Protected by Copyscape Plagiarism Scanner

Tuesday 20 September 2011

Calista Kaz "Penyihir Naga Arkhataya" (Chapter 10)


10. SEBUAH PERJANJIAN

Setelah melalui diskusi yang berat dan panjang akhirnya Prechia memutuskan untuk membebaskan Tristan dari sel tahanan tanpa persidangan dengan dua syarat perjanjian, yang pertama adalah menjadikan Tristan sebagai salah satu pengajar sihir di lembah ini dengan pengawalan ketat dari ksatria lembah Crystal lain dan persyaratan kedua adalah mengharuskan aku juga tinggal dan belajar sihir di lembah Crystal ini.
 
Ada sedikit kelegaan dan kecemasan yang bercampur di hati kecilku. Meski terbilang ringan namun Tristan tidak akan begitu senang mendengarnya. Dengan tatapan lembut Prechia menambahkan jika kami berdua akan selalu berada dibawah pengawasan para ksatria lembah Crystal lainnya. Dan jika kami berdua melanggarnya dan melarikan diri bersama maka Prechia akan menetapkan kami sebagai musuh lembah Crystal yang harus diburu dan diadilli di lembah Crystal tanpa kesempatan kedua.
Kulirik Brisa yang nampak tersenyum puas disampingku.
”Itu sama saja berada dalam penjara hanya caranya saja yang berbeda,” rengutku  kesal.
Prechia tersenyum bijak. ”Hidup memang tak pernah adil nak. Tapi syarat yang kuajukan pada perjanjian ini adalah hal yang paling masuk akal untuk saat ini. Semua itu demi keselamatanmu sendiri dan juga keamanan lembah Crystal.”
Kuhela napas panjang dan membuang pandanganku dari tatapan Prechia.
”Aku tahu Tristan jauh sebelum kau mengenalnya. Dan aku pun memiliki keyakinan yang sama jika ia masih tetap Tristan yang dulu. Aku percaya Tristan akan berubah jika ia menemukan orang yang tepat untuk mengubahnya. Dan kurasa kau adalah orang itu,” senyum Prechia melembut.
Kutatap Prechia dengan kelegaan hati. ”Aku senang masih ada yang mau mempercayainya seperti aku. Terimakasih nyonya Gold. Aku akan membicarakan syarat yang kau ajukan ini pada Tristan.”
Prechia mengangguk.
”Apakah kau yakin itu keputusan yang bijak Prechia. Membiarkan Readick menjadi salah satu pengajar sihir di Sandora,” protes Brisa pelan.
Prechia tertawa lembut. ”Brisa Ackron. Jika kau meragukan keputusan yang kubuat untuk tuan Readick dan gadis muda ini apakah kau memiliki solusi yang lebih baik?” balas Prechia balik bertanya.
Brisa mendengus salah tingkah.
”Aku hanya menjaga tradisi yang telah diciptakan Orion Xander selama ini. Mengambil keputusan bijak yang akan mendamaikan semua pihak.”
Brisa terdiam.
”Sebaiknya kau antarkan Calista ke ruang tahanan kita di Agara untuk menemui Tristan. Aku yakin Tristan akan mengambil keputusan bijak akan perjanjian yang kubuat untuknya,” senyum Prechia lagi.
Dengan anggukkan sopan dan rasa terimakasih yang tersirat dari senyumanku, kami berlalu dari hadapan Prechia.
Sepanjang perjalanan keluar dari ruangan Orion menuju aula kami terdiam. Kening Brisa terlihat berkerut dan sepasang mata birunya melirikku tajam. ”Jujur saja aku tak suka keputusan yang telah diambil Prechia. Tristan terlalu berbahaya untuk dilepas berkeliaran di lembah Crystal,” gusarnya dengan nada tinggi.
Aku tak menyahutinya.
”Mengapa kau begitu keras kepala membelanya. Sebaiknya kau segera menghentikan rasa simpatimu padanya, Cal. Aku yakin dia sengaja membuatmu berada dalam perangkapnya,” cetus Brisa kesal.
Hatiku memanas mendengar tuduhan Brisa.
”Sudahlah Bris. Aku terlalu lelah untuk mendengar prasangkamu terhadapnya,” sahutku emosional.
”Hebat. Sepertinya Tristan telah membuat mata dan kupingmu tertutup hanya untuknya,” cemooh Brisa.
Kuhentikan langkahku seketika. ”Haruskah kau mengucapkan kata kata itu Bris. Kau benar benar keterlaluan,” ujarku dengan nada bergetar menahan marah.
”Aku tidak akan menahan diri untuk mengatakan apa yang ada dipikiranku. Sebaiknya kau membiasakan diri, Cal. Karena mulai sekarang kau akan tinggal bersamaku dan berada dalam pengawasanku setiap hari. Dan tak ada yang dapat kau lakukan akan hal itu,” senyum puas Brisa terlihat melebar dibibirnya yang indah.
”Brengsek...” makiku pelan seraya berlalu darinya.
”Hey,  jaga ucapanmu itu!”  teriak Brisa marah seraya mengejar langkahku.
”Menjauhlah dariku,” ujarku penuh emosi seiring dengan getaran hebat yang tiba tiba saja kurasakan disekujur tubuhku.
Masih dalam keadaan tegang dengan tingkat emosi yang tinggi, tanpa kusadari perasaan itu telah membangkitkan sebuah energi kuat terpancar keluar dari tubuh rapuhku. Membangkitkan sebuah hembusan angin yang perlahan lahan mulai berputar cepat mengelilingi tubuh kecil ini yang mulai terasa ringan seolah melayang dengan rambut dan jubahku berkibaran tak karuan terkena hembusannya.
”Calistaa..!!” seru Brisa cemas.
Kutatap wajah pucat Brisa dengan rasa amarah yang meluap.
”Berhentilah menghakimi Tristan!” teriakku marah seraya melayangkan kedua telapak tanganku kearah tubuh Brisa.
Brisa yang tak sempat menghindar langsung terjengkang sepuluh langkah dihadapanku. Tubuh langsingnya menghantam tanah dengan sangat keras. Darah segar mengucur dari mulutnya dengan cepat.
Rasa terkejut luar biasa membuatku tersadar. Dan hemabusan angin yang tadi berputar mengelilingiku pun mulai mereda lalu menghilang dengan perlahan.
Kutatap Brisa yang terkapar tak sadarkan diri dihadapanku dengan nanar. Kuhirup udara segar sebanyak banyaknya untuk menghilangkan rasa sesak di dada. Mencoba untuk menguasai emosi dan bernapas teratur.
”Apa yang telah kau lakukann..!” teriak Darren yang kini berdiri dibelakangku bersama Cleo dan Oggie.
Wajahku pucat seketika.
”Apakah kau baru saja menyerang Brisa dengan sebuah sihir anginn!!” teriak Darren kasar seraya menghampiri tubuh Brisa yang tergeletak kaku diiringi langkah Oggie dan Cleo yang menatapku sinis.
”Aaku tak bermaksud melukainya....,” sahutku panik.
”Sepertinya, pikiranmu sudah mulai sinting sejak tertawan para penyihir Zorca!” tukas Cleo sengit.
Aku hanya terdiam kehilangan kata kata.
Sementara Darren dengan cepat menggendong Brisa dipundaknya. ”Aku akan membawa Brisa ke rumah perawatan.”
”Tunggu Darr. Sebaiknya kau membawanya ke rumah Ferin. Sepertinya Brisa terkena serangan sihir dari jarak dekat. Nyonya Ferin, satu satunya orang yang dapat menyembuhkan luka Brisa dalam waktu singkat,” saran Oggie kalut.
”Tunggu. Biarkan aku ikut bersamamu. Semua ini salahku. Tapi aku benar benar tak mengerti mengapa aku melakukannya,” mohonku cemas.
Cleo mendorong tubuhku. ”Jangan sok suci. Merengek seperti itu seolah kau tidak bersalah!” bentaknya kasar.
”Tenanglah Cle,” ingat Oggie.
”Kumohon ijinkan aku ikut dengan kalian,” pintaku setengah menangis tak memperdulikan sama sekali perkataan kasar yang ditujukan Cleo padaku.
Dengan enggan Darren mengangguk lemah. ”Kurasa kita harus cepat membawanya ke rumah Ferin sebelum terlambat,” gusarnya.
Oggie dan Cleo mengangguk pelan. Sementara aku hanya dapat mengusap airmata menahan rasa sesal di dada.
Tanpa membuang waktu kami segera bergegas menuju rumah Ness.
Dan sepanjang perjalanan, tak henti hentinya Cleo melayangkan pandangan benci sekaligus jijik luar biasa padaku.
Kedatangan kami mendapat sambutan hangat dari seorang wanita yang nampak tenang ketika melihat sosok Brisa yang menggantung tak sadarkan diri dibahu Darren.
Piphylia Ferin adalah sosok wanita lembut yang sangat ramah. Gerak geriknya begitu luwes dan anggun seperti orang yang tengah menari. Rambut pirangnya yang panjang nampak lurus dan terawat. Wajahnya masih menyisakan guratan guratan kecantikan di masa mudanya. Begitu halus dengan nada suaranya yang lembut. Nampaknya Ness mewarisi aura ketenangan dari sosok ibunya yang berasal dari keturunan bangsa elf itu.
Kami berkumpul diruang tamu keluarga Ferin, menunggu Piphylia bekerja menyembuhkan Brisa di dalam kamar. Tak ada yang bersuara. Suasana sedikit tegang  dan sangat tidak nyaman. Namun kami hanya diam membisu dan enggan mengucapkan kata kata.
Begitu tegangnya hingga kami tidak memperhatikan sosok tinggi langsing yang berdiri di pintu rumah dan menatap kami dengan sedikit terkejut. Namun dengan cepat ia dapat menguasai diri dan raut wajahnya kembali tenang dan datar.
”Seingatku, aku tak pernah mengundang kalian datang kerumahku hari ini,” suara lembut Ness menyadarkan lamunan kami.
Kutundukkan kepalaku dalam dalam tak berani menatap sosoknya yang masih berdiri menanti jawaban.
Darren menghela napas. ”Brisa terluka dan ibumu tengah menyembuhkannya saat ini.”
Tidak ada perubahan drastis yang terlihat dari wajah Ness. Airmukanya masih nampak tenang dan datar namun seketika itu juga pandangannya mengarah padaku.
Wajahku memanas. Entah mengapa aku merasa ia telah menuduhku sebagai pelakunya ketika ia menyipitkan pandangannya padaku.
”Anak itu tiba tiba saja mulai kerasukan dan kehilangan kendali lalu menyerang Brisa. Kurasa dia sudah menjadi gila!” lirik Cleo padaku dengan nada sinis yang sangat menyudutkan.
”Wow, berhentilah memojokkan Calista. Kurasa ia sendiri tak sadar akan perbuatannya pada Brisa,” sahut Oggie seraya melirik kearahku.
”Dia memang selalu bertingkah polos dan terlihat bodoh, Ogg. Tapi dia hanya berpura pura. Harus kau ingat, dialah yang sengaja membawa musuh kembali dan membahayakan lembah ini. Apakah kau masih berpikir ia tak sadar akan perbuatannya yang konyol dan menggelikan itu,” serang Cleo bertubi tubi menghancurkan harga diriku.
”Aku tak bermaksud membelanya hanya saja kita harus mendengar penjelasannya terlebih dahulu. Mengapa ia menyerang Brisa dengan sihirnya. Seingatku ia tak bisa menyihir apapun,” ujar Oggie dengan nada tinggi.
Kepalaku tiba tiba terasa penat dan aku merasa sangat muak mendengar penuturan Oggie tentang kekuatan sihir yang tiba tiba saja muncul pada diriku.
”Bisakah kalian berdua berhenti berteriak satu sama lain. Benar benar mengganggu. Membuat kepalaku pening saja,” sela Darren pada Oggie dan Cleo dengan wajah kesal.
”Darren benar. Brisa telah berada ditangan yang tepat. Dan ibuku butuh ketenangan untuk  menyembuhkannya,” sambung Ness pelan.
Seketika itu juga Oggie dan Cleo pun terdiam. Kuatur napasku perlahan untuk menyembunyikan keteganganku. Tak sedikitpun aku berani menegakkan kepalaku dihadapan mereka. Namun aku dapat merasakan sepasang mata coklat keemasan menatap lurus tepat kearahku.
”Kalian terlihat manis jika sedang bersedih seperti itu,” sebuah sapaan lembut menyapa riang dan mencairkan ketegangan.
 Piphylia Ferin tersenyum lembut menatap kearah kami satu persatu. Lalu perhatiannya tertuju pada anaknya, Ness.
”Kau sudah pulang rupanya,” ujar Piphylia lagi lembut.  
Ness mengangguk pelan.
”Bagaimana keadaan Brisa, nyonya Ferin?” tanya Darren tak sabar.
”Dia akan baik baik saja. Brisa seorang wanita yang tangguh,” sahut Piphylia seraya tersenyum riang.
Kelegaan terlihat di wajah Darren, Oggie dan Cleo. Seketika itu juga air mata mengalir di sudut mataku.
Piphylia menatapku lembut. ”Oh sayang. Jangan menangis seperti itu. Brisa akan bertahan hidup. Percayalah padaku, dalam waktu tiga hari ia akan kembali normal,” hiburnya seraya menghampiriku sambil memegangi bahuku dengan gerakan tangannya yang luwes.
Dengan cepat kuseka airmata yang jatuh dikedua pipiku. Kurasakan wajahku memanas, mungkin saat ini seluruh wajahku telah berubah menjadi merah muda.
”Mari ikut aku, nak. Aku akan membuatkan secangkir teh hangat untuk menenangkanmu,” ujar Piphylia seraya membimbingku berdiri dari tempat dudukku menuju meja makan diruang tengah.
Seketika itu juga Cleo melemparkan pandangan sinisnya kearahku.
Dengan ragu aku mengikuti langkahnya. Kedua tangannya yang lembut memelukku hangat dari samping dan mendudukkanku dikursi makan. ”Aku akan membuatkan teh yang enak untukmu. Apakah kalian juga mau?” tawarnya pada Darren, Oggie dan Cleo.
”Oh tidak terimakasih nyonya Ferin. Aku bukan seorang peminum teh,” sahut Darren menolak halus tawarannya.  
”Ya aku juga tidak nyonya. Tapi apakah kita bisa melihat keadaan Brisa sekarang,” sela Oggie.
”Jangan sekarang sayang. Brisa butuh istirahat. Lagipula ia tengah tertidur lelap saat ini, kembalilah besok jika ingin berbincang dengannya,” desah Piphylia pelan.
Oggie segera bangkit dari tempat duduknya. ”Baiklah, kalau begitu aku pulang saja karena hari sudah mulai gelap,” angguknya pada Piphylia dan Ness.
Ness mengangguk.
Oggie pun berlalu menuju pintu depan dan segera menghilang dari balik pintu rumah Ness.
”Sepertinya aku juga akan melakukan hal yang sama. Aku lelah sekali setelah seharian ini mengajar di Sandora,” ujar Darren seraya beranjak dari kursi.
”Tentu saja nak,” senyum Piphylia mengembang seraya menuangkan teh yang masih mengepulkan asap kedalam cangkir cangkir dihadapannya.
”Apakah kau akan ikut denganku?” tawar Darren mengalihkan pandangan kearah Cleo yang masih menatapku dengan penuh kebencian.
”Tentu saja. Terimakasih untuk tawaran tehnya nyonya Ferin,” angguk Cleo kaku pada Piphylia.
Piphylia mengangguk lembut kearah Cleo.
”Baiklah. Sampai besok di Sandora, Ness.” lambai Darren seraya bergegas menuju pintu depan diiringi langkah langkah enggan Cleo dibelakangnya.
Ness mengangguk pelan dan sedikit termenung menatap kepergian Darren dan Cleo.
”Apakah kau mau duduk bersama kami untuk minum secangkir teh Ness,” tawar Piphylia pada anak laki lakinya itu.
”Tentu saja,” sahut Ness datar seraya berjalan ke meja makan dan duduk dihadapanku.
Kualihkan tatapanku lurus lurus pada cangkir teh ditanganku yang masih mengepulkan asap tipis.
”Apalagi yang kau perbuat kali ini,” tanya Ness tanpa basa basi seraya mengamati wajahku.
”Jaga sikapmu, Ness. Bicaralah yang sopan pada seorang gadis,” ingat Piphylia pelan seraya menuangkan teh ke dalam cangkir dihadapan Ness.
Ness menghela napas.
”Tidak apa nyonya Ferin. Semua memang salahku,” sahutku gemetar tanpa berani menatap pandangan dua orang mengagumkan dihadapanku ini.
”Lihat aku nak. Tidak ada yang perlu kau takutkan. Boleh kutahu namamu?” ujar Piphylia lembut layaknya seorang ibu pada anaknya.
Kuangkat kepalaku dan memberanikan diri menatap wajah Piphylia. Sepasang mata coklat keemasan yang lembut, seperti milik Ness tengah menatapku ramah. Kedua tangannya yang halus menggenggam kedua tanganku.
”Calista Kaz..”
”Kau terlihat bingung dan kehilangan arah Calista Kaz. Seharusnya kau membaginya bersama seseorang untuk sedikit menenangkan pikiranmu.”
Kutatap Piphylia sendu.
Ness hanya terpaku ditempat duduknya.
”Kau tahu. Wajah cantik itu akan terlihat redup jika kau terus bersedih,” tambahnya lagi meninggalkan kesan yang dramatis akan keadaanku.
”Aku baik baik saja,” sanggahku halus.
Piphylia melepaskan pegangan tangannya lalu meraih secangkir teh dihadapannya. ”Baiklah jika kau merasa begitu.”
Aku terdiam gugup.
Kulirik Ness yang nampak tak memperdulikan perbincangan kami.
Kedua ibu dan anak itu kini terlihat tenggelam dan menikmati secangkir teh mereka dalam diam.
Aku merasa sedikit canggung dan baru kusadari aku belum menyentuh sedikitpun secangkir teh dihadapanku ketika Piphylia mengingatkan aku untuk meminumnya. Dengan perlahan kuhirup teh buatan Piphylia yang beraroma herbal dan ternyata memang nikmat dan sangat menenangkan.
”Apakah kau punya tempat untuk tidur malam ini,” tanya Ness memecahkan kesunyian.
Piphylia sontak tertawa geli. ”Kau harus memaafkannya Calista. Untuk keterusterangannya dalam berbicara,” geleng Piphylia dengan segaris senyum yang tersamar dibibirnya.
Ness terlihat jengah namun tak mengomentari ucapan ibunya itu.
 Aku tersenyum tipis. ”Tidak apa. Sebenarnya aku tinggal bersama Brisa namun karena aku telah melukainya, aku berharap kalian mengijinkan aku untuk bermalam disini. Setidaknya malam ini saja, untuk menemani Brisa,” pintaku sopan.
”Tentu saja nak. Rumah ini terbuka untukmu,” Piphylia tersenyum ramah.
”Aku janji tidak akan merepotkan,” ujarku meyakinkannya.
Ness tergelak.
Kutatap Ness dengan gemas.
Seolah mengetahui bahasa tubuh kami yang terlihat memancarkan aura perselisihan. Piphylia hanya menatap bijak. ”Apakah rumah Brisa satu satunya tempatmu bermalam, Calista.”
”Ya ....” sahutku pelan.
”Jika kau tidak sebegitu keras kepala dan sedikit menyenangkan. Ada kemungkinan banyak orang yang mau menampungmu selain Brisa,” tukas Ness santai.
Bola mataku membesar. Kutatap wajah Ness lekat lekat. ”Berpikirlah dua kali jika kau merasa lebih menyenangkan daripada aku,” tandasku kesal.
Ness kembali tertawa. ”Itukan hanya menurut pendapat pribadimu saja,” sahutnya tak mau kalah.
Ucapan Ness benar benar membuatku tak berkutik.
Piphylia tersenyum penuh arti. ”Seharusnya kau menjadi tuan rumah yang baik dan menunjukkan kamarmu untuk Calista beristirahat, Ness.” sela Piphylia tak memperdulikan nada ketegangan akan ucapan ucapan yang terlontar dari mulut kami.
Kamar Ness.  Batinku resah.
”Maaf nyonya Ferin tapi kurasa itu tidak perlu. Bisakah aku tidur disamping Brisa malam ini. Aku ingin menjaganya,” tolakku panik.
”Kamar tamu kami terlalu sempit untuk kau tempati. Lagipula aku telah memberinya ramuan hingga ia tertidur lelap sampai besok pagi untuk memulihkan kekuatannya. Kau tidak perlu menungguinya,” angguk Piphylia mencoba untuk meyakinkanku.
 Ness berdiri dari kursinya dan menatap penuh kemenangan kearahku. ”Jangan sungkan. Aku sama sekali tidak keberatan. Aku tahu, kau pasti sudah tak sabar untuk merebahkan tubuh lelahmu itu dikamarku,” balas Ness seraya tersenyum samar kearahku.
Kutatap Ness dengan geram.
Satu alis Ness terangkat tinggi saat membalas tatapanku. ”Aku dapat membaca pikiranmu Kaz,” bisiknya pelan memancing rasa emosiku.
Aku beranjak dari kursi dengan setengah hati. Kutatap raut muka Ness yang tersenyum datar dihadapanku itu dengan perasaan tak karuan.
Sepertinya aku tak punya pilihan selain mengikutinya. Kuanggukkan kepala dengan sopan pada Piphylia yang tersenyum lembut kearahku.
Kami menaiki tangga menuju ruang atas. Kamar Ness terletak di ujung ruangan. Dengan cepat Ness membuka kamarnya yang tidak terkunci dan memberiku jalan untuk masuk.
Dengan langkah ragu aku memasuki kamarnya. Aroma khas Ness seketika mengisi hidungku. Begitu menenangkan dan membuatku merasa nyaman.
Ness yang hanya berdiri di pintu kamar dengan kedua tangannya yang bersedekap di dada nampak memperhatikan air mukaku dengan rasa penasaran.
Aku memilih untuk bersikap acuh. Kusapu pandangan kesekeliling ruangan kamar yang bernuansa coklat terang. Kamar ini begitu rapih dan bersih. Sebuah kapal rakitan dari kayu tergeletak diatas meja disudut dinding kamar dekat jendela yang tertutup.
Dengan rasa ingin tahu, kuhampiri dan dengan hati hati, kupegang kapal rakitan lengkap dengan layarnya itu dengan lembut.  ”Apakah ini punyamu?” gumamku pelan.
Ness berjalan pelan menghampiriku. Kini kami berdiri sejajar dan memandangi kapal rakitan yang berada dalam genggaman tanganku ini.
”Ayahku yang membuatnya. Kurasa dia berharap akan berlayar bersamaku suatu hari nanti,” gumam Ness pelan.
Ada segurat ketidaknyamanan terlihat sekilas di wajah tampannya.
”Setidaknya kau beruntung karena ayahmu meninggalkan sesuatu untukmu sebagai kenangan,” desahku seraya memberanikan diri untuk mencuri pandang kearahnya. Wajahnya masih terlihat sama. Sempurna. Dan sangat menawan dari jarak sedekat ini.
Ness terpaku menatap kapal layar rakitan yang berada dalam genggaman tanganku ini dan tak memperdulikan ucapanku.
”Jika aku tidur di kamar ini lalu bagaimana denganmu,” ujarku berusaha memecahkan kesunyian seraya menaruh kembali kapal rakitan miliknya ke tempat semula.
Sepasang mata coklat keemasan itu menatapku seolah tengah tersenyum. ”Mengapa kau begitu mencemaskanku.”
”Aku hanya tak ingin merepotkanmu. Apalagi kau pasti lelah setelah seharian pergi. Kau pasti menginginkan tempat tidurmu yang nyaman malam ini,” sahutku acuh.
Wajah tampan Ness menatapku dalam. ”Kau benar. Mungkin aku bisa tidur disampingmu malam ini jika itu yang kau inginkan,” godanya dengan wajah serius.
Jantungku berhenti berdetak beberapa saat ketika mendengar ucapan konyolnya. Kutatap wajah tampannya yang kini terlihat menyebalkan itu dengan rasa kesal.
Ness tertawa merdu. ”Mengapa begitu tegang. Tenang saja, aku juga tak menginginkan hal itu terjadi,” ujarnya santai seraya membalikkan tubuhnya yang sempurna dari hadapanku.
”Kau tahu Ness, kau sama sekali tidak membuatku juga terpesona padamu,” seruku marah.
Ness membalikkan tubuhnya dan menatapku dengan sorot matanya yang agak berbeda.
”Mungkin gadis gadis lain tergila gila padamu. Tapi aku tidak. Jadi berhentilah mengodaku karena aku sama sekali tidak tertarik padamu,” seringaiku garang seraya berdiri tegak menantangnya.
Seketika itu juga Ness melompat lincah dan menerkamku bagai seekor binatang buas yang tengah menerkam mangsanya. Dan dengan cepat kedua tangannya yang kokoh merengkuh tubuh rapuhku dalam pelukannya lalu memojokkanku ke dinding kamar. Garis mukanya terlihat serius kala menatapku.
Kuatur napasku yang memburu dan mencoba mendorong tubuhnya dengan sekuat tenaga namun sia sia kedua tangan kokohnya malah semakin erat dan dengan sengaja ia mempererat pelukannya lalu mendekatkan tubuhku dalam pelukannya yang terasa hangat.
”Lepaskan aku,” getarku menahan marah.
Ia meraih daguku dengan tangan kanannya, sedikit kasar. Kini wajah kami sangat dekat. Aku bahkan dapat merasakan hembusan napasnya yang begitu hangat dan harum diwajahku. Perpaduan dari raut wajahnya yang tampan dengan airmukanya yang selalu terlihat tenang membuat laki laki ini menjadi sangat mempesona dan sulit ditolak. Mata coklat emasnya terlihat sedikit liar dan menyorot tajam.
”Apa yang kau inginkan Ness!” seruku mencoba menahan debaran hebat di jantungku.
Bukan melepaskan pelukannya, Ness malah menekan wajahnya yang dingin ke wajahku. Kini hidung kami saling bersentuhan. Sepasang mata keemasannya yang indah menatapku tak berkedip. Tatapannya membuatku terbuai dan hilang akal. Hampir saja aku tak dapat menguasai diri dan hanyut dalam pesonanya.
”Lepaskan aku atau ...
”Atau Tristan akan membunuhku,” bisiknya merdu.
Kata katanya membuatku terperanjat.
Ness mengendurkan pelukannya dengan kesal kudorong tubuh kekarnya dengan segenap kekuatanku.
Pangeran peri itu tertawa datar. Diamati wajahku dengan seksama. ”Wajahmu sedikit memerah,” ucapnya tanpa perasaan.
”Tinggalkan kamar ini Ferin..” pintaku marah.
Mata emas Ness menyorot dalam. ”Selamat malam Calista,” senyumnya datar kemudian berlalu dari hadapanku.
Aku hanya dapat menatap punggungnya yang menghilang dari balik pintu kamar dengan perasaan tak karuan. Tingkah pangeran peri itu benar benar keterlaluan. Selalu saja menggangguku dengan sindiran sindiran halusnya atau perilakunya yang sengaja menggodaku.
Dan kejadian itu pun terulang lagi.
Keesokan paginya aku terbangun oleh sosoknya yang tengah berdiri di depan pintu kamar dengan tatapan matanya yang tengah mengamatiku.
”Sudah berapa lama kau berdiri disana?” tegurku panik berusaha untuk bersikap wajar seraya bergerak duduk dan merapihkan rambutku yang berantakan.
Ness tersenyum tipis. ”Piphylia menyuruhku untuk membangunkanmu. Jangan salahkan ketidaksopananku ini.  Tapi .. sepertinya kau lupa mengunci pintu ini,” ujarnya seraya menunjuk pintu kamar.
Kuberanikan diri menatap sorot matanya yang tengah mengamatiku. Rambut hitamnya yang kecoklatan sedikit basah. Ness terlihat segar dan tampan. Namun aku bertekad untuk bersikap acuh dan tidak terpancing oleh pesonanya.
”Saat tertidur, kau terlihat cukup menyenangkan untuk dipandang,” gumamnya pelan. Matanya yang indah menjelajahi wajahku tanpa malu.
Tatapannya membuatku jadi salah tingkah. Namun aku telah bertekad untuk melawan pesonanya itu. ”Harus kuakui tempat tidur ini sangat nyaman dan menyenangkan dibandingkan pemiliknya,” cetusku kasar membalas perkataannya.
Ness tertawa merdu untuk beberapa saat. Lalu ia menatapku dengan ekspresi wajah yang sulit kubaca. Sorot matanya begitu dalam mengarah padaku. Membuatku jengah dan sedikit tersipu.
Kalau terus begini aku bisa gila akan pesonanya batinku kesal. Dengan cepat aku berusaha menguasai diri. Dan menatapnya sedatar mungkin.
Kedua mata Ness menyipit. ”Kau mungkin tidak terbiasa sarapan pagi tapi Piphylia telah memasak untukmu. Kuharap kau tidak mengecewakannya.”
Sulit dipercaya dia masih ingat akan kebiasaanku yang tidak pernah sarapan pagi.
Satu alis matanya terangkat. ”Kami menunggumu dibawah.”
”Tunggu. Apakah Brisa sudah sadar,” tanyaku tegang.
Ia menghembuskan napasnya perlahan. ”Belum. Tapi jangan khawatir, kondisinya sudah semakin membaik. Ramuan obatnya telah bekerja dan menyembuhkan lukanya dari dalam.”
Aku terpaku.
Ness membalikkan badan dan segera berlalu meninggalkan aku yang masih tak ingin beranjak dari tempat tidur ini. Dengan perlahan, kembali kubenamkan wajahku dalam dalam pada bantal Ness yang harum dan baunya terasa menyenangkan terhirup dihidungku.
Benar benar aneh. Segala sesuatu tentang Ness selalu membuatku merasa tenang dan nyaman. Wajahku kembali memanas. Pikiran akan Ness mengalihkan perasaaanku sesaat pada Tristan. Dengan cepat kusingkirkan jauh jauh bayangan Ness dari benakku. Aku harus turun dari ranjang ini dan membersihkan diri. Aku harus segera menemui Tristan untuk memberitahukan syarat yang telah diajukan Prechia pada kami.
Makan pagi bersama keluarga Ferin terasa sedikit janggal. Piphylia dan Ness hanya minum secangkir teh hangat. Sementara sepiring daging asap dan telur buatan Piphylia yang masih hangat terhidang lezat dihadapanku.
Ketika Ness pergi untuk mengambil baju hangatnya untukku. Piphylia memegang tanganku dengan lembut dan menatapku hangat. ”Belum pernah kulihat wajah Ness secerah itu ketika menatapmu. Bahkan Quilla sekalipun tak sanggup menghadirkan keceriaan diwajahnya.”
Kata katanya membuatku sedikit tersipu. Kutatap wajah Piphylia.  ”Aku yakin putri Quilla akan membuat Ness bahagia nyonya Ferin.”
Piphylia terdiam untuk sesaat. ”Kuharap kau benar,” ucapnya ragu ragu.
Piphylia kembali menatapku namun kali ini wajahnya terlihat sedikit sendu. ”Regina adalah seorang penyihir yang hebat. Kurasa kau akan menjadi seorang penyihir yang sama hebatnya seperti ibumu.”
”Kau mengenal ibuku,” bisikku berkaca kaca.
”Tentu saja. Dia salah satu ksatria sihir di lembah Crystal yang berbakat. Regina, Arman dan suamiku, Aisling berjuang bersama sama melawan pemberontakan Zorca kala Ghorfinus mengangkat Orion sebagai penerusnya. Kurasa aku takkan sanggup memaafkan Rufus karena telah membunuh Aisling dan Regina,” ujarnya menerawang.
”Aku benci laki laki itu. Dia juga telah membunuh ayahku,” isakku pelan.
Piphylia menatapku iba. ”Aku turut berduka untukmu.”
Kuhembuskan napas perlahan untuk menguasai emosi. Setiap aku mengingat kematian orang tuaku ada rasa sakit terasa menusuk di dadaku seketika.
”Ness baru berumur delapan tahun ketika mengetahui Aisling tewas di tangan Rufus. Sejak hari itu ia berubah menjadi seorang anak yang sangat pendiam.”
Kutatap wajah sedih Piphylia.
”Aisling dan Arman adalah sahabat baik. Mereka sama sama seorang psychic dan berasal dari desa yang sama. Yaitu sebuah desa kecil bernama Torment yang berada tak jauh dari kota Hordos.”
Aku hanya termenung mendengar penuturannya. Terus terang saja aku bahkan sama sekali tidak mengetahui asal usul kedua orangtuaku.
Piphylia tersenyum lembut. ”Datanglah kapan saja kau mau. Rumah ini selalu terbuka untukmu Calista,” ujarnya seraya mengusap lembut pipi kananku.
”Terimakasih nyonya Ferin,” sahutku terharu.
Hari itu Ness mengantarku ke Agara. Sebuah penjara bawah tanah yang terletak di wilayah selatan lembah Crystal. Tristan terlihat begitu resah ketika kutemui. Saat kuberitahukan perjanjian yang dibuat oleh Prechia untuknya, airmukanya mulai menegang. Awalnya ia menolak. Namun dengan penuh kesabaran kuyakinkan dirinya jika itu adalah pilihan terbaik untuk saat ini.
”Kurasa Prechia menganggap semua ini hanyalah suatu bentuk kekhilafan yang dapat diperbaiki,” tandasku meyakinkan mata ungunya yang kian meredup. Sepertinya berada dalam sel tahanan seperti ini semakin melemahkan jiwanya.
Tristan termenung untuk beberapa saat. Cukup lama waktu yang dibutuhkan untuknya berpikir dan menimbang nimbang keputusannya sebelum akhirnya menyetujui perjanjian yang diajukan Prechia.
Senyumku melebar. Kupegang erat jemarinya dari balik jendela tahanan dengan berseri seri. ”Semuanya akan baik baik saja,” bisikku.
Tristan hanya membeku dan menatapku ragu. ”Kuharap begitu,” sahutnya pelan.
Tidak ada sepatah kata pun keluar dari bibir Ness ketika aku memberitahukan perihal perjanjian yang dibuat Prechia untukku dan Tristan setelah kunjungan dari Agara.
”Rasanya begitu menyenangkan tidak mendengar satu keluhan pun keluar dari bibirmu itu,” sindirku senang.
”Aku tak menyangka Prechia membiarkan Readick kembali mengajar di Sandora,” Ness yang tadinya bungkam kini buka suara.
”Aku akan membuat Tristan berjanji padaku untuk tidak melakukan hal buruk yang dapat menyakiti orang orang di lembah ini Ness,” ujarku mencoba untuk membela keputusan Prechia dan kepentingan Tristan.
Wajah tampan Ness menatapku tegas. ”Sebaiknya begitu. Karena jika tidak aku akan mengejarnya kemana pun ia pergi. Dan menghabisinya dengan kedua tanganku sendiri.”
Wajah yang biasa terlihat datar kini berubah menjadi tegang dan menatapku serius. ”Dan, jika saat itu tiba kuharap kau tidak berada diantara kami untuk menghalangiku.”
Bulu kudukku meremang begitu mendengar ucapan Ness. Nampaknya ucapannya itu tidak main main.
Sekembalinya aku ke rumah Ness. Brisa sudah siuman. Bahkan ia sudah dapat berjalan tegak walau agak sedikit sempoyongan. Meski aku menangis dan meminta maaf berkali kali wajah Brisa tetap menujukkan keramahan seolah tidak pernah terjadi perselisihan diantara kami. Sebaliknya ia begitu senang karena mengetahui jika kekuatan sihirku sudah mulai kembali.
Brisa bersikeras untuk kembali ke rumah meski Piphylia melarangnya. Akhirnya Piphylia mengalah dan memberikan tambahan ramuan obat untuk memacu pemulihan kekuatan Brisa.
Setibanya dirumah, Brisa yang sangat tidak sabaran, mengetahui juga keputusan akhir yang kuambil bersama Tristan.
”Cobalah memintanya untuk sedikit tenang dan menuruti kemauanmu. Demi kebaikan kita bersama. Sepertinya Tristan mau mendengarkan semua ucapanmu,” ujar Brisa seraya mengamati wajah gundahku.
Kuhela napas panjang. ”Akan kucoba sebaik mungkin Bris. Ini adalah resiko yang harus kuhadapi karena telah membawanya kembali pulang ke lembah Crystal.”
Brisa menatapku sayu.
”Aku berjanji akan merubahnya menjadi lebih baik dari sekarang,” tandasku.
”Bagaimana jika ternyata ia tidak menjadi seperti yang kau inginkan.”
Aku terdiam untuk sesaat. ”Aku akan meninggalkannya,” desahku dengan berat hati.
Brisa menatapku datar. ”Kau yakin?”
Kutatap Brisa dengan tegar. ”Kurasa itu jalan terbaik bagi aku dan Tristan.”
Brisa memelukku hangat. Rasa haru mulai merasukiku. Aku tak ingin mengecewakan Brisa karena ia telah kuanggap seperti kakakku sendiri. Dan untuk Tristan, aku takkan memberinya kesempatan kedua jika ia mengecewakanku nantinya.

Writer : Misaini Indra


No comments:

Post a Comment