senang. ”Terimakasih. Aku tidak akan pernah melupakan bantuan kalian ini.”
”Baiklah. Sebaiknya kita segera memulai ritual pemanggilan ini,” nada suara Evelyn terdengar bersemangat.
”Tunggu Eve. Jika ruh Obidia memasuki ragaku saat ritual ini berlangsung. Maukah kau menyampaikan pertanyaanku padanya,” pintaku.
Evelyn mengangguk. ”Tentu saja. Katakan padaku.”
Kutarik napas pendek dengan cepat. ”Tanyakan pada Obidia. Bagaimana membunuh jiwa tersesat yang terkurung dalam raga lain yang bukan miliknya.”
Untuk sesaat Evelyn memandangku. ”Pertanyaan yang sangat aneh?”
”Aku tahu. Tapi tolong tanyakan saja padanya,” desakku.
”Hanya itu?” Evelyn kembali bertanya.
”Ya. Hanya itu saja,” tandasku.
”Baiklah. Kita akan memulai ritual ini sekarang,” ujar Evelyn seraya mengalihkan pandangan pada kami satu persatu.
Kemudian, kami berempat, saling berpegangan tangan. Dengan suara rendah dan penuh penekanan Evelyn memulai ritual pemanggilan arwah Obidia.
”Kami berkumpul disini untuk mencari tahu kebenaran. Kami memanggil arwah dari masa sebelum kami untuk memperlihatkan kepada kami apa yang sedang terjadi dan mencari tahu apa yang harus kami lakukan.”
Belum ada tanda kehadiran Obidia. Dan aku dapat merasakan ketegangan kala melihat lilin dihadapan kami mulai meliuk liuk tertiup hembusan angin dingin yang datang tiba tiba.
”Tunjukan pada kami apa yang dapat kami lihat. Tunjukan pada kami apa yang dapat kami dengar di masa lalu dan masa mendatang,” ujar Evelyn lagi kali ini dengan nada suara sedikit bergetar.
Tiba tiba kurasakan dingin diseluruh tubuhku. Aku menggigil hebat namun aku tak bisa melihat apa apa. Tubuhku terasa nyeri luar biasa. Kurasakan sesak di dada dan berusaha menghirup udara sekuat tenaga namun paru paru ini terasa tertekan. Semuanya terasa berat. Aku tidak dapat melihat dan tidak dapat mendengar apapun. Aku tidak dapat merasakan apapun juga. Aku merasa melayang dan pada akhirnya tidak dapat berpikir.
Mataku terasa berat saat mencoba membukanya. Samar samar kulihat wajah Evelyn dan Oogie memandangku dengan raut cemas.
”Oog? Apa yang kau lakukan disini? Seharusnya kau tak berada disini,” protesku dengan suara lemah.
”Kau ini sudah gila ya!? Meminta para Illusionist tidak berpengalaman seperti mereka untuk memanggil ruh Obidia!!”sSeru Oogie histeris.
“Heyy jaga mulutmu Kircey! Kau pikir dirimu lebih baik karena kau seorang penyihir?!” ujar Audrey ketus.
Oogie mencibir kesal kearah Audrey.
“Bagaimana perasaanmu Calista?” tanya Evelyn cemas.
“Aku baik baik saja,” anggukku pelan seraya tersenyum.
Kutarik lengan kanan Evelyn dan berbisik,”Apakah kau sudah menanyakan yang kuminta?”
Evelyn tersenyum datar. “Obidia bilang, kau tidak akan bisa membunuhnya. Kau hanya bisa mengurungnya dalam raga yang mati.”
Untuk sesaat aku terdiam dan memikirkan jawaban Obidia yang baru saja disampaikan Evelyn. Sayangnya gerutuan Oogie dan suara ejekan balasan Audrey pada Oogie membuatku tidak dapat berpikir.
Kualihkan pandanganku ke setiap sudut pondok Evelyn yang mungil ini. Semua barang barang disini nampak berserakan dimana mana, seolah baru saja terhempas angin yang dashyat.
”Apakah aku yang melakukan semua itu?” desahku meminta penjelasan pada Evelyn.
”Tidak sepenuhnya salahmu. Ruh Obidia yang melakukannya lewat ragamu. Energinya sangat kuat dan membuat kami sedikit kewalahan,” papar Evelyn.
Aku terdiam dalam perasaan bersalah.
”Aku terpaksa berteriak memanggil Kircey untuk melumpuhkanmu yang tengah kerasukan ruh Obidia yang tak terkendali. Demi kebaikan kita semua. Dan mencegah hal buruk yang bisa terjadi pada kita, nantinya. Lagipula kau sudah mendapatkan jawaban dari pertanyaanmu kan?” Evelyn menatapku meminta kepastian. ”Terus terang aku tidak mau melakukan ritual pemanggilan Obidia lagi meski kau merengek dan mencium kedua kakiku,” desah Evelyn sambil mengangkat kedua bahunya.
Aku hanya mengangguk lemas.
Aku dan Oogie kembali ke istana Amorilla dengan sedikit tergesa. Suara lengking Oogie kembali menggerutu dan menceramahiku. Untungnya aku terlalu sibuk memikirkan arti dari jawaban ruh Obidia daripada mendengarkan lengkingan Oogie.
“Kau tidak akan bisa membunuhnya. Kau hanya bisa mengurungnya dalam raga yang mati.”
Sebenarnya apa yang dimaksud oleh Obidia. Aku tidak bisa membunuh jiwa Arkhataya yang tersesat. Dan hanya bisa mengurungnya dalam raga mati.
Kutarik napas panjang. ”Aku tidak bisa membunuh Arkhataya,” gumamku putus asa.
”Mengapa kau ingin membunuh naga itu? Bukankah ada mantra untuk menidurkannya kembali untuk selamanya.” cetus Oogie seenaknya.
”Dengar Oog. Bisakah kita melupakan kejadian hari ini. Dan kuminta kau tidak berbicara pada siapapun juga tentang pemanggilan ruh Obidia hari ini.” Jantungku berdegup keras dan berharap Oogie tidak mencurigai permintaanku ini.
Oogie menatapku ragu.
”Aku berjanji akan menuruti semua kemauanmu seperti orang bodoh tanpa bertanya,” janjiku mencoba memberikan penawaran.
Oogie tertawa keras. ”Bagus! Tawaranmu kuterima!” lengkingnya puas.
Dan mulai hari ini dan seterusnya aku akan mempersiapkan telingaku untuk mendengar kicauan suara Oogie yang sangat menyebalkan itu.
Dan baru hari pertama sejak perjanjianku dengan Oogie, rasanya aku mulai kehilangan pikiran karena Oogie selalu mendominasi semua percakapan dengan pembicaraan yang tak penting. 
Dan keesokan harinya aku memutuskan untuk melontarkan mantra pelumpuh pada Oogie dan membiarkannya terbaring kaku dilantai kamarku dengan wajah marah menatap dendam kearahku.


Writer : Misaini Indra        
Image from :  http://parentingbeyondbelief.com/parents/wp-content/uploads/2013/01/ritual.jpeg


























Monday, 12 August 2013

PART II : Calista Kaz “Bangkitnya Sang Naga” (Chapter 8)



8. BISIKAN HATI

Kucoba berlari menghindar dan mencari perlindungan. Namun Akhataya terus menukik tajam tak mau melepaskanku begitu saja. Suara raungan kemarahan bergemuruh keras memekakkan telingaku.
            Napasku memburu. Dan aku terus berlari. Sayangnya sosok seseorang di depanku yang muncul tiba tiba membuatku tertahan dan menghentikan langkah langkahku. Sepasang mata teduh keemasan yang menatapku resah nampak berdiri bimbang. Dan hanya dalam hitungan jari saja, Arkhataya membawa sosoknya pergi dengan menancapkan kuku kuku kakinya yang setajam pedang pada tubuh laki laki pujaanku itu. Aku menjerit keras memanggil nama Ness dan terbangun seketika.
            Kuatur napas perlahan. Kuusap wajah hingga rambutku dengan kasar. Ada rasa kesal bercampur lelah mengingat mimpi buruk yang baru saja kualami. Saat ini aku benar benar berada dalam puncak tekanan yang sangat membebani pikiranku. Dan tak tahu harus berbuat apa.
            Malam itu juga aku tak dapat memejamkan mata hingga fajar menjelang.
Ketika aku melewatkan makan pagi. Brisa menatapku dengan wajah cemas. Brisa menyorongkan sepotong roti padaku. Dengan enggan kuraih roti itu dari tangannya. Dan hanya memainkan makanan malang itu dalam genggaman tanganku.
            “Wajahmu pucat sekali,” ujar Brisa membuka percakapan.
            Aku hanya mendengus pelan.
            “Kau terlihat kusut dan sangat menyedihkan,” sambungnya lagi dengan nada mengejek.
            Aku kembali tak menanggapinya, hanya melamun dan sibuk mencubit cubit pinggiran roti pemberian Brisa hingga mengotori lantai dengan remahannya.
            Dengan kasar Brisa merebut potongan roti ditanganku dan berjalan cepat kearah jendela kamar lalu melemparnya keluar. Kemudian ia kembali menghampiriku dan berdiri dihadapanku dengan bertolak pinggang seraya menatapku kesal.
            “Jatuh cinta pada orang yang salah bukan berarti kau .harus menyiksa dirimu dalam penderitaan!” ucapnya ketus.
            Seketika itu juga aku tertawa begitu mendengar ucapannya padaku. Aku tak mengira jika Brisa berpikir aku tertekan karena mengalami percintaan yang bertepuk sebelah tangan.
            Brisa menggelengkan kepalanya dengan wajah menahan marah.
            “Kurasa kau mulai menjadi gila,” sungutnya kesal.
            Kuhela napas panjang. “Mungkin saja….
            “Ayolah Calista. Katakan sesuatu padaku.. Apapun itu. Aku ingin membantumu melalui semuanya,” ujar Brisa setengah berteriak.
            Kupandang Brisa dengan tatapan yang menyiratkan jika aku tak menyukai perkataannya padaku.
            “Kau harus berkonsentrasi menghadapi permasalahan Zorca dibandingkan hal hal konyol seperti cinta,” tukas Brisa tanpa perasaan.
            Kupingku mulai terasa panas.
            “Ada seratus orang pengganti Ness diluar sana yang jauh lebih baik memperlakukan wanita jika kau berniat mencarinya…
            “Hentikan Bris!” sahutku marah. “Berhentilan berbicara seolah olah kau tahu apa yang tengah kupikirkan saat ini,” suaraku sedikit bergetar mencoba mengendalikan amarah.
            Wajah Brisa terlihat tegang.
            Kuusap wajahku seraya menghela napas panjang.
            “Aku hanya tak ingin kau semakin terluka jika kau terus memikirkan Ferin. Aku hanya ingin melindungimu…
            Kulirik Brisa dengan enggan. Dan mencoba untuk tersenyum mendengar penuturannya. “Aku tahu. Hanya saja aku sedang tidak memikirkan Ness saat ini…
            Brisa melunak. Segaris senyum lega terlihat di sudut bibirnya.
            “Jangan khawatirkan aku Bris. Aku hanya ingin menyendiri dan berpikir,” ujarku memberi alasan untuk menenangkannya.
            “Baiklah. Aku tidak akan mengganggumu lagi,” ucap Brisa pelan.
            Kami terdiam untuk beberapa saat.
            “Sebaiknya aku pergi dan membiarkanmu tenggelam dalam lamunan,” sindir Brisa halus seraya menyunggingkan senyum.
            “Sebaiknya begitu,” sahutku seraya membalas senyumannya.
            Brisa berjalan lambat lambat menuju pintu kamar.
            “Bris…” panggilku ragu.
            Brisa menoleh kearahku.
            “Percayalah padaku..
            Brisa mengangguk lembut dan berjalan keluar kamar seraya menutup pintu.
            Kuhembuskan napas panjang dan membanting tubuhku kembali ke tempat tidur. Memandangi langit langit kamar dengan pikiran melayang.
            Tidak ada yang dapat membantu karena aku tidak mengatakan permasalahan yang sebenarnya. Ness membuatku terjebak dalam perjanjian rahasia mengungkap kebenaran akan permintaan Arkhataya.
            Tiba tiba aku teringat kembali akan mimpiku beberapa hari yang lalu. Obidia melarangku untuk membangunkan naga terkutuk itu.
            Dengan cepat aku bangun dari tempat tidurku. Kurasa aku telah menemukan jawaban atas permasalahan Arkhataya ini. Batinku senang.
Dengan penuh semangat aku berjalan mengelilingi kamar kecil ini seraya berpikir akan Obidia. Obidia datang dalam mimpiku dan memberi peringatan. Obidia tahu  sesuatu tentang Arkhataya. Obidia pula yang membuat gelang pusaka yang berada di lenganku ini untuk berkomunikasi dengan Arkhataya.
Kuraih mantelku dan memakainya asal asalan. Berlari cepat keluar kamar dengan tergesa gesa tanpa memperdulikan tatapan para pelayan istana yang mungkin melihat betapa kacaunya penampilanku yang masih mengenakan gaun tidur dengan wajah kusut dan rambut coklatku yang terlihat tak rapih.
Aku terus berlari menyusuri anak tangga istana menuju taman kecil. Lalu berjalan cepat tanpa memperdulikan tatapan para penjaga gerbang istana yang sedikit keheranan menatapku. Dan baru kusadari tatapan mereka tertuju pada kedua telapak kakiku yang tak memakai alas kaki. Meski kedua telapak kakiku terasa sakit saat melewati jalan setapak yang sedikit tak rata menuju perbatasan hutan Sphronia. Aku tak perduli.
Rasa senang atas pengharapan jawaban akan semua permasalahan Arkhataya membuatku begitu bersemangat hingga melupakan semuanya termasuk mengganti pakaian dan mengenakan alas kaki.
Dari jauh kulihat sosok Evelyn Keech yang tengah bercanda dengan dua orang temannya sambil mengumpulkan ranting kayu yang jatuh di sepanjang jalan setapak ini.
”Evelynnn!” panggilku dengan napas terengah.
Evelyn Keech menghentikan kegiatannya sejenak dan menoleh padaku. Sedangkan kedua temannya menatapku dengan pandangan heran.
Kuhampiri Evelyn dengan tergesa.
”Calista, apa yang kau lakukan di sini dengan gaun tidur dan tanpa alas kaki,” ujar Evelyn seraya menatapku dari atas kebawah dengan keheranan.
Kurapatkan mantelku dengan kikuk mencoba menutupi gaun tidurku yang tersingkap.
”Bisakah kita berbicara berdua saja,” pintaku pelan berusaha untuk tidak menyinggung perasaan kedua temannya.
”Hey tak masalah. Kami akan meninggalkan kalian berdua. Benarkan Audrey,” sahut salah satu teman Evelyn dengan senyum ceria. Sementara gadis yang dipanggil Audrey hanya tersenyum datar dan mengangguk.
”Aku segera kembali,” ujar Evelyn pada kedua teman perempuannya itu.
Mereka hanya tersenyum dan berlalu dari hadapan kami.
Sepasang mata coklat tua Evelyn kini beralih padaku. ”Apa yang ingin kau bicarakan padaku?”.
“Kau seorang ilusionist kan...
Evelyn menatapku dengan pandangan aneh. ”Ya.. itu benar. Untuk apa kau tanyakan hal yang sudah kau ketahui,” kernyit Evelyn bingung.
”Pernahkah kau melakukan ritual pemanggilan arwah,” sambungku tak sabar.
”Itu sebuah permintaan besar Calista,” ujar Evelyn setengah tertawa.
”Aku serius Eve, pernahkah kau melakukannya,” desakku tak sabar.
Evelyn Keech hanya menghembuskan napas panjang lalu menatapku dalam. ”Terus terang aku belum pernah melakukannya. Tapi Aku pernah mengikuti ritualnya dulu atas permintaan nyonya Ginka. Yah setidaknya aku mengetahui caranya.”
Seulas senyum lega kulontarkan kearahnya. ”Bagus. Aku ingin kita melakukannya Eve. Sesegera mungkin.”
”Tunggu. Kau tidak berpikir kita berdua saja yang akan melakukan hal itu kan,” protes Evelyn gugup.
Kutatap lurus lurus wajah Evelyn. ”Kau keberatan?”
”Ya ampun Calista. Kita membutuhkan energi dari beberapa orang lagi untuk melakukan ritual itu. Apalagi untuk memanggil arwah yang memiliki kekuatan sihir. Kita tidak tahu seberapa berbahayanya arwah tersebut akan bereaksi,” lengking Evelyn sedikit bergetar.
“Tidak. Tidak boleh terlalu banyak orang yang mengetahui hal ini Eve,” tolak ku dengan panik.
“Tapi aku tak yakin aku sanggup melakukannya sendirian. Aku akan sangat membutuhkan bantuan ketika suatu hal buruk akan terjadi ditengah tengah ritual.” Nada suara Evelyn terdengar tegang.
Kutarik napas sedikit keras untuk mengusir kekesalanku.
“Maaf, bukannya aku tak mau membantumu. Tapi aku tak berani mengambil resiko yang dapat membahayakan keselamatan kita berdua. Kau memiliki tugas penting untuk menyelamatkan kami semua disini,” tukas Evelyn cepat.
Kuhela napas panjang seraya melayangkan pandangan kearah dua orang teman Evelyn yang tengah bercanda tak jauh dari tempat kami duduk.
“Bagaimana dengan mereka?” gumamku.
Evelyn melayangkan pandangan kearah dua orang temannya tadi.
“Maksudmu Elise dan Audrey?”
“Ya,” sahutku ragu. “Apakah mereka dapat diandalkan?”
Evelyn terdiam untuk sesaat.
“Apakah mereka dapat dipercaya, Eve?” tanyaku lagi tak sabar.
“Tentu saja mereka dapat dipercaya. Kami bersahabat sejak kecil,” ujar Evelyn pasti.
“Bagus! Lalu bagaimana dengan kemampuan mereka?”
“Elise sangat bisa diandalkan karena memiliki nilai terbaik. Tapi Audrey.. yah maksudku Audrey sedikit acuh. Tapi sejauh ini kemampuan Audrey cukup memuaskan dalam kelas nyonya Ginka.”
Kucoba untuk meyakini ucapan Evelyn. Mungkin ini resiko yang harus kuambil. Aku tak memilki pilihan lain juga kan.
“Baiklah. Minta pada mereka untuk menemani kita dalam ritual ini.” Getarku ragu.
Evelyn menatapku lurus lurus. “Sebenarnya ada arwah tertentu kah yang ingin kau panggil?” tanya Evelyn sedikit menyelidik.
Aku berusaha mengacuhkan pertanyaan Evelyn.
Bibir Evelyn sedikit mengerucut.“Kau terdengar tak begitu yakin. Mengapa kau tidak meminta Brisa Ackron untuk menemanimu dalam ritual ini.”
“Tidak.” Gelengku kuat kuat. “Berjanjilah kalian akan merahasiakan pemanggilan arwah ini pada siapapun.” Tegasku sedikit tegang.
“Terserah kau saja,” Evelyn mengangkat bahu.
“Panggil mereka Eve. Ada beberapa hal yang ingin aku bicarakan pada kalian sebelum kita memulai ritual ini.” Desahku.
Dengan malas Evelyn berdiri dan mulai berteriak memangil Elise dan Audrey.
Kami berkenalan sebentar dan berjanji akan bertemu lagi disini untuk melakukan ritual pemanggilan arwah.
Hari itu aku kembali ke istana Amorilla dengan memakai alas kaki milik Evelyn yang sedikit kotor di bagian ujungnya.
Kuayunkan langkahku dengan cepat karna aku tak ingin seseorang yang kukenal melihatku dalam keadaan berantakan seperti ini. Kurapatkan mantelku untuk menutupi gaun tidurku yang tipis.
Ketika melewati kolam kecil di samping taman istana, aku tak mengira akan bertemu dengan Ness yang tengah berdiri dengan wajah kaku menatap Quilla yang menatapnya dengan pandangan kesal.
Ness melirik kearahku. Begitupula dengan Quilla. Aku tersenyum kaku kearah mereka dan kembali menyeret langkahku dengan cepat karena terus terang aku tak ingin menyaksikan apa yang ada dihadapanku saat ini.
Dengan cepat kubuka pintu kamar dan menutupnya dengan tergesa. Begitu aku berbalik. Kulihat Oogie tengah duduk diatas tempat tidurku dan tersenyum kearahku.
“Kau melewatkan makan pagi, makan siang dan berkeliaran sepanjang hutan Amorilla hanya dengan mengenakan baju tidur tanpa alas kaki,” ledeknya seraya tertawa.
“Bangunlah dari tempat tidurku Oog!” sahutku kesal.
Oogie menggeleng tertawa seraya bangkit dari tempat tidurku. Kemudian ia bersandar dekat jendela sambil menatap keluar jendela yang terbuka.
Aku duduk diatas tempat tidurku seraya mengusap telapak kakiku yang terasa perih. Sepertinya sewaktu berlari menuju tempat Evelyn aku tak sengaja menginjak ranting ranting kayu kering yang cukup tajam.
“Kau adalah gadis yang sangat aneh Calista,” sindir Oogie.
Kuhampiri meja kecil disamping tempat tidur Brisa dan membuka salah satu lacinya. Kuraih sepotong kain dan mencelupkannya dalam mangkuk disamping jendela kamar yang berisi air segar. 
“Sama anehnya dengan laki laki yang tengah bertengkar disana,” gumam Oogie tanpa melepaskan pandangannya keluar jendela.
Kulirik keluar dan mendapati Ness masih berada disana terlibat adu mulut yang hebat dengan Quilla.
“Setidaknya aku tidak kehilangan pikiranku,” desahku pelan seraya memandang acuh kearah Quilla.
“Kita semua kehilangan akal ketika berada dalam negri pengasingan ini,” ujar Oogie sinis.
Tiba tiba saja dari tempatnya berdiri bersama Quilla, Ness menoleh kearah kami. Wajahnya terlihat tegang dan airmukanya terlihat sangat kaku. Sepasang mata emasnya berkilat tajam seolah menembus pandanganku.,
Kubalikkan tubuhku untuk menghindari tatapannya. Aku tak ingin membuat Quilla bertambah marah jika melihat kekasihnya memandangiku seperti itu.
“Apa yang kau lakukan di kamarku Oog?” tanyaku kesal seraya menatapnya.
Bola mata Oogie berputar lalu tersenyum kaku. “Hanya berkunjung dan melihat keadaanmu?”
“Apakah Titus mengirimmu untuk memata mataiku,” tudingku tajam.
Oogie tertawa. “Kau salah sayang. Master  Titus tidak pernah menyuruh seseorang untuk melakukan sesuatu.” Gelengnya meyakinkan.
“Prechia?” kejarku.
“Tepat sekali,” angguknya seraya mengerling padaku.
Kuhembuskan napas kencang.
“Mengapa Prechia tidak pernah mempercayaiku?” ujarku kesal seraya melempar potongan kain kotor yang kupegang tadi keatas meja dengan kasar dan duduk dipinggir tempat tidurku.
Oogie menghampiriku dan ikut duduk disampingku.
“Prechia hanya bermaksud baik. Dia hanya mencemaskan keselamatanmu. Mengingat kau sering berkeliaran sesuka hatimu dalam keadaan seperti ini,” sindir oogie dengan bibir berkerucut sambil mengamatiku dari atas kebawah.
“Terimakasih. Tapi aku bisa menjaga diriku sendiri,” ucapku tegas seraya tersenyum sinis.
“Sayangnya, beberapa orang tidak berpikir sama seperti pikiranmu itu,” tukas Oogie datar.
Kami sama sama terdiam.
“Kau kecewa?’ tanya Oogie pelan
Kugelengkan kepalaku dan melirik kearahnya. “Aku sama sekali tak mengerti maksud perkataanmu itu?”
“Karena Prechia telah mengirimku untuk jadi pengasuhmu.”
“Sedikit. Seharusnya Prechia mengirim seseorang dengan ilmu sihir yang lebih tinggi diatasku,” gurauku sarkastis.
Kami tertawa.
“Kuberitahu sebuah rahasia padamu dan kuharap kau tidak terlalu kecewa ketika mendengarnya sayang,” kerling Oogie.
Kukernyitkan dahiku seraya memicingkan mata menatap Oogie.
“Awalnya Prechia meminta Ferin untuk melakukannya. Tapi seperti yang kau lihat. Kisah percintaannya sedikit terganggu karena kecemburuan Quilla padamu.” Bisik Oogie ditelingaku.
Wajahku panas seketika.
Oogie tertawa puas karena telah membuatku tak berkutik.
Sebuah ketukan di pintu membuat Oogie menghentikan tawa dan berdiri untuk membuka pintu kamar.
Sosok Ness terlihat berdiri tegak dengan airmuka tegang. Sorot matanya terlihat tajam menatap Oogie. Dan belum sempat Oogie mengucapkan sesuatu. Tangan kekar Ness mencengkram leher Oggie dan berseru marah padanya.
“Apa yang kau lakukan disini!?” nada suara Ness terdengar parau dan meninggi tidak seperti biasanya.
 Aku bangkit seketika dari tempat tidurku dan berseru kearah Ness.
“Apa kau sudah gila!!. Lepaskan dia atau kau akan membunuhnya!” Kutepiskan tangan kekar itu dengan sedikit emosi.
Terlepas dari cengkaraman kuat Ness. Oogie terbatuk batuk dan mengatur napas.
Dengan kasar Ness menarik lenganku. “Seseorang mengatakan padaku jika kau tengah berkeliaran disepanjang hutan Sprohnia tanpa alas kaki. Tahukan kau kalau itu sangat berbahaya?” dengus Ness marah.
“Brengsek kau Ferin! Lepaskan Calista atau aku bersumpah akan menggunakan sihirku!” kedua tangan Oogie menyilang di dada dan bersiap siap untuk merapal mantra.
Tapi Ness lebih cepat. Dengan berteriak marah ia melayangkan tangan kirinya ke tubuh kecil Oogie hingga Oogie terlempar ke tembok kamar dan jatuh tersungkur.
“Nessss..hentikann!” lengkingku marah seraya menepiskan cengkramannya dan berlari menghampiri Oogie untuk membantunya berdiri.
“Lepaskan aku Calista. Aku akan memberikan pelajaran padanya!!” teriak Oogie marah.
“Tidak! Kalian tidak akan bertempur di kamar ini. Pergilah keluar dan saling membunuh disana!” lengkingku parau.
Baik Ness dan Oogie terdiam dan hanya saling memandang dengan emosi meluap.
“Dan kau…berhentilah mengaturku seolah olah kau berhak akan hidupku Ness.” Ancamku kesal.
Sepasang mata emas itu meredup. Ness menatapku datar. Airmukanya mulai terlihat sedikit tenang dan tidak segarang tadi sewaktu melempar Oogie ke udara.
“Aku hanya mencoba untuk melindungimu.” Sahutnya datar.
“Kau tidak perlu melakukan itu! Prechia telah mengutusku untuk melindungi Calista.” Teriak Oogie kesal,
“Aku tidak berbicara padamu Kircey,” tandas Ness tanpa berusaha mengalihkan pandangannya padaku.
“Baiklah. Kalau begitu mengapa kau tidak mengurusi urusanmu sendiri. Dan menjauhkan kekasihmu yang menyebalkan itu supaya ia tidak menyakiti Calista seperti kemarin,” ejek Oogie yang kembali memancing amarah Ness.
“Aku tidak perduli dengan apa yang kau ucapkan. Jika kau gagal melindungi si  keras kepala ini, maka aku akan melemparmu lebih keras dari yang tadi kulakukan padamu Kircey,” sepasang mata Ness menatap tajam kearah Oogie lalu kembali terarah padaku.
Mata Oogie hanya terbelalak kesal. Sedangkan Ness kembali melayangkan pandangannya kearahku.
“Kau tahu persis dimana mencariku. Tapi jika aku melihatmu berkeliaran seperti tadi aku sendiri yang akan menyeretmu kembali ke kamar ini dan mengikatmu dikursi itu demi keselamatanmu sendiri.” Ucap Ness santai seraya berlalu dari kamarku dan membanting pintu kamar ini dengan keras.
Aku terduduk lemas dan tak dapat berpikir jernih.
Sementara Oogie terlihat kesal dan mengumpat Ness dengan kasar.
Malam itu tidurku tak nyenyak. Memikirkan cara menyelinap dari penagawasan Oogie dan Ness untuk kembali ke tempat pengungsian. Karna aku telah berjanji pada Evelyn untuk melakukan ritual.
Kulirik Brisa yang terlihat nyenyak ditempat tidurnya.
Benar benar buntu.
Jika aku menyelinap sebelum fajar datang. Brisa pasti berteriak histeris seperti kemarin. Dan semua ksatria akan dikerahkan untuk mencariku karena aku telah melewatkan sarapan pagiku. Tapi jika menyelinap siang hari, dengan mudah Oogie akan menemukanku.
Akhirnya aku tertidur kelelahan akibat terlalu banyak memikirkan masalah yang tidak ada jalan keluarnya itu.
Pagi itu Brisa membangunkanku. Ia menungguiku membersihkan diri dan dengan sedikit memaksa menarik tanganku untuk mengikuti sarapan pagi bersama anggota kerajaan.
Kucoba untuk bersikap wajar dan sedikit ceria ketika memasuki ruang makan istana. Meski kutahu Ness tengah memperhatikan gerak gerikku saat ini. Senyum cerah Oogie terlihat mengembang manakala melihatku. Kami duduk berdampingan. Dan Oogie mulai mengoceh betapa beruntungnya dia mendapat kepercayaan Prechia hingga mendapatkan kesempatan menyantap hidangan istana karena selama ini ia selalu makan dengan apa yang ada di pengungsian. Bahkan Brisa hampir berseru kesal meminta Oogie menutup mulut dan menyantap hidangan dengan tenang karena ocehannya hampir membuat kami jadi perhatian hampir semua mata di meja ini yang sesekali melirik kearah kami.
Tanpa sengaja pandangan aku dan Ness bertemu.
Ness yang duduk disamping Quilla seolah tak mau melepaskan pandangannya dariku. Sorot mata emasnya terlihat seolah olah hendak mengatakan jika ia akan mengawasi semua gerak gerikku sekecil apapun. Ness benar benar membuatku tak dapat bernapas lega diruangan ini. Ia bahkan tidak memperdulikan sapaan lembut Quilla disampingnya dan terus menatapku dengan tajam.
Aku mulai berpikir Ness sudah mulai tak waras dan membuatku ketakutan.
Kubuang pandanganku darinya dan mulai mereguk jus plumku dengan perasaan tak karuan.
“Ya ampun, sepertinya si brengsek itu benar benar tak mau melepaskanmu Calista,” gumam Oogie memanasiku.
“Pelankan suaramu atau aku akan melemparmu dari ruangan ini Kircey,” bisik Brisa penuh penekanan.
Oogie mendengus kesal. “Mengapa semua orang mengatakan hal yang sama seperti itu padaku.”
“Karna suara nyaringmu itu sangat mengganggu siapapun yang mendengarnya!” sahut Brisa tertahan karna kesal seraya menepuk kepala Oogie dengan gemas.
“Dan kau. Jangan perdulikan tatapan Ferin. Dan jangan sekali kali berpikir Ferin akan berpaling dari Quilla untuk berada disisimu,” tukas Brisa setengah berbisik.
Aku mendengus kesal dan melirik Brisa sekilas.
“Aku heran mengapa wanita bertingkah aneh ketika Ferin menatap mereka. Kupikir kau yang paling cerdas dari gadis gadis disini Kaz. Seharusnya kau tidak terpancing oleh tatapan penipu itu,” gumam Oogie dengan mulut penuh makanan dan saus yang tercecer.
Kulirik Oogie dengan hati panas. “Sebaiknya kau bersihkan saus tomat yang menempel diseluruh mulutmu itu. Kau membuatku sangat mual Oog.” Balasku tak mau kalah.
“Bisakah kalian diam sesaat dan menikmati hidangan dengan tenang,” Brisa kembali menepuk kepala Oogie dengan geram. Oogie mengelus kepalanya dengan cengir kesakitan.
Aku hanya mendengus kesal dan kehilangan nafsu makanku.

Meski Brisa telah memperingatiku untuk mengacuhkan tatapan Ness tapi aku tak mampu menolak perasaan yang terus mengelitikku untuk tetap menikmati pesonanya itu. Kulirik sekilas dengan ekor mataku. Dan benar saja. Sorot mata emas itu tak pernah lelah menatapku walau sekedip saja. Begitu lembut tersorot hanya untukku, sekilas aku bersumpah melihat senyum kaku terulas di bibirnya ketika aku memberanikan diri untuk membalas tatapannya itu.
Untuk beberapa saat kami hanya saling memandang. Tapi aku dapat merasakan kenyamanan dan rasa tenang darinya. Sorot mata emasnya seolah tengah menyampaikan kata kata lembut dan menyiratkan jika ia akan selalu berada disampingku. Melindungiku. Dan anehnya lagi, lewat tatapan matanya Ness seolah ingin mengatakan padaku jika ia mencintaiku.
Aku benar benar hanyut dalam pesonanya.
Samar samar aku dapat mendengar suara merdunya yang begitu lembut membisikkan sesuatu padaku. Aku bisa gila jika terjadi sesuatu padamu, Calista.
Untuk sesaat aku tertegun. Antara sadar dan tidak. Sepertinya aku telah terhipnotis oleh laki laki setengah peri itu.
Sebuah tepukan di pundak menyadarkanku. Brisa menghela napas kesal dan mengomel pelan ditelingaku. “Aku bilang jangan perdulikan Ferin.”
Kutatap Brisa linglung lalu kembali mengarahkan pandangan kearah Ness yang kini telah mengalihkan tatapannya pada Quilla dengan enggan.
“Tapi Bris..
“Jangan jadi bodoh dan terlalu banyak berharap,” dengus Brisa. “Kita berada disini untuk menyelesaikan misi kembali ke negri sendiri bukan untuk membuka konflik karena percintaan segitiga.”
Aku benci mendengar kata kata Brisa yang penuh kebenaran itu.
“Ferin itu laki laki aneh. Lihat dia baik baik. Kau pikir dia akan melepaskan semua kemewahan yang ditawarkan Zordius untukmu Kaz,” gumam Oogie seenaknya menambah goresan dihatiku.
Dengan cepat tangan Brisa melayangkan tamparan ringan tepat diatas kepala Oogie. “Apakah aku bilang kau boleh menyuarakan pendapat konyol mu itu.” Sembur Brisa geram.
“Ouch Bris. Mengapa kau selalu melakukan itu. Itu sangat menyakitkan,” protes Oogie seraya mengusap kepalanya.
“Aku melakukannya untuk memberimu pelajaran berbicara sopan. Karena kau sepertinya tidak tahu kapan waktunya untuk menutup mulut.”Cetus Brisa.
Sementara aku tak begitu perduli dengan pertengakaran Brisa atau Oogie.
Aku kembali termenung. Mungkin aku tengah berkhayal. Rasanya mustahil bisikan yang kudengar tadi keluar dari mulut Ness. Ness bukanlah tipikal orang yang mengumbar kata kata seperti itu.
Sepanjang hari itu aku memilih berdiam diri di kamar dan membuat Oogie ketakutan setengah mati.
Berkali kali ia mengetuk pintu kamarku.
“Pergilah Kircey. Aku mau tidur seharian ini. Dan aku malas melihat wajahmu itu,” ucapku sopan.
“Apakah kau benci padaku,” suara Oogie terdengar cemas.
“Sedikit. Tapi jangan khawatir. Aku akan mengatakan pada Prechia jika kau telah menjagaku dengan baik. Jadi bisakah kau pergi dari hadapanku,” pintaku sopan.
Oogie mendengus malu. “Kau benar benar gadis yang aneh, kau tahu itu.”
Aku hanya tersenyum.
“Baiklah. Aku tidak akan menganggumu hari ini. Tapi aku akan datang besok pagi dan bersiaplah jika aku akan mengetuk pintu kamarmu lebih keras dari hari ini,” kekeh Oogie.
“Terserah kau saja Kircey,” ujarku seraya membanting pintu kamar tepat di depan seringai anehnya itu.
Kubanting tubuhku ke tempat tidur lalu menyelimuti seluruh tubuhku. Kurasa aku akan tidur sepanjang hari ini seperti tupai di musim dingin.

Writer : Misaini Indra