Protected by Copyscape Plagiarism Scanner

Tuesday 5 July 2011

Maafkan aku yang tak pernah bisa…

Aku mengenal sosoknya sewaktu duduk di bangku kuliah. Kepribadiannya yang begitu sederhana cukup menarik perhatianku. Dia seorang yang ramah dan menyenangkan. Waktu itu tak pernah terbayangkan olehku suatu saat aku akan menyukainya. Menyukainya lebih dari sekedar teman dekat seperti saat ini.

“ Nina!” seru lantang dari kejauhan.
Aku hanya tersenyum tanpa menolehkan wajah untuk mencari si pemilik suara.
“Hey Nin! Tunggu aku……
Kali ini terpaksa ku hentikan langkahku. Cengkraman erat terasa di bahu membalikkan seluruh tubuhku.
“Ya Rey” jawabku malas.
Sebuah wajah dengan mata bening kekanak-kanakkan memandangiku dengan tersenyum.
“Semalam aku menelpon kerumah Nin, tapi kau tidak ada. Handphone mu juga tidak aktif. Kemana saja kau semalam” sungutnya.
“Tidur. Aku malas terima telpon mu” jawabku santai.
“Ehm, jujur tapi menyakitkan. Ok, sudah termaafkan! Kita ketemu lagi nanti. Ada yang ingin aku bicarakan ”
“Entahlah Rey, rasanya aku harus ke supermarket ada beberapa titipan mama yang harus ku …
“Bisa diatur! Nanti ku antar” potongnya cepat
“Tapi …
“Jam 5 di tempat biasa. Aktifkan handphone mu ya!” serunya sambil berlari menuruni tangga tanpa memberiku kesempatan untuk mengelak.

Benar-benar egois, aku kan bukan psikiater pribadinya yang harus ada setiap saat untuk mendengarkan masalah-masalahnya. Masih jelas terekam dalam ingatanku semua perkataannya…

“Nin, nilai ujian semesterku buruk sekali” atau “Bantu aku mengahafal ya, nanti malam ku telpon”! dan tak jarang ia akan berkata seperti ini, “Pinjam catatanmu dong Nin, kalau kamu ada waktu sekalian copy untukku ya, nanti ku traktir deh” terlebih lagi puncak kekesalanku terjadi pada saat ia meminta waktu tidurku juga untuknya, ”Please Nin aktifkan handphone mu, terkadang aku tak bisa tidur, aku kan butuh seseorang untuk temaniku bicara”. Sungguh keterlaluan sekali, sederet seruan dan gangguan yang ia timbulkan padaku, terkadang membuatku kesal padanya.

Namun seiring waktu, kebersamaan itu membuat diriku merasakan “sesuatu” yang aneh yang belum pernah kurasakan sebelumnya. Meski dia sangat mengganggu tak dapat kupungkiri aku pun tak ingin jauh darinya.

***

Gerimis hujan yang tiba-tiba membasahi sore itu membuat kami tertahan di sebuah kedai kopi didalam pusat perbelanjaan. Aku dan Rey duduk di pojok ruangan dekat jendela. Sekilas kulihat air mukanya yang nampak cerah kini berubah getir.

“Dia kembali Nin” katanya pelan.
Aku hanya terdiam mendengar ucapannya.
“Kami bertemu semalam, dia cantik sekali” kali ini nada suaranya sedikit meninggi menahan emosi. Entah kenapa ada sedikit rasa marah menjalariku.
“Pantas kau menelponku semalam” jawabku ketus.
Tiba-tiba dia tertawa keras seakan ingin melepaskan seluruh emosinya.
“Maaf ya, aku sedang bingung sekali” katanya pelan.
Ku pandangi wajahnya. Sorot matanya yang ramah nampak hangat menatapku. Dengan gugup kualihkan pandanganku ke jendela.
“Hingga detik ini, aku selalu berpikir kalau ia masih milikku. Benar-benar bodoh!” serunya kesal pada diri sendiri.
Ada sedikit rasa sedih menyelimuti hatiku ketika mendengar ucapannya.
“Sejak pertengkaran itu, Aku dan Jen seperti kehilangan kontak. Aku tak pernah bisa melupakan dirinya hingga saat ini…
Kuarahkan pandanganku kembali ke jendela kedai. Dengan suara tertahan kupaksakan diri untuk bertanya padanya.
“Lalu apa yang akan kau lakukan” tanyaku pelan.
Untuk beberapa saat ia membisu. Kemudian memandangi wajahku dengan nanar.
“Dia menginginkan ku, Nin” jawabnya dengan nada bimbang.
Dadaku tergetar begitu mendengar penuturannya. Kuarahkan pandangan ke pintu masuk kedai dan mencoba untuk mengacuhkan kata-katanya.
“Kau ingin kembali padanya?” kataku dengan sedikit menahan emosi.
“Entahlah” jawabnya ragu.
Seketika itupun perasaan lega mengelilingiku.

Malam itu aku menolak tawarannya untuk mengantarku pulang. Taksi yang membawaku menuju perjalanan ke rumah seakan terasa lama dan membosankan. Entah mengapa, aku menyesal menolak tawarannya. Saat itu aku ingin sekali dia berada disampingku tuk temaniku pulang.

***

Sinar mentari pagi dari jendela kamar menyapu separuh wajahku. Kupaksakan diri untuk bangun dari tempat tidur. Rasa malas masih menghinggapiku. Aku tidak begitu suka bangun pagi. Bahkan orang rumah pun tahu itu. Tanpa sadar aku tersenyum sendiri teringat akan ucapan Rey….
“Bangun Nina, udara pagi sangat baik untukmu, seorang gadis tidak baik jika bangun terlalu siang” katanya suatu ketika.
Dan tak jarang dering telpon darinya membangunkanku hampir tiap pagi.
“Aku tak akan berhenti menelponmu hingga kau bisa bangun pagi” ucapnya sambil tertawa.
Kini makin kusadari betapa aku merindukannya.

Kulangkahkan kaki dengan lunglai. Hari ini segan rasanya untuk memulai aktifitas. Kupandangi handphone sesaat. No message. Rasanya sudah lama sekali, sejak pertemuan sore itu di kedai kopi bersamanya.

Everything’s allright???

Pesan ringan yang kukirimkan padanya sejak hari itu tak pernah ada jawaban. Meski berat tapi kucoba untuk tidak menghubunginya. Aku tak ingin menggangu. Walaupun aku rindu setengah mati ingin melihat sosoknya disampingku dan mendengar suara tawanya yang selalu menggodaku. Perasaanku benar-benar galau, tiba-tiba aku merasa takut sekali kehilangan dirinya.
“Please telpon aku Rey, besok kan ujian kamu butuh aku untuk menghafal” gumamku pelan pada diri sendiri.

Keresahan di hati kini makin menjadi. Aku tak melihatnya disekitar kampus. Dengan segenap kekuatan aku beranikan diri untuk menghubungi telpon selularnya. Tidak aktif. Kutekan kembali nomor handphone-nya untuk kedua kali. Masih sama. Perasaan khawatir dan bingung menderaku, dengan kesal aku mencoba menghubunginya lagi, kali ini nomor telpon rumahnya. Tak ada yang angkat. Tuhan dimanakah dia. Dimanakah Rey ku……

***

Aku terbangun oleh suara getar handphone disisiku malam itu. Sejak Rey menghilang aku selalu memegang benda tsb disamping tempat tidur untuk berjaga jaga. Nomor yang tidak kukenal. Dengan penasaran kubuka pesan masuk tadi….

Hatiku sakit sekali Nin…

Terima kasih Tuhan ucapku berkali-kali. Itu pasti pesan darinya….

Dengan cepat kuhubungi nomor tsb. Dering pertama, dadaku berdegup kencang. Dering kedua, telapak tanganku jadi sedikit basah. Dan pada hitungan dering yang ketiga kudengar suara itu. Suara yang selalu kutunggu. Suara yang kurindukan selama ini. Setengah tak percaya kusapa lembut suara itu dan tanpa sadar airmataku pun menetes…..
“Rey“ sapaku parau.
“Nin……
“Bagaimana kabarmu” tanyaku lembut.
Dia hanya tertawa menanggapiku. Sambil menghela nafas perlahan, lalu ia meneruskan ucapannya.
“Sejak Jen kembali ke Jakarta, aku bahagia sekali. Dia bilang kita akan selalu bersama” katanya menerawang
“Apa yang terjadi Rey” tanyaku lembut.
“Papa Jen tak pernah menyukaiku dari dulu“ ucapnya pelan.
Dadaku terasa sakit demi mendengar ucapannya.
“Semuanya tak seperti yang aku dan Jen inginkan “
“Sudahlah”
“Mereka tak pernah mengerti Nina!“ serunya tertahan.
“Rey….. ucapku pelan.
“Aku tak pernah menyuruh Jen kembali ke sisiku. Semua itu atas kemauannya sendiri. Kau tahu itu kan Nin?” ulangnya.
“Ya….
“Aku lelah sekali …”
Kini hatiku benar-benar terasa perih mendengar penuturannya.
“Maafkan aku yang selalu mengganggumu dengan masalah masalahku ya” ucapnya pelan.
“Please, don’t say that” mohonku.
Kurasakan tetes airmata jatuh di pipi.
“Jika kamu mau kita bisa bertemu dan bicarakan ini” harapku sambil menahan isak.
Rey hanya tertawa pelan mendengar perkataanku.
“Terimakasih atas kebaikanmu padaku selama ini Nin, aku tak kan pernah melupakannya”
“Rey… ucapku tergetar.
Tiba-tiba perasaan ketakutan menderaku. Tubuhku terasa lemas. Aku harus mengatakannya, atau aku akan kehilangan dia. Kucoba untuk mengumpulkan seluruh keberanianku. Akan tetapi……
“Selamat malam Nina” ucapnya lembut mengakhiri pembicaraan.
“Rey aku………
Bip!!
Terlambat. Sambungan telpon sudah terputus.
“Aku sayang kamu…… bisikku lirih menahan tangis.
Hatiku terasa hancur dan kini kurasakan hangat airmata membasahi wajah. Malam itu, dalam diam aku menangis.

***

Tiga tahun sudah berlalu, sejak kutinggalkan kota ini tak begitu banyak yang berubah. Kesibukan orang-orang yang lalu lalang dan keramaiannya pun masih tetap sama. Gedung-gedungnya masih seperti dulu. Dering telpon di saku menyadarkan lamunanku.
“Ya ma, sebentar lagi” jawabku singkat. Kemudian kututup pembicaraan.

Segera kupercepat langkah menuju pintu keluar pusat perbelanjaan. Namun kuurungkan niatku seketika, kini kedua mataku tertuju pada suatu tempat. Sebuah tempat yang cukup memberiku sedikit kenangan. Kulangkahkan kaki perlahan menuju tempat itu. Sebuah kedai kopi kecil didalam pusat perbelanjaan. Seperti ada suatu energi yang menarikku, kuarahkan pandangan ke dalam kedai dari jendela luar. Masih seperti dulu. Tak berubah sedikit pun. Tiba-tiba aku terhenyak Sebuah sosok yang kukenal duduk dipojok ruangan tak jauh dari jendela tempatku berdiri. Untuk beberapa saat aku terpaku.

“Ya Tuhan, benarkah” batinku.
Seakan tak percaya kupertegas kembali pandanganku kearah jendela kedai.
“Rey… gumamku pelan seakan tak percaya.
Senyum tipis menghiasi wajahku. Keinginan kuat pun menyelimutiku untuk menghampirinya. Sudah lama sekali sejak pembicaraan terakhir malam itu. Masih ingatkah dia padaku. Ingin sekali rasanya memandangi wajah itu kembali. Menatap sorot matanya yang ramah dan mendengar suara tawanya yang selalu kurindukan setiap malam.

Dengan mantap kulangkahkan kaki penuh harap menuju kearahnya. Saat ini ingin rasanya kuberlari dan memeluknya erat. Kali ini tak akan kulepaskan lagi. Kudorong pintu kedai dengan sedikit tergesa. Tiba-tiba kulihat sebuah sosok lain bergerak kearahnya. Seorang gadis berjalan menuju kearahnya dan duduk dihadapannya.

Rey nampak tersenyum kearah gadis tsb. Segera kuurungkan niat memasuki pintu kedai, dengan cepat kusandarkan tubuhku dibalik sebuah tiang penyangga. Nafasku memburu. Tubuhku terasa lemas. Seakan tak percaya kuarahkan pandanganku lagi ke dalam kedai lewat tiang yang menutupi tubuhku. Dia bukan Jen. Tapi mereka begitu mesra. Hati ini kembali terasa pilu demi melihatnya. Rey nampak jauh lebih dewasa sekarang dan dia terlihat begitu bahagia. Kupandangi ia untuk yang terakhir kali. Dengan sedikit gemetar kupaksakan diri membalikkan tubuh ini dan melangkah pasti keluar pintu masuk kedai, perlahan kususuri etalase toko diluar pusat perbelanjaan. Rasa haru, sedih dan bahagia jadi satu menyelubungi perasaanku.
“Terimakasih Tuhan, akhirnya dia menemukan kebahagiaan” bisikku pelan.

Tiba-tiba semuanya terasa hampa. Tanpa kusadari titik airmata pun telah jatuh membasahi kedua belah pipiku. Meski telah berjanji pada diri sendiri untuk tidak menangis lagi, namun aku tak kuasa menahan perasaan ini. Perasaan yang telah sekian lama tak pernah mau beranjak dari hatiku. Dan kini terasa perih menoreh kembali.
“Maafkan aku Rey” isakku pelan.
“Maafkan aku yang tak pernah bisa melupakanmu……


***


Message from this story :
Terkadang kita harus mau melepaskan sesuatu yang berharga meski hati kita tak mampu untuk melakukan nya ….

Inspiring Movie :
- My best friend wedding (Julia Roberts)

Written by :
Misaini Indra

2 comments:

  1. aih nyaris mirip mbak...bagus bgt...jd berharap bisa jd spt nina.

    ReplyDelete
  2. Dear Naviethu,

    Terima kasih sdh mampir ke blogsite aku, semoga bisa menghibur. O iya silahkan baca terus cerita lainnya. Kalau kamu suka baca fiksi fantasy bisa baca kiah Calista Kaz...kata orang2 yg sdh baca sih seru :)

    Salam hangat,
    Misa :)

    ReplyDelete