Protected by Copyscape Plagiarism Scanner

Wednesday 4 July 2012

PART II : Calista Kaz “Bangkitnya Sang Naga” (Chapter 7)


7. JALAN BUNTU

Titus mengernyitkan dahi dan menatapku dengan raut wajah penuh rasa penasaran.
”Lupakan saja Titus. Kurasa itu hanya sebuah mimpi buruk bukan sebagai sebuah pertanda apapun,” gusarku jengah dengan tatapannya yang penuh selidik.
Titus menghela napas panjang. ”Seingatku kau begitu resah saat datang ke tempatku menanyakan perihal permintaan Obidia dalam mimpimu itu.”
Aku mencoba tersenyum. ”Saat itu reaksiku sepertinya terlalu berlebihan hingga kau menarik kesimpulan ada yang aneh dengan hal itu.”
Titus terdiam. Namun sepasang mata sedihnya tetap tak mau melepaskan pandangannya padaku.
”Bagaimana tanganmu? Kau sudah merasa baikan? tanyaku mencoba mengalihkan pembicaraan.
”Seperti yang kau lihat,” sahutnya seraya menunjukkan tangan kanannya yang sudah tidak dibebat kain lagi.
”Sukurlah,” ujarku bersimpati.
”Ceritakan padaku dari awal Calista, bagaimana akhirnya hingga kau bisa membangkitkan naga Arkhataya dari tidur panjangnya,” desak Titus penuh selidik.
Kuberanikan diri menatap Titus dan mencoba bersikap wajar.
”Chaides Borzy membantuku untuk memahami riak air terjun Farfasian tempat bersemayamnya Arkhataya,” ucapku datar.
”Sulit dipercaya! Laki laki cebol yang menguasai sihir air itu musuh yang sangat berbahaya. Untuk apa dia membantumu!” dengus Titus keheranan.
”Sepertinya Chaides mulai lelah akan dendam Zorca yang tak pernah terpuaskan, ujarku seraya menghembuskan napas panjang.
Titus terdiam untuk beberapa saat. Lalu kembali menatapku.
”Keberuntungan nampaknya selalu berpihak padamu,” senyum sedih Titus terlihat samar diwajah tirusnya.
Rasanya kata kata Titus kurang tepat ditujukan padaku. Justru kemalangan selalu datang sejak kutahu siapa diriku dan silsilah keluargaku.
”Berharap saja kali ini keberuntungan kembali menyertaiku saat kuperintahkan Arkhataya menghancurkan leviathan Zorca nanti,” desahku kesal.
Kening Titus kembali berkerut. Kukatupkan rahangku rapat rapat. Betapa bodohnya aku memberikan pernyataan yang akan membawa Titus pada prasangka yang baru saja ditudingkan padaku sebelumnya.
”Kau terdengar seperti tidak yakin pada kekuatan sihirmu,” ucap Titus menyudutkan.
Terlambat. Sepertinya Titus mulai membaca keresahanku. Aku harus memberikan jawaban tepat supaya ia tidak semakin mencurigaiku.
”Terkadang....” sahutku mencoba bersikap wajar.
Kali ini sepasang mata sedihnya mengamati  airmukaku.
”Aku pasti akan mengetahui dengan cepat jika kau menyembunyikan sesuatu dariku Calista,” tukasnya dengan nada tinggi yang mengganggu.
”Apa yang membuatmu berpikir seperti itu,” senyum palsuku terlontar lepas, mencoba menyamarkan kerucut di kedua bibirku yang sedikit bergetar.
”Matamu tidak dapat membohongiku,” sungut Titus. ”Kau tahu dimana mencariku jika kau siap untuk menceritakan hal yang sebenarnya padaku,” sambung Titus memperingatiku.
”Sikapmu sangat berlebihan Titus. Tidak ada apapun yang kusembunyikan darimu,” gerutuku kesal.
”Lalu untuk apa kau dan Ness bersikap aneh saat pertemuan kemarin, jika tidak ada rahasia yang kalian sembunyikan,” balas Titus tak kalah kesal.
”Brisa pasti telah meracuni pikiranmu,” ejekku setengah tertawa.
Wajah Titus merona. ”Semua ini tidak ada hubungannya dengan Brisa,” lengking Titus geram. Gerak tubuhnya terlihat sedikit kikuk manakala aku menyebut nama Brisa.
”Sepertinya wajahmu terlihat berubah warna setiap kali aku menyebut nama Brisa,” bisikku pelan sekedar untuk menggodanya.
Wajah Titus menegang. ”Aku sama sekali tidak mengerti maksud ucapanmu itu, tapi apapun yang kau dan Ness rencanakan diam diam akan sangat berbahaya dampaknya bagi keselamatan negri kita dan Amorilla,” tegasnya setengah berteriak dengan wajah sedikit bersemu.
Aku terdiam sesaat. Sial. Apakah Titus bisa membaca pikiran kami semudah itu hanya dengan melihat gerak gerik aku dan Ness diruang aula kemarin.
”Dengar Calista. Aku tidak akan memaksamu. Tapi aku berjanji akan membantumu jika kau siap menceritakan apapun itu yang kau dan Ness rencanakan,” sorot tajam dari sepasang mata sedihnya terlihat tulus dan mencoba untuk membujukku.
Kutatap Titus dengan menunjukkan sikap seolah olah  praduganya salah.
”Terimakasih Titus. Aku sangat menghargai semua ucapanmu itu,” senyumku sedatar mungkin mencoba menyembunyikan keresahan yang selalu menghantuiku.
Kepergian Titus membuatku galau.
Mungkin dia benar. Mungkin memang seharusnya aku menceritakan hal yang sebenarnya perihal Arkhataya. Tapi aku telah terlebih dahulu memberikan janjiku pada Ness.
Entah berapa kali sudah aku berjalan mondar mandir di kamar ini dengan pikiran kacau. Jika aku memberitahukan Titus perihal pengorbanan Ness, kurasa Ness tidak akan mau berbicara lagi padaku karena aku telah mengkhianati kepercayaannya.
Tapi Titus adalah solusi bagi masalah ini. Titus adalah orang yang tepat untuk menyelesaikan masalah Arkhataya.
Aku benar benar buntu.
Kucoba keluar kamar dan berjalan disekitar taman istana. Pelayan pelayan istana Amorilla terlihat sibuk berjalan keluar masuk pintu samping ruang utama. Masing masing membawa rangkaian bunga dan beberapa diantaranya nampak membawa makanan dan buah buahan disebuah nampan perak.
Sepertinya ada sebuah perayaan. Batinku.
Sekilas kulihat Quilla dari kejauhan. Gadis tersebut terlihat duduk disebuah kursi taman dengan meja kecil dihadapannya yang penuh dengan nampan yang berisi rangkaian bunga beraneka warna. Wajah angkuhnya nampak bercahaya dan terlihat senang. Quilla terlihat sibuk memilih beberapa bunga yang disorongkan para pelayan istana dihadapannya.
Mata kami bertemu.
Dengan canggung kuanggukkan kepala sebagai tanda hormatku padanya. Sayangnya Quilla terlihat tak perduli dan kembali menyibukkan diri memilih rangkaian bunga yang berada di meja kecil dihadapannya.
Kulangkahkan kakiku cepat cepat dan meninggalkan taman ini. Kucoba melupakan penghinaan kecil yang ia lakukan padaku. Meski Quilla telah mengabaikan sikap hormat yang telah kutujukan padanya, tapi semua itu tidak membuatku gentar.
Brisa benar. Sudah saatnya aku menentukan sikap. Aku akan tetap berjalan tegak meski Quilla tak pernah menganggapku. Satu satunya kesabaran yang kumiliki dan membuatku bertahan atas sikapnya yang menyebalkan itu adalah karena kebaikan hati Zordius yang mau menampung kami selama ini.
Aku harus merebut lembah Crystal bagaimanapun caranya. Dan mengembalikan kehormatan negri leluhurku yang telah terampas. Demi darah Anthea yang mengalir ditubuhku. Dan juga penduduk lembah Crystal yang menggantungkan harapan mereka padaku. Aku bersumpah merebut kembali tanah leluhurku apapun resikonya.
Aku akan menunjukkan pada Quilla jika aku pantas menjadi pelindung lembah Crystal. Aku akan membuktikan padanya jika semua perkataannya kemarin salah.
Keesokkan harinya aku melewatkan sarapan dan langsung mendatangi ruang peristirahatan Ness. Sayangnya, aku tidak dapat menemuinya disana. Salah satu pelayan mengatakan padaku jika Ness telah pergi pagi sekali meninggalkan ruangan tanpa berpesan apapun.
Kucoba menemui Piphylia Ferin di kamarnya. Raut wajah ibu Ness tersebut nampak senang begitu melihat kehadiranku. Diraihnya kedua tanganku dan mendudukkanku disebuah kursi kayu. Piphylia mulai bercerita tentang ramuan minuman penguat tubuh yang baru ditemukannya. Disodorkannya cairan berwarna hijau pupus tersebut di depan hidungku. Meski wajahku terlihat menunjukkan ekspresi keraguan namun kedua tanganku tetap mengambil cangkir dari kedua tangannya yang disorongkan di depan hidungku ini. Aku tak sanggup menolak pesona Piphylia yang nampak tersenyum lembut seraya mengangguk kearahku.
Aroma tajam dari rasa asam bercampur manis mulai membasahi kerongkonganku. Dan aku tersedak pelan karena tidak mengira akan merasakan dua rasa tersebut secara bersamaan.
Sepasang mata Piphylia menatapku dengan ekspresi wajah menunggu.
”Bagaimana nak?” tanyanya dengan wajah antusias.
”Terasa asam dan manis...” ujarku menggantung.
Piphylia tertawa pelan. ”Tentu saja. Minuman itu terbuat dari sari buah Apel dan daun Ethor.”
”Daun...Ethor?”
”Ya.. ya Ethor. Sejenis tanaman rambat yang hanya tumbuh di hutan Amorilla. Aku menemukannya kemarin sore dan tak dapat menutupi rasa bahagiaku karena menemukan tumbuhan itu secara tak sengaja,” ujarnya menjelaskan.
Sementara aku hanya tertegun mendengar penjelasannya.
”Kau tahu. Tanaman Ethor akan mati jika dibawa keluar dari hutan Amorilla. Seingatku dulu, sewaktu aku kecil, ibuku pernah mengingatkanku jika tanaman Ethor memiliki cerita tersendiri.”
”Benarkah?” tanyaku penasaran.
Piphylia tersenyum lembut padaku. ”Kau tahu, Ethor adalah nama seorang laki laki keturunan peri yang memiliki kekuatan penyembuh segala penyakit. Selama hidupnya, Ethor tidak memiliki cinta sejati karena baginya sebuah kasih sayang adalah perwujudan dari pengorbanannya untuk membantu mereka yang membutuhkan pertolongan dan kesembuhan. ”
Kutatap wajah Piphylia yang terlihat menerawang.
”Lalu apa yang terjadi kemudian padanya?” tanyaku hati hati.
Piphylia menatapku dan tersenyum. ”Meski Ethor tidak memiliki seorang kekasih dalam hidupnya namun saat tutup usia, Ethor memiliki seluruh cinta dari semua rakyat Amorilla yang merasa sangat kehilangan karena ketulusan hatinya yang tak pernah lelah menolong siapa pun.”
Aku tertegun untuk sesaat.
”Mereka mengubur Ethor dibawah rindangnya pohon maple dan beberapa hari kemudian tanaman rambat memenuhi seluruh tanah pembaringannya yang terakhir. Meski telah dibersihkan berkali kali, tanaman itu terus tumbuh dan semakin merambat bebas kesegala arah.”
            Piphylia berhenti sejenak mengambil napas sebelum kembali melanjutkan ceritanya. ”Anak angkat Ethor yang bernama Gorloin tak sengaja membawa tanaman rambat tersebut pulang setelah membersihkannya dari makam Ethor, Gorloin  merebusnya dan meminumkannya pada anaknya yang tengah demam tinggi. Dan saat pagi menjelang anak perempuan Gorloin pun sembuh dan menjadi lebih ceria dari biasanya.”
            ”Suatu kebetulan yang tak terduga,” gumamku pelan.
            Piphylia menoleh kearahku. ”Gorloin pernah mengatakan pada isterinya, ia melakukan hal tersebut semata mata karena mendengar seseorang membisikinya untuk melakukan itu semua. Beberapa tetua mengatakan jika Ethor lah yang membisiki telinga Gorloin untuk melakukan itu semua. Begitu tulusnya hati Ethor hingga dalam pembaringan terakhirnya masih dapat berpesan dan mewariskan tanaman ini untuk keselamatan kita semua.”
            Piphylia menutup ceritanya dan memandangku.
            ”Betapa mulianya hati Ethor,” desahku pelan. ”Begitu besar pengorbanan yang ia lakukan untuk pengabdian yang ia lakukan.”
Tiba tiba saja pikiranku kembali melayang pada pengorbanan Ness untuk Arkhataya.
”Kau tahu nak. Aku jadi terkenang masa kecil ketika membantu ibuku mencari tanaman Ethor di hutan Amorilla ini,” sepasang mata Piphylia memandangi daun Ethor yang ada dalam genggaman tangannya itu.
”Anella adalah ibumu, benarkah begitu?” tanyaku ragu.
Piphylia tersenyum kearahku. Dan mengangguk pelan. ”Dia mengajarkan banyak hal padaku. Kami sering pergi ke hutan bersama untuk sekedar mencari jenis tanaman baru sebagai racikan obat. Menghabiskan waktu sepanjang hari menelusuri setiap jengkal hutan Amorilla untuk mengumpulkan berbagai tumbuhan berkhasiat sambil menyanyikan lagu kesukaan kami,” kini sudut mata Piphylia terlihat sayu.
”Terkadang aku merindukan masa masa itu bersamanya nak,” wajah Piphylia menjadi sendu.
”Anda sungguh beruntung nyonya Ferin. Aku bahkan tidak mempunyai kesempatan apalagi memiliki kenangan bersama ibuku sewaktu kecil,” dengusku mencoba menghiburnya dengan kegetiran masa laluku.
Piphylia tersenyum bijak lalu mengelus sebelah pipiku. ”Maafkan aku yang tidak peka akan keadaan masa kecilmu.”
Aku tersenyum samar. ”Tidak. Bukan salah anda nyonya. Kurasa aku hanya terlalu cengeng dan iri pada masa kecil anda yang penuh oleh kehangatan seorang ibu,” sanggahku dengan perasaan tak enak hati.
”Kita semua memiliki masa lalu. Terlepas dari indah dan tidaknya kita harus menghargai itu semua karena merupakan bagian dari hidup kita sekarang. Apa yang terjadi di masa lalu menjadikan kita kuat menghadapi masa sekarang,” kedua tangan Piphylia merengkuh wajahku dan menatapku dalam.
”Kau adalah gadis pemberani yang pernah kutemui dalam hidupku. Darah Anthea yang mengalir ditubuhmu membuktikan jika kau setegar dan sebijak mendiang kakekmu, Ghorfinus.”
Kutatap Piphylia haru.
”Jangan pernah merasa sendirian. Karena aku akan selalu ada jika kau membutuhkan bantuan nak,” janji Piphylia padaku.
Sebuah pikiran terlintas dibenakku. Haruskah kukatakan padanya jika anak laki laki satu satunya itu akan mengorbankan jiwanya untuk Arkhataya.
Kutatap Piphylia dengan tegang. Jantungku berdegup cepat. Mungkin saja jika aku mengatakan pada Piphylia, Ness akan merubah keinginannya itu. Piphylia bisa membujuk Ness untuk membatalkan niat gila dikepalanya itu.
”Ness.....,”desahku ragu.
Piphylia memandangku dengan bingung. ”Ada apa dengan Ness?” tanyanya penasaran.
Kutarik napas panjang mencoba untuk menguasai getaran dalam nada suaraku.
”Anakmu Ness akan melakukan suatu...
”Apakah kau tengah mencariku!” sebuah seruan memotong pembicaraanku. Seruan itu terdengar di pintu masuk kamar Piphylia.
Ness terlihat berdiri disana dan menatapku tajam.
Piphylia tersenyum riang. ”Suatu kebetulan kau berada disini Ness. Sepertinya Calista memang tengah mencarimu.”
Wajahku memanas. Kucoba tersenyum dengan raut ketegangan di wajahku.
”Sebaiknya kita tidak mengganggu ibuku dan mencari tempat untuk bicara,” ujar Ness menawarkan. Nada suaranya terdengar santai dan raut wajahnya berubah menjadi ramah.
Piphylia tertawa seketika. ”Jangan berpikir seperti itu Ness. Kehadiran Calista sama sekali tidak menggangguku.”
Satu alis Ness terangkat lalu mengalihkan pandangannya padaku.
Aku tersenyum gugup. ”Tapi...Ness benar. Ada sesuatu yang harus kami bicarakan berdua saja jika anda tidak keberatan nyonya Ferin,” ucapku sopan.
”Oh tentu saja tidak nak. Pergilah dan selesaikan masalah kalian berdua,” ujar Piphylia seraya memelukku cepat dan tersenyum lembut kearahku.
Aku mengangguk pelan. ”Terimakasih nyonya Ferin. Senang sekali berbicara dengan anda meski hanya sebentar saja.”
Piphylia tersenyum datar. ”Aku juga merasakan hal yang sama nak.”
Setelah mengucap salam perpisahan dengan cepat Ness meraih tanganku dan membawaku pergi dari sini.
Wajah Ness nampak tegang dan bercampur kesal ketika menatapku.
”Apakah kau berniat untuk menikamku dari belakang?” tanyanya sinis.
Aku hanya membisu dan melemparkan pandangan jauh jauh dari sepasang mata teduhnya itu.
”Aku tak ingin membicarakan lagi hal ini. Dan kuharap kau berhenti dalam usahamu untuk mencegah niat baik ku untuk mengembalikan lembah Crystal,” tambah Ness dengan nada terkendali.
”Niat baik atau semua itu hanya usaha untuk menghindar dari pertunangan yang tidak kau inginkan itu!” seruku marah.
Ness menatapku tegang.
”Terkejut?! Karena aku berhasil mengetahui rahasia dibalik pengorbananmu itu,” sindirku kesal.
Ness tertawa keras begitu mendengar seruan kekesalanku.
”Jangan mempermainkanku Ness. Aku tidak sebodoh perkiraannmu!” lengkingku lagi semakin marah.
Sepasang mata emas Ness menatapku dalam. ”Aku tidak perlu menjelaskan apapun padamu.”
”Jika kau ingin membantuku. Kau harus mengatakan padaku alasan sesungguhnya. Kau berhutang sebuah penjelasan padaku?” sahutku ketus.
”Mengapa kau begitu perduli akan pertunanganku dengan Quilla?” tandas Ness tanpa basa basi.
Untuk sesaat aku terhenyak. Kuputar kedua bola mataku dan berpikir keras untuk menjawab pertanyaannya itu.
”Katakan padaku Calista? Kenapa?” desak Ness dengan satu alis terangkat dan menatapku penuh tanda tanya.
”Jangan mencoba untuk mengalihkan pembicaraan,” sanggahku marah.
Ness tertawa.
Napasku memburu. Meski kutahu tidak ada nada ejekan dalam nada tawanya. Tetap saja hatiku terasa kesal seolah ia telah memenangkan separuh perdebatan ini.
”Apakah kau takut kehilangan aku, nona Kaz?” kerling Ness menggodaku.
Wajahku panas seketika. Kutarik napas mencoba menahan degup jantungku yang berdetak tak karuan. ”Aku hanya tak ingin tunanganmu yang sinting itu mengejarku jika terjadi hal buruk padamu. Terus terang saja, lengkingan suaranya benar benar membuatku gilaa!” cetusku kasar.
Suara tawa Ness kembali terdengar keras.
”Kau tahu, perkataanmu itu benar benar menghiburku,” gelengnya masih menyisakan tawa di bibir indahnya.
Aku terduduk lemas di tanah. Putus asa dan tak tahu lagi harus mengatakan apa untuk membuat Ness merubah pikirannya.
Ness berjongkok lalu duduk disampingku.
”Dengarkan aku Calista. Aku tidak akan mempersulit semua ini. Tapi seperti yang kau lihat keadaan ini benar benar membuat kita harus percaya satu sama lain. Kau tidak membutuhkan alasan atas pengorbananku. Karena semua itu tidak penting. Ada hal besar yang menjadi tanggung jawab kita saat ini dan jauh lebih penting. Mengembalikan lembah Crystal, rumah para ksatria dan seluruh penduduk lembah Crystal,” desahnya pelan disampingku.
Aku terdiam.
”Jika ada yang ingin kau ucapkan padaku. Sekarang adalah waktu yang tepat untuk menyampaikannya padaku,” tawar Ness.
Aku hanya membisu.
Seolah tak ingin berlama lama berada dalam situasi dramatis, Ness berdiri dari sisiku. ”Aku ingin tinggal lebih lama dan berbincang denganmu. Tapi sayangnya, aku harus menghadiri acara bodoh kerajaan yang dirancang Quilla untukku.”
Aku tak bergeming.
”Semoga hari ini kau mengalami hari yang jauh lebih menyenangkan dari hari ku,” ujarnya seraya berlalu dari hadapanku.
Kutatap punggung kekar Ness dengan perasaan tak karuan. Sebagian hatiku menginginkan ia tinggal dan menemaniku meski hanya sesaat. Tapi mulutku terkunci. Dan aku hanya dapat menelan kekecewaan lagi karena Quilla mencoba meraih Ness kembali dalam pelukannya perlahan lahan.
Brisa benar untuk satu hal. Seharusnya aku menjauhi Ness. Karena Ness adalah milik Quilla. Dan Quilla tidak akan menyerahkan Ness pada siapa pun tanpa perlawanan.
Dengan langkah gontai aku berjalan menyusuri jalan kearah perbatasan hutan Amorilla tempat dimana para pengungsi berada. Meski terlihat tegar tapi aku dapat merasakan apa yang mereka alami saat ini. Terombang ambing dengan perasaan rindu akan tanah kelahiran.
Aku terus berjalan dengan pikiran buntu dan kegelisahan yang meluap. Pikiranku tak bisa lepas dari sosok Ness. Aku benci perasaan aneh ini. Menjalar begitu cepat dan meracuni pikiranku. Dan setiap aku memikirkan Ness yang tengah bersama Quilla saat ini, ada perasaan kesal luar biasa di hatiku.
Kutepiskan jauh jauh perasaan itu. Kucoba menekan sebisa mungkin seluruh perasaanku pada Ness. Aku harus bisa melakukannya. Mencoba melupakan Ness. menjauhkan sosoknya dari benakku.
Aku berteriak kesal ke udara. Dan terduduk lemas pada sebuah batang kayu yang telah tumbang.
Bodoh. Sepertinya sulit sekali untuk menghilangkan perasaan yang mulai tumbuh dihatiku ini. Dan aku benar benar tersiksa.
”Calista...?! lengkingan suara seorang gadis mengejutkanku seketika.
Kudongakkan kepala menatap pemanggilku.
Seorang gadis berambut ikal panjang berwarna merah. Tersenyum cerah kearahku. Bola matanya yang berwarna coklat tua memandangku dengan sorot ramah.
“Apa yang kau lakukan disini?” tanyanya dengan nada setengah berteriak.
“Evelyn...” tanyaku ragu.
Gadis didepanku itu tertawa. “Sukurlah kau masih mengingatku.”
“Apakah kau tinggal di pemukiman pengungsian bersama para penduduk lembah Crystal?” tanyaku ragu.
“Yah benar, mau tinggal dimana lagi?” kelakarnya seraya tertawa.
Kini Evelyn duduk disampingku. “Apa yang kau lakukan disini sendirian? Kau terlihat seperti... kehilangan arah,” ujarnya sok tahu.
Kuhembuskan napas kencang seraya mengerutkan dahi. “Kau pembaca pikiran juga sekarang?” Sindirku tak senang akan pernyataannya.
Evelyn terpingkal.
“Maaf. Aku hanya menebak saja,” sahutnya sambil mengangkat bahu.
Kubuang pandanganku dari tatapannya.
“Menurutku, apapun itu yang ada dikepalamu, lepaskanlah karena hanya akan menghalangi jalanmu,” nasihatnya sok tahu.
Kulirik Evelyn dengan raut sebal yang terpapar jelas diwajahku. “Aku tak mengerti apa yang kau maksudkan Keech.”
Evelyn tersenyum samar. “Menjadi seorang pahlawan bukan berarti memendam semua penderitaan dan tersenyum setiap saat seolah semua baik baik saja padahal sebenarnya tidak.”
Aku berdiri seketika dan memandangnya jengkel. “Aku bukan seorang pahlawan. Berhentilah mengejekku seperti itu,” ucapku dengan nada tinggi.
“Owh maaf. Aku tak bermaksud berkata seperti itu. Hanya saja terkadang aku suka mengatakan hal hal diluar kendaliku,” ujar Evelyn seraya mengangkat kedua tangannya dengan wajah penyesalan.
“Baru kali ini aku menemukan seseorang yang mengucapkan sesuatu diluar pemikirannya. Kau bahkan lebih hebat dari para ksatria psichic di lembah Crystal,” sindirku halus.
Evelyn mendengus kesal,” Hey, ucapanmu itu benar benar tidak sopan, Calista,” sungutnya.
Kuhembuskan napas kencang dan meliriknya sekilas sebelum membuang pandangannku lagi darinya. ”Maaf. Hanya saja kau membuatku merasa sangat tak nyaman hanya dengan mendengarkan ucapanmu itu.”
Evelyn menunduk. Dan kami sama sama terdiam.
“Jika ada yang bisa kubantu. Dengan senang hati aku akan melakukannya untukmu,” ucap Evelyn pelan memecahkan kebisuan.
“Kurasa.. tidak ada seorang pun yang dapat membantuku keluar dari permasalahanku saat ini,” ucapku enggan, setengah berbisik.
Kini aku berdiri dan mulai kembali menatap Evelyn yang masih duduk disampingku.
“Senang bertemu denganmu lagi Keech.“
Evelyn tersenyum.
“Sampai nanti...,”  ujarku  seraya melangkahkan kaki meninggalkannya.
“Calistaa...
Suara penggilan Evelyn membuatku berbalik dan menatap sepasang mata coklatnya yang terlihat tulus menatapku.
“Jika kau butuh sesuatu. Kau bisa mencariku disini,” tawarnya lagi dengan gigih kembali mencoba meyakinkanku.
Kuanggukkan kepala dan hanya menatapnya datar.
Kemudian kembali melangkahkan kedua kakiku menuju jalan setapak menuju istana Amorilla.
Sepertinya aku akan tidur lebih awal untuk melupakan sejenak permasalahan Arkhataya ini.


Writer : Misaini Indra        

Tuesday 22 May 2012

PART II : Calista Kaz “Bangkitnya Sang Naga” (Chapter 6)


6. TEMAN
           
Keadaaan Cleo mulai membaik. Meski terlihat enggan berbicara namun aku cukup puas jika gadis itu mulai sedikit melunak dan membiarkanku melihat keadaannya.
Darren menyorongkan secangkir jus plum padaku dan Oggie. Kemudian mata coklatnya menatapku dalam. “Jangan hiraukan ucapan Quilla kemarin,” ujarnya pelan.
Aku hanya tersenyum padanya.
“Kemarahannya disebabkan oleh kedekatanmu dengan Ness,” sambungnya lagi sambil meneguk jus plumnya sedikit sedikit.
”Aku tahu..” gumamku pelan.
”Aku tak mengerti mengapa putri secantik dia begitu mengharapkan sebuah cinta dari sosok Ferin yang kaku dan membosankan,” tukas Oggie yang tengah bersandar di kursi kayu dekat jendela besar disampingku dengan santai.
Darren tergelak kencang. Sementara aku mau tak mau menyunggingkan senyum tertahan.
Seolah mendapatkan reaksi dukungan, Oggie meneruskan kembali ucapannya. ”Yah, kau tahu Ness kan. Dengan sikapnya yang kaku dan datar, senyum yang dipaksakan. Ditambah lagi kebiasaannya minum teh sambil melamun. Ya ampun Ness itu seperti kakek tua yang terperangkap dalam tubuh anak muda, jika kau tahu maksudku,” desah Oggie padaku seraya menggelengkan kepalanya.
Suara lengkingan tawa Darren kembali terdengar menyakitkan telinga.
Kini, dahi Oggie nampak berkerut. ”Kurasa aku jauh lebih baik darinya,” gumam Oggie riang.
”Sayangnya, kau tidak memiliki wajah sesempurna Ness, Ogg.” ejek Darren geli penuh kepuasan.
Mulut kecil Oggie berkerucut kesal seraya menyipitkan pandangan kearah Darren. ”Aku tak mengira kau juga menaruh perhatian begitu besar pada Ferin. Jangan katakan jika kau juga mencintainya Darr,” balasnya puas.
Perkataan Oggie membuatku tertawa seketika.
Airmuka Darren terlihat kesal. ”Aku juga tak mengira jika kau bisa berpikir sebodoh itu!” maki Darren diiringi gelak tawa Oggie yang keras dan tak terkendali.
Tak memperdulikan tingkah Oggie, kini Darren mengalihkan pandangannya padaku. ”Menjaulah dari Ness, Calista. Atau Quilla akan menghancurkanmu,” nada ucapan Darren terdengar seperti peringatan yang tak dapat ditawar.
”Aku dan Ness hanya berteman. Saat ini Ness hanya berusaha membantuku,” ucapku mencoba menepis kekhawatiran Darren.
Darren tersenyum. ”Kau tahu, aku telah menjadi sahabat Ness sejak kecil. Kami tumbuh bersama di lembah Crystal. Namun, baru kali ini aku melihat sosok Ness yang begitu bersemangat dan mulai membuka diri ketika berada di dekatmu.”
Aku tertegun untuk sesaat mendengar perkataan Darren.
”Ness Ferin menyukaimu, Calista. Tapi Quilla tidak akan membiarkan hal itu terjadi,” Darren menatapku tajam.
Kuhembuskan napas kencang dan menggeleng pelan. ”Kau salah Darr. Aku tidak berniat mengambil Ness dari sisi Quilla,” sanggahku getir.
”Tapi kedekatan kalian membuat Quilla menjadi sinting dan membahayakan jiwamu,” sahut Oggie seenaknya.
Aku hanya membisu.
”Biarkan saja Quilla menjadi sinting karena tidak mendapatkan cinta Ness!” seru Cleo yang kini berdiri dihadapan kami.
Seketika itu juga, aku, Darren dan Oggie menoleh kearah Cleo berbarengan.
Cleo tampak berdiri tegak dengan balutan kain dibahu kirinya.
”Kau seharusnya tidak bangun dari tempat tidurmu Cle,” nada suara Darren terdengar cemas seraya menghampiri Cleo.
Dengan cepat Cleo menepis tangan Darren dan menghampiriku yang langsung berdiri tegang. Kini kami berhadapan dan saling memandang. Tidak ada sorot kebencian yang biasa ditujukan padaku.
”Kau telah memenangkan hati Ness,” ucap Cleo pelan.
”Tidak. Kurasa kau salah,” tepisku canggung.
Cleo tersenyum kaku. ”Kau tidak bisa membohongiku, Calista.”
”Sebaiknya kau urus dirimu sendiri dari pada kau mengurusi hubungan percintaan Ness!” seru Oggie melontarkan ejekan pada Cleo.
Sebuah pukulan ringan menghantam kursi kayu tempat duduk Oggie hingga membuat kursi kayu itu pecah berantakan. Seketika itu juga Oggie terjerembab jatuh dan meringis kesakitan.
”Jangan meledek kekasihku Kircey atau aku akan melakukan sesuatu yang lebih dari itu,” kerling Darren puas.
Avilos...” ujar Oggie seraya melayangkan tangan kanannya kearah Darren hingga membuat laki laki berbadan kekar tersebut melayang layang di udara.
”Ayolah hentikan itu Ogg!” seruku kesal.
”Sebaiknya kau dengarkan Calista, atau aku akan menghajarmu!” seru Cleo panik.
Kircey tertawa riang dan dengan gerakan tangan yang cepat menghempaskan Darren sedikit keras ke tanah dengan sengaja.
Raut muka Darren terlihat marah, ”Aku akan menghajarmu kali ini Kircey,” makinya kesal seraya bangkit dan memburu Kircey yang berlari menghindar.
”Kelakuan mereka benar benar sangat dewasa,” helaku seraya menggelengkan kepala.
”Yeah. Sangat!” sungut Cleo. Sepasang matanya menatap marah kearah Darren dan Oggie. ”Jika kalian tidak menghentikannya, aku akan menghajar kalian berdua sekaligus!” teriak Cleo kesal.
Sayangnya, baik Darren ataupun Oggie nampak tak memperdulikan peringatan Cleo.
Aku tersenyum sendirian demi melihat kelakuan Darren dan Oggie. Mereka bagaikan kera yang tengah bertengkar. Berteriak teriak gaduh saling mengejek dan berkejaran. Namun jika dilihat lagi, Oggie lebih menyerupai seekor monyet kecil yang tengah menggoda kera raksasa seperti Darren.
Kunjungan ke tempat pengungsian tempat berkumpulnya teman teman ksatria Crystal lainnya membuatku sedih karena harus berakhir. Dan penerimaan Cleo akan keberadaanku sekarang, membuat hati ini terasa senang. Melihat hubungan pertemanan yang begitu kuat dan dekat membuatku merindukan seorang sahabat. Sepanjang ingatanku, aku hanya memiliki Tristan sebagai seorang sahabat dan kekasih.
Kuhembuskan napas perlahan dan menatap langit cerah yang mulai berubah jingga. Kuurungkan niat untuk kembali ke istana dan mulai melangkah pelan menuju tempat peristirahatan terakhir Tristan.
Setibanya disana ternyata aku tidak sendirian. Kulihat sosok tubuh besar Prechia yang tengah berdiri menatap batu nisan Orion Xander. Makam Tristan dan Orion memang berdekatan. Karena kehendak Prechia untuk menguburkan Orion dekat dengan para ksatrianya. Meski Tristan telah melakukan kesalahan besar, namun semua itu telah ditebus dengan sangat mahal oleh nyawanya untuk menyelamatkan jiwaku. Prechia menganggap pengorbanan Tristan adalah sebuah perbuatan ksatria, sama seperti para ksatria Crystal lain yang telah gugur untuk mempertahankan tanah leluhur kami yang telah dirampas Zorca.
Mata kami bertemu.
Dan Prechia tersenyum lembut kearahku. ”Senang bertemu denganmu disini, Calista.” Ada setitik airmata tertinggal disalah satu sudut matanya.
Aku mengangguk pelan.
Prechia kembali memalingkan wajah kearah batu nisan Orion. ”Ketika aku merasa lelah, aku merasa harus berada disini. Aku ingin dia tahu jika ia telah membuat rencana hidupku berantakan untuk semua permintaannya padaku,” tawa Prechia getir.
Aku hanya membisu.
”Terkadang aku merasa dia tidak pernah meninggalkanku. Semua ini hanya mimpi dan aku akan terbangun suatu hari nanti melihat dia duduk dikursi kebesarannya di kastil Crystal sambil tersenyum kearahku,” ucap Prechia menerawang.
Tanpa sadar airmataku jatuh perlahan.
”Saat aku jatuh dan berduka ketika kehilangan keluargaku. Orion selalu ada disampingku untuk memberikan semangat hidup. Aku tidak akan pernah melupakan itu,” desah Prechia.
”Kau kehilangan keluarga?” tanyaku pelan.
Prechia mengangguk pelan. ”Suami dan anak perempuanku yang baru berumur lima tahun.”
Kutatap Prechia dengan iba.
”Kami tengah berlayar menuju utara dan mencari kehidupan tenang tanpa perselisihan. Kami melakukan itu karena aku dan Gregorian begitu pengecut untuk menghadapi Zorca dan pengikutnya. Tapi kami hanya ingin mencari tempat aman bagi Toryana yang tak berdosa,” ujar Prechia emosional.
Prechia menarik napas panjang dan mengusap sisa airmata.
”Ketika ombak menggulung Toryana kecil dalam pelukan Gregorian, sihir sehebat apapun tak dapat menyelamatkan mereka berdua. Dan aku terbangun pada sebilah kayu sisa sisa pecahan perahu kami dengan diliputi rasa penyesalan hingga sekarang.”
”Tidak ada yang menyalahkanmu untuk itu Prechia,” sela ku pelan.
Prechia tertawa sinis. ”Entahlah. Aku tidak pernah menganggap keselamatanku adalah sebuah keberuntungan. Aku selalu menganggapnya sebuah hukuman yang harus kujalani sepanjang umurku atas kenangan tentang mereka.”
”Kurasa, pernyataan sikapmu itu sangat tidak adil,” desisku pelan.
Prechia tertawa pelan. ”Kau terdengar seperti Orion.”
Untuk beberapa waktu kami sama sama terdiam.
”Orion adalah sahabat terbaikku. Dia telah membuka mata hatiku untuk merelakan semuanya dengan tulus. Tapi rasanya sulit sekali melalui semua itu tanpa kehadirannya yang selalu menyemangatiku nak,” desah Prechia.
Kuhampiri nisan Tristan dan berjongkok pelan. Kemudian membelainya dengan lembut seolah ia tengah berada di depanku. ”Aku tahu perasaan itu Prechia. Sepertinya, mulai sekarang kita harus mencoba untuk merelakan mereka.”
Prechia terdiam.
”Aku sangat merindukan Tristan sama halnya seperti kau merindukan sosok Orion. Tapi, masih ada teman teman disekeliling kita. Mereka adalah orang orang baik yang akan ada disampingmu, untuk menyemangatimu dan menolongmu jika kau membutuhkan mereka,” getarku pelan.
Kualihkan pandanganku pada Prechia dengan senyum getir. ”Yang perlu kau lakukan adalah mulai mempercayai mereka dan menjadikan mereka sahabatmu,” desahku pelan. Untuk sesaat terbayang wajah Ness dengan sorot mata emasnya yang lembut.
Prechia mengangguk pelan. ”Tahukah kau, jika kau begitu istimewa nak. Kau telah membuat kami bangga karena memilikimu sebagai seorang sahabat dan ksatria di lembah Crystal,” senyum Prechia padaku.
Kemudian Prechia berjalan pelan kearahku. ”Saat kau berbicara dengan Tristan. Sampaikan salamku padanya,” bisiknya seraya menepuk bahuku pelan.
Kupandangi sosok gemuk yang kini berjalan memunggungiku. Aku tak pernah mengira jika Prechia begitu berduka akan kepergian Orion.
Kutatap tempat pembaringan terakhir Tristan. Angin dingin perlahan bertiup mempermainkan rambutku. Langit semakin jingga, dan kabut mulai turun perlahan lahan.
”Aku mencintaimu Tristan,” desahku menahan rasa sesak didada.
Kucoba untuk menahan emosi diantara airmata yang mulai menetes.
”Tapi aku tidak dapat mengingkari perasaanku pada Ness,” parauku.
Kini airmataku jatuh satu persatu.
”Maafkan aku......” isakku pelan.
 Kunikmati senja itu dengan memandangi rindangnya jajaran cemara diantara kabut yang mulai turun. Kuhembuskan napas penuh kelegaan sambil menatap surya yang mulai tenggelam.
Rasanya sudah lama sekali aku mulai melupakan untuk menikmati diriku sendiri. Menjadi aku yang dulu, seorang gadis kikuk yang hanya melalui hari hari yang sangat biasa dalam hidupnya.
Kutatap langit yang mulai gelap dan mulai menangis sendirian. Tiba tiba saja aku teringat rumahku di Essendra. Teringat masa masa indah bersama ayahku, Arman. Aku sungguh merindukan semua itu, sayangnya aku tidak dapat memutar waktu untuk kembali ke masa itu. Semua itu, kini hanya menjadi kenangan indah. Sama seperti rasa kehilangan yang dialami oleh Prechia.
Rasa kesendirian ini begitu menyedihkan dan membuatku semakin takut. Takut akan rasa kehilangan lagi jika aku kembali memiliki seseorang dalam hidupku. Dan tangisku pecah begitu terbayang wajah Ness dengan sorot mata emasnya yang teduh.
Hatiku terasa pilu karena aku tak sanggup membayangkan pengorbanan yang akan dilakukan Ness pada Arkhataya.
Keesokkan paginya ada sebuah kejutan yang datang dari raja Zordius. Zordius mengundang para ksatria Crystal untuk makan siang bersama seluruh keluarga kerajaan. Meski tak begitu yakin akan maksud baik Zordius tapi perkiraanku tepat. Rupanya, secara pribadi Zordius meminta maaf atas sikap tak bersahabat yang telah ditunjukkan Quilla dua hari yang lalu. Meski tanpa kehadiran Quilla di meja makan namun sikap tulus dari Zordius dan Orelia telah membuat para ksatria Crystal merasa sangat dihargai.
”Sepertinya Zordius tengah mengurung anak manja itu dalam kamarnya,” sungut Brisa puas.
Kuraih cangkir perak di depan hidungku. ”Darimana kau tahu itu?” tanyaku penasaran seraya meneguk isinya perlahan.
”Oggie tak sengaja mendengar percakapan dua orang pelayan istana sewaktu melewati aula pertemuan kemarin,” seringai Brisa.
Kutarik napas perlahan.
”Seharusnya Zordius tidak melakukan hal itu pada Quilla,” bisikku.
Bola mata Brisa berputar. ”Kau seharusnya senang karena Quilla pantas mendapatkan hukuman dari ayahnya itu.”
”Hukuman yang diberikan Zordius hanya membuat Quilla menjadi sakit hati dan semakin tak terkendali,” ucapku tertahan.
”Kau takut dia akan membalas dendam padamu?” sindir Brisa.
Aku menggeleng lemah. ”Bukan itu yang menjadi ketakutanku. Kebenciannya padaku justru akan menghancurkan jiwanya perlahan lahan.”
Sepasang mata Brisa menyipit kearahku. ”Lalu, hal apa yang menjadikan rasa ketakutanmu pada anak manja itu,”
”Quilla memiliki kecenderungan sifat yang sulit berubah. Sikapnya yang angkuh dan sedikit manja ditambah lagi menjadi seorang putri raja sebuah kerajaan peri sehebat Amorilla membuatnya berpikir ia memiliki segalanya dan dapat melakukan apa saja yang dikehendakinya. Quilla satu satunya penerus tahta Zordius di Amorilla. Bayangkan jika ia mengambil alih kepemimpinan dengan sifatnya yang seperti itu. ”
Brisa terdiam.
”Amorilla akan berada diambang kehancuran jika dipimpin oleh Quilla yang begitu pemarah dan hanya mementingkan diri sendiri.” desahku.
”Mengapa kau begitu perduli? Amorilla bukan negrimu?” protes Brisa.
Kuhela napas panjang. ”Kau benar, tapi Amorilla adalah sekutu terbesar lembah Crystal. Jika terjadi perselisihan, hal terburuk yang akan terjadi adalah kedua negri akan saling menghancurkan kekuatan sihir yang dimiliki negri masing masing.”
Kualihkan pandanganku pada Odile yang terlibat pembicaran dengan Prechia dan Zordius.
”Itu benar. Tapi hal itu tidak akan terjadi jika Lembah Crystal dan Amorilla saling menjaga hubungan baik,” sanggah Brisa.
Kulirik Ness yang tengah melamun sambil menyesap secangkir tehnya.
”Mereka tidak bisa membatalkan pertunangan Ness dengan Quilla,” gumamku sendirian.
Brisa memiringkan kepala dan melemparkan pandangan kearah Ness. ”Tentu saja tidak. Merupakan sebuah penghinaan bagi Zordius sekeluarga jika Ness nekat  melakukan itu,” sahut Brisa seenaknya.
Aku terhenyak seketika. Bodohnya aku. Tentu saja mereka tak akan membatalkan pertunangan itu. Meski Ness menolaknya mati matian.
Sekilas kembali teringat ucapan Ness pagi itu sewaktu aku menemuinya tengah duduk termenung menatap kolam kecil disamping taman istana.
”Hanya itu satu satunya jalan merebut kembali lembah Crystal dari tangan Zorca. Aku harus melakukannya untuk penduduk lembah Crystal dan untuk kebaikanku sendiri.”
Tubuhku terasa lemas dan jantungku berhenti berdetak.
Itulah sebabnya mengapa Ness berniat mengorbankan dirinya sebagai raga pengganti Arkhataya. Batinku resah.
Kuletakkan cangkir minumku dengan tangan bergetar.
”Odile meminta Ness untuk bertunangan dengan Quilla. Odile dapat melihat ketakutan di hati Zordius akan perilaku dan sifat buruk putri kesayangannya itu. Zordius dan Odile membutuhkan Ness untuk mendampingi Quilla memimpin Amorilla. Zordius tidak menginginkan Amorilla mengalami kehancuran ditangan Quilla, anak kesayangannya itu sebagai satu satunya penerus tahta Amorilla. Hanya Ness, yang dapat mengendalikan sifat buruk Quilla,” bisikku tertahan.
Brisa tertegun.
Kepalaku terasa berputar. Itulah sebabnya Ness menginginkan sebuah kematian bagi dirinya sendiri. Ness tidak mencintai Quilla. Aku tak pernah mengira jika Ness begitu tertekan selama ini. Batinku dengan perasaan tak karuan.
Dengan kesadaran penuh, aku berdiri dari tempat dudukku dengan wajah tegang menatap Ness dengan galau. Ness meletakkan cangkir tehnya dan balik menatapku dalam meski raut mukanya terlihat bingung.
Sementara seluruh mata yang berada diruang makan ini memandang tepat kearahku. Dengan tergesa Brisa berdiri dan mengangguk hormat pada Zordius. ”Maaf yang mulia raja Zordius. Sepertinya nona Kaz sedang tak enak badan dan berharap yang mulia mengijinkannya kembali ke kamarnya untuk beristirahat,” ucap Brisa sopan seraya meraih tanganku dan memberi isyarat dengan lirikkan matanya.
Aku mengangguk kaku dan membungkuk pelan.
Zordius tersenyum datar. ”Tentu saja. Aku akan mengijinkan kalian meninggalkan ruang makan ini. Pastikan ksatria kita mendapatkan cukup istirahat supaya kesehatannya pulih kembali,” perintahnya datar.
Aku dan Brisa meninggalkan ruang makan istana.
Dengan langkah tergesa kulangkahkan kaki ku tanpa memperdulikan teriakkan Brisa yang meminta penjelasan akan sikap drastisku.
”Dengar Cal. Aku berhak mendapatkan jawaban karena aku telah menyelamatkanmu dari jamuan tadi,” ujar Brisa kesal.
Aku membisu.
”Ayo bicaralah. Apa yang  membuatmu bersikap aneh seperti ini jika menyinggung perihal pertunangan Ness dan Quilla,” sentak Brisa galak.
Kuhela napas perlahan. Aku tak mungkin memberitahukan rencana Ness untuk menyerahkan raganya pada ruh Arkhataya demi keselamatan lembah Crystal dan pelarian dari pertunangannya dengan Quilla.
Brisa mengerutkan dahinya untuk sesaat dan tak membutuhkan waktu lama ia mengerucutkan mulut mungilnya padaku.”Jangan katakan jika kau menyukai Ferin?” tuduhnya dengan sorot mata kesal.
Kukatupkan rahang dan membuang pandanganku dari tatapannya.
”Owhh tidak!” rutuk Brisa.  ”Bukankah aku sudah memperingatkanmu sebelumnya untuk menjauhi Ness?! Ness itu milik Quilla. Seharusnya kau mendengarkanku!” jerit Brisa histeris.
Kupejamkan kedua mataku.
Brisa kini berjalan mondar mandir dan mulai mengoceh tak karuan. ”Aku tahu ada sesuatu diantara kalian berdua. Apakah semuanya terjadi saat Tristan masih ada atau sesudahnya...
Aku tak memperdulikan ucapan Brisa yang bernada omelan. Hatiku terlalu perih membayangkan harus kehilangan sosok Ness yang mulai mengisi kesendirianku.
”Kau hanya mencari masalah jika tak berhenti mendekati Ferin?” nada suara Brisa semakin meninggi.
”Aku lelah Bris. Aku ingin kembali ke kamarku,” desahku pelan meminta ijin.
”Seharusnya kau mendengarkanku Calista,” kali ini nada suara Brisa merendah.
Aku menggeleng resah. ”Maafkan aku Bris. Aku tak ingin membicarakan apapun tentang Ness saat ini,” ujarku seraya beranjak meninggalkan Brisa yang hanya terdiam di tempatnya berdiri.
Pikiranku melayang. Duduk termenung menatap kolam kecil disamping istana. Meski aku tak ingin memikirkan Ness namun hati dan pikiranku penuh dengan bayangan akan sosoknya.
 Teringat kembali sikap lembut dan perhatian yang ditujukannya padaku. Kuraba bibirku perlahan dengan jemari tanganku. Rasanya masih terasa hangat sentuhan bibir indahnya ketika menyentuh bibirku sewaktu dia menciumku dulu.
Apakah dia merasakan apa yang kurasakan saat itu. Tulus kah ucapannya beberapa hari yang lalu ketika ia berjanji pada Prechia akan menjagaku dengan seluruh hidupnya.
Semakin aku memikirkannya semakin terasa perih hati ini. Bagaimana jika aku salah. Mungkin saja Ness hanya mencoba bersikap ramah dan mencoba untuk berteman denganku.
Aku benci hatiku yang rapuh. Begitu lemah dan mudah sekali terjatuh. Dan sekarang aku jatuh cinta pada sosok laki laki yang nasibnya telah ditentukan sebagai kekasih seseorang.
Ness bukan ditakdirkan untukku. Ness ditakdirkan untuk bersama Quilla.
Kutatap kolam kecil didepanku nanar.



Writer : Misaini Indra        
Image from :  www.thinkstockphotos.com

Wednesday 9 May 2012

PART II : Calista Kaz “Bangkitnya Sang Naga” (Chapter 5)


5.  PENGORBANAN
           
Sosok punggung kekar yang sangat kukenal, terlihat, tengah duduk dengan menopang dagu. Dari tempatku berdiri aku dapat melihat sepasang mata emasnya terlihat meredup dan ia nampak termenung sambil memandangi cucuran air di kolam kecil yang menetes perlahan.
Ketika menyadari kehadiranku, ia memalingkan wajahnya untuk menatapku. Dan setitik airmata mulai jatuh perlahan di kedua pelupuk mata lelahku ini.
”Jangan lakukan itu Ness,” mohonku parau tak mampu menahan tangis.
Ness tersenyum getir dan berdiri dari tempat duduknya. ”Hebat. Akhirnya kau mengetahui rencanaku,” desahnya samar.
Aku menggeleng kesal seraya menghapus airmata yang membasahi kedua pipiku dengan kasar. ”Kau dengar aku kan! Aku tak akan membiarkanmu menjalankan rencanamu itu untukku,” tukasku dingin.
”Kurasa kau terlalu berlebihan. Aku tidak melakukannya untukmu,” dusta Ness seraya memalingkan wajah dariku.
”Dengarkan aku Ness. Aku tidak mengijinkan kau mengorbankan tubuhmu untuk Arkhataya!” seruku marah.
Kini kami saling bertatapan.
”Hanya itu satu satunya jalan merebut kembali lembah Crystal dari tangan Zorca. Aku harus melakukannya untuk penduduk lembah Crystal dan untuk kebaikanku sendiri,” desah Ness meyakinkanku.
Kugigit bibirku kesal tak memahami maksud ucapannya yang terakhir. ”Kebaikanmu sendiri?”
Ness tersenyum kaku. ”Percayalah padaku.....
Kuhembuskan napas keras dan mencoba menguasai perasaanku. ”Tidak. Ini salah, aku...
”Dengarkan aku Calista. Aku tidak akan benar benar memberikan tubuhku pada Arkhataya tanpa perlawanan,” bujuk Ness dengan suara tertahan.
Kugelengkan kepalaku kuat kuat. ”Jangan lakukan ini padaku.”
Ness terdiam.
”Kita cari rencana lain,” tukasku.
Ness tersenyum hangat dan menggeleng pelan. ”Waktu kita sempit. Dan untuk saat ini, rencanaku adalah yang terbaik yang kita punya,” tegasnya.  
Kubuang pandangan jauh ke depan menghindari sorot matanya.
”Tatap aku Calista..” pinta Ness lembut.
Kupandangi wajah tampannya yang terlihat sendu dengan perasaan kacau.
”Semuanya akan baik baik saja. Kita semua akan kembali ke lembah Crystal dan hidup tenang tanpa gangguan lagi dari mereka,” ucapnya seolah tengah menghibur seorang anak kecil yang telah kehilangan mainannya.
Ucapannya justru membuatku semakin menitikkan air mata. Ness mengusap airmata di pipi kananku dengan lembut. ”Kembalilah ke kamarmu. Udara disini terlalu dingin. Aku tak ingin kakimu membeku nanti,” ujarnya seraya melirik pada kedua kaki telanjangku.
Aku tersadar oleh ucapannya. Kulirik kedua kakiku yang kini mulai membiru dan terasa luar biasa dingin.
”Ness, aku...
Ness menatapku.
Untuk sesaat aku tersipu.
Kubalas tatapannya dengan sedikit canggung. ”Terimakasih telah begitu banyak membantuku,” ujarku tertahan.
Pangeran peri itu hanya menghela napas panjang lalu mengangguk lemah. Kemudian membalikkan badan dan beranjak pergi dari tempat ini. Meninggalkan aku yang masih terpaku menatap punggung kekarnya dengan perasaan kacau.
Setiap kali aku berada dekat dengan Ness. Aku selalu merasakan ini. Perasaan canggung dan tak karuan hingga membuat dadaku sesak. Begitu banyak yang ingin kusampaikan padanya namun tak ada satu ucapan pun yang keluar dari mulutku. Seolah semua kata kata itu menguap seiring dengan kepergiannya dariku.
Aku telah kehilangan Tristan. Dan sekarang aku tak sanggup jika harus kehilangan sosok laki laki yang mulai hadir mengisi kesendirianku.  Aku tidak ingin mengkhianati kenangan Tristan. Karena aku pernah mencintainya. Tapi aku tak dapat memungkiri rasa nyaman yang muncul di hatiku setiap kali Ness berada disisiku. Yang kutahu sekarang aku tak ingin berada jauh dari Ness. Sedikit demi sedikit aku mulai menikmati kebersamaan kami dan segala perhatiannya padaku. Sayangnya, aku tak mempunyai kekuatan untuk mengatakan apa yang kurasakan pada pengeran peri itu.
Siangnya Prechia mengadakan pertemuan dengan para ksatria lembah Crystal di aula pertemuan istana Amorilla. Shenai, Helena dan Brisa terlihat duduk tenang di kursi masing masing sementara Titus terlihat merenung seolah ada yang tengah dipikirkan olehnya. Kulirik Ness yang duduk disampingku dengan wajah tegang. Tidak sedikit pun sepasang matanya menatapku. Namun dari hembusan napasnya aku dapat merasakan beban berat yang sama kurasakan karena telah menutupi kebenaran akan kebangkitan sang naga.
”Calistaaa!” panggil Oggie riang dari arah pintu masuk.
Dengan rasa terkejut bercampur haru aku berdiri dan menghampiri Oggie. Kami berpelukkan untuk sesaat.
”Sukurlah kau baik baik saja Ogg,” ucapku haru.
Sepasang mata biru kehijauan terangnya menyorot ramah. ”Ya, berkat perawatan dan ramuan obat penyembuh dari Piphylia,” tawa Oggie seraya menggoyangkan rambut pirang keritingnya yang terlihat mulai panjang.
”Selamat Calista! akhirnya kau berhasil membangunkan naga itu untuk keselamatan lembah Crystal,” suara Darren yang tertahan memotong pembicaraan kami.
Aku mengangguk pelan. Untuk sekilas kulemparkan pandangan kearah pintu keluar dimana wajah sinis yang sangat kukenal tengah menatap kearahku. Kulemparkan senyum tulus pada Cleo yang membalas ragu dengan senyum kakunya.
”Kalian tinggal dimana selama ini?” tanyaku pada Oggie penasaran.
Oggie tersenyum. ”Kami tidak seistimewa kau dan Ness,” kelakarnya sambil tertawa riang.
”Selain mengemban misi, kami juga tinggal di penampungan sepanjang hutan Sphronia. Aku, Darren, Cleo, Agnes dan beberapa ksatria lembah Crystal yang lain, selama ini membantu penduduk untuk membangun pondok pondok kecil sebagai pemukiman sementara. Tinggal ditengah tengah mereka sekaligus menjaga keamanan penduduk lembah Crystal yang tengah dilanda ketakutan,” ujar Oggie menjelaskan.
Hatiku teriris.
”Aku menyesal tidak dapat bergabung dengan kalian,” ucapku tulus.
Oggie menggeleng. ”Tidak ada yang perlu disesalkan. Kau memiliki misi yang jauh lebih berat dan berbahaya.”
”Apakah akhir akhir ini Ferin sering melamun seperti itu,” bisik Darren ditelingaku seraya mengalihkan pandangannya kepada Ness yang terlihat tengah terpaku.
Aku hanya menghela napas perlahan.
”Sebaiknya kau kembali duduk disamping manusia aneh separuh peri itu. Hanya kau satu satunya yang bisa membuatnya tertawa,” goda Darren seraya tersenyum.
Perkataan Daren membuat wajahku semakin memanas. Apakah dia mengetahui sesuatu tentang perasaan yang mulai terjalin diantara kami.
”Sebaiknya kalian segera duduk. Pertemuan ini akan segera dimulai,” ujar Brisa ketus seraya menghampiri kami yang masih berdiri dan tengah terlibat perbincangan.
”Ayolah Bris, jangan bersikap menyebalkan seperti itu,” sungut Darren kesal.
”Kau tahu Dar, keterlambatan kalian membuat kami semua menunggu,” tukas Brisa lagi dengan nada kesal. Kini sepasang mata birunya mengarah padaku. ”Dan kau, kembalilah ke tempat dudukmu. Kau dan Oggie bisa melepas rindu selepas pertemuan ini,” perintahnya seraya berlalu dari hadapan aku dan Oggie.
Kugigit bibir bawahku menahan kesal.
Sementara Oggie terlihat menggelengkan kepalanya dan tersenyum sendirian. ”Itulah salah satu penyebab laki laki di setiap sudut lembah Crystal enggan mendekati Brisa.”
Kulirik Brisa yang kembali duduk disamping Titus. Titus terlihat sangat canggung dan tersenyum kaku ketika Brisa menyapanya.
”Kurasa kau salah Ogg. Sepertinya, ada seseorang yang sangat perduli pada si penggerutu itu,” gumamku seraya menyunggingkan seulas senyum tanpa melepaskan pandangan pada Brisa dan Titus yang kini terlibat pembicaraan serius.
Oggie melirik kearah Brisa dan Titus. Seketika itu juga Oggie tertawa begitu mendengar ucapanku. ”Kau pasti bergurau. Kami menyebut master Titus seorang pertapa karena sikapnya yang dingin pada wanita. Lagipula Brisa bukanlah gadis yang tepat untuknya,” geleng Oggie menahan tawa.
”Lihat saja nanti,” kerlingku seraya berlalu meninggalkan Oggie yang kembali tersenyum geli.
Pertemuan yang dihadiri oleh seluruh ksatria lembah Crystal yang tersisa terasa begitu mengharukan. Prechia, Shenai dan Helena mengatur strategi pertahanan untuk membantu Amorilla apabila Zorca dan para pengikutnya melakukan serangan mendadak nanti.
Cahaya keriangan terpancar dari wajah Prechia yang terlihat bersemangat berbicara ditengah ruangan pada kami semua. Kupalingkan wajah kearah Ness dan mendapati laki laki tersebut tengah tenggelam dalam lamunan.
”Apa yang tengah kau pikirkan?” bisikku pelan.
Ness tersadar dan menoleh kearahku. ”Kau dan naga jelek mu itu, pastinya,” desahnya pelan diiringi senyumannya yang menawan.
”Sudah kuduga,” ujarku kesal karena ia menggodaku tanpa memperdulikan kekhawatiranku padanya.
Senyum samar kembali terlihat disudut bibirnya. ”Kau terlihat sangat tegang?” sindir Ness pelan.
Kutarik napas perlahan dan membuang pandangan ke depan. ”Siapa yang tidak? hadir dalam pertemuan ini dan berpura pura semuanya akan membaik dengan kebangkitan sang naga yang dipercaya dapat menolong kita semua dari kehancuran yang dibuat Zorca,” bisikku marah.
Ness tertawa pelan. Untuk sesaat beberapa pasang mata menatap kearah kami termasuk Prechia yang tengah memberi pengarahan.
”Ada yang ingin kau sampaikan tuan Ferin?” tanya Prechia.
Ness menggeleng. ”Tidak Prechia. Maafkan aku, kau bisa melanjutkan pengarahanmu,” sahut Ness pelan seraya mengangguk sopan.
Prechia membalas anggukkan Ness dan kembali melanjutkan ucapannya di depan para ksatria lembah Crystal yang berada di aula ini.
”Kita tidak bisa menyembunyikan kebenaran pada mereka,” bisikku bernada penekanan.
”Aku tahu. Aku hanya ingin memastikan jika rencanaku harus berjalan dengan baik hingga kita tidak perlu memberitahu mereka akan hal yang sebenarnya,” ujarnya datar.
Kutatap Ness dengan geram.
Sementara Ness hanya menatap lurus ke depan mencoba mendengarkan pengarahan dari Prechia seolah tak memperdulikan kegeramanku.
”Ketika ruh Arkhataya masuk ke dalam ragaku. Berjanjilah kau akan membunuhku jika aku tak bisa mengendalikannya nanti,” pinta Ness datar.
Aku terkesiap. Jantungku serasa berhenti berdenyut untuk beberapa saat.
”Tidak Ness. Aku tidak akan melakukannya. Membunuhmu bukanlah jalan keluar untuk menyingkirkan ruh Arkhataya selamanya,” tukasku setengah berbisik.
Ness terdiam.
”Aku akan mencari cara untuk menyingkirkan ruh Arkhataya dan mengembalikannya ke neraka,” gumamku tertahan.
”Jika kau gagal? Tidak ada jalan lain Calista. Kau harus menidurkan ruhnya kembali dalam ragaku dan menghancurkan tubuhku,” tukas Ness kesal.
Kini seluruh mata menatap kearah kami.
”Ada yang ingin kalian sampaikan disini,” kembali suara Prechia terdengar menunggu jawaban kami dengan tak sabar.
Kutahan napasku. Kulirik sekilas senyum samar yang tergambar disudut bibir Ness.
”Tidak Prechia, maafkan kami,” gelengku pelan.
Prechia mengamati wajahku dari tempatnya berdiri dengan wajah bingung. ”Kau terlihat sangat pucat hari ini. Kau baik baik saja Calista?”
”Nona Kaz memang sedang tidak enak badan sejak tiba kembali di Amorilla, Prechia. Jika anda tidak keberatan aku akan mengantar ia kembali ke kamarnya untuk beristirahat,” ujar Ness seraya beranjak dari tempat duduknya.
 Kutatap wajahnya yang terlihat tenang dan datar itu dengan sedikit gusar.
”Baiklah. Kau mendapatkan ijinku Ferin,” ucap Prechia dengan raut cemas di wajah gemuknya.
Ness mengulurkan sebelah tangannya padaku. Kusambut dengan kaku. Lalu Ness menarik tanganku dengan cepat untuk beranjak dari tempat dudukku dan melangkah tergesa meninggalkan ruangan pertemuan ini.
Rasa kesal yang tertahan pun meledak menjadi amarah begitu kami telah berada cukup jauh dari ruangan pertemuan. Kutatap Ness dengan luapan emosi di dada.
”Permintaanmu tadi sangat menggelikan!” ucapku kasar.
”Hanya itu satu satunya cara untuk melenyapkan ruh Arkhataya,” sahut Ness tertahan.
”Tidak. kita akan pikirkan cara lain. Kau dengar! Kita harus meminta pertolongan Prechia dan ksatria lainnya,” parauku seraya menatap laki laki yang telah membuat separuh hatiku terobati rasa kehilangan ini dengan pilu.
”Melibatkan banyak orang hanya akan membuat kita semakin kehilangan teman. Hanya kita berdua yang dapat menghancurkan makhluk itu.”
Kubuang pandanganku jauh ke depan menghindari tatapannya.”Ini tidak adil,” desahku menahan tangis.
Ness memegang bahuku dan membalikkan tubuhku perlahan. Kini ia menatapku dengan lembut. ”Berjanjilah padaku kau akan melakukannya,” sepasang mata emas itu terlihat berharap dengan wajah cemas.
Permintaannya benar benar melukai perasaanku. Kucoba mengusap airmata yang perlahan mengalir dari sudut mataku. Rasanya aku tak sanggup jika harus kehilangan lagi seseorang yang mulai mengisi separuh hatiku yang telah mati karena kepergian Tristan.
”Apa yang kau minta dari gadis penyihir itu hingga membuatnya menangis seperti itu Ness?” tukas Quilla dengan nada tinggi.
Putri kesayangan Zordius itu duduk diatas kuda putih yang gagah, menatap kearah aku dan Ness dengan tatapan dingin. Wajah cantiknya terlihat tegang dan membeku.
”Berpikirlah tentang hal lain,” bisik Ness padaku.
Kutatap wajah Ness bingung. Sementara itu Quilla terlihat turun dari kuda tunggangannya dan berjalan perlahan menuju kearah kami.
Ness menatap Quilla dengan datar.  ”Bukanlah suatu hal penting dan berhubungan dengan anda, yang mulia,” ucap Ness sopan seraya menganggukkan kepalanya.
”Hentikan omong kosongmu itu Ness!” tukas Quilla kasar.
Kini tatapan Quilla beralih padaku. Meski putri peri itu terlihat luar biasa cantik dan mengagumkan namun dimataku Quilla terlihat begitu menakutkan. Ditambah lagi dengan raut wajahnya yang dingin dengan pandangan meremehkan.
”Sepertinya kebangkitan Arkhataya justru membawa kesusahan hati, bagimu,” sindirnya sinis.
Aku tersentak. Kini aku mengerti maksud ucapan Ness. Quilla dapat membaca pikiran seseorang.
Dengan cepat aku mencoba memikirkan hal lain. Sayangnya yang ada dikepalaku kini hanyalah sosok Ness yang lembut dan penuh perhatian yang selalu menjagaku sepeninggal Tristan dari sisiku.
Wajah Quilla berubah garang dan terlihat marah.
Aku sudah memperingatkanmu jika Ness Ferin adalah milikku, penyihir sial
Lengking Quilla ditelingaku. 
Kututup kedua telingaku menahan lengkingannya yang menyakitkan.
Pertunangan kami belum selesai. Sampai kapan pun, Ness Ferinn tetap milikkuuu...
”Kumohon hentikannn....! teriakku seraya jatuh berlutut menutupi kedua gendang telingaku yang rasanya mau pecah.
Seketika itu juga Ness berlutut dan memelukku.
Sepasang mata emasnya menatap Quilla dengan marah. ”Hentikan Quillaa!!” teriak Ness keras.
Tawa Quilla melengking tinggi. Terdengar menakutkan dan membuat bulu bulu halusku meremang.
”Apa yang terjadi disini?” suara Brisa terdengar cemas seraya menghampiri aku dan Ness yang masih berlutut.
Sekilas kulihat Darren, Oggie, Agnes dan Cleo berdiri dari kejauhan menatap kearah kami dengan bingung.
Kini Quila menyapukan seluruh pandangan kearah kami satu persatu.
”Lihat baik baik pewaris pusaka Arkhataya itu!!!” seru Quilla lantang.
Semua mata tertuju padanya.
”Kalian benar benar membuatku tertawa telah menggantungkan seluruh harapan akan kembalinya negri kalian padanya.”
”Meski kau putri Zordius, kau tidak berhak berkata hal yang tak pantas terhadap Calista!” lengking Brisa seraya maju dan menatap Quilla dengan marah.
Sepasang mata abu abu terang Quilla berubah menjadi gelap dan wajahnya terlihat garang. Tiba tiba saja Brisa memegangi lehernya dengan napas tersengal sengal.
”Hentikan Quilla!” teriak Ness marah seraya berdiri dari sisiku.
”BRISAAA!!!” teriak Oggie dan Darren berbarengan, mereka terlihat berlari menghampiri kami.
”AKULAH PUTRI ZORDIUS RAJA AMORILLAA!! AKU AKAN MENGHUKUMMU KARENA MENENTANGKU!!” raung Quilla dengan suara parau dan berat.
Tubuh Brisa terangkat perlahan ke udara. Wajah Brisa nampak pucat dan napasnya terdengar payah.
”Apa yang dia lakukan?! teriak Agnes panik.
Dengan cepat dan tanpa pikir panjang Cleo menyarangkan pukulan jarak jauh dengan kekuatan telekinetisnya. Sayangnya Quilla bukanlah lawan yang sepadan baginya. Quilla telah membaca pikiran Cleo terlebih dahulu dan mematahkan serangannya dengan melemparkan jepit rambut perak dari kepalanya yang langsung menghujam bahu gadis kekar tersebut hingga roboh ke tanah bersamaan dengan tubuh lemas Brisa yang tertelungkup jatuh ke tanah.
Bahu Cleo teriris dan mengeluarkan darah segar. Wajah gadis tersebut terlihat pucat menahan sakit sementara Brisa tak sadarkan diri.
Ness menarik lengan Quilla dengan kasar. ”Kau tak pantas menjadi seorang putri untuk negri apapun dengan sikapmu yang seperti ini!!” tukasnya dingin.
Quilla tertawa lantang kemudian menatap dingin kearah Ness.
”Aku akan memastikan jika kau dan penyihir itu tidak akan pernah bersama,” serunya marah seraya menepis cengkraman tangan Ness dan berbalik menuju kuda tunggangannya.
Dengan lincah Quilla melompat keatas kuda putih tunggangannya dan berteriak kencang memerintahkan kuda tersebut membawanya pergi dari tempat ini dengan berlari cepat.
Wajah Ness terlihat sedikit pucat. Namun dengan cepat ia menguasai diri dan melihat keadaan Brisa.
Ness meletakkan telapak tangannya di kening Brisa dan menyalurkan energi cahaya untuk menyadarkan Brisa. Sepasang mata biru itu kini membuka perlahan dan menatap Ness. ”Dia membuatku tak dapat bernapas,” gumam Brisa mencoba bangun dari pembaringannya.
Ness tersenyum lega. ”Sukurlah kau tidak apa apa Bris. Ogg bawa Brisa kembali ke kamarnya. Biar aku lihat keadaan nona Maltese!” hembusnya kencang berusaha menguasai diri.
”Bawalah Calista bersamamu!” ujar Ness pelan seraya menatapku cemas.
”Tentu saja!” lirik Oggie kearahku.
Aku hanya dapat mengangguk lemas dan membantu Oggie memapah Brisa pergi meninggalkan tempat ini.
Sekilas kulirik Darren yang telah memegangi Cleo didampingi Agnes terlihat resah. ”Bisakah kau sembuhkan dia, Ness?” tanya Darren lirih.
Sementara Cleo terlihat merintih kesakitan.
”Tentu saja. Lukanya bersih,” sahut Ness pelan.
Ness terlihat kembali meletakkan telapak tangannya disekeliling bahu Cleo yang terluka. Sementara aku hanya dapat melihat dari jauh dengan perasaan sedih melihat keadaan Cleo yang merintih kesakitan.
Pikiranku melayang mengingat kajadian tadi. Kekuatan Quilla benar benar menakutkan. Dan kemarahannya di picu hanya karena aku tak sengaja memikirkan Ness, laki laki pujaannya.
”Lepaskan aku. Aku bisa berjalan sendiri!” ujar Brisa dengan nada kesal.
Aku dan Oggie melepaskan pegangan kami dari bahu Brisa.
”Lain kali aku akan menghajar gadis bengal itu dengan hujaman es ku,’ gerutu Brisa seraya berjalan mendahului kami.
Oggie tersenyum geli sementara aku hanya diam membisu.
”Jika kau melakukan itu, Zordius akan mengusir kita semua dari Amorilla, Bris,” sahut Oggie sambil menggaruk rambut keritingnya.
”Akuu tak perdulii. Aku akan menghancurkan dia dalam duel jika aku memiliki kesempatan lagi!” Teriak Brisa kesal.
”Baiklah. Baiklah ....” sahut Oggie mengalah.
Kini sepasang mata biru langit Brisa menatapku tajam. ”Dan kauu...
Kutatap Brisa bingung.
”Seharusnya kau membela harga dirimu dan menghajar Quilla dengan sihir anginmu itu!” bentak Brisa melampiaskan kemarahannya padaku.
Aku hanya membisu dan terdiam mendengarkan gerutuan Brisa.
”Hari ini benar benar menyebalkan!!” seru Brisa kesal seraya berbalik dan berjalan mendahului kami.
”Kurasa otak Brisa menjadi kacau akibat serangan Quilla tadi,” bisik Oggie pelan.
Kuhembuskan napas kencang dan menatap Oggie kecut.
Brisa benar. Quilla telah menghancurkan harga diriku. Dia benar benar membuatku berpikir jika aku memang tak pantas menjadi harapan bagi para rakyat lembah Crystal untuk mengembalikan kembali tanah leluhur mereka dari cengkraman Zorca.
Kini kepercayaan diriku kembali jatuh dan melemah.

Writer : Misaini Indra