Protected by Copyscape Plagiarism Scanner

Tuesday 22 May 2012

PART II : Calista Kaz “Bangkitnya Sang Naga” (Chapter 6)


6. TEMAN
           
Keadaaan Cleo mulai membaik. Meski terlihat enggan berbicara namun aku cukup puas jika gadis itu mulai sedikit melunak dan membiarkanku melihat keadaannya.
Darren menyorongkan secangkir jus plum padaku dan Oggie. Kemudian mata coklatnya menatapku dalam. “Jangan hiraukan ucapan Quilla kemarin,” ujarnya pelan.
Aku hanya tersenyum padanya.
“Kemarahannya disebabkan oleh kedekatanmu dengan Ness,” sambungnya lagi sambil meneguk jus plumnya sedikit sedikit.
”Aku tahu..” gumamku pelan.
”Aku tak mengerti mengapa putri secantik dia begitu mengharapkan sebuah cinta dari sosok Ferin yang kaku dan membosankan,” tukas Oggie yang tengah bersandar di kursi kayu dekat jendela besar disampingku dengan santai.
Darren tergelak kencang. Sementara aku mau tak mau menyunggingkan senyum tertahan.
Seolah mendapatkan reaksi dukungan, Oggie meneruskan kembali ucapannya. ”Yah, kau tahu Ness kan. Dengan sikapnya yang kaku dan datar, senyum yang dipaksakan. Ditambah lagi kebiasaannya minum teh sambil melamun. Ya ampun Ness itu seperti kakek tua yang terperangkap dalam tubuh anak muda, jika kau tahu maksudku,” desah Oggie padaku seraya menggelengkan kepalanya.
Suara lengkingan tawa Darren kembali terdengar menyakitkan telinga.
Kini, dahi Oggie nampak berkerut. ”Kurasa aku jauh lebih baik darinya,” gumam Oggie riang.
”Sayangnya, kau tidak memiliki wajah sesempurna Ness, Ogg.” ejek Darren geli penuh kepuasan.
Mulut kecil Oggie berkerucut kesal seraya menyipitkan pandangan kearah Darren. ”Aku tak mengira kau juga menaruh perhatian begitu besar pada Ferin. Jangan katakan jika kau juga mencintainya Darr,” balasnya puas.
Perkataan Oggie membuatku tertawa seketika.
Airmuka Darren terlihat kesal. ”Aku juga tak mengira jika kau bisa berpikir sebodoh itu!” maki Darren diiringi gelak tawa Oggie yang keras dan tak terkendali.
Tak memperdulikan tingkah Oggie, kini Darren mengalihkan pandangannya padaku. ”Menjaulah dari Ness, Calista. Atau Quilla akan menghancurkanmu,” nada ucapan Darren terdengar seperti peringatan yang tak dapat ditawar.
”Aku dan Ness hanya berteman. Saat ini Ness hanya berusaha membantuku,” ucapku mencoba menepis kekhawatiran Darren.
Darren tersenyum. ”Kau tahu, aku telah menjadi sahabat Ness sejak kecil. Kami tumbuh bersama di lembah Crystal. Namun, baru kali ini aku melihat sosok Ness yang begitu bersemangat dan mulai membuka diri ketika berada di dekatmu.”
Aku tertegun untuk sesaat mendengar perkataan Darren.
”Ness Ferin menyukaimu, Calista. Tapi Quilla tidak akan membiarkan hal itu terjadi,” Darren menatapku tajam.
Kuhembuskan napas kencang dan menggeleng pelan. ”Kau salah Darr. Aku tidak berniat mengambil Ness dari sisi Quilla,” sanggahku getir.
”Tapi kedekatan kalian membuat Quilla menjadi sinting dan membahayakan jiwamu,” sahut Oggie seenaknya.
Aku hanya membisu.
”Biarkan saja Quilla menjadi sinting karena tidak mendapatkan cinta Ness!” seru Cleo yang kini berdiri dihadapan kami.
Seketika itu juga, aku, Darren dan Oggie menoleh kearah Cleo berbarengan.
Cleo tampak berdiri tegak dengan balutan kain dibahu kirinya.
”Kau seharusnya tidak bangun dari tempat tidurmu Cle,” nada suara Darren terdengar cemas seraya menghampiri Cleo.
Dengan cepat Cleo menepis tangan Darren dan menghampiriku yang langsung berdiri tegang. Kini kami berhadapan dan saling memandang. Tidak ada sorot kebencian yang biasa ditujukan padaku.
”Kau telah memenangkan hati Ness,” ucap Cleo pelan.
”Tidak. Kurasa kau salah,” tepisku canggung.
Cleo tersenyum kaku. ”Kau tidak bisa membohongiku, Calista.”
”Sebaiknya kau urus dirimu sendiri dari pada kau mengurusi hubungan percintaan Ness!” seru Oggie melontarkan ejekan pada Cleo.
Sebuah pukulan ringan menghantam kursi kayu tempat duduk Oggie hingga membuat kursi kayu itu pecah berantakan. Seketika itu juga Oggie terjerembab jatuh dan meringis kesakitan.
”Jangan meledek kekasihku Kircey atau aku akan melakukan sesuatu yang lebih dari itu,” kerling Darren puas.
Avilos...” ujar Oggie seraya melayangkan tangan kanannya kearah Darren hingga membuat laki laki berbadan kekar tersebut melayang layang di udara.
”Ayolah hentikan itu Ogg!” seruku kesal.
”Sebaiknya kau dengarkan Calista, atau aku akan menghajarmu!” seru Cleo panik.
Kircey tertawa riang dan dengan gerakan tangan yang cepat menghempaskan Darren sedikit keras ke tanah dengan sengaja.
Raut muka Darren terlihat marah, ”Aku akan menghajarmu kali ini Kircey,” makinya kesal seraya bangkit dan memburu Kircey yang berlari menghindar.
”Kelakuan mereka benar benar sangat dewasa,” helaku seraya menggelengkan kepala.
”Yeah. Sangat!” sungut Cleo. Sepasang matanya menatap marah kearah Darren dan Oggie. ”Jika kalian tidak menghentikannya, aku akan menghajar kalian berdua sekaligus!” teriak Cleo kesal.
Sayangnya, baik Darren ataupun Oggie nampak tak memperdulikan peringatan Cleo.
Aku tersenyum sendirian demi melihat kelakuan Darren dan Oggie. Mereka bagaikan kera yang tengah bertengkar. Berteriak teriak gaduh saling mengejek dan berkejaran. Namun jika dilihat lagi, Oggie lebih menyerupai seekor monyet kecil yang tengah menggoda kera raksasa seperti Darren.
Kunjungan ke tempat pengungsian tempat berkumpulnya teman teman ksatria Crystal lainnya membuatku sedih karena harus berakhir. Dan penerimaan Cleo akan keberadaanku sekarang, membuat hati ini terasa senang. Melihat hubungan pertemanan yang begitu kuat dan dekat membuatku merindukan seorang sahabat. Sepanjang ingatanku, aku hanya memiliki Tristan sebagai seorang sahabat dan kekasih.
Kuhembuskan napas perlahan dan menatap langit cerah yang mulai berubah jingga. Kuurungkan niat untuk kembali ke istana dan mulai melangkah pelan menuju tempat peristirahatan terakhir Tristan.
Setibanya disana ternyata aku tidak sendirian. Kulihat sosok tubuh besar Prechia yang tengah berdiri menatap batu nisan Orion Xander. Makam Tristan dan Orion memang berdekatan. Karena kehendak Prechia untuk menguburkan Orion dekat dengan para ksatrianya. Meski Tristan telah melakukan kesalahan besar, namun semua itu telah ditebus dengan sangat mahal oleh nyawanya untuk menyelamatkan jiwaku. Prechia menganggap pengorbanan Tristan adalah sebuah perbuatan ksatria, sama seperti para ksatria Crystal lain yang telah gugur untuk mempertahankan tanah leluhur kami yang telah dirampas Zorca.
Mata kami bertemu.
Dan Prechia tersenyum lembut kearahku. ”Senang bertemu denganmu disini, Calista.” Ada setitik airmata tertinggal disalah satu sudut matanya.
Aku mengangguk pelan.
Prechia kembali memalingkan wajah kearah batu nisan Orion. ”Ketika aku merasa lelah, aku merasa harus berada disini. Aku ingin dia tahu jika ia telah membuat rencana hidupku berantakan untuk semua permintaannya padaku,” tawa Prechia getir.
Aku hanya membisu.
”Terkadang aku merasa dia tidak pernah meninggalkanku. Semua ini hanya mimpi dan aku akan terbangun suatu hari nanti melihat dia duduk dikursi kebesarannya di kastil Crystal sambil tersenyum kearahku,” ucap Prechia menerawang.
Tanpa sadar airmataku jatuh perlahan.
”Saat aku jatuh dan berduka ketika kehilangan keluargaku. Orion selalu ada disampingku untuk memberikan semangat hidup. Aku tidak akan pernah melupakan itu,” desah Prechia.
”Kau kehilangan keluarga?” tanyaku pelan.
Prechia mengangguk pelan. ”Suami dan anak perempuanku yang baru berumur lima tahun.”
Kutatap Prechia dengan iba.
”Kami tengah berlayar menuju utara dan mencari kehidupan tenang tanpa perselisihan. Kami melakukan itu karena aku dan Gregorian begitu pengecut untuk menghadapi Zorca dan pengikutnya. Tapi kami hanya ingin mencari tempat aman bagi Toryana yang tak berdosa,” ujar Prechia emosional.
Prechia menarik napas panjang dan mengusap sisa airmata.
”Ketika ombak menggulung Toryana kecil dalam pelukan Gregorian, sihir sehebat apapun tak dapat menyelamatkan mereka berdua. Dan aku terbangun pada sebilah kayu sisa sisa pecahan perahu kami dengan diliputi rasa penyesalan hingga sekarang.”
”Tidak ada yang menyalahkanmu untuk itu Prechia,” sela ku pelan.
Prechia tertawa sinis. ”Entahlah. Aku tidak pernah menganggap keselamatanku adalah sebuah keberuntungan. Aku selalu menganggapnya sebuah hukuman yang harus kujalani sepanjang umurku atas kenangan tentang mereka.”
”Kurasa, pernyataan sikapmu itu sangat tidak adil,” desisku pelan.
Prechia tertawa pelan. ”Kau terdengar seperti Orion.”
Untuk beberapa waktu kami sama sama terdiam.
”Orion adalah sahabat terbaikku. Dia telah membuka mata hatiku untuk merelakan semuanya dengan tulus. Tapi rasanya sulit sekali melalui semua itu tanpa kehadirannya yang selalu menyemangatiku nak,” desah Prechia.
Kuhampiri nisan Tristan dan berjongkok pelan. Kemudian membelainya dengan lembut seolah ia tengah berada di depanku. ”Aku tahu perasaan itu Prechia. Sepertinya, mulai sekarang kita harus mencoba untuk merelakan mereka.”
Prechia terdiam.
”Aku sangat merindukan Tristan sama halnya seperti kau merindukan sosok Orion. Tapi, masih ada teman teman disekeliling kita. Mereka adalah orang orang baik yang akan ada disampingmu, untuk menyemangatimu dan menolongmu jika kau membutuhkan mereka,” getarku pelan.
Kualihkan pandanganku pada Prechia dengan senyum getir. ”Yang perlu kau lakukan adalah mulai mempercayai mereka dan menjadikan mereka sahabatmu,” desahku pelan. Untuk sesaat terbayang wajah Ness dengan sorot mata emasnya yang lembut.
Prechia mengangguk pelan. ”Tahukah kau, jika kau begitu istimewa nak. Kau telah membuat kami bangga karena memilikimu sebagai seorang sahabat dan ksatria di lembah Crystal,” senyum Prechia padaku.
Kemudian Prechia berjalan pelan kearahku. ”Saat kau berbicara dengan Tristan. Sampaikan salamku padanya,” bisiknya seraya menepuk bahuku pelan.
Kupandangi sosok gemuk yang kini berjalan memunggungiku. Aku tak pernah mengira jika Prechia begitu berduka akan kepergian Orion.
Kutatap tempat pembaringan terakhir Tristan. Angin dingin perlahan bertiup mempermainkan rambutku. Langit semakin jingga, dan kabut mulai turun perlahan lahan.
”Aku mencintaimu Tristan,” desahku menahan rasa sesak didada.
Kucoba untuk menahan emosi diantara airmata yang mulai menetes.
”Tapi aku tidak dapat mengingkari perasaanku pada Ness,” parauku.
Kini airmataku jatuh satu persatu.
”Maafkan aku......” isakku pelan.
 Kunikmati senja itu dengan memandangi rindangnya jajaran cemara diantara kabut yang mulai turun. Kuhembuskan napas penuh kelegaan sambil menatap surya yang mulai tenggelam.
Rasanya sudah lama sekali aku mulai melupakan untuk menikmati diriku sendiri. Menjadi aku yang dulu, seorang gadis kikuk yang hanya melalui hari hari yang sangat biasa dalam hidupnya.
Kutatap langit yang mulai gelap dan mulai menangis sendirian. Tiba tiba saja aku teringat rumahku di Essendra. Teringat masa masa indah bersama ayahku, Arman. Aku sungguh merindukan semua itu, sayangnya aku tidak dapat memutar waktu untuk kembali ke masa itu. Semua itu, kini hanya menjadi kenangan indah. Sama seperti rasa kehilangan yang dialami oleh Prechia.
Rasa kesendirian ini begitu menyedihkan dan membuatku semakin takut. Takut akan rasa kehilangan lagi jika aku kembali memiliki seseorang dalam hidupku. Dan tangisku pecah begitu terbayang wajah Ness dengan sorot mata emasnya yang teduh.
Hatiku terasa pilu karena aku tak sanggup membayangkan pengorbanan yang akan dilakukan Ness pada Arkhataya.
Keesokkan paginya ada sebuah kejutan yang datang dari raja Zordius. Zordius mengundang para ksatria Crystal untuk makan siang bersama seluruh keluarga kerajaan. Meski tak begitu yakin akan maksud baik Zordius tapi perkiraanku tepat. Rupanya, secara pribadi Zordius meminta maaf atas sikap tak bersahabat yang telah ditunjukkan Quilla dua hari yang lalu. Meski tanpa kehadiran Quilla di meja makan namun sikap tulus dari Zordius dan Orelia telah membuat para ksatria Crystal merasa sangat dihargai.
”Sepertinya Zordius tengah mengurung anak manja itu dalam kamarnya,” sungut Brisa puas.
Kuraih cangkir perak di depan hidungku. ”Darimana kau tahu itu?” tanyaku penasaran seraya meneguk isinya perlahan.
”Oggie tak sengaja mendengar percakapan dua orang pelayan istana sewaktu melewati aula pertemuan kemarin,” seringai Brisa.
Kutarik napas perlahan.
”Seharusnya Zordius tidak melakukan hal itu pada Quilla,” bisikku.
Bola mata Brisa berputar. ”Kau seharusnya senang karena Quilla pantas mendapatkan hukuman dari ayahnya itu.”
”Hukuman yang diberikan Zordius hanya membuat Quilla menjadi sakit hati dan semakin tak terkendali,” ucapku tertahan.
”Kau takut dia akan membalas dendam padamu?” sindir Brisa.
Aku menggeleng lemah. ”Bukan itu yang menjadi ketakutanku. Kebenciannya padaku justru akan menghancurkan jiwanya perlahan lahan.”
Sepasang mata Brisa menyipit kearahku. ”Lalu, hal apa yang menjadikan rasa ketakutanmu pada anak manja itu,”
”Quilla memiliki kecenderungan sifat yang sulit berubah. Sikapnya yang angkuh dan sedikit manja ditambah lagi menjadi seorang putri raja sebuah kerajaan peri sehebat Amorilla membuatnya berpikir ia memiliki segalanya dan dapat melakukan apa saja yang dikehendakinya. Quilla satu satunya penerus tahta Zordius di Amorilla. Bayangkan jika ia mengambil alih kepemimpinan dengan sifatnya yang seperti itu. ”
Brisa terdiam.
”Amorilla akan berada diambang kehancuran jika dipimpin oleh Quilla yang begitu pemarah dan hanya mementingkan diri sendiri.” desahku.
”Mengapa kau begitu perduli? Amorilla bukan negrimu?” protes Brisa.
Kuhela napas panjang. ”Kau benar, tapi Amorilla adalah sekutu terbesar lembah Crystal. Jika terjadi perselisihan, hal terburuk yang akan terjadi adalah kedua negri akan saling menghancurkan kekuatan sihir yang dimiliki negri masing masing.”
Kualihkan pandanganku pada Odile yang terlibat pembicaran dengan Prechia dan Zordius.
”Itu benar. Tapi hal itu tidak akan terjadi jika Lembah Crystal dan Amorilla saling menjaga hubungan baik,” sanggah Brisa.
Kulirik Ness yang tengah melamun sambil menyesap secangkir tehnya.
”Mereka tidak bisa membatalkan pertunangan Ness dengan Quilla,” gumamku sendirian.
Brisa memiringkan kepala dan melemparkan pandangan kearah Ness. ”Tentu saja tidak. Merupakan sebuah penghinaan bagi Zordius sekeluarga jika Ness nekat  melakukan itu,” sahut Brisa seenaknya.
Aku terhenyak seketika. Bodohnya aku. Tentu saja mereka tak akan membatalkan pertunangan itu. Meski Ness menolaknya mati matian.
Sekilas kembali teringat ucapan Ness pagi itu sewaktu aku menemuinya tengah duduk termenung menatap kolam kecil disamping taman istana.
”Hanya itu satu satunya jalan merebut kembali lembah Crystal dari tangan Zorca. Aku harus melakukannya untuk penduduk lembah Crystal dan untuk kebaikanku sendiri.”
Tubuhku terasa lemas dan jantungku berhenti berdetak.
Itulah sebabnya mengapa Ness berniat mengorbankan dirinya sebagai raga pengganti Arkhataya. Batinku resah.
Kuletakkan cangkir minumku dengan tangan bergetar.
”Odile meminta Ness untuk bertunangan dengan Quilla. Odile dapat melihat ketakutan di hati Zordius akan perilaku dan sifat buruk putri kesayangannya itu. Zordius dan Odile membutuhkan Ness untuk mendampingi Quilla memimpin Amorilla. Zordius tidak menginginkan Amorilla mengalami kehancuran ditangan Quilla, anak kesayangannya itu sebagai satu satunya penerus tahta Amorilla. Hanya Ness, yang dapat mengendalikan sifat buruk Quilla,” bisikku tertahan.
Brisa tertegun.
Kepalaku terasa berputar. Itulah sebabnya Ness menginginkan sebuah kematian bagi dirinya sendiri. Ness tidak mencintai Quilla. Aku tak pernah mengira jika Ness begitu tertekan selama ini. Batinku dengan perasaan tak karuan.
Dengan kesadaran penuh, aku berdiri dari tempat dudukku dengan wajah tegang menatap Ness dengan galau. Ness meletakkan cangkir tehnya dan balik menatapku dalam meski raut mukanya terlihat bingung.
Sementara seluruh mata yang berada diruang makan ini memandang tepat kearahku. Dengan tergesa Brisa berdiri dan mengangguk hormat pada Zordius. ”Maaf yang mulia raja Zordius. Sepertinya nona Kaz sedang tak enak badan dan berharap yang mulia mengijinkannya kembali ke kamarnya untuk beristirahat,” ucap Brisa sopan seraya meraih tanganku dan memberi isyarat dengan lirikkan matanya.
Aku mengangguk kaku dan membungkuk pelan.
Zordius tersenyum datar. ”Tentu saja. Aku akan mengijinkan kalian meninggalkan ruang makan ini. Pastikan ksatria kita mendapatkan cukup istirahat supaya kesehatannya pulih kembali,” perintahnya datar.
Aku dan Brisa meninggalkan ruang makan istana.
Dengan langkah tergesa kulangkahkan kaki ku tanpa memperdulikan teriakkan Brisa yang meminta penjelasan akan sikap drastisku.
”Dengar Cal. Aku berhak mendapatkan jawaban karena aku telah menyelamatkanmu dari jamuan tadi,” ujar Brisa kesal.
Aku membisu.
”Ayo bicaralah. Apa yang  membuatmu bersikap aneh seperti ini jika menyinggung perihal pertunangan Ness dan Quilla,” sentak Brisa galak.
Kuhela napas perlahan. Aku tak mungkin memberitahukan rencana Ness untuk menyerahkan raganya pada ruh Arkhataya demi keselamatan lembah Crystal dan pelarian dari pertunangannya dengan Quilla.
Brisa mengerutkan dahinya untuk sesaat dan tak membutuhkan waktu lama ia mengerucutkan mulut mungilnya padaku.”Jangan katakan jika kau menyukai Ferin?” tuduhnya dengan sorot mata kesal.
Kukatupkan rahang dan membuang pandanganku dari tatapannya.
”Owhh tidak!” rutuk Brisa.  ”Bukankah aku sudah memperingatkanmu sebelumnya untuk menjauhi Ness?! Ness itu milik Quilla. Seharusnya kau mendengarkanku!” jerit Brisa histeris.
Kupejamkan kedua mataku.
Brisa kini berjalan mondar mandir dan mulai mengoceh tak karuan. ”Aku tahu ada sesuatu diantara kalian berdua. Apakah semuanya terjadi saat Tristan masih ada atau sesudahnya...
Aku tak memperdulikan ucapan Brisa yang bernada omelan. Hatiku terlalu perih membayangkan harus kehilangan sosok Ness yang mulai mengisi kesendirianku.
”Kau hanya mencari masalah jika tak berhenti mendekati Ferin?” nada suara Brisa semakin meninggi.
”Aku lelah Bris. Aku ingin kembali ke kamarku,” desahku pelan meminta ijin.
”Seharusnya kau mendengarkanku Calista,” kali ini nada suara Brisa merendah.
Aku menggeleng resah. ”Maafkan aku Bris. Aku tak ingin membicarakan apapun tentang Ness saat ini,” ujarku seraya beranjak meninggalkan Brisa yang hanya terdiam di tempatnya berdiri.
Pikiranku melayang. Duduk termenung menatap kolam kecil disamping istana. Meski aku tak ingin memikirkan Ness namun hati dan pikiranku penuh dengan bayangan akan sosoknya.
 Teringat kembali sikap lembut dan perhatian yang ditujukannya padaku. Kuraba bibirku perlahan dengan jemari tanganku. Rasanya masih terasa hangat sentuhan bibir indahnya ketika menyentuh bibirku sewaktu dia menciumku dulu.
Apakah dia merasakan apa yang kurasakan saat itu. Tulus kah ucapannya beberapa hari yang lalu ketika ia berjanji pada Prechia akan menjagaku dengan seluruh hidupnya.
Semakin aku memikirkannya semakin terasa perih hati ini. Bagaimana jika aku salah. Mungkin saja Ness hanya mencoba bersikap ramah dan mencoba untuk berteman denganku.
Aku benci hatiku yang rapuh. Begitu lemah dan mudah sekali terjatuh. Dan sekarang aku jatuh cinta pada sosok laki laki yang nasibnya telah ditentukan sebagai kekasih seseorang.
Ness bukan ditakdirkan untukku. Ness ditakdirkan untuk bersama Quilla.
Kutatap kolam kecil didepanku nanar.



Writer : Misaini Indra        
Image from :  www.thinkstockphotos.com

No comments:

Post a Comment