Protected by Copyscape Plagiarism Scanner

Monday 18 July 2011

Calista Kaz "Penyihir Naga Arkhataya" (Chapter 5)

5. GADIS DALAM RAMALAN

Pikiranku benar benar kacau. Kalut dan ketakutan. Seolah mimpi buruk yang tak pernah habis. Jujur saja aku lebih memilih berada dalam kelompok Brisa saat ini meski harus mendengar pelecehan yang terucap dari bibir Cleo dan sindiran sindiran halus Ness dibandingkan dengan sekumpulan penyihir jahat yang aneh ini. Hanya janji Tristan lah yang sedikit menenangkan batinku. Pegangan tangannya yang begitu lembut juga agak menenangkan perasaanku, meski itu tak banyak membantuku bila mengingat aku sedang berada dalam perjalanan mengantar jiwaku pada Rufus.
Kulirik wajah Tristan yang sedikit tegang. Wajah tampannya begitu berbeda dengan Ness. Air muka Tristan begitu tertekan dan dalam. Seolah tengah menyimpan sejuta kesedihan. Berbeda dengan Ness yang begitu tenang dan datar.
Kembali teringat raut wajah Ness yang berubah drastis begitu melihat Tristan membawaku. Ada sedikit keresahan diwajah tampannya yang elegan. Kutepiskan pikiranku akan Ness. Aku hanyalah sebuah misi baginya. Mungkin ia hanya mengkhawatirkan reputasinya jika tidak berhasil membawaku ke lembah Crystal.
Ini benar benar konyol. Nasibku diujung tanduk tapi aku malah memikirkan Ness. Pangeran peri itu tak mungkin perduli dengan nasibku saat ini.
Bangun Calista. Nasibmu sekarang bergantung pada permohonan Tristan. Ness tidak ada disini untuk menolongmu.  Setelah tahu telah salah orang, seperti yang Chaides katakan kemarin, berharap saja Rufus akan mengabulkan permohonan Tristan. Dan membiarkan aku hidup bebas. Hatiku tiba tiba menjadi kecut. Rufus tidak akan pernah membiarkan aku berjalan bebas begitu saja. Sudah pasti ia menginginkan kematianku seperti yang telah ia lakukan pada Arman. Tiba tiba saja aku terpuruk jatuh. Seluruh tubuhku terasa lemas.
Tristan memegangi bahuku dan menatap air mataku yang mulai menggenang. ”Sebaiknya kau membunuhku sekarang karena aku tak sanggup membayangkan kematianku nanti,” bisikku putus asa.
Tristan menatapku iba. Dengan cepat ia memelukku. Tak dapat menahan besarnya rasa takut yang kurasakan, kutumpahkan semua tangisku dalam pelukkannya.
Langkah Chaides dan Amara terhenti. Amara menatapku sendu sementara sorot mata hijau Chaides terlihat meredup kala menatapku.
”Maaf. Tapi aku tidak bisa melakukan itu,” ujar Tristan pelan.
Kini Amara mulai ikut ikutan terisak.
”Bisakah kau hentikan tangismu itu, Amara. Kau terlihat menggelikan,” cetus Chaides sebal.
”Kau tahu apa tentang perasaan wanita hah,” sahut Amara masih terisak.
Chaides tak memperdulikannya. Kini kedua mata hijaunya kembali cerah dan terlihat ramah menatapku. ”Bangunlah nak.”
Masih dengan terisak aku menatapnya bingung.
”Tak perlu takut. Turuti saja perintahku,” pinta Chaides lagi.
”Apa yang akan kau lakukan padanya Chaides,” tanya Tristan hati hati.
Segaris senyum terlihat di mulut Chaides. ”Aku hanya ingin mengujinya sedikit.”
Tristan mengangguk kearahku memberi kode agar aku mengikuti kemauan Chaides.
Aku berdiri perlahan. Dengan takut kutatap matanya.
”Bisakah kau menyingkir sebentar dari kekasihmu itu Tristan.” pinta Chaides sopan.
Tristan menuruti permintaannya dengan ragu. Perlahan Tristan mengayun langkahnya menjauhiku.
Kini Chaides berdiri tepat tiga langkah dihadapanku. Sepasang mata hijaunya yang terang nampak tersenyum ramah kala menatapku yang tengah kebingungan. Dengan santai Chaides menyatukan kedua jemarinya lalu mengayunkan kedua tangannya kearahku. ”Aquarishh,” bisiknya.
Butiran butiran air keluar dari kedua jemari tangannya dan meluncur cepat kearahku. Seketika itu juga tubuhku terdorong ke belakang dan menghantam hamparan pakis liar yang cukup tebal sejauh sepuluh langkah. Aku terbatuk batuk karena tersedak butiran butiran air yang kini membasahi seluruh pakaianku. Air itu sangat dingin. Seketika itu aku langsung menggigil kedinginan.
Tristan berlari menghampiriku dan membantuku duduk. ”Apakah kau sudah gila Chaides! Kau bisa membunuhnya!” kilatan amarah terlihat jelas dikedua mata ungu gelapnya. Sementara Amara yang tadi sempat terpekik hanya terpaku.
”Tapi dia masih hidup kan,” sahut Chaides santai seraya bersandar pada sebatang pohon tua yang hampir mati.
Chaides benar, setidaknya tulang tulangku tidak ada yang patah mengingat aku terjatuh dihamparan pakis yang rasanya hampir sama seperti jatuh di sebuah karpet bulu yang cukup tebal.
”Keterlaluan, apa yang sebenarnya ingin kau buktikan Chaides,” gusar Amara seraya menghampiriku dan membantu Tristan untuk menolongku.
Dahi Chaides berkerut. ”Dia tidak dapat menghindar atau membalas sihirku. Dia sangat lemah,” gumam Chaides. ”Kurasa, dia bukan gadis penyihir dalam ramalan Zorca,” kini nada suara Chaides sedikit meninggi dan sepasang mata hijaunya terlihat mengawasiku. 
Rambut dan pakaianku basah kuyup. Butiran air yang menghantamku tadi benar benar membekukan persendianku. Aku kembali menggigil kedinginan. Amara melepaskan jubah hitam kumalnya dan memakaikannya ke tubuhku. ”Biar aku menolongmu, nak” seringai Amara padaku seraya memamerkan deretan giginya yang terlihat agak meruncing.
”Tolong bantu Calista mengeringkan pakaiannya, Amara,” pinta Tristan gusar.
Dalam keadaan dingin dan berantakan telingaku masih dapat menangkap kekhawatiran dari nada suara Tristan.
Amara membimbingku berlindung dibalik pohon oak besar untuk membantuku mengganti pakaian. Dari kejauhan kualihkan pandanganku kearah Tristan dan Chaides yang tengah berdiri berhadapan. Kini mereka nampak bersitegang.
”Sepertinya Tristan menyukaimu,” bisik Amara ditelingaku.
Aku hanya menggemeletukan gigi menahan dingin.
”Sifatnya mirip sekali dengan Arias. Selalu angkuh dan kaku. Namun tetap saja apabila menyangkut seseorang yang disukainya, ia tak dapat menyembunyikan perasaannya itu,” celoteh Amara lagi seraya sibuk melepaskan sepatu bootku yang penuh dengan air.
Aku sama sekali tak menanggapi ucapannya.
”Yah setidaknya kau beruntung masih ada seseorang yang menyukaimu disaat saat terakhir hidupmu,” lirik Amara sambil terkikik geli.
Tiba tiba saja aku menjadi mual mendengar ucapannya. Kutatap wajahnya dengan perasaan tak karuan.
”Baiklah. Sudah selesai. Apakah kau ingin aku membantumu membuka pakaian dalammu juga,” seringainya mengerikan kembali menampilkan deretan giginya yang runcing.
Aku menggeleng kuat kuat. ”Bisakah kau tinggalkan aku sendirian untuk sebentar saja?”
Amara menatapku sedikit bingung. ”Untuk apa?”
”Jika kau tak keberatan aku ingin sedikit privasi saat melepas pakaian dalamku ini,” ucapku sopan berusaha untuk tidak menyinggung perasaannya.
”Oh tentu saja, nak,” kikik Amara seraya berbalik memunggungiku.
Aku menghela napas kesal. Wanita gemuk ini benar benar tak mau membiarkan aku sendirian.
”Kau tahu. Kau adalah anak perempuan yang paling sopan yang pernah kutemui,” gumam Amara masih memunggungiku.
Aku hanya terdiam. Malas untuk menanggapinya.
”Biasanya anak muda seumuranmu yang sering kutemui selalu memandangku jijik seolah olah aku ini sampah atau apalah. Tidak sejajar dengan mereka. Tapi kau sungguh berbeda. Kau begitu sopan dan selalu menunduk jika berbicara padaku. Kurasa aku menyukaimu” cetusnya seraya berbalik menatapku.
”Terimakasih,” sahutku pelan seraya menutupi tubuhku dengan jubah hitamnya yang kumal dan bau.
”Mungkin kita bisa berteman,” tatapnya mendesakku.
Wanita ini benar benar sinting. Alasan aku selalu menunduk dan berbicara sopan karena aku tak ingin mati di tangan mereka. Aku bahkan tak berniat untuk menjadikan ia sebagai sahabatku saat ini.
”Aku tak pernah memiliki teman wanita sebelumnya. Seumur hidupku aku selalu dikelilingi penyihir jahat yang semuanya laki laki brengsek dan menyebalkan. Begitu kasar dan tak berperasaan. Dan mereka selalu menghinaku,” desah Amara menerawang.
Kualihkan pandanganku kembali ke tempat Tristan yang kini duduk di sebatang pohon besar yang tumbang. Tristan nampak serius mendengarkan ucapan Chaides sambil sesekali menatap kearahku. Jantungku berdegup kencang ketika kedua mata kami tak sengaja bersirobok.
”Kau tahu, Chaides selalu menganggap Tristan seperti anaknya sendiri. Karena ayah Tristan, Arias adalah sahabat Chaides sewaktu di lembah Crystal,” seringai Amara yang tiba tiba saja sudah berada disampingku ikut mengamati Tristan dan Chaides.
Aku terlonjak kaget bukan karena aroma tubuhnya yang memang menyengat tapi karena ia menyebut lembah Crystal. ”Lembah Crystal? Maksudmu mereka pernah tinggal di lembah Crystal.”
Amara tertawa cekikikan seraya memegangi perutnya. ”Tentu saja. Semua penyihir hebat dulu tinggal di lembah Crystal. Mereka belajar sihir dari Orion dan Master Zorca yang telah diwarisi ilmu sihir kuno dari penyihir hebat pemimpin lembah Crystal sebelumnya yaitu Ghorfinus Anthea.”
”Maksudmu Orion Xander si pemimpin lembah Crystal itukah?”
”Tentu saja. Orion mana lagi. Orion tua yang takut akan kebangkitan master Zorca. Itulah sebabnya ia membentuk sekelompok ksatria ksatria bodoh untuk melindungi dirinya dan kepentingannya itu,” cibir Amara melecehkan.
Kutatap Amara lagi penasaran. ”Ghorfinus Anthea. Siapa dia...
Amara mendengus heran. ”Ya ampun. Sebenarnya selama ini kau hidup dibelahan negri mana nak,” kikik Amara geli.
Aku membuang muka tak menyukai ejekannya.
”Baiklah baiklah, akan kujelaskan sedikit yang kutahu. Ghorfinus Anthea adalah seorang penyihir sekaligus pemimpin lembah Crystal terdahulu. Ayah Ghorfinus yaitu Staphilas adalah penyihir hebat dan terhormat dari negri sihir Utara yang bernama Ophresia. Ophresia adalah negri sihir pertama dan terkuat yang ditinggali sekelompok elite penyihir keturunan murni. Ketika Staphilas memutuskan untuk pergi ke Selatan dan mendirikan koloni baru untuk memperluas dan memperkuat keberadaan Ophresia, ia menemukan lembah Crystal. Lalu ia membangun dan menjadikannya sebagai negri sihir Selatan. Bertahun tahun dibawah kekuasaan Staphilas, lembah Crystal menjadi negri sihir yang disegani hingga sekarang dibawah kepemimpinan Orion. Yeah, setidaknya itulah yang kudengar,” gumam Amara sambil menggaruk garuk kepalanya.
Kutatap wajah gemuk yang menyeringai padaku. ”Jadi itukah yang kalian inginkan sekarang? Mengambil alih lembah Crystal dan menghancurkan Orion?” tanyaku polos.
Amara terkikik girang. ”Sepertinya begitu. Maksudku itulah yang diinginkan master Zorca,”
”Jadi kalian mengorbankan diri kalian berada dibawah perintah Zorca,” kejarku pada Amara.
”Umh sebenarnya, tidak sesederhana itu” sahut Amara ragu.
Kutatap wajah Amara dengan pandangan sedikit menyudutkan.
”Zorca akan membunuh kami satu persatu jika melihat ada sebuah pengkhianatan,” bisik Amara.
Sepertinya Amara begitu takut akan kekuatan sihir Zorca.
”Dia dingin dan kejam,” sambungnya lagi kali ini dengan airmuka tegang.
Kutarik napas dalam dalam. ”Ramalan Zorca. Apa maksudnya Amara. Dan mengapa ia begitu ingin menghancurkan Orion Xander?” tanyaku takut takut.
Amara terdiam sesaat. ”Jika aku memberitahumu. Maukah kau berhenti bertanya dan berjanji untuk tidak mengatakan pada siapapun bahwa aku yang memberitahumu?” bisik Amara yang kini berjongkok dan mendekatkan wajah gemuknya tepat di depan hidungku dengan meninggalkan aroma bau mulut yang tak sedap.
 Aku mengangguk lemah menahan napas.
”Bagus. Bagus.  Baiklah, begini Ghorfinus Anthea adalah paman dari Master Zorca. Tapi pada saat Ghorfinus tua turun dari kepemimpinannya, ia lebih memilih Orion Xander yang menggantikannya daripada keponakannya sendiri. Hal itu tentu saja membuat Master Zorca sangat murka,” delik Amara seraya menganggukkan kepalanya.
Kutatap Amara untuk beberapa saat.  ”Mengapa Gorfinus lebih memilih Orion daripada Zorca.”
”Karena master Zorca telah mempelajari beberapa sihir hitam yang terlarang,” desah Amara pelan.
Kuatatap Amara tak berkedip.
”Dalam mimpinya Master Zorca melihat keberadaan seorang gadis muda dengan kekuatan sihir hebat telah menunjukkan diri. Master Zorca juga meramalkan jika suatu saat nanti gadis itu akan mengalahkan kekuatan sihirnya,” bisik Amara tegang.
Aku menelan ludah. Pantas saja Rufus begitu kejam dan tak mau membuang waktu. Zorca pasti telah memerintahkannya untuk membunuh siapapun yang akan menghalangi tujuannya.
”Kau tahu sayang, sepertinya usia semakin membuatku sedikit linglung. Aku tidak begitu ingat namamu itu?” seringai Amara yang mengerakkan kedua bahunya seraya duduk dihadapanku.
”Calista,” sahutku setengah hati.
Amara nyengir kegirangan. ”Nama yang bagus. Kuharap kita dapat berteman.”
”Apakah kalian sudah cukup bersenang senang,” sapa Chaides ramah dari balik pohon tempatku duduk. Tristan yang berdiri disampingnya hanya menatapku kaku.
Dengan kesal kurapatkan jubah bau milik Amara kedalam pelukkanku
”Oh Chaides sayang, bisakah kita membiarkan Calista hidup. Aku benar benar menyukainya,” lengking Amara memohon.
”Apakah sebuah batu besar telah menghantam kepalamu,” sindir Chaides sinis.
Amara merengut marah. Tapi Chaides tak memperdulikannya.
”Kami sudah memutuskan untuk tetap membawamu pada Rufus dan menjelaskan betapa tak berharganya dirimu. Lalu kami akan meyakinkan Rufus untuk membiarkanmu pergi, bebas dan hidup damai. Meski aku tak begitu yakin ia akan membiarkan kau hidup,”  ujar  Chaides tak mau berbasa basi.
Aku tersenyum kecut.
”Jangan merengek lagi pada Tristan. Karena Tristan bukan pembuat keputusan disini. Satu hal lagi, kau mungkin telah berhasil memikat Tristan dan Amara untuk bersimpati padamu tapi tidak denganku, nak,” ujar Chaides tegas seraya berjalan kembali ke tempat batang kayu tumbang tempat dimana ia duduk sebelumnya bersama Tristan.
Amara melirik kearahku. ”Terkadang ia begitu menyebalkan,” gerutunya seraya mengikuti Chaides dari belakang.
Untuk sesaat pikiranku melayang namun aku sedikit lega karena Chaides akhirnya mau juga memperjuangkan hidupku bersama Tristan dihadapan Rufus nanti.
”Maaf,” ujar Tristan pelan.
Aku tersentak. Dan baru menyadari Tristan masih di sini menatapku.
”Tidak. Justru aku berterimakasih. Meski aku tak tahu bagaimana nanti nasibku. Setidaknya masih ada sedikit harapan.”
Tristan menatap nanar. ”Setelah ayahmu tiada. Apakah masih ada keluarga yang lain.”
Aku memalingkan wajah dari tatapan kasihannya. ”Entahlah. Kurasa tidak.”
Tristan terdiam.
”Mengapa kau begitu perduli padaku,” tanyaku kaku.
”Mungkin karena kita sama sama kehilangan orang yang kita cintai. Orion Xander telah membunuh ayahku,” ungkapnya
Aku tersenyum kecut.”Kita tidak sama, Tristan. Seorang penyihir jahat telah membunuh ayahku untuk alasan yang tak masuk akal,” sahutku sinis.
”Aku mengerti jika kau marah padaku. Aku hanya mencoba bersimpati padamu karena keadaan kita yang sama.”
”Omong kosong. Kau dan kelompokmu adalah penyihir jahatnya disini,” makiku kesal.
Tristan terdiam. Sepasang mata ungunya menyorot tajam kearahku.
”Sepertinya kau bukan orang yang jahat. Mengapa kau harus bergabung dengan mereka,”  desahku pelan.
”Semuanya kulakukan untuk ketenangan jiwa ayahku.”
Kutatap mata ungu yang berkilat marah itu. ”Kau yakin bukan ketenangan akan jiwamu.”
Tristan tertawa parau. ”Sudah pasti jiwaku akan ikut tenang setelah kematian ayahku terbalas.”
Kutarik napas dalam dalam. ”Aku merasa kasihan padamu.”
”Kaulah yang sepatutnya dikasihani. Begitu lemah dan tak berdaya. Jangan pernah kau ucapkan kata kata itu lagi padaku. Mengerti!” bentak Tristan seraya memegang daguku dengan kasar.
Kutepiskan tangannya dengan marah. ”Jangan sentuh aku.”
Tristan berdiri tegak didepanku. Sepasang mata ungunya menatapku dalam.
”Sebaiknya kita bergabung dengan Chaides dan Amara,” ujar Tristan datar seraya berbalik memunggungiku dan berlalu.
Aku tak punya pilihan. Kuseret langkahku dengan malas untuk mengikutinya. Perasaan kesal dan marah menjadi satu dibenakku.
Malam itu Chaides memutuskan agar kami bermalam di hutan tak bernama ini. Udara malam yang dingin dan angin yang bertiup kencang mengisyaratkan akan datangnya hujan. Beruntungnya hujan baru turun ketika hari menjelang pagi dan kami telah cukup beristirahat. Tak ada satu pun dari kami yang mau membuka suara dan hanya memandangi derasnya hujan dibawah rindangnya pohon oak tua yang melindungi kami. Musim panas kali ini nampaknya seringkali diselingi hujan yang datang tiba tiba.
  Tak berapa lama hujan deras yang mengguyur hutan ini akhirnya berhenti. Kami bergegas meneruskan perjalanan kearah Timur. Beberapa sisa sisa tetesan air hujan dari dedaunan beberapa kali berjatuhan mengenai kepalaku kala ditiup angin. Beberapa pohon besar yang tertutup lumut terlihat begitu lembab dan angin yang bertiup semilir terasa begitu dingin menyentuh kulitku.
Hari menjelang siang, namun hutan ini tetap terlihat gelap dan hijau untuk ditembus. Untungnya ada jalan setapak yang dapat kami lewati meski nyaris tertutup hamparan pakis yang menjuntai liar dan lumut tebal yang sangat licin. Beberapa kali aku hampir tergelincir jatuh diatas sepatu bootku. Dengan sigap Tristan menangkap bahuku dan membantuku berdiri lagi. Tak jarang ia menahan beberapa dahan dahan basah yang menjuntai, yang sekiranya menghalangi pandanganku.
”Boleh kutanyakan sesuatu padamu,” ucapku mencoba untuk memulai sebuah percakapan.
Tristan tak menyahut. Kedua matanya hanya menatap lurus ke depan.
”Darimana kau mengetahui keberadaanku,” tuntutku dengan nada tinggi.
”Bukan aku. Rufus yang menemukan kalian.” Tristan termenung untuk beberapa saat lalu menatapku sayu. ”Sore itu, aku melihatmu berdiri ditengah rintik hujan,” senyum sinisnya kini melunak.
”Kau mengamatiku,” ucapku sedikit terkejut.
Tristan tertawa kecil. ”Sudah menjadi tugasku. Dari situlah aku mengetahui namamu ketika Arman memanggilmu, Calista.”
Kutatap Tristan penasaran. ”Aku pikir, saat itu hanya Brisa yang tengah mengamatiku.”
”Aku meninggalkan tempat itu secepat mungkin saat kutahu ada orang lain yang datang dan ikut mengawasimu,” airmuka Tristan berubah masam.
Kutatap wajahnya hati hati. ”Mengapa selalu aku yang menjadi sasaran hipnotismu. Mengapa bukan yang lain?”
Kini sepasang mata ungu Tristan menatapku. ”Aku tak mengerti maksudmu.”
”Jangan membohongiku. Dan jawab saja pertanyaan bodohku itu,” rengutku kesal akan kepura puraannya.
Tristan tersenyum riang. ”Haruskah aku menjawabnya.”
”Apakah karena aku yang paling lemah,” lanjutku pelan seolah tak ingin mengganti topik pembicaraan kami.
Tristan tertawa lepas. Kebekuan diwajahnya sedikit mencair. Sepasang mata ungunya yang biasanya terlihat sedih nampak tersenyum.
”Karena kau yang paling cantik dan menarik bagiku,” ujarnya setengah menggodaku.
Tiba tiba saja jantungku berdetak kencang. Benar benar tak berperasaan seenaknya saja mengatakan hal konyol dalam situasi seperti ini. Kubuang pandanganku dari tatapannya yang dalam. Untuk sesaat sepasang mata ungunya meredup. Tristan menghela napas pelan. ”Kau berhak menilaiku setelah apa yang telah kulakukan padamu,” gumamnya mengalah.
”Maaf tapi itu bukan keahlianku,” sahutku spontan seraya menghentikan langkah. Kini kedua mata kami saling bertatapan. Sorot mataku berlagak galak.
”Padahal pagi ini aku berharap kita bisa mulai sedikit berteman,” ekspresi matanya menatapku penuh harap.
”Sepertinya memang tak ada pilihan lain kan,” Aku menggigit bibir untuk menyembunyikan senyumku.
Tristan tergelak. Dan untuk beberapa saat sorot matanya menyipit dan wajah tampannya kembali membeku. ”Sebaiknya kita berhenti bicara dan mulai berjalan lagi,” saran Tristan padaku seraya melirik kearah Chaides yang kini menatap kami dengan sepasang mata hijau terangnya dengan jengkel.
Malam itu kami tiba di sebuah danau kecil yang tenang dan dikelilingi rumput tebal dengan bunga bunga liar disepanjang sisinya. Chaides menyarankan kami untuk bermalam disini. Dengan setengah berbisik, Amara merapalkan sebuah mantra dan mengarahkan telapak tangan kanannya pada tumpukan ranting kayu dari dahan pohon yang sebelumnya telah ia kumpulkan. Liukan kecil api tersulut keluar dari telapak tangan kanannya. Lalu membakar ranting ranting tersebut.
Sementara Chaides terlihat menggerakkan jemari tangan kanannya membentuk sebuah lingkaran sambil membisikkan sesuatu. Seketika itu juga cawan cawan berisi cairan warna ungu tua bermunculan. Kemudian ia membiarkan kami mengambilnya masing masing satu.
Dengan ragu ragu kuteguk cawan pemberiannya. Rasa manis mulai menjalari kerongkonganku. Sepertinya ini adalah jus plum terenak yang pernah aku minum.
”Jika ada yang mulai merasa lapar, sebaiknya mulailah memancing sesuatu di danau itu,” telunjuk tangan kanan Chaides mengarah ke danau mengisyaratkan perintah.
Tristan beranjak dari duduknya. ”Biar aku saja yang melakukannya.” Dengan bergegas ia berjalan menuju danau tanpa penerangan apapun. Sementara Chaides merebahkan tubuh kecilnya dengan santai diatas tebalnya rerumputan seraya menatap langit.
”Makan ini untuk mengganjal rasa laparmu sementara,” tawar Amara menyorongkan sebuah apel yang sudah mulai membusuk.
Dengan ragu kuambil apel itu dari tangannya yang kotor.
”Bagus. Sekarang aku akan membantu Tristan menangkap ikan yang besar untuk kita berempat,” kikiknya riang seraya berlalu dari wajahku sambil bernyanyi kecil.
Kupandangi apel pemberian Amara dengan jijik.
”Kau akan sakit perut sepanjang perjalanan jika memakan apel busuknya itu,” gumam Chaides dengan kedua mata yang terpejam.
”Aku juga tidak berniat untuk memakannya. Aku menerimanya hanya karena aku kasihan padanya.” timpalku dengan nada tinggi.
Chaides tertawa sinis. ”Sepertinya kalian telah menjadi sahabat baik.” cemoohnya, membuat kupingku panas.
Kuatur napasku. ”Setidaknya aku masih perduli padanya tidak seperti kau,”cetusku menyerangnya.
Chaides membuka kedua matanya dan menatap langit senja yang temaram. ”Jika kata katamu tadi sebuah sindiran, kurasa aku pantas menerimanya. Aku memang sering menganggapnya tak pernah ada.”
”Mengapa nada suaramu terkesan seolah kau tak menyesalinya,” sindirku.
”Jangan merusak hariku, nak. Pembicaraan tentang Amara adalah suatu pembicaraan tak penting dan menyia nyiakan waktuku,” sahut Chaides sedikit enggan lalu kembali memejamkan sepasang matanya.
Aku terdiam kesal. Untung saja Tristan dan Amara segera datang sehingga aku tak perlu berlama lama bersama Chaides yang aneh itu.
Wajah tampan Tristan yang biasanya terlihat dingin kini nampak lebih sering tersenyum. Dengan cekatan ia mulai membakar ikan tangkapannya diatas api unggun buatan Amara.
”Mengapa kita tidak bermalam di penginapan dekat dekat sini,” tanyaku datar.
Amara terkikik. ”Chaides tak menyukai perjalanan lewat kota. Menurutnya itu ide buruk.”
Tristan menatapku serius. ”Terlalu beresiko. Musuh dapat menyerang kita tiba tiba di tempat terbuka.” Wajah bekunya kini terlihat muram.
Apakah yang dimaksud musuh olehnya adalah para ksatria lembah Crystal. Batinku menatapnya dengan resah. Seolah menangkap suasana hatiku, raut wajahnya yang beku melembut. Segaris senyum terulas dibibir tipisnya.
”Para ksatria lembah Crystal itu kemungkinan tengah mencarimu sekarang,” hiburnya dengan ekspresi wajah yang sulit kumengerti.
Aku hanya menatap api unggun di depanku, rahangku mengeras. ”Aku bahkan tak pernah berpikir jika mereka akan datang untuk menyelamatkanku,” desahku pelan.
”Hey bukankah itu suatu kebetulan yang bagus. Kau dapat bergabung dengan kami. Benar benar menyenangkan bisa memiliki teman seperjalanan seorang wanita. Mungkin kau dapat mengajariku satu atau dua hal tentang perawatan kecantikan, yah maksudku aku ingin sekali memiliki kulit yang halus dan bercahaya sepertimu,” cerocos Amara seraya mengelus pipi pipi gemuknya dengan antusias.
Aku tersenyum kaku.
”Apapun bentuk perawatannya kurasa takkan banyak membantu dengan bentuk wajahmu yang seperti itu,” sela Chaides seraya bangun dari pembaringannya dan menguap lebar lebar.
Sekilas kulirik Tristan menyunggingkan senyum tertahan.
”Aku tak kan terpancing oleh ucapanmu Chaides. Mulai saat ini aku akan bersikap sopan dan belajar untuk menjaga ucapanku,” gusar Amara dengan napas turun naik seraya melirikku meminta dukungan.
”Aku pasti akan merindukan kau yang dulu dengan sumpah serapahmu itu, nantinya,” geleng Chaides tak mau kalah.
”Kau memang brengsek,” teriak Amara kesal seraya bangkit dari duduknya dan mendelik marah.
”Sebaiknya kita makan sebelum ikannya menjadi dingin,” lirik Tristan berusaha meredam kemarahan Amara yang masih berdiri dan melotot marah kearah Chaides.
”Jangan dengarkan dia, Amara. Katamu kau ingin berubah,” bujukku seraya berdiri memegangi bahu gemuknya dan menuntunnya duduk.
”Kau pikir kau lebih baik dariku!” lengking Amara memekakkan telinga.
 Wajah Tristan sedikit tegang sedangkan raut muka Chaides tetap santai dan tak berubah. ”Tenanglah sedikit, teriakanmu telah merusak selera makan malamku,” ucapan Chaides yang menusuk membuat Amara kehilangan kendali dan melengking pilu seperti wanita sinting.
Tristan menghela napas. ”Berhentilah mengganggunya Chaides,” seru Tristan mengingatkan. Chaides hanya mengangkat kedua bahunya.
Amara melampiaskan kemarahannya dengan berjalan menjauhi kami dan menendang nendang rerumputan. Terdengar lontaran sumpah serapah untuk Chaides dengan nada lengkingan. Aku berdiri panik dan berniat untuk menghiburnya namun Tristan menarik pergelangan tanganku dengan was was. ”Berhati hatilah,” tatapnya cemas. Kuanggukan kepala dan bergegas menghampiri wanita gemuk yang tengah mengamuk itu.
”Bernapaslah mungkin akan sedikit mengurangi kesedihanmu,” saranku takut takut ketika menemuinya tengah berjongkok di tepi danau. Seperti anak anjing yang baik Amara menuruti permintaanku.
”Maukah kau menemaniku duduk dipinggir danau Calista. Sepertinya aku telah kehilangan selera makanku,” pinta Amara parau.
Kuanggukan kepalaku pelan lalu kuikuti langkah langkah pendek Amara dari belakang tubuh gemuknya. Kami mendapatkan tempat yang bagus untuk duduk dan melihat ketenangan di danau kecil ini. Amara kembali membisikkan sesuatu dan sulutan api langsung keluar dari telapak tangannya. Dengan cepat ia mengeluarkan sebuah lilin dari kantung kulit yang tergantung dipinggang gemuknya.
”Aku telah memantrai lilin ini. Angin kencang sekalipun takkan dapat mematikan percikan apinya,” seringai Amara kembali ceria.
Aku tersenyum tulus.
”Kau tahu Calista. Kurasa beberapa ucapan Chaides ada benarnya. Maksudku, aku memang tidak berharap menjadi cantik dalam sehari tapi setidaknya aku hanya ingin memiliki teman wanita hingga aku bisa merasakan betapa senangnya jadi seorang wanita,” tutur Amara dalam.
Ada perasaan iba dihatiku. Sepertinya ucapan Chaides telah melukainya.
”Lalu mengapa tidak kau tunjukkan pada Chaides jika kau bisa berubah seperti yang kau katakan padaku,” ujarku menyemangatinya.
Mata abu abunya berseri seri. ”Menurutmu aku bisa,” tanyanya ragu ragu.
”Yeah tentu saja,” sahutku canggung.
”Jika aku berubah jadi sepertimu, apakah ia akan menyukaiku.”
Kutatap wajah Amara yang sedikit bersemu. ”Kau menyukai Chaides?”
Amara mengangguk malu.
Mataku menyipit kesal. ”Chaides itu menyebalkan. Dan dia itu selalu menghinamu,” protesku gusar.
”Ah dia tak bersungguh sungguh kok,” sahut Amara polos.
Kutatap heran wajah gemuk Amara yang sedikit kumal. Sulit dipercaya rasa cinta yang aneh seperti itu. ”Tunggu disini.” perintahku padanya.
Amara menatapku bingung. Dengan cepat kuraih saputangan kecil dari saku bajuku seraya berjalan menuju pinggiran danau. Kucelupkan saputangan tadi ke dalam air danau yang dingin. Lalu kembali ke tempat dimana Amara duduk menungguku.
”Pertama kita harus membersihkan debu debu dari wajahmu agar kau terlihat lebih segar dan cantik,” hiburku seraya mengusap lembut wajahnya dengan saputangan yang  kubasahi tadi.
Amara hanya duduk dan membiarkan aku menyeka wajah kumalnya.
”Sudah selesai. Kini kau terlihat lebih segar,” ucapku spontan.
”Benarkah,” sahut Amara malu malu seraya meraba raba wajah gemuknya.
Kutatap Amara galak. ”Selanjutnya kau harus lebih sering mandi dan mencuci rambutmu,” ujarku bernada peringatan.
Amara mengangguk malu malu.
”Satu hal lagi. Pernahkah kau mengganti baju dalam dan jubah hitammu itu,” tanyaku menyelidik mengingat baunya yang tak karuan.
”Kurasa tidak, entahlah Aku sendiri tak ingat,” seringainya tersipu seraya menggaruk kepalanya.
”Salah satu cara menarik perhatian seorang pria adalah dengan pakaian yang bersih dan wangi. Kurasa kau harus membuang jubah hitammu yang kumal itu.”
”Haruskah? Tapi aku sangat menyukai jubah ini,” lirihnya memohon.
Kuanggukan kepalaku tegas. Amara menatapku lemas.
”Kuharap Chaides mau menempuh perjalanan melewati kota kecil karena kau harus membeli beberapa pakaian baru agar terlihat menarik,” saranku seraya menyapukan pandangan keseluruh tubuh gemuknya.
Wajah Amara memerah.  ”Kurasa kau benar,” gumamnya seraya menatap jubah hitamnya yang kini ia rentangkan dengan kedua tangannya.
Aku tersenyum geli melihat kelakuannya. ”Aku akan meminta Chaides meneruskan perjalanan kita melalui jalan perkotaan,” ujarku meyakinkan.
”Chaides takkan mau mendengarkanmu,” sela Amara ragu.
”Dia pasti mau. Aku akan memikirkan cara untuk membujuknya,”  kerlingku.
Ada sebersit perasaan bangga dihatiku karena telah membantunya.
”Ayo kita kembali, perutku rasanya keroncongan. Kuharap mereka masih menyisakan beberapa ikan bakar untuk kita,” pekik Amara riang.
Aku hanya mengangguk heran menatap keceriaanya yang kembali pulih dalam sekejap.
”Sepertinya kesedihan tidak mempengaruhi selera makan mu, Amara,” gumam Chaides menyebalkan begitu melihat kami kembali bergabung.
”Ayolah Chaides jangan memperkeruh suasana,” pinta Tristan kaku.
”Biarkan saja Tristan. Ucapannya sama sekali tidak mengangguku,” cetus Amara berusaha tak memperdulikan Chaides.
Tristan menghela napas lega. Chaides Borzy berbalik menatapku.  Sepasang mata hijaunya menyorot tajam kearahku kemudian ia mengalihkan pandangannya kearah Tristan. ”Sepertinya kekasihmu itu memiliki semacam pesona untuk menarik perhatian dan simpati orang orang disekelilingnya, ya. Berharap saja Rufus akan terkena pesonanya sama seperti kau dan Amara, jadi kita tak perlu bersusah payah meyakinkannya untuk mengampuni kekasihmu itu.”
Air muka Tristan mengeras. Kupegang bahu Tristan lembut untuk menenangkannya. ”Ia hanya memancingmu sama seperti yang dilakukannya pada Amara,” bisikku pelan pada Tristan.
Tristan hanya menghela napas seraya melemparkan pandangan kesal kearah Chaides yang nampak santai dan tidak memperdulikannya.
Meski malam itu sedikit tegang karena perseteruan yang telah terjadi antara Chaides dan Amara namun aku merasa senang mengingat sikap Tristan yang hangat dan lembut padaku. Sepanjang malam kami hanya memandangi taburan bintang di langit cerah dan tertidur berdampingan sambil berpegangan tangan hingga fajar menjelang.


Genre : Novel Fantasy Romance
Writer : Misaini Indra










4 comments:

  1. yaaaaaaaaaahh, lagi seru2nya baca neh mbaaaaa...we want more..we want more..!!
    Kapan bisa baca terusan nya,,,^^????

    ReplyDelete
  2. Hehehehe...sabar sabar, tiap minggu akan diupdate kok lanjutannya :)

    Thank you Cit, udh mampir :)

    ReplyDelete
  3. Whoa, tambah keren aja. Coba kirim tulisan ke penerbit dong mbak?

    ReplyDelete
  4. Hallo Boo...thank you ya utk apresiasinya, tetep baca blogsite saya ya.

    Sukses jg buat kamu :)

    ReplyDelete