Protected by Copyscape Plagiarism Scanner

Monday 11 July 2011

Calista Kaz "Penyihir Naga Arkhataya" (Chapter 4)

4. TERTANGKAP
Kami bergegas meninggalkan penginapan. Dengan napas tersengal aku setengah berlari mengikuti mereka. Beberapa kali aku nyaris tertinggal. Sebaliknya Cleo nampak gagah dan berjalan dengan sangat cepat. Kucoba menyamai kecepatan langkahku dengan Ness tapi malangnya aku terjerembab jatuh tersandung oleh kedua kakiku sendiri yang tak mau menuruti perintah dari otakku. Cleo menatapku dengan senyum sinis yang melecehkan.
“Aku tak apa apa,” ucapku mencoba menghapus kekhawatiran di wajah Brisa.
Kami meneruskan perjalanan dengan tergesa. Aku berusaha sekuat tenaga mengabaikan rasa nyeri dipergelangan kaki kananku.
“Tunggu,” ucap Ness seketika. Raut kecemasan nampak terlihat jelas di wajah tampannya.
Brisa menatap Ness kalut. “Apakah kau melihat sesuatu.”
Dahi Ness berkerut terlihat berkonsentrasi. Mata coklat keemasannya yang indah menatap dalam ke depan. “Sial, mereka telah mendahului kita,” geramnya seraya berkelebat mempercepat langkah langkahnya.
“Ness tunggu!” teriak Brisa panik begitu melihat Ness yang telah berlari sepuluh langkah mendahului kami.
“Cepat susul Ness, Darr!” perintah Brisa dengan nada suara yang begitu tegang.
Darren berlari menyusul bayangan Ness dengan langkah langkah beratnya.
”Dengar! Tetap berdekatan denganku maka kalian akan baik baik saja,” perintah Brisa mencoba menenangkan begitu melihat raut wajahku yang terlihat bingung.
”Apakah yang dimaksud Ness adalah para penyihir hitam itu, Brisa?” tatap Cleo terlihat penasaran.  
”Ya,”desah Brisa. Ditatapnya wajah kami dengan resah. ”Sekarang bergegaslah kita harus menyusul Ness dan Darren. Ingat jangan jauh jauh dariku.”
Aku dan Cleo hanya menganggukkan kepala.
Kami tiba diperbatasan kota Willow yang kini dipenuhi asap hitam tebal yang menghalangi pandangan. Pendaran api nampak sesekali terlihat diantara asap hitam yang semakin menebal. Brisa menarik tanganku dan Cleo untuk berlindung dibalik sebuah pohon tua dengan akar akarnya yang menjulur. ”Tunggu disini!” perintah Brisa. Nada suaranya tajam berusaha menyembunyikan ketegangannya.
”Biarkan aku membantumu,” tandas Cleo menawarkan diri.
”Tidak! Tetap di sini dan itu perintah,” tegas Brisa kaku.
”Kau pasti membutuhkan kekuatanku,” bantahnya lagi menyebalkan.
Brisa menatap geram kearah Cleo. ”Kubilang tidak! Tetap di sini atau aku akan mengikatmu di batang pohon ini, mengerti,” tukas Brisa bernada mengancam.
Cleo nampak kecewa. Sementara aku hanya duduk meringkuk memegangi kedua kakiku yang tengah bergetar.
Brisa menghilang dengan cepat diantara asap hitam yang bergulung dan mengeluarkan suara deru menakutkan.
”Hebat! Sekarang aku malah tertahan denganmu,” gumam Cleo kesal.
Aku terlalu sibuk dengan ketakutanku untuk menanggapi gumamannya yang menyakitkan.
”Aku benci bersembunyi seperti ...” belum sempat Cleo menyelesaikan ucapannya. Percikan api menyambar dahan pohon diatas kepala kami dan terbakar hanya dalam hitungan sejari. Cleo berteriak kencang seraya menarik lenganku yang terasa kaku.
”Brengsek!” makinya seraya melayangkan pandangan kearah api yang kini mulai membakar batang pohon tempat dimana kami sempat berlindung.
Aku hanya terduduk lemas.
”Hey kau baik baik saja kan?” tegurnya kasar.
Aku tak menyahut.
Cleo meringis kesal. ”Bangun bodoh! Jangan merepotkan aku di saat seperti ini,” geramnya.
Mataku berkilat kilat. Kutatap Cleo dengan sejuta kemarahan yang meluap. Tapi ia nampak tak memperdulikan tatapanku dan sibuk menatap kesekeliling kami. ”Kita harus bersembunyi untuk mengamankanmu,” desahnya kebingungan.
”Tidak secepat itu anak manis!” suara parau tertawa mengelegar.
Dihadapan kami nampak sosok laki laki berperawakan besar dengan goresan luka di pipi kirinya seperti bekas sayatan pedang. Wajah kotaknya yang kasar dengan sorot matanya yang menyipit tajam begitu mengintimidasi keberadaan kami.
”Siapa kau!”  seru lantang Cleo yang kini berdiri sigap dengan gagah membalas tatapannya dengan sikap menantang. Aku hanya tertegun melihat sikap frontal Cleo yang konyol.
”Kau punya nyali juga rupanya,” kekeh laki laki berwajah mengerikan itu.
”Jangan macam macam denganku,” gertak Cleo tak mau kalah. Seketika itu juga sosok menyeramkan dihadapan kami makin tergelak senang mendengar ancaman Cleo. Hatiku semakin menciut. Cleo telah membuat kami berada dalam situasi yang tidak kusukai.
”Baiklah, jika itu maumu. Aku juga tidak ada waktu untuk bermain main,” ujarnya kasar. Dalam sekejap saja percikan api tersulut dari ujung jemari di kedua belah tangannya yang besar. Wajahnya yang bengis kembali tertawa keras menatap kearah kami. Jika perkiraanku benar kurasa ia hendak memanggang kami hidup hidup.
Pekikkan nyaring keluar dari mulutku begitu melihat laki laki berwajah menyeramkan tadi mulai mengayunkan kedua tangannya kearah kami. Kupejamkan mata dan pasrah menerima jilatan api yang akan menyambar tubuh kami. Tapi aku salah. Bukan hawa panas yang kurasakan melainkan butiran butiran dingin batu es menghujani tubuhku dan Cleo. Seluruh tubuhku terasa sakit seperti dilempari kerikil kerikil dingin yang menusuk kulit tak henti henti.
Kubuka mataku yang tengah terpejam. Aku dan Cleo saling bertatapan dengan heran. Ketika kami mengalihkan pandangan kearah penyerang kami. Sosok Brisa tengah berdiri dua langkah disamping kami dengan kedua tangan mengarah pada laki laki kejam tadi. Brisa telah mengubah percikan api menjadi butiran butiran batu es. Brisa telah menyelamatkan hidupku dan Cleo.
Kurasakan seseorang meletakkan tangan di bahuku.
”Kalian baik baik sajakan?” ujar seorang laki laki berperawakan kecil. Wajah mungilnya tersenyum ramah mempertegas lesung pipitnya yang dalam dengan dagunya yang sedikit lancip. Rambut keritingnya yang berwarna pirang terlihat berantakan. Sekilas wajahnya nampak seperti anak anak yang tak pernah tersentuh sisir rambut.
”Namaku Oggie. Kalian tak perlu takut padaku. Aku juga salah satu ksatria sihir dari lembah Crystal. Sebaiknya kita mencari tempat perlindungan saja,” ujar Oggie seraya menarik aku dan Cleo menjauh dari pertempuran untuk mencari perlindungan.
Kualihkan pandangan cemasku pada Brisa. ”Tapi bagaimana dengan Brisa.”
’Tenang saja. Brisa dapat mengatasinya,” kerling Oggie menenangkanku.
Kami berlari menuju sebuah pohon besar yang ditumbuhi semak semak liar tak jauh dari pertempuran Brisa.
Sepasang mata biru kehijauan Oggie menatap sekeliling dengan waspada. ”Sepertinya untuk sementara kita akan aman disini,” yakinnya.
”Aku benci karena harus bersembunyi seperti seorang pengecut seperti ini,” gerutu Cleo menyebalkan.
Oggie tak memperdulikan ucapan Cleo. Kedua matanya menyipit sibuk menatap pertempuran hidup dan mati Brisa dengan laki laki menyeramkan itu.
Kembali percikan api terlontar dari kedua jemari tangan laki laki jelek tadi. Dengan cepat Brisa merapal mantra dan menghentakan kedua tangannya. Sebuah perisai berbentuk lingkaran yang tebal seperti batu es tiba tiba saja muncul. Dan Brisa terlindung dari percikan api yang langsung hilang saat bersentuhan dengan dinding perisai es buatannya itu.
 Kulihat wajah Oggie yang tenang kini mulai terlihat cemas.
”Pergilah. Kurasa kami akan baik baik saja,” bisikku pelan.
Oggie menatapku gundah.
”Yah, sebaiknya kau membantu Brisa. Aku bisa menjaga anak ini,” sela Cleo meyakinkan Oggie seraya melirik kearahku. Seketika itu juga kemarahanku meledak.
”Hey berhentilah membuatku muak dengan ucapanmu itu,” bentakku kasar.
Rahang besar Cleo mengeras. Wajahnya tegang dan menatapku kesal. ”Oh ya, tapi keberadaanmu itu menghambat gerak kami sejak perjalanan misi ini.”
”Sejak kapan kau menjadi bagian dari misi ini. Sadarlah, kau itu adalah misi mereka sama seperti aku!” teriakku histeris menuangkan semua kekesalan sejak tadi.
Oggie mengernyitkan dahinya lalu menghela napas dalam dalam. ”Sudahlah ini bukan waktu yang tepat.”
Dari arah belakang kami terdengar suara teriakan merdu yang kukenal. Dengan cepat kepalaku menoleh gusar. Diantara asap hitam yang mulai menipis samar samar terlihat sosok Ness dan Darren tengah disibukkan dengan dua orang lainnya yang tak kalah hebat. Seorang laki laki berperawakan cebol yang mengenakan topi bulat berwarna hitam tengah menghindari serangan Ness yang bertubi tubi dari balik sebatang pohon oak yang separuh hangus. Sementara Darren nampak terdesak dan berusaha menangkis serangan sihir seorang wanita gemuk berambut pendek warna merah marun dengan kekuatan telekinetisnya.
”Itu Ness!” pekik Cleo tertahan. Kulirik Cleo dengan masam.
Kerutan di kening Oggie tergambar jelas. Apalagi begitu melihat Darren yang mulai kewalahan. Benar saja, dengan cepat wanita gemuk tadi berteriak melontarkan mantra sihirnya dan membuat tubuh Darren jatuh berdebam ke tanah cukup keras. Darren mengerang kesakitan sambil memegangi bahu kirinya. Sementara wanita gemuk tadi nampak memekik kegirangan dengan suara tawanya yang melengking tinggi memekakkan telinga.
Cleo terlihat kalut. ”Kita harus membantu mereka.”  
Oggie mengangkat sebelah tangannya mengisyaratkan kami untuk tenang. Rasa ketakutan berlebihan semakin menghinggapiku.
”Cukup sudah. Aku akan membantu mereka,” Cleo meloncat keluar dari persembunyian kami tak mengindahkan seruan Oggie yang berusaha mencegahnya.
”Apa anak itu ingin mati?” tatap Oggie meminta persetujuanku. Aku hanya menelan ludah karena kerongkonganku tiba tiba terasa kering.
Cleo kini telah berada disamping Darren dan membantunya berdiri.
”Oggie!” seru  seorang gadis setengah berbisik yang muncul dari arah timur di balik pepohonan. Gadis itu berperawakan sedang dan berambut hitam panjang. Bola matanya yang juga berwarna hitam keunguan terlihat resah. Ia memegangi bahu seorang gadis berambut ikal panjang berwarna merah yang memiliki bola mata berwarna hijau terang yang menyenangkan. Namun wajahnya terlihat pucat pasi.
”Kemarilah Agnes!” sahut Oggie seraya memberikan tanda dengan mengangkat tangannya meminta mereka untuk bergabung. Dengan cepat Agnes berlari seraya membimbing lengan si gadis berambut merah tadi yang nampak ketakutan.
”Hallo, aku Agnes. Dan ini Evelyn Keech,” senyum Agnes terlihat tegang mencoba membuka percakapan. Aku mengangguk ragu.
”Langkah bodoh Agnes. Untuk apa kita harus bersembunyi di sini bersama mereka. Tempat ini telah diketahui. Kau akan membuat kita semua terbunuh!” teriak Evelyn histeris pada Agnes.
”Diamlah Keech, jika kau terus berteriak seperti itu tentu saja mereka akan menemukan kita,” bentak Agnes kesal.
Wajah pucat Evelyn seketika berubah masam. Kulirik mereka dengan kedua ekor mataku.
”Evelyn adalah seorang illusionist yang membantu misi kami. Dia tidak bisa menyihir apapun. Kami membawanya karena ia memiliki penglihatan yang kadang cukup tepat,” ujar Agnes seraya melirik Evelyn.
”Aku memiliki penglihatan sebaik para psychic, bukan tipuan seperti yang selalu kalian para penyihir tuduhkan selama ini pada para illusionist,” sahut Evelyn sewot.
Bibir Agnes mengerucut dan tak memperdulikan ucapan Evelyn. ”Bukankah ada dua orang gadis dalam misi ini?”tanyanya pada Oggie ragu.
”Tadinya begitu. Tapi aku kehilangan yang satunya,” potong Oggie seraya menunjuk kearah Cleo yang kini berusaha merangkul tubuh kekar Darren dari kejauhan.
”Sepertinya aku harus membantu mereka,” ujar Oggie lagi dengan nada cemas.
”Pergilah,” Agnes berusaha untuk tetap tenang.
Dengan sekelebatan saja Oggie meloncat keluar dari persembunyian namun malang. Tiba tiba saja Oggie sudah jatuh terjerembab ke tanah. Aku, Agnes dan Evelyn memekik bersamaan. Oggie meringis menahan rasa sakit.
“Mereka tahu. Mereka tahu Agnes. Aku tidak mau mati!” teriak Evelyn seraya menghambur lari kearah rimbunnya pepohonan dan menghilang ditemaramnya senja.
”Evelynnn!” Agnes berteriak panik.
”Kejar dia Agnes! Sebelum malam tiba atau kita akan kehilangan jejaknya,” teriak Oggie tak kalah panik.
Agnes bergegas lari mencoba mengikuti bayangan Evelyn namun seseorang telah menghadangnya. Tristan berdiri dihadapan Agnes dengan sorot mata tajam dan tersenyum kaku. ”Hallo sepupu! Lama tidak bertemu,” sapanya sinis.
Sepupu. Mereka bersaudara.
”Follones!” teriak Agnes. Dengan cepat Tristan mematahkan serangan sihir Agnes dan melontarkannya kembali pada Agnes yang langsung berlindung dibalik sebatang pohon dan mengumpat kesal.
 Tristan tertawa mengejek.”Seharusnya kau bisa lebih baik dari itu.”
Rahang Agnes menegang, dengan lantang ia keluar dari balik pohon dan menatap galak kearah Tristan. ”Jangan menghalangi jalanku atau aku akan lebih keras menyerangmu,” ingatnya dengan nada mengancam.
”Avilos!” teriak Oggie seketika melayangkan sihirnya lewat telapak tangan kananya yang mungil. Tubuh Tristan seketika itu juga melayang layang dan berputar cepat di udara lalu jatuh menghantam batang pohon tumbang yang tak jauh disamping Agnes.
”Pergilah!” seru Oggie pada Agnes. Agnes hanya mengangguk.
Secepat kilat Agnes berlari dan menghilang dibalik pepohonan tempat dimana Evelyn juga menghilang.
”Lumayan” seru Tristan geram seraya bangkit menahan sakit.
Aku hanya terpaku dan menatap ciut kearah mereka.
”Cepat pergi dan cari perlindungan yang lebih aman. Aku akan menahannya sementara waktu” perintah Oggie padaku dengan suara tegang.
Sia sia. Kedua kakiku terasa lemas. Aku hanya berdiri kaku memandangi Oggie.
“Tunggu apa lagi, cepat  pergi!” teriak Oggie kesal.
“Dia tidak akan pergi kemana mana. Benarkan Calista?” seringai Tristan. Wajah tampannya terasa tidak begitu menyenangkan. Beda sekali dengan Ness. Tapi entah kenapa suaranya yang terdengar kaku begitu menghanyutkan pikiranku.
“Jangan dengarkan dia dan jangan pandangi dia,” teriak Oggie memperingatkanku.
”Dizzante!” teriak Tristan marah. Seketika itu juga tubuh Oggie tergulung asap hitam yang keluar dari kedua telapak tangan Tristan dan terhempas ke tanah. Ceceran darah mengucur deras dari dahinya. 
Tristan tersenyum sinis. ”Kau bukan tandinganku,” ejeknya pada Oggie yang tengah mengusap tetesan darah didahinya.
”Acrindio!” teriak seorang anak laki laki meloncat tepat diantara Oggie dan Tristan. Seketika itu juga Tristan terjerembab jatuh. Tubuhnya terbaring kaku di tanah. Wajah bekunya terlihat marah.
Anak laki laki yang meneriakan mantra pelumpuh itu berdiri tegak menatap Tristan. Perawakannya sedang dengan rambut lurus pirang. Kemudian ia berbalik dan berjalan mendekati Oggie yang tengah meringis kesakitan.
”Terimakasih, Zach,” seringai Oggie senang pada anak laki laki berambut pirang tadi.
”Bangunlah, kita harus cari tempat yang aman untukmu dan  ....,” belum sempat Zach menyelesaikan kalimatnya tiba tiba saja tubuhnya sudah terpental dan terguling lima langkah dari hadapan Oggie. Tubuh Zach yang tertelungkup nampak meregang kaku tak bergerak.
Aku terpekik histeris. Wajah Oggie seketika pucat pasi. Suara tawa parau memekik kencang dan tergelak puas.
”Zachhhhh!” panggil Oggie pilu.
Dengan susah payah Oggie berusaha bangun namun sayang dengan cepat laki laki menyeramkan dengan goresan luka di pipi kirinya itu segera merapalkan mantra pelumpuh kearahnya. Masih dalam keadaan shock berat aku terduduk gemetar menatap wajah Oggie yang tengah menahan sakit dan terbaring lumpuh. Tanpa sadar aku menangis.
Suara tawa parau lagi lagi bergema seolah mengumandangkan kemenangan. Lalu setelah puas tertawa kini ia menatapku bengis.
”Tikus tikus tolol! Amatiran. Kalian tidak akan pernah bisa mengalahkan Herzog Mandal,” serunya pongah.
Ditatapnya wajah tegang Tristan yang tergeletak kaku ditanah.
”Apakah kau tak ingin membantuku melepaskan mantra sialan ini,” seru Tristan sedikit kesal pada Herzog.
”Alasanku membebaskanmu karena aku ingin kau melakukan pekerjaan kotor  untuk mengumpulkan tikus tikus ini, meski sebenarnya jika harus memilih, aku lebih menyukai kau dengan keadaanmu yang sekarang” seringai Herzog mengejek Tristan.
Tristan hanya membisu menatap Herzog dengan  mata ungunya yang menatap tajam.
”Jangan pandangi aku seperti itu, nak. Atau aku berubah pikiran dan membiarkanmu selamanya seperti itu,” seringai Herzog pelan.
Tristan membuang pandanganya dengan kesal. Herzog terkekeh senang.
”Anlish!” seru Herzog akhirnya meski masih dengan nada suara mengejek.
Seketika tubuh Tristan yang kaku terbebas dari mantra pelumpuh. Dengan marah Tristan berkelebat cepat menghampiri aku dan Oggie.
”Jangan mendekat atau aku akan menghajarmu!” teriak Oggie putus asa.
”Coba saja jika kau mampu,” dengus Tristan tak perduli.
”Icessendriosss!” tiba tiba saja hujaman butiran butiran es bertubi tubi menyerang kearah Tristan dan Herzog yang tengah berdiri. Seketika itu mereka terpaksa menghindari hujan es yang dashyat untuk mencari perlindungan. Dengan sekuat tenaga kumanfaatkan kesempatan ini dan memberanikan diri bergerak kearah Oggie dan mencoba untuk membantunya berdiri.
”Calista!” panggil Brisa dari balik perisai es buatannya.
Dengan tertatih tatih aku menopang tubuh kecil Oggie dan mencoba menghampiri Brisa. Kulihat Ness juga telah berada dibalik perisai es Brisa. Dengan segenap kekuatanku ditengah hujan es yang deras, aku menyeret Oggie lebih cepat lagi. Aku harus menunjukkan pada Ness jika aku dapat diandalkan dan bukan sebagai beban seperti kemarin. Namun sayangnya aku kehilangan keseimbangan dan membuat kami terjatuh. Ness menarik tangan Oggie dan membantunya berlindung dibalik perisai es. Setelah memastikan Oggie telah diposisi aman Ness meraih kedua tanganku namun sebuah dorongan angin membuat kami terpelanting dan pegangan kami pun terlepas.
Tubuhku terasa sakit luar biasa. Aku mengerang kesakitan.
”Calista!” teriak Ness panik.
Ness bangkit dan meloncat cepat menuju kearahku yang tergeletak menahan sakit.
”Sakit sekali,” erangku.
”Tenang saja.  Aku akan melindungimu,” bisik Ness lembut.
Ness merangkul tubuhku lembut dan membimbingku perlahan. Namun Tristan belum menyerah. Kembali melontarkan mantra dan membuat kami terjatuh lebih keras lagi ke tanah.
”Ness!” seruku serak berusaha mengapai gapai tubuhnya namun asap hitam datang tiba tiba dengan cepat menggulung tubuhku keatas. Aku memekik ketakutan dan meronta namun tubuhku terasa kaku dan napasku sesak. Asap hitam yang menggulung tubuhku melayang ringan di udara dan membawaku jatuh tepat dihadapan Tristan.
”Calista,” seru Ness lemah seraya bangkit dan siap mengejarku.
”Kembali Ness, terlalu berbahaya!” teriak Brisa putus asa dari balik perisai es nya
Namun Ness tidak memperdulikan peringatan Brisa. Air muka Ness yang biasanya datar dan tenang kini berubah marah. Ada sedikit kesedihan dan luka untukku disana ketika ia kembali memanggil namaku.
Sebuah cahaya terang keluar dari kedua telapak tangan Ness. Pendaran cahaya itu begitu menyilaukan. Sehingga membutakan kami semua. Samar samar kulihat Ness meloncat dan bergerak kearah tempatku berbaring. Namun Tristan sudah lebih dulu meraih tubuhku.
”Mundur!” perintah Herzog marah pada Tristan seraya menatap tajam kearah Ness.
Dengan cepat Tristan menggendongku dipundaknya. Dalam keadaan setengah sadar aku dapat merasakan tubuhku berputar cepat diringi kepulan asap hitam yang mengelilingi kami. Kini aku benar benar tak sadarkan diri. Namun masih dapat kurasakan suara merdu Ness yang terus memanggil manggil namaku.
Sinar matahari yang hangat membuatku tersadar dan bangun dari tidurku yang melelahkan. Kubuka kedua kelopak mataku dan berharap bahwa aku baru saja mengalami mimpi buruk seperti hari hariku di Essendra. Namun sepasang mata ungu menatapku dalam dan nampak penuh tanda tanya. ”Kau sudah bangun?” tanyanya datar.
Aku memekik ketakutan seraya beringsut menjauhi Tristan yang masih berjongkok dihadapanku. Tiba tiba suara tawa sumbang terdengar mengelegar. Aku mengenali suara mengerikan itu. Suara monster dengan sayatan luka dipipi kirinya. Tengah berdiri tepat didepanku dengan bertolak pinggang. Dengan panik kupalingkan wajah ke segala arah mencoba mencari perlindungan.
”Agh Mandal, berhentilah tertawa. Kau membuat anak ini ketakutan setengah mati dengan tawa jelekmu itu,” desah seorang laki laki berperawakan cebol mengingatkan.
Laki laki cebol itu mengenakan topi bulat berwarna hitam. Sepasang bola matanya yang berwarna hijau terang menatapku ramah seolah tengah tersenyum. Bila diperhatikan nampak tidak seperti penyihir hitam yang berbahaya.
”Brengsek kau Chaides! Tidak ada seorangpun yang berani memerintahku. Apa kau ingin mati,”  sembur Herzog Mandal marah seraya mengacungkan kedua tangannya kearah Chaides.
Sebuah apel yang sudah separuh termakan mendarat tepat dibahu kanan Herzog. Herzog menoleh geram kearah seorang wanita berperawakan gemuk dengan rambut pendeknya yang berwarna merah marun. Wanita gemuk itu tengah duduk santai disebuah batang pohon tumbang seraya sibuk mengunyah sisa sisa buah apel di mulutnya.
”Maafkan aku Herzog sayang, kurasa apel itu terlepas dari peganganku,” kikiknya seraya mengusap mulutnya dari tetesan sari buah apel yang masih menempel.
”Dasar gendut bodoh. Kau juga ingin mati ya!” teriak Herzog marah seraya merubah haluan mengarahkan acungan kedua tangannya kearah wanita gemuk tadi yang seketika cemberut karena dipanggil gendut.
”Aku akan membunuhmu terlebih dahulu jika kau melukai Amara!” teriak Tristan lantang seraya mengeluarkan sedikit kepulan asap hitam yang berputar putar dari tangan kanannya yang teracung tepat disamping kanan kepala Herzog Mandal.
”Kau pikir kau punya keberanian untuk itu nak,” kekeh Herzog menyebalkan.
”Jangan mengujiku,” sahut Tristan kaku.
”Oohoo aku meragukannya. Setahuku darah pengecut Arias telah mengalir dalam tubuhmu itu” seringai Herzog kegirangan.
            ”Dizzante!” seru Tristan meluap luap. Sebuah gulungan asap hitam yang mengepul dari jemari tangan kanan Tristan mendorong tubuh besar Herzog menghantam pohon cemara yang daunnya sudah terlebih dulu rontok dan batangnya hampir mengering. Herzog yang jatuh terjengkang malah tertawa kencang seolah tak merasakan sakit sedikit pun. Bulu kudukku meremang dan tanpa sadar aku bergidik ngeri dan mengalihkan pandangan menatap kedua ujung kakiku seraya memeluk kedua lututku erat erat.
            ”Lain kali aku pasti akan benar benar membunuhmu,” napas Tristan memburu karena amarah.
            ”Seharusnya kau tak perlu memperdulikan ucapannya itu, Tristan. Otak Mandal itu hanya sebesar kacang jadi maklum saja bila perkataannya agak sedikit sinting,” desah Chaides prihatin menatap Herzog yang masih terhuyung dan kini mencoba berdiri.
            ”Kalian penyihir penyihir tolol yang lemah. Seharusnya Rufus tidak merekrut kalian untuk melayani Master Zorca,” kekehnya seraya berpegangan pada dahan cemara yang telah mengering.
            ”Jika kau lebih pintar dari kami. Sebaiknya kau menyingkir sebelum kami bertiga membunuhmu disini, sayang,” kikik Amara yang bangkit dari duduknya seraya menunjukkan jalan setapak di belakang Herzog.
            Herzog tergelak ”Baiklah, baiklah gendut. Aku akan pergi tapi jika aku bertemu Rufus aku akan meyakinkannya untuk menghabisi kalian semua,” kali ini Herzog tertawa puas meninggalkan Amara yang menatapnya kesal atas penghinaannya.
            ”Sinting. Seharusnya, kau tadi membunuhnya untukku Tristan,” lengking Amara marah seraya melayangkan pandangan pada punggung Herzog yang mulai menjauh.
            ”Kuasai dirimu Amara. Itu hanya salah satu ucapan gila Herzog yang dangkal,” ingat Chaides seraya memberikan kode pada Amara untuk tenang.
            Kutundukan kepalaku dalam dalam untuk menyembunyikan wajahku. Sentuhan lembut di bahuku membuatku mendongakkan kepala.
            Tristan menatapku datar. ”Dia sudah pergi. Tak ada yang perlu kau takutkan.”
”Jangan sentuh aku,” ucapku jengah setengah berbisik.
Lelaki cebol yang berwajah ramah tadi mengamati wajahku yang ketakutan.
”Apakah kau baik baik saja disitu nak?”
Aku tak menyahut.
”Ehm. Baiklah kurasa sebaiknya aku memperkenalkan diri terlebih dulu. Namaku Chaides Borzy dan aku berjanji tidak akan menakutimu dengan suara tawaku seperti yang dilakukan si otak kacang tadi,” kerling Chaides ramah seraya membuka topi bulatnya memperlihatkan kepala botaknya yang nampak berkilat tertimpa sinar mentari pagi.
Sementara wanita gemuk berambut marun terkikik geli mendengar gurauan Chaides Borzy yang menurutku sama sekali tidak lucu. ”Dan aku Amara Pedigo. Panggil saja aku Amara. Ingat hanya Amara,”  seringai Amara Pedigo menampilkan sederet giginya yang tajam dengan wajah bulatnya yang nampak kemerahan.
Lidahku terasa kelu. Tak ada sepatah katapun yang keluar dari mulutku. Tenggorokanku rasanya tercekat.
”Sepertinya anak ini masih shock,” bisik Chaides pada Tristan.
”Ouhh kasihan sekali. Coba kau lihat dia Tristan. Wajah cantiknya pucat sekali,” celetuk Amara menambahkan.
Tristan menatapku dalam. Sorot mata ungunya yang gelap seolah mencoba menenangkan. Aku tak dapat menolak tatapan matanya yang begitu menghanyutkan. Tiba tiba saja aku merasa sedikit rileks.
”Apakah kita bisa menanyainya sekarang,” tanya Chaides meminta persetujuan.
Tristan mengangguk ragu. Kedua mata hijau Chaides kini berbalik menatapku ramah. ”Bolehkah aku menanyakan sesuatu padamu?”
Aku menganggukkan kepalaku perlahan.
”Para ksatria lembah Crystal. Apa yang mereka inginkan darimu?”
”Aaku... aku tak tahu,” sahutku bingung.
”Apakah mereka menyebutkan sesuatu tentang kami atau Zorca?” kejar Chaides tak sabar.
Seketika itu tubuhku bergetar ketakutan. Tristan memegangi kedua bahuku. ”Lihat mataku. Katakan saja yang kau tahu,”
Aku mengangguk lemah.
”Sekarang katakan padaku apa yang Brisa inginkan darimu,” tanya Tristan pelan.
”Membawaku ke lembah Crystal untuk keselamatanku,”
”Apakah ia memberitahumu alasannya,”
Aku menggeleng lemah.
”Orion memiliki selera humor yang aneh. Untuk apa merencanakan penjemputan untuk gadis tak berguna ini,” senyum Chaides getir begitu mendengar ucapanku.
”Apakah kau pikir itu salah satu lelucon Orion untuk mengelabuhi kita,” tanya Amara ragu.
Tristan menatap Chaides dan Amara sedikit ragu. ”Kurasa itu bukan lelucon. Orion adalah penyihir hebat. Ia tidak akan sembarangan mengirim para ksatrianya untuk menjemput gadis biasa dengan pengawalan yang sangat ketat.”
Chaides memutar bola matanya. ”Baiklah. Kuanggap pendapatmu itu benar tapi bagaimana dengan gadis yang satunya. Apakah mereka juga salah satu dari anak yang diramalkan akan menjadi penyihir hebat yang memenuhi takdirnya untuk menjatuhkan Master Zorca.”
Tristan mengalihkan pandangannya dengan getir dari tatapan Chaides yang meminta penjelasan.
”Ayolah Chaides. Jangan terlalu mendesaknya. Kurasa Tristan tak punya jawabannya untuk saat ini,” tatap Amara bersimpati.
”Untuk saat ini belum tapi mungkin sebentar lagi,” desah Tristan ragu.
Aku terbatuk pelan. Tenggorokanku semakin terasa kering.
Tristan menatapku penuh perhatian. ”Kau tak apa apa?”
”Aku haus,”
”Aih kasihan sekali gadis ini. Tunjukkan sedikit keramahanmu Chaides, ayo beri dia air,” perintah Amara.
Chaides tersenyum kecut. Dengan cepat ia membentuk gerakan seperti memutar sesuatu dengan jemari tangan kanannya. Ketika ia menghentikan gerakannya tiba tiba saja muncul sebuah cawan perak yang berisi air. Diangkatnya tinggi tinggi cawan perak berisi air itu lalu ia meletakkannya tepat didepan hidungku. Cawan perak itu kini menunggu untuk diambil.
Kutatap cawan itu penuh keraguan.
”Hanya air putih. Tidak akan membunuhmu,” tuturnya ramah.
Kuraih cawan perak tadi dengan setengah hati. Dan dengan rakus kuteguk seluruh isinya. Meski hanya air putih biasa namun benar benar memuaskan dahagaku dan sedikit membasahi tenggorokanku yang sempat mengering tadi.
”Untuk sementara nampaknya kita buntu,” gumam Chaides seraya membuang pandangan ke sekeliling pohon pinus.
Tristan menatap Chaides ragu. ”Apakah sebaiknya kita mengejar Herzog terlebih dahulu. Aku tak ingin Rufus menjadi salah pengertian karena ucapannya.”
Chaides tertawa getir. ”Tenanglah nak, Rufus jauh lebih pintar. Ia telah memprediksi hal seperti ini sebelumnya.”
”Maksudmu...”
Chaides menghela napas perlahan. ”Boleh dikatakan Rufus telah memperingatkanku untuk tidak memperdulikannya jika ia berusaha membunuh kita semua. Otaknya yang sebesar biji kacang itu terkadang mempengaruhi kondisi kejiwaannya yang kejam dan tak berperasaan.”
Amara terkikik geli.
”Maksudmu Rufus telah mengetahui kemungkinan ini akan terjadi,” tanya Tristan tak sabar.
Chaides mengangguk kearah Tristan yang masih nampak tak percaya. ”Pikirkanlah Tristan. Herzog Mandal tak lebih hanya sekedar anjing piaraan Rufus yang selalu melakukan pekerjaan kotor Rufus. Rufus tahu sekali cara memperlakukan piaraannya itu. Pernahkah kau memiliki piaraan kesayangan?”
Tristan menggeleng.
”Sayang sekali karena itu akan sangat menyenangkan untukmu. Sekaligus menjelaskan sikap Rufus yang terkadang memperlakukan Herzog lebih istimewa dibanding kita semua.”
”Kurasa kau benar Chaides sayang. Kesintingan Herzog sepertinya tidak mengganggu Rufus sama sekali. Pernah sekali Rufus mengatakan secara pribadi padaku untuk tidak memperdulikan ucapan kasarnya dan menyerahkan semua persoalan Herzog padanya,” ujar Amara dengan wajah bulatnya yang berkerut.
”Dengar Amara, berapa kali kuperingatkan untuk tidak memanggilku sayang di depan orang asing.  Itu sangat menggangguku,” kecam Chaides.
Amara cemberut.
Sementara aku yang sejak tadi terdiam agak sedikit aneh mendengar pertengkaran kecil mereka.
”Kau yakin Rufus tak akan terpengaruh ucapan Herzog,” tekan Tristan sekali lagi.
Sepasang mata hijau terang Chaides yang ramah menatap Tristan. ”Tenanglah. Rufus lebih membutuhkan kekuatan kita bertiga dibandingkan satu penyihir sinting yang selalu bertindak tanpa menggunakan otaknya.”
Ada kelegaan tersirat di wajah tampan Tristan. Airmukanya terlihat sedikit lebih tenang.
Sepasang mata abu abu Amara menatapku lekat lekat ketika aku memperhatikan pembicaraan Tristan dan Chaides. ”Lalu apa yang akan kita lakukan pada gadis cantik yang malang ini, Chaides,”
Chaides menatapku datar sementara aku hanya menunduk menghindari tatapannya. ”Kita harus membawanya pada Rufus. Aku tak ingin Rufus berpikir kita telah mengkhianatinya. Terlepas dari ucapan Herzog pada Rufus ataupun ramalan Master Zorca tentang anak perempuan yang akan menjadi malaikat kematiannya itu. Lagipula anak ini sudah banyak mengetahui hal yang tidak seharusnya ia ketahui.”
Tristan dan Amara menatapku bersamaan dengan raut wajah yang sulit kutebak.
”Kumohon lepaskan aku. Aku sama sekali tak mengetahui apa yang sepenuhnya kalian ucapkan. Ini tidak adil. Aku hanya gadis biasa yang tidak memiliki kekuatan sihir sehebat kalian,” ujarku kalut.
”Kami tahu itu nak. Tapi semua itu bukan kami yang memutuskan. Kami hanya pembawa misi Rufus untuk memenuhi permintaan Master Zorca. Ia yang akan memutuskan nasibmu nantinya,” tatap Chaides iba.
”Sayang sekali gadis secantik dia jika harus mati,” lirih Amara dalam ironi.
”Sudahlah jangan ganggu dia,” ucap Tristan sedikit kesal dengan ucapan Amara seraya memegang sebelah tanganku dan membimbingku berdiri.
”Tidak. Lepaskaannn,” teriakku panik berusaha melepaskan diri dari cengkraman Tristan yang kuat.
”Jangan konyol. Semua akan baik baik saja. Percayalah, aku akan melindungimu” bentak Tristan kesal karena aku meninju rahangnya dengan kekuatanku yang payah.
Ucapan yang sama yang pernah kudengar dari Ness namun mengapa terasa begitu berbeda kala kata kata itu keluar dari mulut Tristan.
Chaides terpingkal. ”Wow. Kau yakin sekali akan hal itu Tristan.”
”Mengapa tidak. Aku akan meminta Rufus untuk tidak membunuhnya,” nada suara Tristan meninggi. ”Setidaknya sampai kita mengetahui kebenaran, apakah Calista adalah gadis dalam ramalan Master Zorca,” ujarnya lagi ragu.
”Kalian sudah saling mengenal rupanya,” gumam Chaides kalem.
Rahang Tristan menjadi kaku. Amara terkikik sekencang kencangnya.
”Yah sudahlah. Yang pasti aku tak ingin bersitegang dengan Rufus hingga akhirnya membuat kita bermasalah dengan Master Zorca nantinya. Begini saja. Jika gadis ini sihirnya payah kemungkinan ia bukanlah gadis dalam ramalan. Mungkin kau bisa mengambil hati Rufus dan memohon untuk tidak membunuhnya melainkan untuk melepaskannya. Tapi jika ia memang gadis dalam ramalan itu. Kurasa aku tidak bisa membantumu Tristan,” Chaides menatap Tristan seraya menggelengkan kepalanya.
Tristan menatap getir kearah Chaides dan membuang pandangannya kearahku yang tengah ketakutan. ”Aku akan mengambil resiko itu Chaides,” ujarnya mantap.
”Sangat tegas. Aku menyukai sikapmu itu,” sahut Chaides.
Amara menatap Tristan keheranan. ”Apa yang membuat otakmu menjadi sama sintingnya dengan Herzog, sayang.”
Tristan menatap kearahku nanar lalu ia membuang pandangannya kearah Amara.
”Karena aku adalah penyebab kematian ayahnya, Amara.” ujar Tristan datar membuat hatiku jadi mencelos.
Chaides mendongak tertegun sementara Amara melongo menatapku.
Pipiku terasa hangat. Kubuang pandanganku dari mereka yang kini tengah menatapku.
Tristan menatapku tak berkedip. ”Hari itu aku hanya ingin menjemputmu. Aku tak pernah menginginkan adanya kematian.”
Kutarik napas dalam dalam. ”Apakah kau akan membawaku pada laki laki kejam yang telah membunuh ayahku itu,” tanyaku kaku tak memperdulikan tatapan Chaides dan lirihan Amara.
”Maaf tapi aku harus. Aku berjanji akan memohon hidupmu pada Rufus  jika kau memang bukan gadis dalam ramalan itu.”
Tak kuasa membendung kepedihan aku mulai menitikkan airmata. Ironis sekali nasibku harus berada ditangan Rufus. Orang yang telah membunuh ayahku.
”Berjanjilah kau akan melakukannya jika ternyata aku bukan orang yang mereka cari,” isakku tertahan berusaha menguasai diri.
”Ya,” wajah Tristan mengeras menunjukkan keteguhan hati.
Suara tepuk tangan Chaides mengalihkan tatapan diantara kami. ”Hebat. Kalian benar benar membuatku jadi terharu. Namun sayangnya kalian harus berhati hati dengan rencana itu,”
”Kau benar benar tak punya perasaan,” sentak Amara kesal.
”Saat ini yang kutahu aku memang tidak punya perasaan apa pun sama sekali untukmu, Amara” kerling Chaides santai.
Amara sontak marah dan mulai memaki maki Chaides seraya berjalan menjauhinya.
Tristan kembali menatapku dalam. Entah kenapa aku membuang pandanganku ke deretan pakis yang mengering dengan perasaan tak karuan.
”Ayo nak. Bergegaslah. Kita harus segera membawa kekasihmu itu pada Rufus sebelum ia berpikir kita telah mengkhianatinya,” perintah Chaides seraya berjalan menyusul Amara yang masih mengumandangkan sumpah serapah untuknya.
Wajah kaku Tristan nampak sedikit merona mendengar ucapan Chaides namun dengan cepat ia menutupinya dengan mengulurkan tangan kanannya padaku. Aku tak punya pilihan lain selain menyambut uluran tangannya yang lembut itu. 
  
Genre : Novel Fantasy Romance
Writer : Misaini Indra

No comments:

Post a Comment