Protected by Copyscape Plagiarism Scanner

Wednesday 6 July 2011

Calista Kaz "Penyihir Naga Arkhataya" (Chapter 3)


3. PANGERAN PERI
Sudah hampir tengah malam namun perdebatan Ness dan Brisa masih berlangsung. Sementara aku, Darren dan Cleo hanya duduk mengelilingi api unggun yang meliuk liuk ditiup angin. Kami tenggelam dalam pikiran masing masing. Kulirik Brisa dan Ness yang berdiri agak jauh dari tempat kami duduk. Wajah keduanya terlihat bersitegang.
Siapa itu Tristan?” tanya Cleo mengejutkanku.
”Dia mantan ksatria sihir lembah Crystal,” sahut Darren mewakiliku.
            ”Lalu mengapa dia bisa berada dalam mimpimu,” kejar Cleo padaku tanpa memperdulikan ucapan Darren.
            Kutatap liukan api unggun lurus lurus tak ingin menjawab pertanyaannya saat ini.
“Kau tahu, seandainya kau lebih kuat sedikit mungkin kau bisa melawan kekuatan orang itu,” saran Cleo tanpa kuminta.
“Jangan berkata seperti itu padanya” desis Darren melirik Cleo.
“Ayolah, Darr. Jika dia akan menjadi salah satu ksatria lembah Crystal harusnya dia tidak selemah itu hingga kalian harus menjaganya seperti bayi,” celotehnya lagi seenaknya.
            Seketika itu kupingku memerah. Kutatap Cleo dengan pandangan berkilat kilat. “Jangan kuatir aku tidak punya ambisi untuk menjadi ksatria lembah Crystal apalagi jika sainganku sekuat kau,” ujarku sinis.
            “Hey, apa maksudmu dengan ambisi!” seru Cleo sengit.
            “Sudahlah jangan menambah masalah!” seru Darren kesal akan pertengkaran kami yang kini saling bertatapan dan bersiap untuk saling mencakar.
”Dengar kan aku Cle, Tristan adalah salah satu ksatria didikan Orion seperti kami. Kurasa kekuatan sihirnya sudah berkembang jauh lebih baik dan hebat sekarang. Mengingat ia telah menjadi salah satu pengikut Zorca. Sewaktu berada di Essendra untuk menjemput Calista, kami pernah mendapatkan perlawanan sengit darinya dan seorang penyihir kesayangan Zorca yang bernama Rufus,” tutur Darren menjelaskan.
            ”Lalu apa yang harus diperdebatkan dengan jumlah kita yang lebih banyak. Kurasa kita bisa mengalahkan mereka dengan mudah,” cemooh Cleo.
Kualihkan tatapanku dari sikap Cleo yang menjijikkan itu.
            ”Tidak semudah itu. Kalau hanya Tristan mungkin kita bisa mengatasinya. Tapi Rufus, kekuatan sihir Rufus jauh lebih hebat dan menakutkan. Dia telah membunuh ayah Calista disana,”  Darren merendahkan nada suaranya seraya melirik hati hati kearahku.
            Cleo tertegun. Kini ia menatapku salah tingkah diliputi perasaan bersalah. Aku berusaha untuk tidak memperdulikannya dengan berpura pura menatap api unggun yang mulai meredup. Kembali teringat wajah bengis sosok lelaki berjubah hitam yang tengah tertawa senang menatap kematian ayahku, Arman. Seketika kurasakan sedikit getaran di sekujur tubuhku.    
”Aku turut berduka,” sesal Cleo terdengar tulus.
Masih dengan sikap yang sama aku memutuskan untuk tak berpaling atau menyahutinya.
”Dasar penyihir. Mereka semua sama pengecutnya selalu berlindung dibalik mantra untuk memenangkan pertempuran tanpa berani mengeluarkan kekuatan murni fisikal mereka,” desah Cleo mencoba menarik simpatiku.
            ”Berlindung dibalik mantra tidak otomatis membuat mereka menjadi seorang pengecut. Beberapa penyihir yang terlahir dan memiliki darah murni keturunan penyihir dapat melakukan sihir hanya melalui pikiran mereka, sama seperti kekuatan pikiran yang kau punya. Menurutku hal tersebut juga termasuk dalam kekuatan murni fisikal yang kau maksudkan tadi,” geram Brisa jengkel yang kini berdiri dihadapan kami bersama Ness..
            Wajah Cleo seketika pucat. Ia benar benar tak menyangka Brisa telah mendengar ucapannya.
            ”Maaf, aku tak bermaksud menyinggungmu.”
            ”Sudahlah, aku tidak punya waktu untuk memperdebatkan siapa yang paling hebat dan kuat diantara psychic atau penyihir,” ucap Brisa tajam.
            Cleo tertunduk malu. Aku dan Darren hanya diam membisu.
            ”Karena situasi akan semakin berbahaya. Aku dan Ness sepakat untuk meminta bantuan ke lembah Crystal. Kami membutuhkan pengawalan ksatria lain untuk menjaga kalian,” tatap Brisa padaku dan Cleo bergantian.
            ”Mengapa harus seperti itu,” protes Darren sedikit terkejut.
Brisa tidak memperdulikan keluhan Darren. ”Besok pagi aku berencana untuk meminta pembentukan team bantuan ke lembah Crystal. Sementara itu kita akan pergi dari sini mencari kota terdekat lalu mengabari keberadaan kita pada team bantuan tadi.”
            Darren menggerutu. ”Maksudmu kita hanya berdiam diri dan menunggu kedatangan mereka.”
            ”Yeah. Sepertinya begitu. Kita akan menunggu kedatangan mereka lalu kembali ke lembah Crystal bersama sama. Aku tak ingin mengambil resiko dengan membahayakan dua misi yang telah kita selesaikan,” tandas Brisa tegas.
Aku mendengus pelan. Ini hebat. Kurasa aku dan Cleo hanyalah sebuah misi bagi mereka.
”Ayolah Bris, kita bertiga dapat mengatasi mereka. Kita tidak membutuhkan team bantuan, benarkan  Ness,” Darren menatap Ness meminta persetujuan.
Ness hanya melirik enggan kearah Darren.
            ”Hey, sejak kapan kau jadi pengecut seperti ini,” ditatapnya wajah tampan Ness yang terlihat resah dengan kesal.
            ”Semua ini mutlak keputusanku sebagai pemimpin team bukan keputusan Ness”  tandas Brisa memandang Darren tak berkedip.
            Darren tergelak sinis. ”Baiklah pemimpin, tapi kurasa kau sudah mulai kehilangan nyalimu.”
            ”Kau pikir kau dapat melakukannya lebih baik dariku,” wajah Brisa memerah karena marah.
            Aku dan Cleo hanya dapat menatap pertengkaran mereka dengan gelisah.
            ”Pertengkaran kalian membuat kita jadi terlihat konyol dan meragukan kepercayaan mereka,” tukas Ness dingin pada Brisa dan Darren seraya melirik aku dan Cleo.
”Kau memang brengsek Ness,” maki Darren geram.
Ness terdiam untuk beberapa saat. Lalu ditatapnya Darren dengan ekspresi datar. ”Dengar Darr, kekuatan sihir Rufus hampir setara dengan kekuatan sihir Orion. Jika hanya  mengandalkan kekuatan sihir Brisa kurasa tak banyak yang dapat kita lakukan,” bisik Ness. Ada secercah keraguan dalam nada suaranya. Rahang Darren menegang.
”Kita hanya membahayakan jiwa mereka,” kali ini alis mata Ness terangkat satu menatap dingin kearah Darren.
Sempurna. Kini aku terdengar seperti beban yang harus dilindungi mereka. Kutundukkan kepalaku dalam dalam menatap kedua kakiku yang kupegang erat. Kedua tanganku terasa dingin dan bergetar. Kulirik Cleo yang tengah mengalihkan pandangannya menatap liukan api unggun. Apakah anak itu merasakan ketakutan yang sama yang tengah kurasakan saat ini.
Sebuah bisikan halus kembali terdengar dikupingku. Samar dan mengalun seperti nyanyian yang menghanyutkan. Kutegakkan posisi dudukku. Mungkin itu hanya suara angin, batinku. Tapi aku salah. Kali ini bisikan itu terdengar lagi. Halus dan menghanyutkan pikiranku. Kutatap sekelilingku. Sepertinya hanya aku saja yang mendengarnya.
”Berjanjilah padaku kau akan menemuimu disebuah jembatan kayu diatas sungai Olyms,” bisik Tristan sendu.
Pikiranku kembali melayang. Suara merdunya terdengar hangat dan menyenangkan. Tanpa sadar aku berdiri tegak dan melangkahkan kedua kaki ini mantap.
”Waktunya tidur Calista,” seru Brisa seraya memegangi sebelah lenganku.
Kutatap Brisa linglung. ”Aku harus menemuinya. Tidak ada yang perlu kau takutkan Bris,” senyumku samar.
Ness melompat cepat hampir berbarengan dengan Darren lalu menghampiri kami.  
            Apakah Tristan tengah membisikkan sesuatu padamu saat ini,” tanya Brisa pelan dan hati hati.
            Pertanyaannya membuatku marah seketika. Kutatap kedua mata biru pupusya lekat lekat. ”Aku akan pergi menemuinya dengan begitu kalian bisa terbebas dan kembali ke lembah Crystal dengan selamat,” bantahku kasar seraya tersenyum sinis menatap Brisa.
Aku sangat yakin alasanku kali ini pasti dapat diterimanya. Yang aku tahu aku harus segera pergi dari sini secepatnya. Sebuah tamparan keras mendarat di pipi kananku.
            ”Sadarlah, Tristan telah menghipnotismu dari jauh. Kurasa kau tengah terbius oleh sihir mimpinya,” tatap Brisa tajam seraya memegangi kedua bahuku.
            ”Aku berhak melakukan yang ku mau. Kau tak perlu mengurusiku lagi,” raungku penuh amarah seraya meronta ronta melepaskan diri dari cengkramannya.
            Melihat itu Darren segera membantu memegangi kedua lenganku.
            ”Lepaskannn,” teriakku marah seperti orang kesetanan.
            Cleo menatapku ngeri. Dengan satu gerakan lincah Ness telah berdiri dihadapanku yang masih meronta dari pegangan Darren dan Brisa.
”Ness, kau tahu apa yang harus kau lakukan,” perintah Brisa tegang.
Ness mengangguk. Kedua mata Ness menatapku tak berkedip. Aku balas menatapnya dengan marah. Tiba tiba aku merasa lelah. Sepasang mata coklat keemasan Ness terasa begitu menyejukkan. Semuanya kini terasa berputar. Aku merasa pusing. Tak kuasa akan tatapan matanya. Kupejamkan kedua mataku. Dan jatuh terkulai tak sadarkan diri.
Paginya aku terbangun oleh tatapan lembut Ness yang melihatku iba. Dengan sedikit malu kutegakkan posisi dudukku yang terkulai lemah bersandar dari pohon besar lalu berbalik memunggunginya.
”Makan ini untuk kekuatanmu,” tawarnya seraya menyodorkan sebuah apel tepat di depan hidungku.
Kuraih apel dari tangannya tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Kini ia duduk disampingku dengan santai. “Sebaiknya kau jangan terlalu banyak melamun.  Tristan akan memasuki alam sadarmu dengan mudah. Kau bisa membahayakan kita semua.”
“Jangan salah paham. Tidak pernah terpikir olehku untuk lengah dan membahayakan kalian semua,” ucapku tersinggung.
”Jangan marah. Aku tidak bermaksud seperti itu,” sahutnya datar.
”Bagus, jadi kau tak perlu repot repot menjagaku seperti ini karena aku tidak membutuhkan pertolonganmu itu ok,” cetusku dingin.
”Tenang saja, aku hanya melakukan perintah Brisa. Setelah semua ini berakhir, kupastikan kita takkan bertemu lagi. Bahkan di jalan jalan sempit di seluruh lembah Crystal,” sahut Ness tak mau kalah.
Mata kami saling bertatapan. Aku dengan tatapan marahku sementara Ness dengan sepasang mata coklat emasnya yang tenang setengah mengejekku. ”Benar benar merepotkan,” gumam Ness seraya mengalihkan pandangan kearah Cleo yang terlihat salah tingkah karena telah mencuri pandang kearahnya.
Dengan kesal kuhentakkan kedua kakiku keras keras dan pergi meninggalkan Ness yang masih duduk menatap kepergianku. Aku benar benar muak padanya. Aku tak ingin berada dekat dekat dengannya. Semua perkataannya terasa menyakitkan bagiku.
Hari itu Brisa juga telah menitipkan pesan lewat seekor elang yang telah dimantrainya untuk menyampaikan pesan ke lembah Crystal. Pesan singkat meminta bantuan pengawalan. Rencananya kami akan berbalik arah mencari kota terdekat dan menunggu kabar dari team bantuan untuk bersama sama kembali ke lembah Crystal.
Kecemasan Brisa terasa berlebihan bagiku. Wajah cantiknya mulai terlihat lelah dan tak ramah. Sementara itu Darren terlihat lesu begitu mengetahui pujaan hatinya seringkali menyambangi langkah langkah ringan Ness dan berusaha keras untuk menarik perhatiannya.
 Ness yang elegan bukanlah tandingan Darren. Meski laki laki itu terlihat mempesona namun ia sangat menyebalkan bagiku. Tapi itu tidak berlaku bagi Cleo. Gadis itu begitu bersemangat dan pantang menyerah. Berkali kali Ness mengabaikannya namun Cleo bertahan dan tetap setia mengikuti setiap langkah Ness bagai seekor anak anjing yang tengah meminta perhatian tuannya.
Matahari kini berada tepat diatas kepalaku. Sejak kami berjalan menjauhi hutan kecil di wilayah timur laut ingatanku melayang terus ke Tristan. Laki laki misterius yang angkuh dan dingin dengan sorot mata tajam yang menyimpan kesedihan begitu dalam. Ingatanku kembali ke kota Essendra. Waktu itu mengapa ia bersikap seolah olah berusaha untuk melindungiku dari kemarahan Rufus.
Kuhembuskan napasku perlahan. Memikirkan semua ini benar benar menyita energiku. Tubuhku terasa lelah. Sejak pertama meninggalkan Essendra dan melakukan perjalanan bersama mereka aku tidak pernah tidur nyenyak setiap malamnya. Kuharap kami segera menemukan kota terdekat karena aku sudah tak tahan lagi dengan perjalanan ini.
”Aku baru tahu kalau ayahmu seorang psychic seperti aku dan Darren, Ness,” seru Cleo ceria membuyarkan lamunanku.
Cleo terlihat memainkan rambut biru gelapnya dengan tangan kanannya. Berusaha keras menjejeri langkah Ness. Kutahan langkahku lambat lambat dibelakang mereka. Ada sedikit rasa penasaran untuk melihat kejadian berikutnya.
”Maksudku, aku pikir kau seorang penyihir seperti Brisa. Karena yah, kau begitu misterius ketika pertama kali aku melihatmu.”
Tak ada sahutan. Kedua mata Ness menatap lurus ke depan.
”Darren juga bilang padaku bahwa ibumu itu seorang peri, benarkah?” kerling Cleo memainkan kedua matanya.
 Aku tergelak pelan dan berusaha menyembunyikannya ketika Cleo menatapku jengkel.
”Cepatlah sedikit Calista atau aku akan menggendongmu jika kau terus tertinggal dibelakang,” seru Ness santai tak memperdulikan pertanyaan Cleo.
Dengan berlagak tergesa aku berjalan mendahului mereka. Sepertinya Ness tahu jika aku berniat menguping pembicaraannya.
”Anak itu selalu merepotkan saja. Begitu lemah dan ceroboh,” bisik Cleo pada Ness melayangkan pandangan sinis padaku.
Kupingku memanas namun kuputuskan untuk tak ambil pusing akan ucapannya itu karena aku selalu beranggapan ototnya jauh lebih berfungsi daripada otaknya.
”Rasanya tidak bijak berbicara seperti itu tentang seseorang,” tukas Ness dingin.
”Maaf,” nona ambisius pun jadi salah tingkah.
Ada perasaan  senang di hati ini begitu mendengar pembelaan Ness untukku.
”Oh ya, jadi kekuatanmu pasti jauh lebih istimewa kan. Mengingat kau memiliki darah peri. Maksudku kau keren sekali sewaktu menolong anak itu ketika ia tengah kerasukan,” ucap Cleo lagi mencoba mengalihkan kekesalan Ness dengan aku sebagai  bahan pembicaraannya.
”Sepertinya kau telah melakukan sedikit pengamatan terhadapku ya,” desah Ness lembut seraya menatap Cleo dengan kalem.
Cleo tersipu malu.
”Kau membuatku kagum dengan pengetahuanmu tentang aku. Kurasa tak ada hal yang perlu kujelaskan lagi tentang diriku padamu, benarkan.” Kedua mata coklat emas Ness menyipit menatap lekat ke arah Cleo seperti tengah tersenyum.
Tak kuasa menahan geli akhirnya aku gagal menyembunyikan tawaku. Sekilas kulirik wajah Cleo yang terlihat memerah dan menatapku marah.
Ness benar benar sinting dan tidak punya perasaan. Sepertinya ia memiliki magnet untuk menarik perhatian wanita sekaligus menolaknya secara bersamaan. Dari kejauhan kulihat Darren terlihat lesu berjalan disamping Brisa. Si kera besar itu nampak kecewa karena pujaan hatinya mulai berpaling pada si pangeran peri.
”Kau lemas sekali hari ini. Apakah kau tengah kelaparan?” candaku mencoba menghibur seraya menyambanginya. Darren hanya tersenyum malas tak memperdulikanku.
“Ness, seharusnya menjagamu bukan mencari kesibukan sendiri,” rutuk Brisa seraya menoleh ke belakang melihat Ness yang masih bersikap sopan menanggapi celotehan Cleo. Kulirik Darren yang masih membisu.
“Dan kau. Berhentilah bersikap seolah dunia akan runtuh. Jika kau tidak mendapatkannya. Masih banyak gadis gadis kuat lain di lembah Crystal yang menunggumu,” omel Brisa membuatku spontan tergelak.
Darren menggeleng kesal. “Aku tak mengerti maksud ucapanmu.”
“Kau ingin aku menjelaskannya padamu, Darr.” tawarku dengan mimik polos.
”Kalian benar benar menyebalkan,” sungut Darren lalu berjalan menjauhi kami  berdua. Aku dan Brisa saling bertatapan. Sebelum akhirnya tertawa lepas. Kekakuan di wajah kami kini sedikit melemas.
”Sudah lama sekali aku tidak tertawa seperti ini,” desah Brisa menatap awan.
Mengingat situasi sulit sepanjang perjalanan kami. Aku pun menganggukkan kepala sebagai tanda persetujuan.
Menjelang malam kami tiba disebuah kota kecil bernama Willow. Kota itu begitu teduh dan hijau dengan deretan pohon cemara yang tumbuh teratur disepanjang jalan utama. Sebuah penginapan kecil dan bersih menjadi pilihan kami untuk bermalam.
Kupandangi Cleo dengan frustasi. Aku benar benar tidak senang sekamar dengannya. Meski Brisa juga ada disini namun fakta bahwa ada Cleo di ruangan sempit ini tetap membuat darahku mendidih setiap melihat senyum sinisnya yang ditujukan padaku.
Sejak awal pertemuan ia selalu menganggap rendah keberadaaanku. Seolah olah aku adalah sosok yang lemah dan menjadi beban bagi kelompok ini. Meski harus kuakui sejak kepergian Arman, entah mengapa semua kelebihan yang kumiliki seolah menguap begitu saja. Aku begitu lemah dan sering bertindak bodoh tanpa pemikiran. Sewaktu di Essendra, indera penglihatanku berfungsi dengan jelas dan aku bisa mengendalikan pikiranku untuk menggerakkan sesuatu dengan cepat.
Ketika kutanyakan hal ini pada Brisa. Ia hanya menjelaskan padaku bahwa semua kekuatan sihir yang aku miliki tengah tertutup oleh perasaan kesedihan mendalam yang masih kurasakan. Menurutnya aku harus melepaskan semua pikiran kesedihan untuk mengembalikan kekuatan sihirku. Jika aku terus larut dalam kesedihan aku akan menjadi lemah dan selamanya takkan bisa menunjukkan seluruh kekuatan sihirku.
Bukan hal yang mudah. Kenangan akan ayahku. Dan rumah kami di Essendra masih begitu kental diingatanku. Perasaan sesal bercampur luka yang menganga begitu perih dan menyesakkan seolah tak ingin sembuh. Aku benar benar menyesal tak pernah menunjukkan perasaan sayangku yang sesungguhnya pada ayahku sendiri. Seandainya aku memiliki kekuatan untuk memutar waktu aku ingin sekali kembali ke Essendra bersama dengan Arman dan menghabiskan waktuku tanpa harus mengeluh menuntut penjelasan padanya tentang masa lalu kami.
”Tidurlah. Masih banyak waktu untuk memikirkan cara mengembalikan kekuatan sihirmu. Sesampainya di lembah Crystal nanti Orion akan membantu memecahkan masalahmu,” hibur Brisa padaku.
Aku mengangguk lemas. Brisa benar. Sekarang kupikirkan pun tak ada gunanya, hanya membuang waktu. Tapi yang pasti aku harus berusaha melepaskan kesedihanku. Bagaimana pun juga aku harus memulihkan kekuatan sihirku. Aku tak ingin dianggap lemah dan menjadi beban bagi mereka. Perkataan Cleo tadi siang memang membuat kuping ini panas tapi setidaknya dia benar. Aku harus kuat dan berusaha menepiskan kesedihanku. Aku harus bisa menunjukan kekuatanku. Meski aku tak yakin aku menginginkannya namun aku akan membuktikan pada Cleo bahwa aku bukanlah gadis lemah yang hanya menjadi beban semata.
Paginya aku bangun lebih awal dari Brisa dan Cleo. Kuputuskan untuk berkeliling disekitar penginapan untuk menghirup udara segar. Kota ini begitu bersih dan teduh. Aku menyukai pemandangannya yang bernuansa hijau dikelilingi pohon pohon cemara. Terlihat beberapa dahan cemara yang basah karena embun pagi. Untuk sesaat aku teringat hutan Voswood yang begitu tenang dan sejuk. Dengan cepat kutepiskan lamunanku jauh jauh karena aku harus mulai mengubur sedikit demi sedikit kenangan indah yang menyakitkan untuk memulihkan kekuatan sihirku.
Rupanya aku tidak sendirian. Sosok tinggi yang kukenal tengah duduk disalah satu kursi kayu dan asik memandangi rindangnya pohon cemara tanpa memperdulikan sekelilingnya. Dengan sedikit ragu kulangkahkan kaki menuju tempat dimana Ness tengah duduk bersedekap. Rasanya tak sopan jika tidak menyapanya, setidaknya hanya untuk sekedar berbasa basi.
“Pagi, Calista,” sapanya mendahuluiku tanpa menoleh kearahku.
”Eh ya, pagi,” sahutku canggung.
Laki laki ini seperti punya sepasang mata dibelakang kepalanya. Atau ia memang telah mengetahui keberadaanku sebelumnya.
”Tidur nyenyak semalam?” tanyanya masih dengan gaya khas Ness yang kukenal. Tenang dan datar.
”Lumayan.”
”Bagus. Kau ingin duduk”
Ia bergeser memberikan sedikit tempat untukku. Dengan sedikit ragu aku duduk disampingnya. Kini kami sama sama terdiam. Menikmati sejuknya udara pagi tanpa sepatah kata pun. Kulirik Ness dengan ekor mataku. Wajah tampannya memancarkan ketenangan yang rasanya sulit diungkapkan. Lekukan hidungnya terlihat sempurna. Sorot mata coklat emasnya yang lembut dan garis wajahnya yang indah memancarkan aura seorang pangeran. Teringat ucapan Brisa beberapa waktu lalu. Aura ketenangan itu didapatnya dari ibunya yang seorang peri, membuat siapa saja yang menatap mata emasnya dan mendengar suara merdunya akan terbius oleh pesonanya. Sungguh, akan menjadi senjata yang berbahaya jika digunakan sesuka hati.
”Apakah kau sudah puas memandangi wajahku,” tanyanya merdu.
Seketika itu wajahku memerah, kupalingkan wajahku menatap lurus ke depan. Sekilas kulihat segaris senyum tersungging dibibir tipisnya yang menggoda.
”Apakah kau selalu berbicara spontan seperti ini tanpa memikirkan perasaan lawan bicaramu” sindirku balas bertanya.
Ness tertawa merdu, tenang dan datar. Wajah tampannya semakin terlihat menawan bila ia tertawa seperti itu, saat itu juga aku bersumpah telah terpesona padanya.
”Baiklah, sampai ketemu nanti di ruang makan,” pamitnya sopan seraya beranjak dari kursi kayu meninggalkan aku yang masih menatap lurus ke depan tak berani menatap kepergiannya.
Dadaku berdegup kencang. Keterlaluan padahal aku berjanji takkan terpesona lagi padanya tapi sulit sekali menolak pesona laki laki setengah peri itu. Semakin kuhindari semakin penasaran untuk memandanginya.
Kuputuskan untuk menjauh dari Ness ketika berada diruang makan. Duduk disamping Brisa sedikit memberiku perlindungan. Tentu saja situasi ini segera dimanfaatkan Cleo untuk duduk berhadapan dengan Ness. Lucunya meski mencoba bersikap tenang terlihat jelas sikap Ness yang mulai sedikit terganggu dengan antusiasme Cleo padanya.
Berkali kali Ness terlihat memainkan cangkir tehnya dengan kedua tangannya. Bahasa tubuhnya terlihat sangat tidak nyaman. Ness terlihat membisu dan hanya tersenyum menanggapi agresifitas Cleo. Darren terlihat lesu. Berkali kali ia hanya menusuk nusuk sepotong daging dan roti bakarnya dengan garpu. Brisa menatap Darren dengan sebal kemudian ia mengalihkan pandangannya kearah Ness yang menatap kosong kearah Cleo yang tengah sibuk bercerita tentang dirinya.
Aura Ness terkadang sering merepotkanku ketika menjalankan misi,” gumam Brisa menghela napas.
”Apakah dia menyadari hal itu,” tanyaku acuh.
”Entahlah. Terkadang kupikir Ness itu tidak memiliki perasaan. Terlalu tenang dan terlalu datar. Tapi kau tak bisa menyalahkannya karena menjadi begitu mempesona. Bahkan pesona itu pun telah membuat seorang putri raja dari bangsa elf menjadi sangat antusias mendatanginya ke lembah Crystal hanya untuk membuat ikatan dengannya,” gumam Brisa membuatku jadi penasaran mendengarkan penuturannya itu.
”Ness memiliki sebuah ikatan dengan seorang putri raja dari bangsa peri,” gumamku penasaran.
Bibir Brisa mengerucut seolah tak menyukai pertanyaanku. ”Jangan katakan kalau kau juga tertarik pada Ness.”
Aku langsung memasang sikap defensif. ”Jangan salah paham. Aku berusaha keras untuk tidak terpedaya pada pesonanya,” yakinku padanya.
”Bagus. Sebaiknya memang jangan karena aku tak ingin kau terlibat masalah. Quilla takkan pernah melepaskan Ness untuk siapapun,”  gumam Brisa pelan.
Ada perasaan ngeri mendengar perkataan Brisa. Tak terbayang bagiku jika harus berurusan dengan bangsa peri. ”Tapi apakah yang kau katakan itu benar maksudku berarti ia akan menjadi seorang pangeran suatu saat nanti” tanyaku kikuk.
Brisa menatapku sesaat. Ia tengah menimbang nimbang apakah akan terus bercerita atau tidak. Kulirik Ness yang kini bangkit dari kursinya dan mencoba tersenyum dengan sopan pada Cleo. Sepertinya Ness berusaha menghindar dengan halus.
”Apakah kau perhatikan anting perak di kuping kiri Ness,” bisik Brisa pelan.
Kuanggukkan kepala seraya menatap Brisa yang kini telah memutuskan untuk menceritakan rahasia besar Ness padaku.
”Putri Quilla memberikan sebelah antingnya pada Ness sebagai tanda ikatan mereka. Anting itu memberikan kekuatan yang cukup besar baginya. Selain membuatnya semakin terlihat elegan dan menawan, kekuatan Ness pun semakin bertambah. Anting itu dibuat oleh Ayah Quilla, raja Zordius. Zordius adalah pemimpin kerajaan Amorilla, bangsawan elf dari negri peri yang terletak di hutan Sprhonia, di wilayah barat laut. Ia membuat sepasang anting untuk putri kesayangan itu, dari cahaya murni yang dibekukan, kemudian ditiupkan empat jiwa untuk melengkapi elemen cahaya di dalam anting itu sendiri, empat jiwa itu adalah cinta, pikiran, kebenaran, dan energi.
Kutatap Brisa dengan raut kekaguman.”Menakjubkan.”
”Kau tahu, elemen cahaya murni di dalam anting itu sendiri adalah sebuah ilusi. Itulah sebabnya Ness bukanlah seorang psychic biasa. Ness adalah seorang psychic illusionist, yang memiliki kekuatan jauh melebihi kekuatan pikiran para psychic biasa. Sedangkan empat jiwa yang sengaja ditiupkan Zordius ke dalam anting Quilla adalah sebagai pelengkap elemen cahaya itu sendiri, yang masing masing juga memiliki kekuatannya sendiri. Kekuatan cinta, yang mampu mengatasi atau meredam rasa kesedihan ataupun kegembiraan. Pikiran, mengontrol kejadian kejadian yang tengah berlangsung ataupun melihat kejadian di masa depan. Lalu ada kebenaran, dimana kebohongan di masa lalu tidak dapat ditutupi darinya. Dan yang terakhir, energi. Ness memiliki energi yang melebihi manusia biasa, bahkan manusia istimewa yang memiliki kekuatan sihir sekalipun. Separuh kekuatan dari empat jiwa itu dimiliki Ness sekarang. Jika Ness memiliki anting satunya lagi yang dipakai Quilla sekarang. Maka kekuatan Ness akan menjadi lengkap. Ness akan menjadi manusia setengah peri yang kekuatannya melebihi para psychic manapun bahkan para penyihir.”
Keterangan Brisa semakin menjelaskan kestabilan sikap Ness yang yang begitu tenang dan datar selama ini. ”Jika seorang putri kerajaan peri begitu menginginkannya lalu mengapa Ness masih mau berkeliaran seperti ini untuk menjadi ksatria lembah Crystal,” gumamku menerawang.
”Ksatria lembah Crystal menjalankan misi bukan hanya sekedar berkeliaran tak jelas,” ujar Brisa dengan nada penekanan.
Kutatap Brisa salah tingkah. ”Maaf, aku tidak bermaksud begitu,” ralatku malu.
”Untuk soal yang satu itu, tidak ada yang tahu kecuali Ness sendiri.  Mengapa ia masih memilih untuk menjalankan misi dari Orion. Setahuku ketika usia putri Quilla telah mencukupi untuk menggantikan Zordius maka Ness juga harus sudah siap, karena Quilla telah memilih dia sebagai pendampingnya nanti,” jelas Brisa.
Untuk sesaat pikiranku melayang. Memang hanya seorang putri peri atau putri kerajaan yang pantas mendampingi sosok Ness yang elegan. Tak mungkin rasanya membayangkan Ness akan memilih seorang gadis biasa yang tidak memiliki status apa apa sebagai pendamping hidup.
”Aneh rasanya membayangkan Ness menjadi seorang pangeran mengingat kami sering melakukan misi bersama sebagai ksatria di lembah Crystal,”  gumam Brisa seraya meneguk jus plumnya.
Aku termenung memikirkan ucapan Brisa. Ini benar benar hebat. Seorang calon pangeran mengawal aku dan Cleo agar tiba di lembah Crystal dengan selamat. Teringat Cleo aku jadi membayangkan reaksinya jika ia mengetahui siapa Ness yang sesungguhnya.
Siang itu tak banyak kegiatan yang dapat kami kerjakan. Perintah Brisa untuk tetap menunggu team bantuan adalah suatu pekerjaan yang membosankan. Setengah memaksa aku membujuknya untuk membiarkanku berkeliling disekitar penginapan melihat suasana kota Willow.
”Baiklah, tapi dengan pengawalan dari Ness, ok,” tegasnya.
Dengan berat hati kuterima tawarannya. Awalnya sulit bagiku untuk mendekati Ness tanpa melewati Cleo. Akhirnya setelah aku memastikan Ness tengah sendiri kudekati dengan langkah ragu. Seolah dapat membaca pikiranku. Sepasang mata emasnya menatapku penuh antusias. ”Tentu saja aku akan senang mendampingimu,” kerlingnya menggoda membuat jantungku berdebar kala menatap satu alis matanya yang tengah terangkat menatapku.
Siang itu kami pergi ke jantung kota Willow yang kebetulan tengah ada perayaan musim panas. Seluruh jalan utama dipenuhi hampir seluruh penduduk kota yang bergembira menyambut datangnya musim panas. Anak anak berlari larian dan bercanda ria, kaum muda dan tua, berkumpul bersama. Ada beberapa atraksi akrobatik dan parade tarian yang dibawakan dengan indah oleh para remaja putri sepanjang jalan utama. Aku dan Ness begitu menikmati suasana kota Willow yang ramai dan bersahaja hingga sedikit lupa akan ucapan ucapan sinis yang biasanya kita lontarkan satu sama lain.
Segerombolan anak anak berlari serabutan dan salah satunya menabrak Ness tak sengaja. Anak laki laki itu jatuh terjerembab. Dengan cepat kedua tangan kokoh Ness mengangkatnya dan menaruh tubuh kecil itu dipundaknya. Anak laki laki kecil itu tertawa kegirangan ketika Ness mulai menggendongnya berputar putar. Suara tawa mereka menjadi satu. Suara tawa merdu Ness begitu lepas dan indah dimataku. Aku belum pernah melihat Ness seriang itu. Dengan cepat ia menurunkan anak laki laki itu yang kemudian berlari kembali mencari teman temannya. Ness menatap jauh mencari bayang anak laki laki kecil tadi yanng kini hilang dikerumunan orang yang tengah lalu lalang. Melihatnya seperti itu membuatku berpikir bahwa Ness ternyata juga memiliki sisi kepribadian yang hangat dan penuh kasih sayang meski selama ini ia terkesan begitu datar dan misterius.
”Apakah menatap wajahku sudah mulai menjadi kebiasaanmu sekarang,” gumamnya santai seraya menatap langit biru yang cerah tanpa memperdulikan rasa keterkejutanku.
”Aku hanya tak mengira kau bisa tertawa seperti itu. Mengingat raut mukamu yang selalu terlihat datar dan tertekan,” tukasku dingin berusaha menguasai diri dari rasa terkejutku.
Ness menatapku heran lalu tergelak puas seolah telah berhasil mempermalukanku. Kuputuskan untuk tidak memperdulikannya. Namun harus kuakui wajah tampannya terlihat bercahaya saat tertawa. Sadarkah dia jika ia begitu menawan. Mata kami bersirobok dengan cepat kualihkan pandangan pada sekumpulan anak perempuan yang tengah bergerombol dan sibuk bercanda. Wajah cerah Ness yang masih menatap kearahku tiba tiba berubah tegang. Dahinya sedikit berkerut. Kini ia memalingkan pandangannya menatap lurus lurus kedepan.
”Kau baik baik saja,” tanyaku ragu ragu.
Bukannya menjawab Ness malah menatapku dengan pandangan nyalang untuk beberapa saat. Kedua mata emasnya seolah berubah tidak ramah dan menatapku dingin.
Dengan kasar ia menarik lenganku. ”Kita harus pergi dari sini.” 
Aku mencoba membaca ekspresi dimatanya dengan langkah tergesa mengekorinya. ”Ada apa Ness. Apa ada masalah,” tanyaku dengan napas memburu.
Bukannya menyahut Ness justru mempererat pegangan tangannya. Dia menyeretku tanpa memperdulikan keluhanku akan sikapnya.
Ketika kami tiba di penginapan. Brisa, Darren dan Cleo tengah berada diruang makan bersiap siap untuk makan siang. Dengan wajah tegang Ness menatap Brisa. Seolah telah mengerti arti tatapan Ness, Brisa segera memberi kode pada Darren dengan menyikut lengannya.
”Sepertinya kita harus makan siang diperjalanan,” ujar Brisa memandangku dan Cleo. Saat kami telah duduk bersama di satu meja.
Ness mencodongkan tubuhnya kearah Brisa. ”Team bantuan telah berada diperbatasan kota Willow tapi penglihatanku mengatakan jika mereka akan mendapatkan kejutan yang tidak menyenangkan, Bris,” bisik Ness terdengar resah.
Brisa menatap kearahku dan Cleo bergantian. ”Apapun yang terjadi nanti. Kuharap kalian mengikuti semua perkataanku.  Dan satu hal lagi. Kuatkan hati kalian.”
Kurasakan desiran halus di jantungku yang berdegup cepat. Kuakui aku sedikit ketakutan. Kulirik Cleo yang nampak menyembunyikan senyum kesenangan akan situasi genting ini.
Kuhembuskan napasku perlahan. Brisa benar. Aku harus bisa menguasai perasaan takutku. Aku harus menjadi kuat. Sepertinya aku dapat merasakan ada bahaya besar tengah menanti kami.

Genre : Novel Fantasy Romance
Writer : Misaini Indra

1 comment: