Protected by Copyscape Plagiarism Scanner

Tuesday 5 July 2011

Calista Kaz "Penyihir Naga Arkhataya" (Chapter 2)


2. PERJALANAN KE KOTA HORDOS.
Siang itu langit sudah terlihat tebal oleh mendung tapi itu belum seberapa buruk dibandingkan rasa lelah yang kurasakan. Sudah tiga hari rasanya sejak meninggalkan Essendra tapi aku tidak melihat tanda tanda kita mendekati lembah. Yang kutahu kita hanya terus berjalan ke Timur dan melewati pinggiran jalan utama yang melewati bukit bukit batu dengan pemandangan semak kaktus yang tumbuh liar beraneka ragam. Tenggorokanku terasa kering oleh cuaca panas dan jalan yang berdebu.

 Dengan jengkel kulirik wajah Brisa lewat ekor mataku. Wajah cantiknya sama sekali tidak terlihat kelelahan ataupun berkeringat. Sementara Darren nampak asik menikmati perjalanan sambil bersiul menyanyikan nada yang sama selama tiga hari perjalanan menyakitkan ini. Dan yang lebih mengesankan lagi, langkah langkah santai Ness terlihat ringan dan cepat. Gerakannya terlihat indah bagai kijang yang tengah melompat hingga sulit terkejar. Benar benar membuatku iri.

Kupaksakan kedua kaki lelah ku mengejar mereka. Namun rasa lelah yang luar biasa menyakitkan ini hanya membuatku jatuh terjerembab dan mencium tanah. Seketika itu juga wajahku merah padam. Brisa merangkul tubuhku dan membantuku berdiri. Dengan setengah bercanda Darren menawarkan bantuan untuk menggendongku. Sekilas meski tak yakin kulihat Ness tersenyum tipis mendengar perkataan spontan Darren. Aku benar benar merasa dipermalukan.

Akhirnya Brisa memutuskan untuk beristirahat sambil menunggu rasa lelahku pergi. Aku memang tak pernah pergi sejauh ini dengan berjalan kaki. Bahkan aku tak pernah pergi dari Essendra selama hidupku. Duniaku hanya rumah, hutan Voswood dan Essendra.

”Sepertinya kita sudah dekat,” gumam Ness

”Di lembah Crystal?” tanyaku lega.

“Lembah Crystal?” kening Ness berkerut menatapku bingung namun dengan cepat ia mengalihkan pandangan kearah Brisa. Wajah Brisa berubah kecut.

“Kau benar benar keterlaluan, Bris” hela Ness dengan pandangan menyudutkan.

”Ada apa sebenarnya? Bukankah kalian akan membawaku ke lembah Crystal?” tukasku kebingungan.

”Kami pasti akan membawamu ke lembah Crystal, namun masih ada sebuah misi lagi yang harus kita selesaikan. Maafkan aku tapi tak ada pilihan selain membawamu ikut serta dalam misi ini,” ucap Brisa hati hati.

Aku terduduk lemas. Turut serta dalam misi dan membahayakan diri. Apa sih yang dipikirkan Brisa. Ini benar benar sinting. Kenapa aku harus terlibat hal yang jelas jelas tidak aku inginkan. Dan kini aku jadi tak yakin akan keinginanku apalagi setelah mendengar kebohongan Brisa.

Kau telah menipuku,” tukasku gusar.

”Aku tidak menipumu. Aku hanya menunggu waktu yang tepat untuk memberitahumu. Aku hanya tak ingin kau menjadi ketakutan karena aku membawamu serta dalam misi ini.”

Bagus. Sekarang ia malah menganggapku seorang pengecut. Batinku jengkel.

Brisa menatapku canggung. ”Kami masih memiliki sebuah misi penjemputan seorang gadis di kota Hordos. Percayalah, aku akan memastikan tidak ada hal buruk yang akan terjadi padamu,” janjinya meyakinkanku.

”Aku tahu. Aku hanya tak suka kebohonganmu itu,” ujarku sinis.

”Tenang saja, Calista. Tak ada yang perlu kau cemaskan selama kau melakukan perjalanan bersama Darren Dash,” kerling Darren seraya membentangkan kedua tangannya lebar lebar.

”Wow, sekarang aku merasa jauh lebih baik,” sindirku sinis.

Ness tertawa merdu seraya melirik Darren.

”Setidaknya patut dicoba kan,” kekeh Darren membuat Ness semakin mengencangkan tawanya..

”Aku butuh udara segar,” tukasku kesal tak suka jadi bahan olok olok seraya bangkit dari dudukku dan berjalan menjauh. Tak kuperdulikan tatapan Brisa yang penuh penyesalan. ”Kau mau pergi kemana?” gusar Brisa.

Aku hanya terus berjalan dan tidak menanggapinya.

Kuhembuskan napas perlahan berulang kali. Kesal dan marah. Berjalan mondar mandir seperti ini rasanya semakin membuatku terlihat menggelikan di mata mereka. Saat ku berbalik Ness telah berdiri didepanku. Wajahnya terlihat bercahaya diteriknya matahari siang.  ”Kau tidak berencana untuk berjalan ditempat ini sepanjang hari kan,” tegurnya sopan.

”Kalian bisa melanjutkan perjalanan ini tanpaku jika hal itu yang sangat kau inginkan,” rengutku menantangnya.

Ness tergelak. ”Ternyata aku salah menilaimu. Kau adalah gadis keras kepala yang cukup merepotkan.” Ia menyipitkan tatapan aneh kearahku.

Kubalas tatapannya dengan kesal. Wajah Ness yang hanya sejengkal dariku terlihat begitu menawan. Tampan dan tenang. Sepasang mata emasnya nampak melebar dan berkilat menatapku. Pipiku memanas. Aku langsung membuang pandangan seperti seorang pengecut. Namun sekilas aku bersumpah telah melihatnya tersenyum.

”Bagus. Setelah kita sepakat bersiaplah untuk melanjutkan perjalanan. Terus terang saja, sepertinya kau akan lebih sering menyusahkan dari yang kubayangkan,” tuturnya seenaknya.

Aku mendelik marah. Tapi Ness telah memunggungiku. Brisa menghampiriku dengan wajah cemas. ”Maafkan aku. Seharusnya aku berterus terang sejak awal kita meninggalkan Essendra.”

”Baiklah. Aku turuti kemauanmu. Tapi ingat aku tidak berjanji akan menetap di lembah Crystal apalagi menjadi salah satu ksatrianya Orion. Alasanku tetap bersama kalian karena aku hanya ingin mengetahui asal usulku, itu saja,” getarku jengkel.

”Cukup adil,” tukas Brisa dengan nada penyesalan.

Dengan kesal kuikuti langkah anggun Brisa dari belakang. Ness yang sedari tadi menunggu bersama Darren menatap Brisa dan aku bergantian.

”Pembicaraan kalian telah membuang begitu banyak waktu kita disini,” ucap Ness seenaknya seraya memandang langit timur yang gelap tertutup awan.

Manusia setengah peri itu benar benar keterlaluan rutukku kesal.

”Tenang saja Ness, aku juga tak berniat untuk bermalam disini,” sahut Brisa tegang mewakili suara hatiku.

Ness tak menyahut. Matanya hanya menatap lurus lurus ke depan. Begitu datar dan tanpa ekspresi.

Kami meneruskan perjalanan dalam diam. Tenggelam dalam pikiran masing masing. Akhirnya kami tiba disebuah bukit pertambangan yang kering dan tandus. Beberapa orang yang tengah menambang terlihat menatap kami sedikit curiga. Brisa dan Ness segera mengapitku sambil menganggukan kepala sebagai tanda untuk memberi salam. Sementara Darren berjalan gagah sambil bersiul seolah tak memusingkan tatapan orang orang yang berada disekitar pertambangan.

Kira kira dua puluh langkah dihadapan kami terlihat sebuah benteng batu berwarna merah yang sangat kokoh. Dua buah menara tinggi yang juga terbuat dari rangkaian batu nampak mengapit sebuah pintu masuk dari benteng tadi.

”Lihat Ness. Itu Hordos!” seru Darren mengejutkan kami.

”Bagus,” nada suara Ness melamun seolah pikirannya jauh tengah melayang.

Dengan penuh semangat Darren berlari riang dan berteriak senang.  

Brisa memutar bola matanya. ”Sukurlah, aku sudah tak sabar untuk mandi dan mengisi perutku.”

Setibanya di pintu masuk kota Hordos kami sudah mendapatkan suasana ramai dengan pemandangan orang orang yang tengah berlalu lalang. Saking ramainya bahkan pintu masuk kota ini sama sekali tidak dijaga oleh seorang pengawal pun.

Kota kelahiran para psychic hebat di abad ini,” cetus Darren kagum. Ucapannya barusan terasa berlebihan terdengar ditelingaku.

”Sebaiknya kita tetap berhati hati,” gumam Ness diikuti anggukkan Brisa.

Kota ini besar dan ramai. Jalanan utamanya yang dilapisi bebatuan sungai terlihat rapih dan unik. Hampir disetiap jengkal terdapat begitu banyak kios yang menjual beraneka ragam jenis bebatuan seperti batu oniks dan batu permata. Sementara kedai minuman hampir telihat berjejer dikiri kanan jalan utama. Menandakan jika para penduduknya adalah penggemar minuman.

Terus terang aku tidak terlalu menyukai kota ini. Terlalu padat dan ramai oleh suara tawa orang yang bercakap cakap, teriakan para penjaja dan suara kereta kuda yang bersliweran kesana sini menarik barang ataupun mengangkut manusia.

Sikap Darren yang begitu bersemangat sejak awal kedatangan membuatku jengah. Tak henti hentinya ia memuji tanah kelahiran para leluhurnya itu. Kota penghasil bebatuan indah. Dan kota terkuat dibawah pimpinan Gorick Valdes yang telah menyatukan berbagai klan elit para psychic yang bertentangan hingga menjadi satu dan tinggal dalam kedamaian bersama di kota ini.

Untungnya laki laki berotot itu berhenti bicara saat kita tiba disebuah rumah makan di sudut jalan yang jauh dari keramaian. Karena terus terang saja kupingku sudah terasa pegal mendengar semua ocehannya.

Aroma manis rempah bercampur daging unggas berwarna keemasan benar benar membuat perutku makin keroncongan saat terhidang dihadapan kami. Namun melihat cara makan Darren yang begitu rakus. Benar benar telah merusak selera makanku.

”Kau tidak lapar?” tegur Brisa

Kulirik Darren sekilas. ”Kurasa ini sudah cukup.” Kuangkat gelas jus plum ku  seraya menenggaknya kesal. Brisa tersenyum geli.

”Selera makan kera besar itu memang terkadang membuat orang jadi mual,” dehem Ness.

”Aku tak perduli anggapan kalian terhadapku, yang pasti aku tak bisa bertarung dengan musuh dalam keadaan lapar ok,” sahut Darren seraya melahap sepotong daging dari piring Ness yang masih utuh.

Seorang gadis akan berpikir dua kali untuk menjadi kekasihnya. Lamunku prihatin. Rupanya Darren menangkap pandangan kedua mataku. Sepasang mata coklat kehitam hitamannya menatapku dalam.

”Kau tahu, hampir seluruh penduduk kota Hordos memiliki kekuatan telekinetic seperti aku atau ayahmu. Dengan kekuatan pikiran dan tenaga murni dari dalam tubuh, kami dapat mengerjakan pekerjaan seberat apapun dengan cepat dan mudah. Jika kau perhatikan benteng pertahanan di depan pintu masuk tadi, kau seharusnya bisa merasakan sedikit kekuatan kami yang begitu hebat hingga disegani oleh negri lain,” seloroh Darren bangga.

”Itukah sebabnya mereka memiliki pekerjaan yang sama, sebagai seorang penambang bebatuan karena kekuatan tenaganya,” ucapku asal mengingat pekerjaan yang selama ini ditekuni Arman.

Seketika itu juga Ness tergelak sementara Brisa hanya menggelengkan kepalanya.

Darren tersenyum kecut. ”Meski wajahmu cantik sayangnya cara berpikirmu itu sempit sekali.”

”Terima kasih untuk pujiannya,” tukasku dingin.

Dua kamar ukuran sedang telah dipesan Brisa untuk kami beristirahat. Aku sudah tak sabar membersihkan tubuhku yang kotor dan berdebu.

Malamnya Brisa menjelaskan padaku mengenai misi mereka untuk menjemput seorang gadis yang memiliki kekuatan psychic seperti Darren. Dia bernama Cleo. Orangtuanya dulu adalah salah satu ksatria didikan Orion sama seperti ayahku, Arman. Tapi mereka telah tewas dalam pertempuran sewaktu terjadi serangan Zorca dan para pengikutnya untuk merebut kekuasaan di lembah Crystal.

”Sudah berapa lama kau menjadi ksatria Orion,” tanyaku membuka percakapan.

”Cukup lama. Ayahmu adalah seniorku dulu. Seingatku Arman dan Regina adalah pasangan ksatria yang hebat” senyum Brisa menerawang.

”Apakah yang kau maksud dengan Regina itu adalah ibuku,” tanyaku gugup

”Ya. Penyihir wanita tercerdas kesayangan Orion. Kurasa kau begitu mirip dengannya kecuali satu hal, sorot matamu begitu penuh kesedihan. Berbeda sekali dengan sorot mata Regina yang berbinar dan selalu penuh keceriaan,” kenang Brisa.

Aku tercekat. Ada sedikit rasa haru. Selama ini aku tak pernah mengetahui apapun tentang ibuku. Tanpa sadar air mataku berkaca kaca.

”Maafkan aku. Aku tidak bermaksud membuatmu sedih.”

”Kumohon jangan berhenti. Ceritakan lagi tentangnya, tentang ibuku,” desakku menahan tangis.

Wajah Brisa berubah bingung. Ada perasaan bersalah disana.

”Yang aku tahu, Regina Kaz adalah salah satu pengajar sihir di Sandora yang lembut dan sabar. Dia mengajariku banyak hal hingga menjadi seperti sekarang. Aku yakin kau pasti akan menjadi sehebat dia, Calista.”

Raut kecewa tergambar jelas diwajahku.

Brisa menatapku lembut. ”Maafkan aku jika tak dapat menceritakan lebih dari yang kau inginkan.”

”Biasanya aku tak secengeng ini,” gusarku seraya membuang pandangan.

”Aku mengerti rasanya kehilangan,” hibur Brisa.

Ucapannya seketika itu membuatku sadar. Selama perjalanan ini aku sama sekali tidak mengetahui apapun tentang kehidupan Brisa. Aku bahkan tidak berusaha untuk membangun hubungan emosional yang baik dengannya. Sementara Brisa tidak pernah lelah untuk memahami perasaan dan penderitaanku ini.

Malam itu aku tak bisa memejamkan kedua mataku. Meski seluruh tubuhku terasa nyeri kelelahan namun pikiranku melayang tak karuan. Sepasang mata ini tiba tiba saja melihat undakan undakan batu yang tidak rata. Kedua kakiku seolah olah berjalan mendaki. Napasku terengah engah. Suara gemericik air terdengar samar. Aku terus mendaki tak memperdulikan rasa lelah ditelapak kakiku. Suara gemericik air semakin jelas. Kuhentikan langkahku. Kini, dihadapanku terlihat sebuah air terjun yang mengalir deras. Begitu indah sekaligus menyeramkan. Sepasang mataku menatap tajam. Dadaku berdebar kencang. Sesuatu berada dibalik air terjun itu. Sesuatu yang kuat dan menyeramkan. Aku bahkan dapat merasakan energinya dari sini. Terdengar keras sebuah suara mengerang dan mengerikan dari balik air terjun itu. Seketika itu juga aku tersentak.

Ini bukan mimpi. Karena aku masih terjaga. Ini hanya pikiran sinting yang kembali menghantuiku. Kutarik selimut menutupi seluruh tubuhku. Entah mengapa aku merasa dingin luar biasa. Aku hanya berharap misi ini cepat selesai. Ada rasa takut mulai menjalari pikiranku. Bagaimana jika keputusanku ini salah. Bagaimana jika ternyata aku tidak memiliki siapapun di lembah Crystal. Lalu, bagaimana aku harus menyesuaikan diri di tempat itu. Bagaimana jika nanti tak ada satu pun yang mau menjadi temanku. Aku benar benar tidak tahu cara bertahan di lembah Crystal. Aku bergidik ngeri, aku benar benar merasa sebatang kara. Setidaknya jika aku berada di Essendra, aku masih memiliki kenangan akan ayahku dan rumah kami.

Keesokan paginya aku bangun kesiangan dengan rasa sakit diseluruh punggungku. Kulirik tempat tidur Brisa yang telah rapih. Sepertinya dia bangun lebih awal dan meninggalkan sebuah catatan diatas meja kecil disamping tempat tidur. Brisa menungguku diruang makan bersama Ness dan Darren. Dengan tergesa aku berlari ke kamar mandi. Aku tak ingin mereka berpikir aku orang yang malas.

Brisa melambaikan tangannya ketika aku tiba diruang makan. Terlihat Darren yang tengah asik menikmati telur dan daging asap dengan lahap dipiringnya. Sedangkan Ness asik melamun seraya memegangi cangkir tehnya dengan satu tangannya yang bertopang diatas meja makan. Wajah tampannya terlihat segar dan menawan. Aku bahkan dapat mencium aroma menyegarkan yang keluar dari tubuh kekarnya.

Kau terlihat lebih segar. Apakah kau berniat untuk makan sesuatu kali ini,” tegur Brisa riang.

”Entahlah. Aku tidak terbiasa makan pagi,” sahutku mengerutkan kening.

”Hebat. Tubuh mungilmu itu kuat sekali. Sejak kemarin kau hampir tak makan apapun,” puji Darren yang terdengar seperti ejekan dikupingku.

”Kemungkinan karena melihat caramu makan yang membuatku kenyang,” sahutku dingin seraya mengalihkan pandangan kearah piring makan didepanku. Darren mengernyit jengkel.

”Tapi kau harus makan, aku tak ingin kau sakit,” kecemasan terdengar tulus dari mulut Brisa.

”Baiklah. Mungkin secangkir teh seperti yang diminumnya,” tunjukku asal kearah Ness yang seketika menatapku datar. Darren terbahak dengan mulutnya yang penuh makanan. Ia terbatuk batuk karena tersedak makanannya sendiri. Dengan panik Brisa memukul punggung Darren keras sekali. Kugigit bibir untuk menahan tawaku atas penderitaannya.

”Konyol sekali. Seharusnya kau habiskan dulu makanan dimulutmu itu sebelum buka suara,” bentak Brisa geram.

”Ya. Itu benar. Seingatku tak ada yang menggelikan akan permintaanku untuk  secangkir teh hangat sebagai sarapan pagi,” cetusku mencoba membaca ekspresi wajah Darren yang terlihat memerah.

Darren meringis. ”Tubuh Ness itu setengah peri. Hanya dengan secangkir teh, ia dapat bertahan seharian. Jika kau mulai mengikuti kebiasaannya, sepertinya kita akan bergantian menggendongmu hingga tiba di lembah Crystal.”

Wajahku merona merah. Dasar sinting. Memangnya siapa yang minta dia untuk menggendongku.

”Menurutku kau terlalu banyak berpikir Darr,” tukas Brisa seolah membaca perasaanku. Sementara Ness hanya terdiam tidak terpengaruh sedikitpun oleh situasi yang aneh ini.

Setelah menghabiskan daging asapnya, Brisa memesan sepotong sandwich dan memasukannya ke dalam tasku dengan paksa. Aku hanya bisa pasrah dan tidak membantah.

Tak berapa lama kemudian kami meninggalkan penginapan untuk meneruskan perjalanan. Menurut penglihatan Ness, gadis yang bernama Cleo tinggal tak jauh dari pusat kota. Insting perinya membawa kami ke sebuah rumah mungil bercat biru cerah. Seluruh materi bangunannya terbuat dari tembok batu yang kokoh. Beda sekali dengan rumahku yang hanya terbuat dari batang kayu oak. Sebuah jendela nampak sedikit terbuka. Namun si penghuni rumah nampaknya tidak terlihat.

Kau yakin ini rumahnya,” tatap Brisa pada Ness yang tengah serius mengamati.

“Ya. Tapi yang kita cari sepertinya sedang tidak berada di dalam,” terawangnya.

Seruan salam dari Brisa pada penghuni rumah tak mendapat sahutan. Darren berputar ke bagian belakang rumah untuk mencari penghuninya. Sedangkan Brisa dan Ness memutuskan untuk melangkah masuk ke dalam rumah. Sementara aku hanya berdiri mematung di pekarangan depan tak tahu apa yang harus aku lakukan.

Dengan bersandar pada pagar rumah aku memutuskan untuk memakan sandwich yang dimasukan Brisa ke dalam tasku. Belum sempat tertelan satu gigitan tiba tiba saja sebuah bayangan gelap melompat dan berdiri didepanku. Sandwich ditanganku terjatuh karena rasa keterkejutanku. Seorang anak perempuan berperawakan sedang dan kekar, berambut hitam kebiru biruan menatapku tak bersahabat.

”Siapa kau!” bentaknya kasar.

Aku hanya tertegun. Gadis itu terlihat garang dan berbahaya. Aku dapat merasakan merasakan energi yang begitu kuat terpancar darinya hingga membuatku tak bergeming. Kedua tangan kekarnya mencengkeram kedua lenganku seketika. Pegangannya yang kuat mengguncangku dengan kasar.

”Siapa kau dan apa yang kau lakukan dirumahku!” serunya marah mengulangi kembali pertanyaannya.

Dengan gerakan cepat kedua tangannya yang mencengkeram kedua lenganku mencoba untuk mengangkat tubuh rapuhku. Sepertinya ia berniat untuk melemparku keluar dari pekarangan rumahnya.

”Tunggu, lepaskan dia!” seru Brisa yang datang berbarengan dengan Ness, sementara Darren terlihat menghambur keluar dari pintu samping.

Dengan kasar gadis kekar tadi menghempaskan tubuhku dengan sekuat tenaga kearah Ness dan Brisa. Tubuhku terasa melayang. Dengan cepat Ness menangkap tubuhku yang hampir saja terjungkal ke tanah. Ness memelukku erat seolah ingin melindungi. Seketika itu juga kurasakan jantungku berdegup sangat cepat ketika berada dalam pelukannya. Kuhirup dalam dalam aroma tubuhnya yang wangi.

”Sebaiknya kalian cepat bicara atau aku akan membuat kalian menyesal telah datang ke sini,” ancamnya dengan kedua tangan terkepal dan teracung kearah kami.

”Tenanglah sedikit, kami datang dari lembah Crystal. Mencari seseorang bernama Cleo. Apakah kau Cleo?” tanya Brisa menenangkan.

”Kalian siapa!” bentaknya balik bertanya.

”Bisakah kau turunkan kedua tanganmu terlebih dahulu. Kau bukanlah satu satunya orang di tempat ini yang memiliki kekuatan telekinetic,” ujar Ness sedikit kesal seraya menatap lekat lekat wajah Cleo.

”Ness...,” desis Brisa mengingatkan


Di luar dugaan Cleo malah menurunkan kedua kepalan tangannya. Ditatapnya Ness dengan pandangan tak berkedip. Sesuatu mengatakan padaku saat ini Ness tengah menggunakan pesonanya pada gadis kekar itu.


Bagus. Sekarang kita bisa bicara baik baik layaknya manusia beradab,” sindir Ness halus tak perduli akan reaksi Cleo yang mungkin saja akan terpicu kembali amarahnya. Tapi sebaliknya Cleo justru tampak terpesona. Kedua mata biru gelapnya tak sedikit pun berkedip melepaskan pandangan dari Ness.


”Kau baik baik saja kan,” tanya Ness sopan seraya melepaskan pelukannya dariku. Aku hanya dapat mengangguk malu tak berani melihat kedua matanya yang tengah menatapku.

”Sebaiknya kau bersikap lebih waspada karena aku tak mungkin selamanya terus berada disisimu, ketika kau dalam kesulitan,” helanya seraya melirik Darren yang asik menatap Cleo yang kini tengah diajak berbicara oleh Brisa.

”Hey aku juga tak berniat menjadi beban bagimu hingga sisa perjalanan kita berakhir,” balasku kesal.

”Jika kau sedang melucu rasanya aku tak ingin tertawa saat ini,” bisiknya serius disamping kuping kiriku.

”Kau keterlaluan,” makiku geram. Seolah ingin menghindari perdebatan Ness berjalan meninggalkanku yang masih menatapnya kesal.

Sementara itu wajah Cleo nampak tegang. Dari kejauhan ia menatapku tajam. Sepertinya ia tidak terlalu menyukaiku. Aku benci permusuhan tapi jika tawaran itu datang padaku, tentu saja aku tak dapat menampiknya. Dengan langkah mantap ia menghampiriku. ”Maaf tadi aku mendorongmu. Apakah kau terluka?” ujarnya seraya mengulurkan tangan kanannya.

Mendorong. Apa aku tidak salah dengar. Ia melemparku dengan seluruh kekuatannya. Untung saja Ness menangkapku kalau tidak mungkin beberapa tulangku sudah patah. Tiba tiba pipiku merona teringat kembali akan pelukan erat Ness disekeliling pinggang ini ketika menangkapku. Begitu hangat. Masih teringat aroma tubuhnya dihidungku. Ness memiliki wangi tersendiri yang begitu khas dan terasa begitu menenangkan.

”Kau mendengar ucapanku,” tanyanya tak sabar.

Aku tersentak dan mengangguk gugup.

”Berarti kau mau memaafkanku kan,” seringainya angkuh.

Kucoba untuk tersenyum namun kurasa ia melihat senyum hambarku, terlihat  dari kerutan di dahinya. Dengan pandangan aneh ia pergi meninggalkanku dan menghampiri Brisa.  Dari kejauhan Brisa melirik kearahku lalu berjalan pelan kearahku.

”Cleo mengajak kita minum teh dirumahnya,” ujar Brisa yang kini telah berdiri didepanku.

Rumah mungil ini terlihat rapih dan nyaman. Kami duduk berhadapan disebuah meja bundar yang terbuat dari batu marmer yang berwarna putih keabu abuan. Cleo adalah seorang gadis yang sangat ceria dan banyak bicara. Sedari tadi kulihat tak henti hentinya ia menatap Ness dengan sorot mata kekaguman. Memang tak dapat dipungkiri pesona Ness yang begitu sulit ditolak. Pembawaannya yang tenang dengan sorot mata coklat keemasannya memiliki daya tarik tersendiri ditambah lagi dengan nada suaranya yang terkadang lembut dan hangat semakin membuat siapapun tak akan rela melewatkan obrolan bersamanya.

”Jadi kalian dari lembah Crystal, maksudku kedua orangtuaku dulu juga salah satu ksatrianya Orion, kau tahu,” seloroh Cleo bangga.

”Tentu saja, kita tahu. Kekuatan Theodore dan Abby masih dikenang sebagai ksatria psychic terkuat dari lembah Crystal,” senyum Brisa sopan.

Cleo terkekeh. Nada suaranya terdengar sedikit sengau dan kurang menyenangkan. ”Orion Xander pasti menginginkanku untuk menjadi salah satu ksatrianya, maksudku seperti kalian,”  ujar Cleo antusias.

”Tentu saja merupakan suatu kehormatan bagi negri kami jika itu yang kau inginkan,” senyum Brisa kaku seraya menghirup tehnya.

Kalian tak perlu meragukan kekuatanku. Bagaimanapun juga aku pasti memiliki kekuatan yang sama seperti kedua orangtuaku. Kau tahu, bagian dari keturunan,” ucapnya mantap penuh percaya diri.

”Dengar Cleo. Tujuan kami sebenarnya adalah membawamu ke lembah Crystal. Karena saat ini kau mungkin tengah berada dalam bahaya. Setelah bertemu dengan Orion kau bisa memutuskan untuk tinggal dan menjadi ksatrianya atau tidak sama sekali. Semua itu bisa kau pikirkan nantinya,” potong  Brisa seolah lelah mendengar celotehan Cleo.

”Maaf tapi kau salah. Aku merasa aman berada dirumahku sendiri. Dengan kekuatan yang kumiliki tak ada yang berani melukaiku,” nada suara Cleo meninggi dan angkuh.

”Apakah kau pernah mendengar seorang penyihir bernama Zorca Anthea?” ujar Ness seketika yang sejak tadi hanya terdiam. Mata coklat keemasannya yang indah menatap Cleo tak berkedip.

Cleo menggeleng pelan. Namun sepasang mata biru gelapnya terlihat sedikit malu.

“Dia adalah seorang penyihir hebat yang menggunakan sihir hitam untuk kejahatan. Orang tuamu dulu adalah sebagian dari para ksatria lembah Crystal yang turut serta dalam menyingkirkan beberapa para pengikut setianya sebelum terbunuh,” sambung Ness seraya menatap Cleo datar.

Cleo menatap Ness dengan ekspresi wajah yang sulit dilukiskan.

”Kurasa kau terlalu banyak bicara,” tegur Brisa pada Ness.

”Maaf. Tapi jika ia ingin bergabung dengan kita dia harus tahu konsekuensi dan  kebenarannya, Bris. Aku hanya ingin menghindari kesalah pahaman untuk yang kedua kalinya,” lirik Ness sekilas padaku seraya melayangkan pandangannya pada Brisa.

Rahang Brisa menegang.  Sementara Cleo hanya termenung.

”Apakah kau mengetahui hal ini sebelumnya,” tanya Ness lagi sopan. 

”Sebenarnya paman dan bibiku tak pernah memberitahu cerita sesungguhnya perihal kematian kedua orangtuaku. Yang kutahu mereka membawaku pergi dari lembah Crystal karena kedua orangtuaku hilang dalam misi.”

”Maaf jika kau harus mengetahuinya dengan cara seperti ini,” kali ini Brisa melirik Ness dengan marah.

”Tidak apa. Sepertinya sekarang aku harus menerima jika itu adalah suatu kebenaran,” gumam Cleo pelan.

”Kau benar benar gadis yang kuat. Maksudku tidak hanya secara fisik. Benar benar hebat,” puji Darren dengan mata penuh kekaguman.

Ucapan Darren yang berlebihan membuat wajah Cleo terlihat kikuk.

”Kau harus memutuskan untuk ikut dengan kami atau tidak,” tandas Ness tegas.

”Ness, perintah Orion cukup jelas dan tak bisa dibantah. Kita harus membawa Cleo ke lembah Crystal bagaimanapun caranya. Dia berada dalam bahaya mungkin saja saat ini Rufus tengah menuju kemari untuk membalas dendam,” tukas Brisa mengingatkan.

”Hal terakhir yang sebaiknya dilakukan adalah berhenti memaksakan seseorang untuk ikut dengan kita ke lembah Crystal,” sahut Ness balas menatap Brisa tak mau mengalah.

Entah mengapa tiba tiba aku  merasa kata katanya itu ditujukan untukku.

”Sekarang dengarkan aku baik baik. Aku tak ingin menjadi lengah terhadap gerakan musuh yang mungkin dapat membahayakan kita setiap saat. Apa perlu kuingatkan lagi kalau kita sudah kehilangan seorang ksatria hebat di Essendra”  ucap Brisa meninggi seraya berdiri dari kursinya. Ditatapnya Ness dan Darren bergantian.

Ness tersenyum tipis. ”Katakan padaku Bris. Mengapa Orion meminta kita untuk melakukan misi penjemputan mereka. Padahal dia bisa mengirim ksatria lainnya mengingat kita masih memiliki hal penting untuk dilakukan.”

”Kau memang brengsek. Tidakkah kau lihat cara Rufus dan Tristan yang berusaha mendapatkan Calista dengan susah payah di Essendra,” tanya Brisa geram.

 Ness tak bergeming. Hanya duduk tenang seraya memegangi cangkir tehnya sementara Darren menatap enggan kearah Brisa. Suasana menjadi sedikit tegang.

”Kita tidak membutuhkan alasan untuk mengetahui jika misi kali ini sangatlah penting dilakukan. Orion pasti mempunyai alasan khusus meski tidak memberitahukannya pada kita,” tukas Brisa dingin.

Kami membisu. Ness menyesap tehnya dalam diam. Sementara Darren melayangkan pandangannya kesekeliling ruangan.

”Menurutku Hordos adalah kota teraman yang pernah kalian jumpai. Hampir seluruh penduduk kota ini memiliki kekuatan telekinetic yang sama denganku. Aku yakin mereka tak kan berani masuk ke dalam jantung kota Hordos apalagi menyerangku secara terang terangan. Aku bisa menjaga diriku sendiri” pecah Cleo dikeheningan yang menyedihkan ini.

”Aku ingin sekali mempercayaimya tapi kami berbicara tentang para penyihir jahat yang menginginkan nyawamu. Kau bisa saja mengerahkan semua kekuatan telekinetic-mu tapi kau tidak bisa melawan kutukan sihir mereka. Saat kau lengah hanya dalam sekejap kau tidak akan melihat orang orang yang kau sayangi lagi. Apakah itu yang kau inginkan,” Brisa melembut.

”Ucapan Brisa benar. Bahkan ksatria hebat yang memiliki kekuatan diatas kita pun bisa kehilangan nyawanya,” desah Darren seraya melirik Brisa canggung.

Aku kembali teringat Arman dan kejadian di kios bahan makanan beberapa hari yang lalu di Essendra.

”Para penyihir adalah pembawa sial bagi kaum kami,” gumam Cleo tiba tiba.

”Sudah lama sekali aku tidak mendegar kata kata itu. Sepertinya pendapat leluhur kita di Hordos ada benarnya juga,” sahut Darren mengiyakan.

Dadaku terasa sesak. Ada kesedihan yang mendalam begitu mendengar kata kata mereka. Aku bangkit dari tempat dudukku dan berjalan perlahan kearah pintu keluar.

”Aku butuh udara segar,” gumamku setengah berbisik tanpa berusaha menghentikan langkah. Brisa menatapku gusar.

Suasana diluar terasa begitu melegakan. Kuhirup dalam dalam udara Hordos sore ini. Tiba tiba saja aku teringat rumahku di Essendra. Terbayang wajah Arman yang tengah duduk di depan perapian sambil meyesap kopinya. Terekam kembali ucapan Darren dan Cleo ditelingaku. Para penyihir adalah pembawa sial bagi para psychic. Ibuku seorang penyihir. Mungkinkah ia pembawa sial untuk Arman.

Kepalaku terasa penat. Mungkin Ness benar. Kebimbangan ini membuatku terlihat bodoh dan lemah. Aku sendiri tidak mengerti apa yang kuinginkan dan apa yang harus kulakukan untuk melanjutkan hidupku sepeninggal Arman. Aku bahkan tak yakin lagi jika aku memiliki kekuatan sihir.

Kutengadahkan kepala menatap langit jingga. Sepertinya senja telah datang. Kupejamkan kedua mataku seraya menghembuskan napas perlahan. Namun kehadiran seseorang disampingku membuatku tergelitik untuk membuka mata. Sepasang mata coklat keemasan yang indah tengah menatapku dalam.

”Sudah merasa lebih baik,” tanya Ness datar.

Kualihkan tatapan lurus ke depan pagar rumah. Aku tak ingin menatap sepasang mata coklat keemasannya. Aku tak menyukai cara kotornya untuk mempesona para lawan bicaranya.

”Aku sangat mengerti jika kau tak ingin bicara padaku” kini Ness ikut menatap lurus ke depan.

            ”Sebenarnya apa  yang ingin kau katakan padaku,” tanyaku menahan kesabaran.

            Kini kedua mata kami saling bertatapan. Ness menatapku lembut. Tapi aku bertekad  tak akan jatuh dalam pesonanya.  Kutatap kedua matanya dengan lantang.

            ”Terus terang aku sendiri tidak tahu. Aku ini tidak begitu pintar membuka percakapan apalagi dengan seorang wanita.”

            Dahiku berkerut mendengar ucapannya. Sepertinya ia terdengar tulus.

            ”Akan lebih mudah dan mempersingkat waktu jika kau mau masuk ke dalam rumah bersamaku karena aku tak ingin melihat Brisa semakin kalut memikirkan perasaanmu,” senyumnya telihat kasual.

Senyum tipis terlukis disudut bibirku. Ada kelegaan terlihat diwajah tampannya. Kuputuskan untuk mengalah dan mengikuti langkahnya dari belakang. Postur tubuh Ness yang tinggi kekar terlihat sangat elegan dari belakang. Tak kuasa menahan diri kupuaskan diriku menatap punggung Ness dengan penuh kekaguman. Ia benar benar terlihat seperti seorang pangeran peri yang gagah.

            Setelah makan malam keadaan jauh lebih tenang. Dengan melewati pembicaraan serius yang panjang dan melelahkan akhirnya dengan berat hati paman dan bibinya Cleo menyetujui keputusan Cleo untuk ikut ke lembah Crystal.

            Antusiasme Cleo benar benar membuatku iri. Anak itu benar benar penuh semangat dengan pancaran energi yang berlebih. Dengan cepat ia menyesuaikan diri dalam kelompok ini. Kehadirannya semakin mengecilkan keberadaanku.

Sepanjang perjalanan tak henti hentinya Cleo tertawa dan bercanda dengan Darren. Begitu hangat dan akrabnya hingga terlihat seperti sepasang kekasih yang tengah kasmaran. Meski begitu tak dapat dipungkiri ketertarikan Cleo yang begitu kentara terhadap Ness. Terbukti, beberapa kali kupergoki kedua mata biru gelapnya tengah mencuri pandang kearah Ness yang sepertinya tidak menyadari ketertarikan Cleo padanya. Dengan sedikit emosi kulampiaskan kekesalanku dengan menendang kerikil disepanjang jalan berbatu ini.  

Seharian sudah kita telah meninggalkan kota Hordos. Brisa memberitahuku bahwa perjalanan kita akan melalui sebuah desa yang terletak dibalik deretan bukit Foresse. Untungnya kami membawa banyak bahan makanan dari Hordos karena perjalanan kami akan sangat berat melewati hutan kecil yang mengelilingi perbukitan. Langit nampak cerah dan berawan. Sinar mentari menghangatkan udara disekeliling kami. Musim semi sepertinya akan segera berganti seiring panasnya udara disekitar kami.

Aku belum pernah pergi ke daerah perbukitan. Mungkin perjalanan ini akan menjadi pengalaman baru untukku. Brisa bilang bukit Foresse adalah bukit tercantik yang dikelilingi bunga bunga liar yang beraneka ragam. Dan disepanjang jalan utamanya ditumbuhi deretan bunga matahari sebagai simbol kebanggaan penduduknya. Dan setiap kali musim panas datang penduduk bukit Foresse selalu mengadakan festival bunga di desa. Terbayang dibenakku akan parade bunga keliling serta dekorasi bunga yang bertaburan diseluruh pemukiman penduduk di bukit Foresse. Pasti terlihat indah dan sangat menyenangkan.

Hari mulai gelap. Kami tiba disebuah hutan kecil tak bernama. Brisa dan Ness memutuskan untuk menghentikan perjalanan dan beristirahat. Kurebahkan tubuhku di rerumputan. Kakiku terasa lelah. Kupejamkan kelopak mataku yang kelelahan dan tak kuperdulikan perutku yang mulai keroncongan. Berbaring seperti ini saja rasanya sudah memberiku sedikit ketenangan.

Pikiranku melayang layang. Dan dalam keadaan setengah sadar tiba tiba aku merasa tengah berdiri sendirian dalam kegelapan hutan kecil ini. Sepasang mata ungu gelap menatapku tajam. Wajah tampannya meski tak semenawan wajah Ness menatapku lekat lekat. Pandangannya begitu dingin dan membiusku. Jantungku berdetak cepat. Aku mengenali wajah itu. Itu Tristan. Seketika aku merasa tak berdaya. Dengan mudah Tristan menyergapku. Memelukku erat dari belakang seolah tak ingin melepaskanku. Napasku memburu. Aku meronta ronta sekuat tenaga mencoba untuk melepaskan diri dari pelukannya. Sia sia. Kedua lengannya yang kokoh mengunciku dalam pelukannya. Aku berteriak dan memohon padanya untuk melepaskanku. Namun Tristan sama sekali tak memperdulikannya.

”Apa yang kau inginkan?” getarku ketakutan nyaris tak terdengar.

 ”Berjalanlah kearah tenggara. Aku akan menemuimu disebuah jembatan kayu diatas sungai Olyms,” bisiknya sendu.

Kurasakan seluruh tubuhku melayang. Suaranya terdengar merdu dan menyenangkan. Aku harus pergi ke tenggara. Aku harus tiba di jembatan kayu diatas sungai Olyms seperti permintaannya. Dia akan menemuiku di sana.

 Samar samar terdengar suara seorang wanita memanggilku. Sepertinya aku mengenal suara itu. Dia memanggilku lagi kali ini suaranya begitu keras dan penuh kekhawatiran.

”Calista!” panggil Brisa menghentakkan bahuku.

Seketika itu kubuka kedua mataku dan tersadar. Napasku memburu. Kulihat wajah cantik Brisa menatapku cemas. Begitu pula dengan Ness, Darren dan Cleo yang kini mengelilingiku.

”Kau berjalan dalam tidurmu. Katakan padaku apa yang terjadi. Apa yang kau lihat,” seru Brisa tak sabar.

”Aku. Aku tak ingat...” ucapku patah patah.

”Seseorang menyuruhmu pergi ke suatu tempat kan. Siapa dia. Katakan padaku orang yang menyuruhmu pergi dalam mimpimu,” desak Brisa.

Masih dalam keadaan bingung. Aku tak dapat berpikir jernih. Tapi aku masih ingat sorot mata tajam yang menatapku dingin. Tiba tiba bulu tengkukku meremang.

”Tristan. Tristan yang menyuruhku,” sesakku pelan.

Wajah cantik Brisa pias seketika.     

 Genre : Novel Fantasy Romance 
 Writer : Misaini Indra 

No comments:

Post a Comment