Protected by Copyscape Plagiarism Scanner

Wednesday 9 May 2012

PART II : Calista Kaz “Bangkitnya Sang Naga” (Chapter 5)


5.  PENGORBANAN
           
Sosok punggung kekar yang sangat kukenal, terlihat, tengah duduk dengan menopang dagu. Dari tempatku berdiri aku dapat melihat sepasang mata emasnya terlihat meredup dan ia nampak termenung sambil memandangi cucuran air di kolam kecil yang menetes perlahan.
Ketika menyadari kehadiranku, ia memalingkan wajahnya untuk menatapku. Dan setitik airmata mulai jatuh perlahan di kedua pelupuk mata lelahku ini.
”Jangan lakukan itu Ness,” mohonku parau tak mampu menahan tangis.
Ness tersenyum getir dan berdiri dari tempat duduknya. ”Hebat. Akhirnya kau mengetahui rencanaku,” desahnya samar.
Aku menggeleng kesal seraya menghapus airmata yang membasahi kedua pipiku dengan kasar. ”Kau dengar aku kan! Aku tak akan membiarkanmu menjalankan rencanamu itu untukku,” tukasku dingin.
”Kurasa kau terlalu berlebihan. Aku tidak melakukannya untukmu,” dusta Ness seraya memalingkan wajah dariku.
”Dengarkan aku Ness. Aku tidak mengijinkan kau mengorbankan tubuhmu untuk Arkhataya!” seruku marah.
Kini kami saling bertatapan.
”Hanya itu satu satunya jalan merebut kembali lembah Crystal dari tangan Zorca. Aku harus melakukannya untuk penduduk lembah Crystal dan untuk kebaikanku sendiri,” desah Ness meyakinkanku.
Kugigit bibirku kesal tak memahami maksud ucapannya yang terakhir. ”Kebaikanmu sendiri?”
Ness tersenyum kaku. ”Percayalah padaku.....
Kuhembuskan napas keras dan mencoba menguasai perasaanku. ”Tidak. Ini salah, aku...
”Dengarkan aku Calista. Aku tidak akan benar benar memberikan tubuhku pada Arkhataya tanpa perlawanan,” bujuk Ness dengan suara tertahan.
Kugelengkan kepalaku kuat kuat. ”Jangan lakukan ini padaku.”
Ness terdiam.
”Kita cari rencana lain,” tukasku.
Ness tersenyum hangat dan menggeleng pelan. ”Waktu kita sempit. Dan untuk saat ini, rencanaku adalah yang terbaik yang kita punya,” tegasnya.  
Kubuang pandangan jauh ke depan menghindari sorot matanya.
”Tatap aku Calista..” pinta Ness lembut.
Kupandangi wajah tampannya yang terlihat sendu dengan perasaan kacau.
”Semuanya akan baik baik saja. Kita semua akan kembali ke lembah Crystal dan hidup tenang tanpa gangguan lagi dari mereka,” ucapnya seolah tengah menghibur seorang anak kecil yang telah kehilangan mainannya.
Ucapannya justru membuatku semakin menitikkan air mata. Ness mengusap airmata di pipi kananku dengan lembut. ”Kembalilah ke kamarmu. Udara disini terlalu dingin. Aku tak ingin kakimu membeku nanti,” ujarnya seraya melirik pada kedua kaki telanjangku.
Aku tersadar oleh ucapannya. Kulirik kedua kakiku yang kini mulai membiru dan terasa luar biasa dingin.
”Ness, aku...
Ness menatapku.
Untuk sesaat aku tersipu.
Kubalas tatapannya dengan sedikit canggung. ”Terimakasih telah begitu banyak membantuku,” ujarku tertahan.
Pangeran peri itu hanya menghela napas panjang lalu mengangguk lemah. Kemudian membalikkan badan dan beranjak pergi dari tempat ini. Meninggalkan aku yang masih terpaku menatap punggung kekarnya dengan perasaan kacau.
Setiap kali aku berada dekat dengan Ness. Aku selalu merasakan ini. Perasaan canggung dan tak karuan hingga membuat dadaku sesak. Begitu banyak yang ingin kusampaikan padanya namun tak ada satu ucapan pun yang keluar dari mulutku. Seolah semua kata kata itu menguap seiring dengan kepergiannya dariku.
Aku telah kehilangan Tristan. Dan sekarang aku tak sanggup jika harus kehilangan sosok laki laki yang mulai hadir mengisi kesendirianku.  Aku tidak ingin mengkhianati kenangan Tristan. Karena aku pernah mencintainya. Tapi aku tak dapat memungkiri rasa nyaman yang muncul di hatiku setiap kali Ness berada disisiku. Yang kutahu sekarang aku tak ingin berada jauh dari Ness. Sedikit demi sedikit aku mulai menikmati kebersamaan kami dan segala perhatiannya padaku. Sayangnya, aku tak mempunyai kekuatan untuk mengatakan apa yang kurasakan pada pengeran peri itu.
Siangnya Prechia mengadakan pertemuan dengan para ksatria lembah Crystal di aula pertemuan istana Amorilla. Shenai, Helena dan Brisa terlihat duduk tenang di kursi masing masing sementara Titus terlihat merenung seolah ada yang tengah dipikirkan olehnya. Kulirik Ness yang duduk disampingku dengan wajah tegang. Tidak sedikit pun sepasang matanya menatapku. Namun dari hembusan napasnya aku dapat merasakan beban berat yang sama kurasakan karena telah menutupi kebenaran akan kebangkitan sang naga.
”Calistaaa!” panggil Oggie riang dari arah pintu masuk.
Dengan rasa terkejut bercampur haru aku berdiri dan menghampiri Oggie. Kami berpelukkan untuk sesaat.
”Sukurlah kau baik baik saja Ogg,” ucapku haru.
Sepasang mata biru kehijauan terangnya menyorot ramah. ”Ya, berkat perawatan dan ramuan obat penyembuh dari Piphylia,” tawa Oggie seraya menggoyangkan rambut pirang keritingnya yang terlihat mulai panjang.
”Selamat Calista! akhirnya kau berhasil membangunkan naga itu untuk keselamatan lembah Crystal,” suara Darren yang tertahan memotong pembicaraan kami.
Aku mengangguk pelan. Untuk sekilas kulemparkan pandangan kearah pintu keluar dimana wajah sinis yang sangat kukenal tengah menatap kearahku. Kulemparkan senyum tulus pada Cleo yang membalas ragu dengan senyum kakunya.
”Kalian tinggal dimana selama ini?” tanyaku pada Oggie penasaran.
Oggie tersenyum. ”Kami tidak seistimewa kau dan Ness,” kelakarnya sambil tertawa riang.
”Selain mengemban misi, kami juga tinggal di penampungan sepanjang hutan Sphronia. Aku, Darren, Cleo, Agnes dan beberapa ksatria lembah Crystal yang lain, selama ini membantu penduduk untuk membangun pondok pondok kecil sebagai pemukiman sementara. Tinggal ditengah tengah mereka sekaligus menjaga keamanan penduduk lembah Crystal yang tengah dilanda ketakutan,” ujar Oggie menjelaskan.
Hatiku teriris.
”Aku menyesal tidak dapat bergabung dengan kalian,” ucapku tulus.
Oggie menggeleng. ”Tidak ada yang perlu disesalkan. Kau memiliki misi yang jauh lebih berat dan berbahaya.”
”Apakah akhir akhir ini Ferin sering melamun seperti itu,” bisik Darren ditelingaku seraya mengalihkan pandangannya kepada Ness yang terlihat tengah terpaku.
Aku hanya menghela napas perlahan.
”Sebaiknya kau kembali duduk disamping manusia aneh separuh peri itu. Hanya kau satu satunya yang bisa membuatnya tertawa,” goda Darren seraya tersenyum.
Perkataan Daren membuat wajahku semakin memanas. Apakah dia mengetahui sesuatu tentang perasaan yang mulai terjalin diantara kami.
”Sebaiknya kalian segera duduk. Pertemuan ini akan segera dimulai,” ujar Brisa ketus seraya menghampiri kami yang masih berdiri dan tengah terlibat perbincangan.
”Ayolah Bris, jangan bersikap menyebalkan seperti itu,” sungut Darren kesal.
”Kau tahu Dar, keterlambatan kalian membuat kami semua menunggu,” tukas Brisa lagi dengan nada kesal. Kini sepasang mata birunya mengarah padaku. ”Dan kau, kembalilah ke tempat dudukmu. Kau dan Oggie bisa melepas rindu selepas pertemuan ini,” perintahnya seraya berlalu dari hadapan aku dan Oggie.
Kugigit bibir bawahku menahan kesal.
Sementara Oggie terlihat menggelengkan kepalanya dan tersenyum sendirian. ”Itulah salah satu penyebab laki laki di setiap sudut lembah Crystal enggan mendekati Brisa.”
Kulirik Brisa yang kembali duduk disamping Titus. Titus terlihat sangat canggung dan tersenyum kaku ketika Brisa menyapanya.
”Kurasa kau salah Ogg. Sepertinya, ada seseorang yang sangat perduli pada si penggerutu itu,” gumamku seraya menyunggingkan seulas senyum tanpa melepaskan pandangan pada Brisa dan Titus yang kini terlibat pembicaraan serius.
Oggie melirik kearah Brisa dan Titus. Seketika itu juga Oggie tertawa begitu mendengar ucapanku. ”Kau pasti bergurau. Kami menyebut master Titus seorang pertapa karena sikapnya yang dingin pada wanita. Lagipula Brisa bukanlah gadis yang tepat untuknya,” geleng Oggie menahan tawa.
”Lihat saja nanti,” kerlingku seraya berlalu meninggalkan Oggie yang kembali tersenyum geli.
Pertemuan yang dihadiri oleh seluruh ksatria lembah Crystal yang tersisa terasa begitu mengharukan. Prechia, Shenai dan Helena mengatur strategi pertahanan untuk membantu Amorilla apabila Zorca dan para pengikutnya melakukan serangan mendadak nanti.
Cahaya keriangan terpancar dari wajah Prechia yang terlihat bersemangat berbicara ditengah ruangan pada kami semua. Kupalingkan wajah kearah Ness dan mendapati laki laki tersebut tengah tenggelam dalam lamunan.
”Apa yang tengah kau pikirkan?” bisikku pelan.
Ness tersadar dan menoleh kearahku. ”Kau dan naga jelek mu itu, pastinya,” desahnya pelan diiringi senyumannya yang menawan.
”Sudah kuduga,” ujarku kesal karena ia menggodaku tanpa memperdulikan kekhawatiranku padanya.
Senyum samar kembali terlihat disudut bibirnya. ”Kau terlihat sangat tegang?” sindir Ness pelan.
Kutarik napas perlahan dan membuang pandangan ke depan. ”Siapa yang tidak? hadir dalam pertemuan ini dan berpura pura semuanya akan membaik dengan kebangkitan sang naga yang dipercaya dapat menolong kita semua dari kehancuran yang dibuat Zorca,” bisikku marah.
Ness tertawa pelan. Untuk sesaat beberapa pasang mata menatap kearah kami termasuk Prechia yang tengah memberi pengarahan.
”Ada yang ingin kau sampaikan tuan Ferin?” tanya Prechia.
Ness menggeleng. ”Tidak Prechia. Maafkan aku, kau bisa melanjutkan pengarahanmu,” sahut Ness pelan seraya mengangguk sopan.
Prechia membalas anggukkan Ness dan kembali melanjutkan ucapannya di depan para ksatria lembah Crystal yang berada di aula ini.
”Kita tidak bisa menyembunyikan kebenaran pada mereka,” bisikku bernada penekanan.
”Aku tahu. Aku hanya ingin memastikan jika rencanaku harus berjalan dengan baik hingga kita tidak perlu memberitahu mereka akan hal yang sebenarnya,” ujarnya datar.
Kutatap Ness dengan geram.
Sementara Ness hanya menatap lurus ke depan mencoba mendengarkan pengarahan dari Prechia seolah tak memperdulikan kegeramanku.
”Ketika ruh Arkhataya masuk ke dalam ragaku. Berjanjilah kau akan membunuhku jika aku tak bisa mengendalikannya nanti,” pinta Ness datar.
Aku terkesiap. Jantungku serasa berhenti berdenyut untuk beberapa saat.
”Tidak Ness. Aku tidak akan melakukannya. Membunuhmu bukanlah jalan keluar untuk menyingkirkan ruh Arkhataya selamanya,” tukasku setengah berbisik.
Ness terdiam.
”Aku akan mencari cara untuk menyingkirkan ruh Arkhataya dan mengembalikannya ke neraka,” gumamku tertahan.
”Jika kau gagal? Tidak ada jalan lain Calista. Kau harus menidurkan ruhnya kembali dalam ragaku dan menghancurkan tubuhku,” tukas Ness kesal.
Kini seluruh mata menatap kearah kami.
”Ada yang ingin kalian sampaikan disini,” kembali suara Prechia terdengar menunggu jawaban kami dengan tak sabar.
Kutahan napasku. Kulirik sekilas senyum samar yang tergambar disudut bibir Ness.
”Tidak Prechia, maafkan kami,” gelengku pelan.
Prechia mengamati wajahku dari tempatnya berdiri dengan wajah bingung. ”Kau terlihat sangat pucat hari ini. Kau baik baik saja Calista?”
”Nona Kaz memang sedang tidak enak badan sejak tiba kembali di Amorilla, Prechia. Jika anda tidak keberatan aku akan mengantar ia kembali ke kamarnya untuk beristirahat,” ujar Ness seraya beranjak dari tempat duduknya.
 Kutatap wajahnya yang terlihat tenang dan datar itu dengan sedikit gusar.
”Baiklah. Kau mendapatkan ijinku Ferin,” ucap Prechia dengan raut cemas di wajah gemuknya.
Ness mengulurkan sebelah tangannya padaku. Kusambut dengan kaku. Lalu Ness menarik tanganku dengan cepat untuk beranjak dari tempat dudukku dan melangkah tergesa meninggalkan ruangan pertemuan ini.
Rasa kesal yang tertahan pun meledak menjadi amarah begitu kami telah berada cukup jauh dari ruangan pertemuan. Kutatap Ness dengan luapan emosi di dada.
”Permintaanmu tadi sangat menggelikan!” ucapku kasar.
”Hanya itu satu satunya cara untuk melenyapkan ruh Arkhataya,” sahut Ness tertahan.
”Tidak. kita akan pikirkan cara lain. Kau dengar! Kita harus meminta pertolongan Prechia dan ksatria lainnya,” parauku seraya menatap laki laki yang telah membuat separuh hatiku terobati rasa kehilangan ini dengan pilu.
”Melibatkan banyak orang hanya akan membuat kita semakin kehilangan teman. Hanya kita berdua yang dapat menghancurkan makhluk itu.”
Kubuang pandanganku jauh ke depan menghindari tatapannya.”Ini tidak adil,” desahku menahan tangis.
Ness memegang bahuku dan membalikkan tubuhku perlahan. Kini ia menatapku dengan lembut. ”Berjanjilah padaku kau akan melakukannya,” sepasang mata emas itu terlihat berharap dengan wajah cemas.
Permintaannya benar benar melukai perasaanku. Kucoba mengusap airmata yang perlahan mengalir dari sudut mataku. Rasanya aku tak sanggup jika harus kehilangan lagi seseorang yang mulai mengisi separuh hatiku yang telah mati karena kepergian Tristan.
”Apa yang kau minta dari gadis penyihir itu hingga membuatnya menangis seperti itu Ness?” tukas Quilla dengan nada tinggi.
Putri kesayangan Zordius itu duduk diatas kuda putih yang gagah, menatap kearah aku dan Ness dengan tatapan dingin. Wajah cantiknya terlihat tegang dan membeku.
”Berpikirlah tentang hal lain,” bisik Ness padaku.
Kutatap wajah Ness bingung. Sementara itu Quilla terlihat turun dari kuda tunggangannya dan berjalan perlahan menuju kearah kami.
Ness menatap Quilla dengan datar.  ”Bukanlah suatu hal penting dan berhubungan dengan anda, yang mulia,” ucap Ness sopan seraya menganggukkan kepalanya.
”Hentikan omong kosongmu itu Ness!” tukas Quilla kasar.
Kini tatapan Quilla beralih padaku. Meski putri peri itu terlihat luar biasa cantik dan mengagumkan namun dimataku Quilla terlihat begitu menakutkan. Ditambah lagi dengan raut wajahnya yang dingin dengan pandangan meremehkan.
”Sepertinya kebangkitan Arkhataya justru membawa kesusahan hati, bagimu,” sindirnya sinis.
Aku tersentak. Kini aku mengerti maksud ucapan Ness. Quilla dapat membaca pikiran seseorang.
Dengan cepat aku mencoba memikirkan hal lain. Sayangnya yang ada dikepalaku kini hanyalah sosok Ness yang lembut dan penuh perhatian yang selalu menjagaku sepeninggal Tristan dari sisiku.
Wajah Quilla berubah garang dan terlihat marah.
Aku sudah memperingatkanmu jika Ness Ferin adalah milikku, penyihir sial
Lengking Quilla ditelingaku. 
Kututup kedua telingaku menahan lengkingannya yang menyakitkan.
Pertunangan kami belum selesai. Sampai kapan pun, Ness Ferinn tetap milikkuuu...
”Kumohon hentikannn....! teriakku seraya jatuh berlutut menutupi kedua gendang telingaku yang rasanya mau pecah.
Seketika itu juga Ness berlutut dan memelukku.
Sepasang mata emasnya menatap Quilla dengan marah. ”Hentikan Quillaa!!” teriak Ness keras.
Tawa Quilla melengking tinggi. Terdengar menakutkan dan membuat bulu bulu halusku meremang.
”Apa yang terjadi disini?” suara Brisa terdengar cemas seraya menghampiri aku dan Ness yang masih berlutut.
Sekilas kulihat Darren, Oggie, Agnes dan Cleo berdiri dari kejauhan menatap kearah kami dengan bingung.
Kini Quila menyapukan seluruh pandangan kearah kami satu persatu.
”Lihat baik baik pewaris pusaka Arkhataya itu!!!” seru Quilla lantang.
Semua mata tertuju padanya.
”Kalian benar benar membuatku tertawa telah menggantungkan seluruh harapan akan kembalinya negri kalian padanya.”
”Meski kau putri Zordius, kau tidak berhak berkata hal yang tak pantas terhadap Calista!” lengking Brisa seraya maju dan menatap Quilla dengan marah.
Sepasang mata abu abu terang Quilla berubah menjadi gelap dan wajahnya terlihat garang. Tiba tiba saja Brisa memegangi lehernya dengan napas tersengal sengal.
”Hentikan Quilla!” teriak Ness marah seraya berdiri dari sisiku.
”BRISAAA!!!” teriak Oggie dan Darren berbarengan, mereka terlihat berlari menghampiri kami.
”AKULAH PUTRI ZORDIUS RAJA AMORILLAA!! AKU AKAN MENGHUKUMMU KARENA MENENTANGKU!!” raung Quilla dengan suara parau dan berat.
Tubuh Brisa terangkat perlahan ke udara. Wajah Brisa nampak pucat dan napasnya terdengar payah.
”Apa yang dia lakukan?! teriak Agnes panik.
Dengan cepat dan tanpa pikir panjang Cleo menyarangkan pukulan jarak jauh dengan kekuatan telekinetisnya. Sayangnya Quilla bukanlah lawan yang sepadan baginya. Quilla telah membaca pikiran Cleo terlebih dahulu dan mematahkan serangannya dengan melemparkan jepit rambut perak dari kepalanya yang langsung menghujam bahu gadis kekar tersebut hingga roboh ke tanah bersamaan dengan tubuh lemas Brisa yang tertelungkup jatuh ke tanah.
Bahu Cleo teriris dan mengeluarkan darah segar. Wajah gadis tersebut terlihat pucat menahan sakit sementara Brisa tak sadarkan diri.
Ness menarik lengan Quilla dengan kasar. ”Kau tak pantas menjadi seorang putri untuk negri apapun dengan sikapmu yang seperti ini!!” tukasnya dingin.
Quilla tertawa lantang kemudian menatap dingin kearah Ness.
”Aku akan memastikan jika kau dan penyihir itu tidak akan pernah bersama,” serunya marah seraya menepis cengkraman tangan Ness dan berbalik menuju kuda tunggangannya.
Dengan lincah Quilla melompat keatas kuda putih tunggangannya dan berteriak kencang memerintahkan kuda tersebut membawanya pergi dari tempat ini dengan berlari cepat.
Wajah Ness terlihat sedikit pucat. Namun dengan cepat ia menguasai diri dan melihat keadaan Brisa.
Ness meletakkan telapak tangannya di kening Brisa dan menyalurkan energi cahaya untuk menyadarkan Brisa. Sepasang mata biru itu kini membuka perlahan dan menatap Ness. ”Dia membuatku tak dapat bernapas,” gumam Brisa mencoba bangun dari pembaringannya.
Ness tersenyum lega. ”Sukurlah kau tidak apa apa Bris. Ogg bawa Brisa kembali ke kamarnya. Biar aku lihat keadaan nona Maltese!” hembusnya kencang berusaha menguasai diri.
”Bawalah Calista bersamamu!” ujar Ness pelan seraya menatapku cemas.
”Tentu saja!” lirik Oggie kearahku.
Aku hanya dapat mengangguk lemas dan membantu Oggie memapah Brisa pergi meninggalkan tempat ini.
Sekilas kulirik Darren yang telah memegangi Cleo didampingi Agnes terlihat resah. ”Bisakah kau sembuhkan dia, Ness?” tanya Darren lirih.
Sementara Cleo terlihat merintih kesakitan.
”Tentu saja. Lukanya bersih,” sahut Ness pelan.
Ness terlihat kembali meletakkan telapak tangannya disekeliling bahu Cleo yang terluka. Sementara aku hanya dapat melihat dari jauh dengan perasaan sedih melihat keadaan Cleo yang merintih kesakitan.
Pikiranku melayang mengingat kajadian tadi. Kekuatan Quilla benar benar menakutkan. Dan kemarahannya di picu hanya karena aku tak sengaja memikirkan Ness, laki laki pujaannya.
”Lepaskan aku. Aku bisa berjalan sendiri!” ujar Brisa dengan nada kesal.
Aku dan Oggie melepaskan pegangan kami dari bahu Brisa.
”Lain kali aku akan menghajar gadis bengal itu dengan hujaman es ku,’ gerutu Brisa seraya berjalan mendahului kami.
Oggie tersenyum geli sementara aku hanya diam membisu.
”Jika kau melakukan itu, Zordius akan mengusir kita semua dari Amorilla, Bris,” sahut Oggie sambil menggaruk rambut keritingnya.
”Akuu tak perdulii. Aku akan menghancurkan dia dalam duel jika aku memiliki kesempatan lagi!” Teriak Brisa kesal.
”Baiklah. Baiklah ....” sahut Oggie mengalah.
Kini sepasang mata biru langit Brisa menatapku tajam. ”Dan kauu...
Kutatap Brisa bingung.
”Seharusnya kau membela harga dirimu dan menghajar Quilla dengan sihir anginmu itu!” bentak Brisa melampiaskan kemarahannya padaku.
Aku hanya membisu dan terdiam mendengarkan gerutuan Brisa.
”Hari ini benar benar menyebalkan!!” seru Brisa kesal seraya berbalik dan berjalan mendahului kami.
”Kurasa otak Brisa menjadi kacau akibat serangan Quilla tadi,” bisik Oggie pelan.
Kuhembuskan napas kencang dan menatap Oggie kecut.
Brisa benar. Quilla telah menghancurkan harga diriku. Dia benar benar membuatku berpikir jika aku memang tak pantas menjadi harapan bagi para rakyat lembah Crystal untuk mengembalikan kembali tanah leluhur mereka dari cengkraman Zorca.
Kini kepercayaan diriku kembali jatuh dan melemah.

Writer : Misaini Indra        

No comments:

Post a Comment