Protected by Copyscape Plagiarism Scanner

Tuesday 5 July 2011

Calista Kaz "Penyihir Naga Arkhataya" (Chapter 1)


1.RAHASIA YANG TERUNGKAP
Angin dingin yang berhembus semilir kini berubah kencang. Bulir bulir air hujan mulai berjatuhan dari langit. Rintiknya yang lembut menyentuh tanah seolah mengajak berdansa. Musim semi kali ini sepertinya seringkali diwarnai dengan turunnya hujan yang datang tiba tiba. Kurasakan tetesan air yang semakin cepat berjatuhan menyapu setiap helai rambutku yang tergerai lembut di punggung. Ingatanku kembali pada hari yang sama seminggu yang lalu.

Saat itu aku mengalami mimpi yang sangat aneh dan mengerikan. Aku berdiri tegak ditengah padang rumput yang kuning keemasan berhadapan dengan seorang laki laki berjubah hitam dengan sorot matanya yang tajam tertuju padaku. Walau terlihat samar namun aku dapat merasakan kebekuan diwajah pucatnya. Laki laki itu berbisik memanggil namaku. Membuat seluruh tubuhku gemetar ketakutan hanya dengan mendengar suaranya. Ketika kucoba untuk membalas tatapan matanya yang hitam dan dalam, sebuah pendaran cahaya datang dari langit dan menggelegar keras diiringi awan gelap yang datang seketika.

Napasku memburu. Sosok tinggi berjubah hitam itu telah menghilang dan berganti dengan cuaca buruk yang menakutkan. Guyuran hujan semakin deras diiringi petir yang datang bertubi tubi. Aku berlari menjauh dan berusaha mencari perlindungan. Tapi hamparan padang rumput itu begitu luas dan nyaris tak ada tempat berteduh.

Ketika kaki ini terus berlari tanpa arah. Kembali sebuah cahaya menyilaukan menggelegar dan menghantam tubuh rapuhku yang seketika terhempas keras diantara ilalang yang basah. Sesuatu yang gelap merayap cepat sepuluh langkah didepanku. Saat aku mendongak untuk melihatnya. Makhluk mengerikan itu mendesis keras dengan belasan matanya yang buas seolah hendak menelanku hidup hidup. Aku menjerit kencang dan saat itulah aku tersadar dari tidurku dengan napas terengah engah.

Aku termenung. Bila mengingat kembali mimpi buruk yang mengerikan itu aku selalu dirundung ketakutan. Bukan hanya mimpi mimpi buruk namun aku telah mengalami hal hal ganjil sejak aku berusia tiga belas tahun. Hingga sekarang, di usiaku yang ke tujuh belas aku semakin sering membayangkan suatu kejadian sebelum kejadian itu sendiri terjadi. Dan biasanya penglihatanku itu sangat tepat.

Kupandangi awan hitam yang bergerak pelan di langit. Ayahku, Arman Kaz tidak pernah mempercayai semua hal aneh yang terjadi padaku saat kuceritakan padanya.

“Calista!” panggil seorang laki laki berumur separuh baya dengan rambut coklatnya yang ke abu abuan. Aku melirik enggan hanya dengan ekor mataku. Kulihat wajah Arman terlihat gusar. 

“Masuklah, aku tak ingin kau sakit,” ujarnya kaku seraya memandangi seluruh baju dan tubuhku yang basah oleh air hujan. Kuseret kedua kaki ini perlahan mengikuti langkahnya dan masuk ke dalam rumah.

Dari balik pohon Cherry yang tumbuh tepat di depan pagar rumahku muncul bayangan seorang wanita cantik berambut pirang. Mata birunya yang pucat menatapku tak berkedip. Aku telah mengetahui kehadirannya sejak tadi tapi aku membiarkan saja ia memandangiku hingga hilang di balik pintu rumah kami. Wanita berambut pirang tersebut kemudian menghilang bersamaan dengan kabut tipis yang mulai merayap disekitar rumah.

Malam itu hujan tidak menunjukkan tanda tanda untuk berhenti. Suara gelegar petir sesekali terdengar keras tanpa kompromi. Terlintas sekilas dalam penglihatanku akan sosok bayangan seorang wanita muda berambut hitam panjang meneriakkan sesuatu dengan marah dan dari ujung jari jari tangannya keluar sebuah cahaya yang menyerupai petir menyambar cepat kearah seorang laki laki didepannya hingga membuat separuh jubah hitamnya hangus terbakar.

Aku terkesiap. Kuatur napas dan membenarkan posisi dudukku. Arman yang tengah duduk dekat perapian sambil menyesap secangkir kopi ditangannya menatapku heran.

”Itu hanya petir,” gumamnya datar seraya mengamatiku.

Kembali kuambil napas perlahan. Mencoba bersikap santai aku mendekap kelambuku dan menutup mulut akan penglihatanku.

”Kau mau ikut ayah ke Essendra besok?” tanya Arman kembali menyesap kopinya sambil melirik kearahku.

Aku tak menyahut. Hanya duduk termenung menatap jilatan api yang menari nari di perapian dengan lesu. Masih tak mau melepaskan bayangan wanita berambut hitam yang selalu datang tiba tiba dalam pikiranku bahkan menghantui mimpi mimpiku. Benar benar menjengkelkan.   

”Kau mau ikut ayah ke Essendra, besok?” dengus Arman kembali mengulangi pertanyaannya

Bulu bulu halus dilenganku seketika bergidik. Jika wanita itu terus menghantuiku kemungkinan aku bisa gila. Dan aku tak mungkin menceritakannya pada Arman. Karena terakhir kali ketika usiaku menginjak tiga belas tahun dan mengalami penglihatan akan kehadiran wanita itu Arman mengurungku dalam kamar dan memberikan ramuan herbal agar aku tertidur. Dengan tegas ia mengingatkan padaku untuk tidak pernah menceritakan hal hal bohong atau ia akan mengurungku di kamar untuk selamanya.

”Aku membutuhkan bantuanmu untuk berbelanja bahan makanan tapi jika kau tak mau aku tak akan memaksamu,” nada kesal terlontar dari mulut Arman karena aku sama sekali tidak menggubrisnya.

Kudongakkan kepala dan menatap mata coklat tua yang terlihat lelah itu.

”Ya,” sahutku malas.

 Keningnya berkerut dan terlihat kesal mendengar jawaban malasku. ”Semoga saja langit akan terang besok. Aku tak ingin sesuatu menghalangi perjalanan kita,” harapnya lagi sedikit cemas.

Aku menggeliat di tempat dudukku. Mengacuhkan semua ucapannya.

Bayangan seorang wanita berambut pirang yang kulihat sore ini melintas cepat dibenakku bersama dengan dua orang teman laki lakinya di pintu depan rumah kami. Seketika itu kutarik napas panjang. Arman melirik kearahku tepat saat aku mencoba untuk mengatur napasku dalam keadaan posisi duduk yang terlihat sangat tak nyaman.

”Sebaiknya kau tidur saja jika kau lelah,” perintahnya kaku.

Jantungku berdetak cepat. Suara ledakan keras diiringi angin kencang yang menderu melambungkan tubuh Arman berputar menembus eternit kayu sebuah toko bahan makanan. Melemparkan tubuhnya berulang ulang dengan bunyi yang sangat keras ke lantai kotor penuh dengan sayuran dan buah buahan yang bertebaran. Tubuh Arman jatuh ke lantai tak bergerak. Darah mengalir dari mulut dan hidungnya. Aku memekik kencang dan tersadar ketika Arman mengguncangkan tubuhku dengan kedua tangannya. Wajahnya terlihat marah.

”Ya ampun, Calista. Mengapa kau berteriak seperti orang gila. Apakah kau tengah tertidur dalam dudukmu dan mengingau?” bentak Arman tepat didepan hidungku.

Tubuhku bergetar. Keringat dingin membasahi sekujur tubuhku.

”Kumohon jangan pergi ke Essendra. Aku punya firasat buruk sesuatu akan menimpamu, ayah,” erangku.

Air muka Arman berubah kaku. “Berhentilah mengatakan hal hal konyol! Aku benci pada seorang pembohong!” dengus Arman marah. Sikapnya jelas jelas pahit.

”Aku tidak mengarangnya. Aku benar benar melihatnya dalam pikiranku.” desakku membela diri dengan suara keras.

”Sudahlah. Aku tak ingin mengulang percakapan ini lagi!”

”Mengapa ayah tak pernah mempercayaiku?” gusarku.

Arman membatu.

Wajah ini terasa hangat. Pipiku memerah. Dia harus tahu jika ini bukan kebohongan. Penglihatan penglihatan itu benar dan datang dengan sendirinya tanpa aku memintanya.

“Aku tidak mengerti dengan diriku. Aku lelah menutupinya. Sekali ini saja aku berharap ayah mau mempercayaiku,” cerocosku kalut.

Arman masih tidak bergeming.

Terdengar keras suara pecahan kaca yang diremukkan. Cermin bundar yang tergantung ditembok sebelah kananku kini retak. Hatiku terasa panas. Napasku memburu. Saat tengah merasakan amarah seringkali aku menghancurkan benda benda yang berada didekatku hanya dengan pikiranku. Arman hanya menatap datar kearahku.

”Ayah lihat. Aku lah yang memecahkan kaca itu.”

Aku menunggu. Namun Arman tetap membisu. Dengan gusar kuhentakkan langkahku keras keras berlari menuju kamar. Dada ini terasa sesak karena amarah yang tertahan. Aku benar benar kecewa dan putus asa padanya. Mengapa hingga saat ini Arman seolah menutup mata akan keganjilan yang sering kualami.

Malam itu tidurku gelisah. Suara hujan terus menderu bersamaan dengan angin dingin yang menyusup perlahan di kisi kisi jendela kamar. Meski tak ingin menangis namun kedua mata ini basah oleh air mata. Tiba tiba aku teringat sosok wanita pirang dibalik pohon Cherry tadi sore. Firasatku mengatakan jika ia sengaja datang untuk menjemputku.

Namun jika teringat bayangan tubuh Arman yang terlontar ke udara dan jatuh dengan cucuran darah dari mulut dan hidungnya seluruh tubuhku kembali bergetar hebat dan ketakutan.

Kuabaikan rasa takut yang aneh ini. Dengan cepat kutarik selimut tebal ke seluruh tubuh hingga kepala. Dengan putus asa kupejamkan kedua mata dengan paksa. Lepas tengah malam barulah aku tertidur pulas ketika hujan deras berubah menjadi gerimis.

Paginya kabut tipis nampak terlihat di balik kaca jendela kamar. Dengan malas kuseret langkahku menuju kamar mandi. Mata coklat terang ini sekarang tampak redup dan berkantung. Kupandangi wajah kuyu ini dalam cermin kecil di kamar mandi. Bayangan wajah cekung berambut hitam kembali muncul tiba tiba dan menatapku dalam. Aku memekik kencang. Cermin kecil itu kini jatuh dan terbelah dua. Kuatur napas dan berusaha tenang. Itu pasti hanya imajinasiku saja. Dengan kesal kubasuh wajah dengan tergesa gesa.

Hari ini aku memutuskan untuk pergi ke Essendra bersama Arman. Sebenarnya tempat tinggal kami masih berada dalam wilayah Essendra. Hanya saja letaknya berada dekat perbatasan desa. Tepatnya dipinggiran hutan kecil yang bernama Voswood. Hutan Voswood adalah bagian dari wilayah Essendra yang disekelilingnya terdapat pohon pohon oak besar yang sangat teduh, barisan cemara dan hamparan pakis liar yang ukurannya cenderung lebih besar dari pakis biasa.

Saat gundah terkadang aku suka melintasi jalan setapak menuju hutan Voswood hanya untuk sekedar melempar rasa penat dan menikmati sejuknya udara lembap dari tetes embun pagi yang menempel disepanjang padang rumput halus yang tumbuh melingkari sepanjang jalan setapak ini dengan bunga rumputnya yang melambai lambai tertiup angin. Tapi keegoisan Arman yang menyusulku dengan raut aneh dan was was membuatku tak bisa berlama lama berada di dalam hutan Voswood yang hijau dan teduh.

Sarapan pagi adalah suatu kegiatan harian yang selalu terlewatkan olehku. Karena aku bukanlah tipikal orang yang suka bangun pagi. Namun aku tak kuasa menolak ketika Arman mengetuk pintu kamarku, menawarkan perdamaian dengan membujukku makan masakannya pagi ini.

Berada satu meja makan dengannya terasa begitu menyiksa mengingat akan perselisihan semalam. Kami bukan jenis keluarga yang suka bicara. Lagipula aku juga tidak tahu harus bicara apa padanya. Dengan sedikit canggung Arman berusaha mencairkan suasana dengan membuka percakapan seputar cuaca musim semi yang agak lembap. Selebihnya kami hanya terdiam dan tenggelam dengan pikiran masing masing.   

Setelah selesai sarapan kami langsung bersiap siap. Karena perjalanan yang  ditempuh dengan berjalan kaki membutuhkan waktu sekitar setengah hari. Kami memang tidak memiliki kereta kuda. Maksudku, mustahil rasanya memiliki kereta kuda dengan pekerjaan Arman sehari hari sebagai pengasah bebatuan untuk seorang saudagar kaya yang tinggal di desa Essendra.

Jalanan di depan rumah kini basah dengan genangan air. Rencananya kami akan menempuh perjalanan lewat jalan setapak di pinggiran hutan Voswood. Dengan perasaan cemas kukenakan jaket tebal dan boots ku. Kubiarkan rambut coklat gelapku tergerai lurus di bahu untuk sekedar memberikan sedikit kehangatan ditengkukku.

Arman yang sudah terlebih dahulu keluar rumah sepertinya tengah berbicara dengan seseorang. Nada suaranya yang rendah kini terdengar sedikit meninggi dan kasar. Dengan penasaran kuintip dari balik jendela ruang depan. Wanita berambut pirang yang kemarin sore mengamatiku kini berdiri dihadapan Arman. Ia terlihat cantik dan anggun. Didampingi dua orang laki laki di sisi kiri kanannya layaknya seorang pengawal. Si pirang tengah berdebat dengan Arman.

Mata mereka yang tajam dengan hati hati mengamati air muka Arman yang nampak gusar. Si pirang terlihat resah. Sedangkan laki laki yang berdiri disebelah kirinya yang berwajah kekanak kanakan terlihat sangat tegang. Ia memiliki perawakan tubuh yang besar dan berotot. Rambut coklat pirangnya terlihat rapih dan mengkilap.

Mataku tertumbuk pada sosok laki laki disebelah kanan si pirang. Postur tubuhnya lebih tinggi dan langsing ketimbang si rambut coklat pirang tadi. Meski begitu tubuhnya terlihat cukup kekar dan proporsional. Rambutnya yang coklat kehitaman terlihat agak berantakan. Ia sangat tampan dan mempesona. Raut mukanya terlihat tenang dan datar. Caranya bersikap dan gaya berpakaiannya terlihat elegan. Ia mengenakan sebuah anting perak berbentuk cincin dikuping kirinya.

Dengan bergegas aku berlari keluar untuk melihat apa yang tengah mereka perdebatkan. Kini ketiganya beralih menatapku dengan sedikit terkejut dan kelegaan. Arman mengalihkan pandangannya kearahku. Rahangnya menegang.

”Apa yang mereka inginkan?” tanyaku setengah berbisik pada Arman. Seketika itu wajah Arman berubah masam.

”Apakah kau Calista?” si pirang bertanya ragu ragu.

Kuanggukan kepala dengan pelan.

“Kita berangkat sekarang!” potong Arman gusar seraya menarik sebelah tanganku tanpa memberiku kesempatan berkenalan. Dengan terseok kuikuti langkah langkah besarnya.

”Arman dengarkan aku! Ini untuk keselamatan kalian,” pinta si pirang dengan putus asa berusaha menyambangi langkah kami.

”Pergilah dan jangan  ikuti kami atau kau akan menyesal,” ancam Arman.

Kami berjalan terburu buru. Sekilas aku sempat berharap pada tamu tamu asing tadi untuk mencegah kepergian kami. Namun mereka hanya terpaku menatap kepergian kami dari pekarangan rumahku.

Perjalanan menuju Essendra rasanya seperti berhari hari dan begitu menyiksa. Kami hanya membisu. Namun aku dapat merasakan jika ketiga orang asing tadi tengah mengikuti kami dari belakang. Hatiku sedikit tenang.

Essendra mulai terlihat. Desa yang hijau dan ramai. Aku menyukai Essendra lebih dari apapun namun tidak hari ini mengingat penglihatanku semalam yang sangat menakutkan.

Essendra adalah sebuah desa dengan wilayahnya yang cukup besar. Orang orang yang tinggal di sini sangat ramah satu sama lain. Selalu ada senyum dan gelak tawa anak anak yang berlari larian sepanjang jalan utama. Yang kutahu, Arman selalu mengajakku ke sebuah tempat makan kecil diujung jalan dekat pasar hanya untuk sekedar minum teh setelah berbelanja.

Seiring waktu aku tumbuh dewasa, desa Essendra semakin berkembang. Banyak para pendatang yang memutuskan untuk menetap dan berdagang di desa ini. Meski sebagian hanya memilih singgah sementara. Rata rata para saudagar yang telah menetap di sini membangun rumah mereka tepat diatas kios dagangan mereka.

Rumah rumah di Essendra terbuat dari kayu pohon oak, sama seperti rumahku. Dengan kincir angin diatas atapnya sebagai ciri khas desa ini. Ada juga beberapa rumah yang memiliki fungsi ganda. Sebagai rumah dan kios. Biasanya mereka memasang papan papan reklame yang menjuntai dari dinding dinding kayu, berlambangkan beraneka ragam gambar, seperti buah buahan, sayuran, bunga atau benda benda perlambang si rumah ahli. Seperti gambar batu permata, yang menandakan pemiliknya adalah si ahli batu atau pengasah batu, atau beberapa gambar pisau, bagi pemiliknya si ahli pisau dan seterusnya. Penduduk desa Essendra yang sedikit lama lama menjadi bertambah dengan berbaurnya para pendatang dari negri lain yang menetap dan berdagang disini. Essendra menjadi wilayah yang cukup potensial apalagi ditunjang dengan hasil pertanian yang berlimpah sebagai sumber utama mata pencaharian penduduknya seperti sayuran dan buah buahan, adalah hal pertama yang mudah ditemui disini.

Langkah besar Arman terhenti. Sepasang matanya menyipit ke segala arah. Ia terlihat sedikit cemas. ”Jika kau sudah selesai berbelanja, tetap disini. Ayah segera kembali, mengerti,” pintanya tegas.

Aku hanya menganggukkan kepalaku. Arman masih berdiri memandangiku. ”Aku memang jarang mengatakan ini tapi kau tahu kan jika aku sangat menyayangimu,” kini wajah yang biasanya keras menatapku canggung.

Perasaan getir menyelusup pikiranku. Ia tidak pernah berkata hal secengeng itu sebelumnya padaku. Arman yang kutahu begitu kaku dan muram.

”Apakah semuanya baik baik saja, yah,”  selidikku berlagak bodoh.  

”Tidak juga. Hanya saja kedatangan orang orang tadi pagi ini mungkin akan sedikit mengganggumu,” sahutnya mencoba bersikap acuh.

Salah. Batinku. Aku tidak pernah merasa terganggu. Dialah yang terganggu sepanjang perjalanan kami tadi. Aku mengerti jika ayah tak ingin membicarakannya,” kernyitku dengan nada tak perduli.

Arman menatapku bingung. Hanya perasaanku saja atau kedua sudut mata ini terasa berkedut cepat dan jantungku berdetak lebih kencang dari biasanya. Kubuang pandanganku menghindari tatapan anehnya.

Seolah menangkap ketidaknyamananku, ia menghembuskan napas pelan. “Ada yang harus kubicarakan sebentar dengan tuan Farrow di kios. Aku akan segera kembali untuk menemanimu. Sebaiknya kau tunggu saja aku disini.”   

Sebentuk senyum kaku tergambar disudut bibirku. Dengan terburu buru Arman membalikkan badannya seakan ingin menyembunyikan rasa kalutnya.

Getar kesedihan menjalari perasaanku ketika menatap punggungnya yang menghilang masuk ke dalam kios pengasah batu tempatnya bekerja diseberang jalan. Arman yang kukenal tak pernah membiarkan aku membaca perasaannya. Arman yang kukenal adalah seorang ayah yang begitu kaku dan tertutup. Tapi kenapa hari ini dia terlihat rapuh.

Tersadar dari lamunan aku segera masuk ke dalam kios bahan makanan didepanku. Dengan gemetar kumasukan beberapa wortel dan tomat ke dalam kantong kertas. Aku tak ingin membuang waktu berlama lama. Aku harus selesai ketika Arman datang menjemputku. Sulit berdebat dengan bagian diriku yang yakin akan penglihatanku semalam akan hari ini. Setengah berlari aku bergerak ke bagian daging. Sup tak lengkap rasanya tanpa kaldu dan hari ini aku berniat untuk membuatkan sup kesukaan Arman.

Angin dingin berhembus dan mengetarkan lonceng lonceng kecil di depan pintu kios yang sengaja dipasang untuk menyambut pembeli ketika seseorang melangkah masuk. Rambut coklat gelapku yang kubiarkan tergerai melayang bebas dipunggungku untuk beberapa saat. Sepuluh langkah didepanku berdiri sosok laki laki menatapku dengan sorot mata gelapnya yang menghujam dan sarat keangkuhan. Seketika aku merasakan ketakutan yang amat sangat hingga bulu bulu halus ditengkukku meremang. Tatapannya yang dalam membuatku membeku namun dengan cepat berganti dengan ketenangan yang belum pernah kurasakan sebelumnya. Damai dan hangat.

“Calista,” bisiknya pelan tanpa menggerakkan bibir. Sepasang mata ungu gelapnya kini tak berkedip seolah membiusku.

Ini pasti bukanlah mimpi karena tangan kanannya yang kokoh terulur perlahan padaku. Ada dorongan yang begitu kuat dari alam bawah sadarku untuk menyambutnya. Seolah olah kami telah saling mengenal.

Dengan penuh keyakinan kujulurkan tangan kananku kearahnya. Belum sempat kedua tangan kami bersatu sekonyong konyong tubuh laki laki tampan itu terhempas keras mengenai rak penyimpan buah buahan yang berada didepanku.

Jauhi putriku!” teriak  Arman marah. Seketika itu juga aku tersadar.

Dengan sedikit terkejut kulihat sosok ayahku berdiri disampingku dengan tangan kanannya yang masih teracung kearah laki laki misterius tadi. Tanpa memperdulikan teriakan ketakutan para pengunjung lainnya di kios ini dengan cepat Arman menarik tanganku.

”Ayo pergi dari sini,” ujarnya dengan kecemasan yang nyata. Kantong belanjaanku terjatuh dan isinya bertumpahan dilantai.

Kami bergegas menuju pintu keluar kios. Sayangnya laki laki tadi telah bangun dari tumpukan apel yang kini berserakan. Sorot matanya terlihat kesal. Ia mengarahkan tangan kanannya kearah kami. ”Follones!” lengkingnya keras hingga menjungkalkan kami. Aku mengerang kesakitan. Kakiku terasa kesemutan. Arman menatapku cemas. Dengan geram diayunkan tangan kanannya kearah si penyerangnya tadi namun hempasan kekuatan itu hanya menghantam keras jejeran tumpukan kubis yang terbang bergelindingan. Aku terlalu shock  untuk mengatupkan mulutku. Aku tak pernah mengira Arman memiliki kekuatan terpendam sehebat itu.

”Terima ini!” raung Arman kembali. Seraya mengayunkan kedua lengannya dengan murka. Kali ini serangannya tepat sasaran. Tubuh penyerang kami terdorong keras merontokkan sebagian kayu kayu bangunan kios dan jatuh tertelungkup.

Apakah ini mimpi. Karena aku bersumpah telah melihat Arman menjatuhkan laki laki penyerang kami itu hanya dengan mengayunkan kedua tangannya dari jarak jauh.

Tanpa membuang waktu Arman segera berbalik hendak menghampiriku yang masih gemetar ketakutan memandanginya. Tapi suara ledakan keras yang datang tiba tiba diiringi angin kencang yang menderu melambungkan tubuh besar Arman berputar putar menembus eternit kayu lalu menghempaskannya dengan keras kembali ke lantai kios yang telah kotor, penuh dengan sayuran dan buah buahan yang hancur bertebaran.

Tubuh Arman tak bergerak. Darah mengalir dari mulut dan hidungnya. Jeritan panjang terlontar dari mulutku. Dengan segenap kekuatan aku segera menghambur kearahnya. Airmata membasahi seluruh wajahku dengan cepat. Aku meraung pilu memanggil nama ayahku dengan putus asa. Sia sia, jiwa ayahku telah melayang pergi. Seketika itu juga tangisku pecah.

Seorang laki laki seumuran Arman berdiri dengan kepala tegak menatap bengis kearah tubuh Arman yang tak bergerak dalam pelukanku. Laki laki itu mengenakan pakaian serba hitam dengan jubah panjang berwarna hitam. Dilehernya tergantung kalung emas berinisial huruf R besar. Rambutnya yang berwarna hitam keperakan terlihat mengkilap dengan bentuk wajahnya yang terlihat aneh, terlalu tirus dengan hidung panjangnya yang agak bengkok. Kedua matanya menyipit menatapku yang tengah menangisi jasad ayahku.

Bangun!” bentaknya kasar. Nada suaranya sedikit berat. Tubuhku terasa lemah tak berdaya. Tenggorokan ini terasa kering karena terlalu banyak menjerit dan menangis.

”Jangan membuatku marah!” gelegarnya kejam.

”Biar aku saja yang mengurusnya Rufus,” tawar laki laki misterius tadi mencoba menenangkannya. Dengan raut muka merendahkan keberadaanku. Laki laki yang dipanggil Rufus tadi membiarkan si misterius mendekatiku.

”Percayalah padaku, kau akan menyesal jika membuatnya benar benar marah,” bisiknya kaku setengah membujukku.

Dengan marah kudorong tubuhnya dengan sekuat tenaga bagai kucing liar yang tengah mengamuk. Namun kedua tangannya lebih cepat menarik tubuhku yang rapuh. Kini ia memegang bahuku dengan kedua tangannya.

”Gadis dungu, aku berusaha menyelamatkan nasibmu, ok!” bisiknya kesal seraya menatapku jengkel. Kini aku dapat melihat dengan jelas jika laki laki penyerangku ini memiliki raut wajah yang tampan dengan sorot mata ungunya yang dalam.

Rufus menoleh sinis. ”Sepertinya ayah tercinta sudah mati,” kekehnya senang seraya menggoyangkan kaki kanannya ke atas tubuh Arman yang terbaring kaku di lantai.

Kutatap mukanya dengan penuh kebencian. ”Jangan sentuh dia!” geramku marah.

Rufus hanya terkekeh senang tak memperdulikan ucapanku.

 Tiba tiba saja hawa dingin datang bersamaan dengan kabut tipis yang perlahan mulai memenuhi kios ini. Tubuhku menggigil kedinginan. Mata Rufus kembali menyipit. Hidungnya yang bengkok tertarik keatas mengikuti keningnya yang berkerut. Kali ini wajahnya terlihat terganggu. “Kita kedatangan teman dari lembah Crystal, Tristan.”

Tristan mempererat pegangan tangannya ditubuhku.

“Lepaskan dia Rufus!” suara merdu yang familiar terdengar lantang dalam kabut yang mulai memenuhi ruangan. Kedua mataku berusaha mencari sumber suara namun sia sia karena kabut tebal telah menutupi pandanganku.

“Menyedihkan sekali! Ternyata kalian masih saja menggunakan cara cara pengecut seperti ini dalam pertarungan  hah!” gelegar Rufus meremehkan.

Seorang wanita berdiri tegak didepan kami dan menatap lurus kearah Rufus. Ia berambut pirang keemasan. Si pirang yang berdebat dengan Arman pagi tadi. Sorot matanya terlihat galak tanpa kompromi.

”FLASHFLARE!” lontaran lidah api yang keluar tiba tiba dari kedua tangan Rufus berkobar menerjang si rambut pirang. Dengan lincah ia menghindar sambil meneriakkan mantra balasan. Seketika itu juga kobaran api yang mengejarnya terhalang oleh gundukan es yang tinggi bagai benteng kecil.

”Tristan!” teriak Rufus geram kearah laki laki yang tengah memegangiku. ”Bawa anak itu!” perintahnya seraya mengibaskan jubah panjangnya dan menghilang dalam pusaran angin kencang yang membuat barang barang di sekelilingnya ikut beterbangan.

”Tidak secepat itu, teman!” teriak sosok tinggi langsing yang melompat dengan lincah dihadapanku dan Tristan seraya mengepalkan lengan kanannya tepat kearah wajah Tristan. Tristan terhuyung. Pegangannya tangannya ditubuhku terlepas seketika dan membuatku jatuh terjerembab. Samar samar kulihat wajah si penolongku. Laki laki elegan berwajah tampan dengan anting dikuping kirinya nampak tersenyum puas begitu melihat Tristan kehilangan keseimbangan.

”Dizzante!” erang Tristan marah seraya menyerang balik dengan mantra balasan. Dari  kedua telapak tangannya keluar asap hitam yang menggulung tubuh pangeran penolongku hingga tubuhnya melayang dan berputar putar. Wajah tampannya menjadi pucat pias. Kedua matanya menatap kosong seolah terbius.

”Ness!” teriak si pirang khawatir. ”Icessendrios!” serunya marah sambil melontarkan hujaman batu es yang keluar dari telapak tangannya. Tubuh Tristan terpelanting menghantam jendela kaca hingga pecah berantakan terkena serangan balasan dari si pirang.

Dengan cepat meski sedikit payah Tristan berbisik merapalkan mantra. Dalam sekelebat mata tubuh kokoh Tristan berputar dan menghilang bersamaan dengan kepulan asap hitam yang seolah olah keluar dari sekujur tubuhnya. Si pirang segera melompat mencari perlindungan dibalik rak rak yang letaknya sudah tak karuan. Tiba tiba kepalaku menjadi pusing. Ruangan ini terasa berputar. Sebuah cahaya putih datang dan aku pun tak ingat apa apa lagi.

Samar samar kulihat sepasang mata biru pupus yang menyejukkan menatapku dengan iba. Kudapati tubuhku terbaring lemah disebuah kursi panjang dalam kamar berukuran kecil dan berdinding kayu. Kutatap sendu wajah cantik dihadapanku meminta penjelasan.

”Sukurlah kau sudah bangun Calista. Namaku Brisa. Dan ini temanku Darren,” tunjuknya pada laki laki berkulit kecoklatan yang berwajah kekanak kanakan. Darren tersenyum ramah padaku.

”Dan yang bersandar dekat jendela disebelah sana itu adalah Ness,” liriknya pada laki laki tampan berambut berantakan yang mengenakan anting dikuping kirinya. Ness menganggukkan kepala padaku sebagai tanda perkenalannya.

”Apa yang kalian inginkan,” dengusku kalut mencoba bangun dari tempatku berbaring.  Brisa mengulurkan kedua tangannya untuk membantuku.

”Kami datang dari lembah Crystal. Dan berniat untuk membawamu kesana,” ucapnya berhati hati.

Membawaku ke lembah Crystal. Dimana itu dan untuk apa. Kurasa wanita ini salah orang. Batinku kacau. ”Dimana jasad ayahku?” getarku menahan tangis.

Dengan gundah Brisa menunjuk tubuh seseorang yang terbaring kaku di kursi kayu dengan tertutup selimut. Darren menatap iba padaku sementara Ness membuang pandangannya jauh jauh keluar jendela.

”Mereka membunuhnya kan? Laki laki berjubah hitam itu. Apakah kalian mengenalnya? Mengapa ia membunuh ayahku?! teriakku penuh emosi.

Brisa terdiam sesaat. ”Kami benar benar menyesal. Dan merasa sangat kehilangan.” Brisa mencoba untuk bersimpati.

Tetap saja perkataannya tidak membuat perasaanku lebih baik. Air mataku malah deras berjatuhan. Dengan perlahan kuhampiri tubuh kaku Arman dan memeluknya kuat kuat seolah tak ingin berpisah. Tangisku lagi lagi pecah. Kini aku menangis tersedu sedu seperti anak kecil yang kehilangan mainan berharganya. Belaian lembut merangkul pinggangku yang bergetar hebat karena tangis. Brisa memelukku untuk menenangkan. Kukumpulkan sisa kekuatan untuk mengendalikan diri. Kutatap Brisa dengan kalut dan bingung.

”Seharusnya kami datang lebih cepat,” sela Ness pelan.

”Apa yang sebenarnya kalian inginkan dariku,” sahutku putus asa tak memperdulikan ucapan Ness.

Brisa menghembuskan napas perlahan dan mulai bercerita mengenai perihal kedatangan mereka. Kudengarkan penjelasannya dengan penuh keseriusan. Sepertinya wanita ini tahu benar asal usulku selama ini yang selalu disembunyikan oleh Arman.

Mereka datang dari lembah penyihir bernama lembah Crystal. Pemimpin mereka Orion Xander meminta mereka untuk menjemputku dan membawaku ke lembah Crystal.

Aku adalah seorang penyihir. Ungkap Brisa pelan. Aku terlahir dari rahim seorang wanita penyihir bernama Regina. Salah satu ksatria sihir dari lembah Crystal. Sementara ayahku, Arman adalah salah seorang ksatria psychic yang memiliki kekuatan telekinetic yaitu menggerakkan benda benda disekelilingnya hanya dengan pikirannya. Arman sengaja menutupi identitasku yang sebenarnya dan pergi sejauh mungkin dari lembah Crystal, tempat dimana aku dilahirkan dengan suatu tujuan. Tapi untuk apa aku bahkan tak mengetahuinya.

”Untuk menghindari kejaran Rufus, laki laki berjubah hitam yang telah membunuh ayahmu. Dan Rufus hanyalah satu dari sekian banyak orang kepercayaan sekaligus pengikut setia dari seorang penyihir hitam bernama Zorca Anthea. Musuh lembah Crystal dan pemimpin kami, Orion Xander,” sepasang mata biru pupus Brisa menatapku dalam.

Penyihir hitam, Zorca. Batinku resah.

”Kau tidak aman berada disini. Itulah sebabnya kau tidak punya pilihan selain ikut dengan kami,” sambung Ness setenang mungkin berusaha untuk tidak menakutiku.

Hatiku bimbang. Mengapa begitu rumit. Aku bahkan tidak mengenal nama nama yang baru saja disebutkan Brisa. Dan mengapa Ness berpikir aku dalam bahaya.

”Percayalah, ini untuk keselamatanmu. Aku yakin Arman pasti menginginkan kau ikut dengan kami. Kecuali kau memiliki saudara lain disekitar desa ini,” desak Brisa.

Aku menggeleng lemah. ”Hanya dia yang kumiliki,” kutatap wajah beku ayahku dengan tegar.

”Lembah Crystal penuh dengan orang orang baik yang akan menjadi temanmu nanti. Mungkin kita masih bisa mencari kerabatmu yang tersisa dari keluarga ibumu,” bujuk Brisa gigih.

Kutatap wajah mereka satu persatu. Senyum Darren melebar. Satu alis mata Ness terangkat ramah. Sementara wajah cantik Brisa menatapku dalam, menanti jawaban.

Siang itu kuberikan penguburan yang layak untuk ayahku, Arman. Dibantu ketiga teman baruku dari lembah Crystal. Kami menguburkan jasadnya di depan pekarangan rumah. Dimana ia bisa tenang berbaring dibawah naungan pohon Cherry yang teduh dan selalu ditemani dengan semilir angin sejuk yang bertiup dari hutan Voswood.

Kutatap gundukan tanah merah di depanku untuk yang terakhir kali. Karena perasaanku mengatakan aku akan berada jauh dari rumah untuk jangka waktu yang sangat lama. Seketika kerinduan sudah datang menghampiriku. Kali ini aku benar benar akan semakin merindukan sosok ayahku, Arman Kaz.

”Kau sudah siap?” pertanyaan Brisa membuyarkan lamunanku.

”Apakah kalian semua penyihir?” bukannya menjawab aku malah balik bertanya.

”Aku memang terlahir sebagai seorang penyihir. Tapi Darren adalah seorang psychic. Sedangkan Ness adalah seorang psychic illusionist.”

Dahiku berkerut mendengar penjelasannya.

”Begini. Seorang penyihir memiliki kemampuan untuk membuat sihir dengan merapal mantra. Biasanya kemampuan itu di dapat karena keturunan dari orangtuanya tapi kini tidak selalu seperti itu. Sihir pun dapat dipelajari oleh seseorang tanpa harus berasal dari keturunan penyihir meski membutuhkan waktu dan kerja keras. Sama seperti Psychic. Mereka memiliki kekuatan batin lebih dari orang biasa. Dengan kemampuan indra keenam mereka dapat mengendalikan pikiran mereka untuk melakukan apa saja, seperti menggerakan benda benda disekeliling atau pun mengintip kejadian yang belum terjadi. Ayahmu Arman adalah salah satu ksatria terhebat didikan Orion yang memiliki kemampuan itu.”

”Maksudmu ayahku sudah mengetahui bahwa hal ini akan terjadi padanya,” tanyaku penasaran.

”Sepertinya begitu. Kau masih ingat, kejadian pagi itu saat pertama kali aku datang dan berusaha menjelaskan tujuan kedatanganku,” tanya Brisa mengingatkan. Aku hanya mengiyakan.

”Ayahmu bersikeras bahwa ia dapat menjagamu dan dirinya sendiri. Dan satu hal lagi ia telah mengetahui kedatangan Rufus di Essendra tapi dia tidak tahu pasti kapan Rufus akan benar benar menyerangnya.”

Kuhembuskan napas perlahan.

”Kurasa kau mewarisi kelebihannya. Karena saat itu kau telah mengetahui maksud kedatanganku. Dan aku yakin kemunculanku sore itu dari balik pohon Cherry, bukanlah sesuatu yang tidak kau ketahui, benarkan,” kerling Brisa.

Wajahku memerah mendengarkan penuturannya.

”Alasan Orion menugaskan kita menjemputmu karena ia yakin akan penglihatannya. Bahwa takdirmu adalah bersama kami di lembah Crystal. Orion ingin menolongmu Calista. Dengan sedikit latihan kau pasti akan menjadi penyihir terhebat dan mungkin saja sebagai ksatria sihir bagi negeri kami seperti ayahmu dulu. Tapi yang terpenting bagi Orion adalah keselamatanmu mengingat Rufus sudah mulai bergerak mengerahkan beberapa penyihir hitam, pengikut setia Zorca untuk menghabisi orang orang yang memiliki kemampuan seperti Arman dan keturunannya.”

Seketika bulu tengkukku meremang mendengar penuturannya.

”Bagaimana dengan Ness dan Darren. Apakah mereka memiliki kekuatan seperti ayahku,” tanyaku mencoba untuk menyembunyikan keresahanku.

”Ya. Tapi hanya Darren. Sedangkan Ness, yah kurasa Ness itu agak sedikit berbeda dengan Darren. Bisa dibilang Ness itu unik,” Brisa tersenyum sendirian.

”Maksudmu,” acuhku meski sedikit penasaran.

”Ness adalah seorang psychic illusionist. Ayahnya memang seorang psychic tapi ia terlahir dari seorang wanita keturunan peri, bangsa elf.”

“Ibu Ness seorang peri,” gumamku kagum.

Brisa mengangguk. “Hingga sekarang pun aku tidak terlalu mengetahui banyak kepribadian ataupun keahliannya. Tapi setahuku dia termasuk ksatria psychic terhebat yang dimiliki lembah Crystal karena kemampuannya diatas rata rata meski usianya terbilang masih muda.”

Seketika terbayang kembali wajah Ness yang tampan ketika berusaha menyelamatkanku dari genggaman Tristan. Kedua pipiku mendadak terasa hangat.

“Ketampanannya terkadang memang sangat menyita perhatian wanita. Tapi Ness tak pernah sekalipun memanfaatkannya. Kau tahu, pembawaannya yang dingin dan tenang itu merupakan salah satu warisan dari sifat ke-perian dari ibunya, Piphylia Ferin.”

”Aku belum sempat mengucapkan rasa terimakasihku padanya karena telah menyelamatkanku dari penyihir muda yang mencoba menawanku kemarin,” tukasku tak memperdulikan tatapan salah paham Brisa.


Untuk beberapa saat kami terdiam.
”Bagaimana dengan penyihir muda yang satunya. Apakah kau juga mengenalnya?”

Brisa mendesah sebelum akhirnya menatapku ragu.Dulu dia adalah salah satu dari ksatria sihir di lembah Crystal sebelum akhirnya menghilang dan bergabung dengan Rufus dan menjadi pengikut Zorca,” ucap Brisa menerawang.

”Kurasa dia tidak begitu jahat,” gumamku sendirian.

Brisa menatapku dalam. Mungkin saja. Yang pasti, ibunya adalah seorang wanita yang baik dan tinggal di lembah Crystal bersama kami,” tatap Brisa padaku dengan pandangan menyelidik.

Kualihkan pandanganku dengan gugup.

”Aku benci mengganggu, tapi kita harus segera pergi dari sini. Waktu kita sangat sempit Bris,” potong Ness yang seketika muncul bersama Darren.

Brisa menatapku.

”Baiklah. Beri aku waktu sedikit untuk membereskan barang barangku,” hembusku meyakinkan diri sendiri akan keputusanku.

Brisa tersenyum lega. Kutinggalkan ketiga ksatria dari lembah Crystal tadi dengan perasaan tak karuan. Sepertinya aku memang tak punya pilihan selain menuruti keinginan Brisa yang akan membawaku ke lembah Crystal. Lembah tempat dimana para penyihir hebat bermukim. Tempat dimana aku lahir. Suatu awal yang baru dari kisah hidupku. Meski masih terdengar aneh dan sulit kuterima jika aku adalah seorang penyihir.

            Semoga ini bukan babak baru dari mimpi mimpi burukku selama ini. Pikiranku menerawang resah seraya mengikuti dari belakang langkah langkah para ksatria dari lembah Crystal dengan sejuta keraguan.

Genre : Novel Fantasy Romance
Writer : Misaini Indra 






4 comments:

  1. Sebelumnya, aku sarankan, jangan ambil hati pendapat atau kritikanku ini. Masalahnya, kita kan sama – sama sedang berusaha mewujudkan mimpi menjadi penulis. Dan aku jelas belum terlalu, apa ya, berpengalaman-lah. Sebaiknya, minta pendapat – pendapat lain ya. Juga, maafkan nanti kalau aku terasa sok tahu.

    Hei, apa kamu pernah mengirimkan tulisan –apa saja- ke media? Maksudku, kamu punya tata bahasa, yang, jujur deh, bagus banget. Aku suka tata bahasanya, juga karena tidak ada kesalahan – kesalahan seperti kalimat yang kurang efektif dan sebagainya.
    O ya, ngomong – omong, serius nih, aku pernah juga menulis kisah fantasi yang macet di tengah jalan, yang tokoh utamanya juga bernama Calista.
    Dari segi cerita, aku pikir bagian yang ini kurang mengandung, apa ya. Kurang membuat pembaca penasaran dan berhasrat untuk terus membuka lembar selanjutnya. Mungkin bisa ditambah rasa ingin tahu Calista terhadap asal – usul Ibunya, atau mungkin hal – hal yang membuat kekosongan dalam diri Calista. Aku membaca entah di mana, bahwa hal – hal seperti itu memang penting. Di sini, aku merasa cerita ini kurang memberi pembaca sesuatu yang ditunggu – tunggu.
    OH! Aku menemukan sesuatu yang harusnya bisa membuat penasaran pembaca itu! Baru terpikir kalau dalam awal cerita ini, kurang adanya masalah.
    Satu hal yang mengganjal, adalah seharusnya Calista merasa sangat cemas beberapa waktu sebelum berangkat atau sampai di Essendra, karena mengetahui orang yang dicintainya akan mati ketika berada di sana. Maaf ya, tapi menurutku, kegelisahan Calista kurang, apa ya, berkesan, dituturkan, apalah, pokoknya terasa kurang saja.
    Selain itu, aku benar – benar ingin penjelasan yang spesifik, serius nih. Karena kamu menciptakan sebuah dunia baru dalam kisah ini. Aku penasaran dengan lekuk – lekuk tempat tinggal Calista dan Ayahnya. Tapi, hei, itu kan pendapatku. Pertimbangkan pendapat lain.
    Hal yang lain, menurutku, kehadiran tokoh – tokoh seperti Brisa, Ness, dan Darren rasanya terlalu cepat. Kupikir akan lebih membuat penasaran kalau hari – hari sebelumnya Calista bingung karena merasa diikuti seseorang atau bagaimana.
    Lalu, kupikir judul untuk bagian ini, yang ada kata Dragon-nya itu lo, terlalu, apa ya, membuka rahasia. Maksudku, dalam cerita itu tidak disebutkan ada naga. Atau memang di dunia ini nanti akan dimunculkan sosok naga? Menurutku, kalau judulnya sudah ada naga – naganya begitu, harus ada slentingan atau kilasan kalimat yang menjelaskan tentang naga atau apa. Atau mungkin suatu ketika Calista melihat sepasang mata besar dalam mimpinya dan tidak tahu bahwa itu mata naga. Apalah.
    Hei, aku mau tanya nih. Apa semua masyarakat di tempat tinggal Calista dan Arman adalah seorang penyihir? Atau hanyalah manusia biasa? Lalu bagaimanakah kehidupan masyarakat saat itu? Apa mirip dengan kehidupan abad 19, 20?
    Hehe, kupikir aku benar – benar cerewet.
    Tapi bagaimanapun, itu kan hanya pendapat satu orang pembaca.
    Yok, berimajinasi lagi.

    ReplyDelete
  2. Dear bookaholic girl,

    Terimakasih sebelumnya saya ucapkan atas pendapat dan kritikannya. Satu lagi Trims utk pujiannya ya, saya memang seringkali ngirim cerpen2 atau ikut kompetisi ke majalah2 tapi sayangnya ga pernah ada yg nyangkut ha ha..

    Dan baru kali ini saya membuat novel dan coba share ke blog, jadi boleh dibilang ini debut penulisan novel saya, maaf jika banyak kekurangan.

    Untuk chapter 1 saya memang sengaja mengambil plot langsung masuk ke konflik cerita, dimana karakter Brisa, Ness dan Darren langsung dimunculkan sebagai pendamping tokoh utama. Bertujuan utk menghindari kejenuhan. Supaya energi pembaca tidak terkuras hanya pada tokoh utama. Lagipula dalam chapter ini juga diceritakan adanya duel sihir antara penyihir baik dgn penyihir jahat, sehingga saya juga harus memunculkan tokoh penyihir hitam/jahat itu sendiri yaitu Rufus dan Tristan. Jadi, sejak awal pembaca telah tahu persoalan apa yg sedang dan akan dihadapi tokoh utama (Calista) yg nanti akan diceritakan lebih dalam pada chapter2 berikutnya.

    Utk setting saya sudah memberikan gambaran tempat tinggal Calista, yg letaknya berada di dekat perbatasan desa Essendra, tepatnya di pinggiran hutan Voswood (jauh dari keramaian). Disini saya juga menggambarkan suasana desa Essendra seperti apa.

    Dari penggambaran yg saya tulis, pembaca bisa menarik kesimpulan jika penduduk desa Essendra itu hanyalah org2 biasa yg memiliki berbagai profesi seperti berdagang dll. Dan ketika Calista dan Arman berjalan kaki menuju Essendra karena Arman tidak mungkin membeli kereta kuda, mengasumsikan jika ini memang sekitar abad 19 20an

    Dalam tulisan ini saya menciptakan dunia Calista dengan imajinasi saya sendiri :) Karena menurut saya pembaca sekarang sangat pintar dan bisa langsung menarik kesimpulan dari setiap tulisan apapun baik yg tersirat atau pun tidak tersirat tanpa sang penulis harus menjelaskan secara detail dan bertele-tele.

    Utk pemilihan judul Penyihir Naga Arkhataya, memang sengaja saya pilih/tampilkan utk memikat dan memancing keingintahuan pembaca. Jadi pembaca tertarik utk membaca kisah gadis penyihir ini (Calista).

    Note : nantinya memang akan ditampilkan sosok naga mematikan yg dinamakan Arkhataya dalam cerita ini...lagi2 saya yg ciptakan sendiri dalam tulisan dgn imajinasi saya ;)

    Yah klo disimpulkan, saya mungkin melupakan beberapa detail atau kaedah2 penulisan yg berlaku namun saya juga tidak mau membatasi diri dengan semua itu, saya ingin bebas ber imajinasi dalam tulisan saya. Karena saya juga tidak ingin stuck/macet dalam berkarya karena terlalu memikirkan detail2 yg rumit.

    Saya senang menulis dan saya berharap dgn tulisan saya org akan terhibur.
    bookaholic girl, terimakasih ya utk apresiasi dan masukannya. Maaf jika tulisan saya masih banyak kekurangan. Sukses juga utk anda. Saya pasti akan terus berimajinasi sampai novel saya selesai ha ha..

    Salam Hangat,
    Misaini Indra

    \(^o^)/ Semangatt ;D ;D

    ReplyDelete
  3. Luv it.. ^^
    remind me to TWILIGHT the series.. ^^

    ReplyDelete
  4. Thank you ya Cit,,

    Baca terus ya, jgn lupa jadi followers nya :D

    \(^o^)/ arigato

    ReplyDelete