Protected by Copyscape Plagiarism Scanner

Tuesday 2 August 2011

Calista Kaz "Penyihir Naga Arkhataya" (Chapter 7)


7. SEBUAH MISI PENYELAMATAN

          Sungguh menyenangkan. Kekakuan Chaides yang bersikeras tak mau melewati keramaian ternyata berujung pada keberuntunganku. Sepanjang perjalanan, kami sama sekali tidak menemukan hutan ataupun bukit berbatu. Melainkan jalan utama menuju sebuah tempat yang sudah sangat kukenal. Senyum lebar menghiasi wajahku. Kunikmati jalan utama ini dalam setiap langkahku. Perjalanan ke utara membuat kami harus berbalik kembali kesebuah tempat yang sangat kurindukan yaitu rumah.
          Kutatap papan sederhana di pintu masuk desa yang tidak terjaga. Suasana di desa Essendra terlihat tenang. Chaides nampak menyapukan pandangan kesekeliling dengan tatapan waspada. Sementara kami mengikuti langkah langkah pendeknya dari belakang.
Amara menyikut lenganku. Kuanggukkan kepalaku dengan gerakan perlahan, aku tak ingin Chaides mencurigaiku. Karena sepanjang perjalanan ini diam diam Amara mengajariku mantra pemanggil. Mantra ini memiliki kekuatan untuk memanggil semua jenis binatang untuk mengalihkan perhatian musuh sekaligus memberi perintah penyerangan.  
Kuhafalkan dalam hati dan berkonsentrasi penuh untuk merapalkannya. Amara menyarankan aku untuk memanggil sesuatu yang lebih kecil seperti kupu kupu agar tidak menarik perhatian Chaides dan Tristan.
Sayangnya, aku selalu gagal.
Dengan kesal kutendang kerikil kerikil kecil sebagai pelampiasanku. Meski kecewa namun langkah langkah kami yang telah memasuki pusat desa Essendra cukup menghiburku. Berharap saja ada keajaiban untukku disana.
Tristan yang telah mengetahui rasa antusiasku terlihat sedikit resah. Dari sorot matanya, seolah ia ingin memberitahuku jika kami takkan berhenti di Essendra. Sepertinya ia ingin mengingatkanku untuk melupakan rumah.
”Aku lelah. Bisakah kita berhenti di sini,” cetus Amara menatap galak kearah Chaides.
”Bagaimana jika aku tak mau. Apakah kau akan menyerangku lagi?” sindir Chaides santai.
”Mungkin saja!” lengking Amara lantang.
Chaides mengalihkan pandangannya kearah Tristan seraya melirikku. ”Apakah kekasihmu itu masih kuat jika kita meneruskan perjalanan ini?”
Belum sempat Tristan menjawab pertanyaan Chaides segera kulontarkan ucapanku yang paling pedas pada laki laki cebol itu. ”Jika kau menginginkan aku mati kelelahan terlebih dahulu sebelum Rufus membunuhku, kurasa aku tak keberatan,” raungku gusar.
Chaides tertawa keras keras.
Tristan menahan napas dan menatapku dengan ekspresi wajah yang sulit kutebak.
”Kekasihmu ini memang pintar bicara ya. Baiklah kita istirahat sebentar di desa kecil ini. Sepertinya tidak terlalu berbahaya. Tapi ingat aku takkan mengampuni kalian jika kalian membuat masalah, sedikit saja,” tegas Chaides sambil membetulkan topinya.
Jantungku berdetak cepat. Kutatap Amara penuh semangat, tak bisa menutupi perasaan senangku.
”Jangan melakukan hal yang bodoh,” bisik Tristan mengingatkanku.
Kuputuskan untuk tidak mendebatnya dan hanya melirik tajam dengan ekor mataku.
”Aku tak yakin dapat membantumu jika kau bermasalah lagi dengan Chaides,”  bisiknya lagi tapi kali ini terdengar lebih lembut dikupingku.
Sikapnya yang dingin dan mencair tiba tiba terkadang membuatku sedikit ragu untuk mempercayai perasaannya padaku. Sungguh suatu sifat yang bertentangan dengan Ness yang selalu terlihat tenang dan datar.
Namun, tetap saja keduanya terlihat sama dimataku. Dua orang laki laki yang berkepribadian rumit yang tak dapat kupahami. Dua buah misteri hati yang sama sekali tak dapat kupecahkan.
”Calista, bukankah sekarang waktu yang tepat untukmu mencoba mantra pemanggil yang telah kuajarkan,” seringai Amara setengah berbisik membuyarkan lamunanku.
Aku baru tersadar jika kini hanya ada aku dan Amara tengah berdiri disini.
”Chaides dan Tristan tengah pergi untuk mencari penginapan,” bisik Amara lagi.
Kutatap sekelilingku. Sepertinya posisi kami cukup aman dan tersembunyi karena dikelilingi pohon cemara.
”Baiklah,” sahutku mantap seraya menatap wajah gemuk Amara yang tengah menyeringai kearahku.
Kuhembuskan napas perlahan dan mencoba untuk berkonsentrasi. ”Untuk semua yang terbang dan melayang, dengarlah bisikku berdendang, datanglah padaku sekarang.....”
Hening.
Tak ada apa pun.
Hanya desiran angin dingin menembus kulitku.
”Cobalah sekali lagi,” ujar Amara menghiburku.
Kurapalkan mantra tersebut sekali lagi dengan konsentrasi penuh.  
Namun hasilnya tetap sama.
Tidak ada yang terjadi.
Dengan kesal kuhentakkan kakiku dan duduk ditanah.
Amara menatapku dalam. ”Berpikirlah sesuatu yang membahagiakan nak. Mungkin itu akan sedikit membantu,” sarannya.
Amara benar. Kurasa, terlalu banyak kesedihan mengendap diotakku. Brisa pernah mengingatkanku tentang hal ini sebelumnya. Kutatap Amara lagi, kali ini dengan penuh keyakinan. ”Aku akan mencobanya lagi,” gumamku.
”Bagus. Sekarang pikirkanlah sesuatu yang menyenangkan. Rapalkan kembali mantra itu dan juga pikirkan tentang kupu kupu..,” seringai Amara.
Kulakukan semua perintahnya.
Dari semua kenangan menyenangkan yang pernah kualami ternyata bukan kenangan akan kebersamaanku dengan ayahku, Arman. Akan tetapi kenangan menyenangkan saat aku menyusuri jalan setapak yang menuju hutan Voswood untuk sekedar melepas rasa penat dan menikmati sejuknya udara lembap dari tetes embun padang rumput halus yang melingkar dengan bunganya yang melambai lambai tertiup angin semilir. Rasa tenang dan damai yang kurasakan ketika berada di dalam hutan Voswood yang hijau dan teduh. 
Kupejamkan kedua mataku dan membayangkan bunga bunga liar beraneka ragam dengan warna warni yang cerah beserta kupu kupu yang melayang layang hinggap diatas kuntumnya. Tidak hanya satu namun beberapa kupu kupu kini melayang terbang kesana kemari. Dengan setengah berbisik kembali kurapalkan mantra panggil itu sepenuh hatiku.
 ”Untuk semua yang terbang dan melayang, dengarlah bisikku berdendang, datanglah padaku sekarang.....”
Kembali hening tak ada suara.
”Untuk semua yang terbang dan melayang, dengarlah bisikku berdendang, datanglah padaku sekarang.....”
Desiran angin terasa semakin dingin menembus kulitku. Dan tiba tiba saja kurasakan sesuatu bergerak gerak disekeliling rambutku seolah olah tengah mengelitikku dan kemudian berpindah untuk kembali menggelitik wajahku.
”Buka matamu Calista! Cepat bukalah..,” seru Amara tak sabar.
Seketika itu kubuka lebar lebar kedua mataku.
Sungguh menakjubkan.
Entah datang darimana, serombongan kupu kupu beraneka ragam dengan sayapnya yang indah berwarna warni terbang mengelilingku.
”Aku berhasil Amara!” pekikku kegirangan diantara puluhan kupu kupu yang sibuk mengelilingiku.
”Sekarang tataplah lurus lurus jalan setapak dihadapanmu. Perintahkan mereka untuk terbang kesana dengan kedua matamu seraya merapalkan mantra pemanggil dalam hatimu,”  perintah Amara.
Kembali kuturuti perintahnya.
Sekarang puluhan kupu kupu tersebut terbang melayang beriringan menuju jalan setapak dihadapanku. Kutatap kepergian makhluk makhluk kecil itu hingga hilang diujung jalan seolah masih tak percaya.
”Selamat nak. Kau telah lulus pelajaran sihir pertamamu,” ujar Amara dengan nada tulus hingga membuatku sedikit terharu.
”Terimakasih Amara. Kau telah mengajarkan salah satu sihirmu padaku. Semua ini sangat berarti untukku,” pelukku senang.
Amara terkikik riang seolah ikut merasakan kebahagianku. ”Dengar aku Calista, jika kau ingin memanggil binatang lain yang merangkak, berjalan ataupun yang melata yang perlu kau lakukan hanya mengganti kata pertamanya saja. Dan jika kau inginkan mereka untuk menjadi senjatamu. Kau harus menatap musuhmu lekat lekat dan perintahkan mereka menyerang tanpa ragu.”
Kutatap balik Amara dengan ragu. ”Amara jika Rufus tahu kau mengajarkan sihirmu padaku. Kau pasti akan berada dalam kesulitan.”
”Kurasa aku harus mengambil resiko itu,” hela Amara pelan.
”Tapi bagaimana jika ia marah dan melakukan sesuatu yang buruk padamu,” nada suaraku menjadi cemas.
”Aku hanya akan bersikap seperti orang bodoh di depannya hingga ia kesal setengah mati. Lalu berharap, semoga ia menunda kematianku,” kikiknya geli mencoba untuk menutupi perasaannya.
Suara teriakan Tristan yang memanggil kami memotong pembicaraan kami. Ada rasa gundah dihatiku kala menatap punggung besar Amara yang tengah berjalan di depanku.
Kami menyusuri keramaian desa Essendra dengan waspada. Tristan memegangi tanganku erat untuk menjaga segala kemungkinan buruk yang mungkin terjadi. Dia pasti sudah gila jika berpikir aku akan melarikan diri darinya.
Kutatap nanar kios pengasah batu milik tuan Farrow tempat dimana ayahku pernah bekerja. Tempat itu masih sama seperti dulu. Saat kulayangkan pandangan kearah kios bahan makanan tempat kejadian mengerikan dimana aku kehilangan ayahku, dengan cepat kutundukkan wajahku dalam dalam.
Jemari Tristan menelusuri jemariku dengan lembut. Menguncinya dalam sebuah genggaman erat seolah mencoba mengatakan jika ia memahami perasaanku.
”Aku tak sanggup melihat tempat ini,” bisikku sedikit marah.
Tristan menghela napas dan melepaskan jemarinya untuk memeluk bahuku. Kurasakan sedikit kehangatan yang menenangkan dari pelukannya itu.
Chaides memutuskan untuk bermalam disebuah penginapan diujung perbatasan desa dekat pinggiran hutan Voswood.  Ada getir didadaku. Luka di hatiku kembali terasa perih. Melihat hutan kecil Voswood mengingatkanku pada rumah kami yang kini tak berpenghuni dan juga tempat peristirahatan terakhir ayahku, Arman.
Sepanjang perjalanan menuju desa Essendra, aku tak merasakan keanehan sedikit pun namun ketika memasuki penginapan kecil ini ada sedikit keresahan menggelayutiku. Aku merasa seolah olah seseorang tengah mengikuti kami.
Tristan mengantar aku dan Amara ke sebuah kamar sempit dan memintaku membersihkan diri sebelum makan malam. Tubuhku terasa segar kembali setelah membasuh diri. Perjalanan yang melelahkan ini benar benar menguras pikiran dan tenagaku.
Desiran angin dingin yang berhembus di kisi kisi jendela kamar membuat tengkukku meremang. Kuamati jendela kayu yang agak berdebu dari tempatku berdiri. Aku merasa ada sepasang mata yang tengah mengamatiku. Kembali bulu bulu halus ditengkukku meremang. Rasa takut mulai menyelimutiku. Teguran Amara membuatku tersadar. Dengan tak sabar ia menyeret lenganku untuk pergi ke ruang makan.
Sesampainya diruang makan yang kecil itu dengan rakus Amara mulai menyantap makanan yang tersedia tanpa rasa malu. Aku begitu mual melihat selera makannya yang mengerikan. Amara menaruh piring yang berisi sepotong ayam panggang di depan hidungku. ”Makan ini. Kau terlihat pucat dan sangat kurus,” cengir Amara.
Aku hanya memandangi isi piring itu tanpa selera.
”Bisakah kau ambilkan jus plum itu untukku,” pintaku sopan pada Amara yang tengah sibuk menyantap makan malamnya.
Diletakkannya gelas yang berisi jus plum dengan sedikit kasar di depan hidungku. Isinya sedikit bertumpahan diatas meja dan percikannya sedikit mengenai lengan bajuku.
Aku meminumnya sedikit sedikit. Rasa segar membasahi kerongkonganku yang sedari tadi terasa kering. Ketika kutaruh gelas milikku diatas meja makan, sebuah ledakan menyambar meja makan kami hingga berantakan. Aku menjerit kencang. Jantungku seketika berhenti berdetak sementara Amara yang sejak tadi sibuk mengunyah tiba tiba saja sudah tersungkur dari kursinya dan terbaring di lantai dalam keadaan kaku dan tak bergerak.
Semua pengunjung penginapan yang berada diruang makan ini berlarian keluar karena ketakutan. Sementara Amara terlihat marah dan memandang kesekelilingnya seraya mengeluarkan makian dan sumpah serapah pada penyerang gelap yang telah melancarkan mantra pelumpuh tubuh padanya.
Rasa takut mulai menyelimutiku.
Kukatupkan rahangku rapat rapat dan hanya terpaku menatap Amara yang memanggil manggil namaku dan menyuruhku pergi mencari Tristan.
Aku hanya menutup wajahku dengan kedua telapak tangan dan terduduk lemas di lantai. Kurasakan kehadiran seseorang dihadapanku. Kuberanikan diri untuk membuka mata dan mendongakkan kepala untuk menatap sosok di depanku itu.
Seorang laki laki berwajah tirus, dengan perawakannya yang tinggi kurus menatapku dengan wajah sedih. Kedua matanya yang cekung menatapku dalam seolah memberi perintah untuk duduk tenang dan tak bersuara.
Amara kembali berteriak memperingatkan untuk tidak memperdulikan bisikannya. Namun pengaruh laki laki kurus berjubah coklat lusuh itu sangat kuat. Ia semakin dalam menatapku. ”Jangan takut Calista. Aku datang untuk menolongmu,” bisiknya pelan.
          Dia tahu namaku. Batinku resah.
Pandanganku terasa hampa. Dan aku juga telah terbius oleh ucapannya.
Diluar dugaan aku melihat kembali sosok yang sudah begitu akrab di kehidupanku akhir akhir ini. Sosok tinggi langsing dengan rambut hitamnya yang kecoklatan. Ia muncul dari balik punggung laki laki kurus berwajah sedih. Sepasang mata coklat keemasannya menatapku penuh kelegaan.
          ”Sukurlah kau masih hidup, Kaz..” ucapnya lembut.
Tak percaya kupandangi lekat lekat wajah tampan yang elegan itu. Raut mukanya masih sama seperti yang terakhir kuingat. Begitu tenang dan datar dengan pesonanya yang sulit untuk ditepiskan. ”Bangunlah. Kita harus segera pergi dari sini,” disorongkan tangan kanannya yang kokoh tepat di depan hidungku.
Aku hanya terduduk lemas di lantai menatap sepasang mata emasnya yang teduh. Laki laki berwajah sedih disampingnya nampak tak sabar. ”Kita tidak punya banyak waktu Ness. Tristan pasti telah mengetahui kedatangan kita!” serunya lagi.
Tak ingin membuang waktu. Ness menarik tubuhku ke dalam pelukannya lalu menggendongku dipundaknya. ”Tunjukkan jalan keluarnya, Titus!” seru Ness sementara aku hanya terdiam pasrah.
Laki laki berwajah sedih yang mengenakan jubah lusuh berwarna coklat menganggukkan kepalanya dan menunjuk pintu keluar.
”Tidak secepat itu Ferinnn!!” teriak Tristan berang seraya melontarkan mantra untuk menjatuhkan Ness. Tapi dengan lincah Ness berhasil menghindarinya.
Kini Tristan berdiri dihadapan Ness dan Titus dengan tatapan dingin.
Ness menurunkan aku dari pundaknya lalu memeluk pinggangku erat. Aku dapat melihat sorot mata ungu Tristan yang berkilat marah menatap tajam kearah Ness.
”Sepertinya kau masih belum dapat mengendalikan emosimu itu, Readick...” sindir Ness halus.
Tristan tersenyum sinis. Ditatapnya Ness dan Titus bergantian. ”Kalian tidak akan bisa meninggalkan tempat ini dengan mudah!” raung Tristan geram.
”Belum terlambat untuk memperbaiki semua yang telah kau lakukan Tristan,” sela Titus mengingatkan.
Tristan tergelak. ”Cara berpikirmu itu sangat lugu sekali Titus,” ujarnya melecehkan.
”Berhentilah berbasa basi dan cepat lepaskan aku dari mantra sialan ini, Tristannn!” lengking Amara berteriak marah.
Diliriknya Amara yang masih tergeletak di lantai tak bergerak.
Sepasang mata ungu Tristan berkilat marah menatap tajam kearah Ness. ”Dizzante!” teriak Tristan seraya mengarahkan serangan sihirnya kearah Ness yang masih memelukku.
Ness menarik tubuhku dan berusaha menghindar namun terlambat, asap hitam menggelung tubuh kami dengan cepat. Tubuh kami berputar putar di udara. Jeritan suaraku tertelan gemuruh gulungan asap hitam buatan Tristan. Ness hanya dapat memelukku erat seolah mencoba untuk menenangkanku. Usahanya tak berhasil karena aku terus menerus menjerit ketakutan.
”Folloness..!” tangan kiri Titus mengarah ke bahu Tristan.
Seketika itu juga, tubuh Tristan langsung terdorong kencang menabrak kursi makan. Bersamaan dengan tubuhku dan Ness yang terhempas jatuh ke lantai. Kurasakan sakit luar biasa di punggungku. Titus menghampiriku dan membantuku berdiri. Sementara Ness terlihat tak bergerak.
”Berdiri Ness! Kita harus segera pergi dari sini!” teriak  Titus panik seraya menopang bahuku.
Ness bangun dengan susah payah. Begitu pula dengan Tristan yang juga telah menguasai diri dan kini berdiri tegak dihadapan kami.
”Kau tak apa apa!” gusar Ness melirik kearahku.
Aku hanya mengangguk lemah.
”Bawa dia keluar dari sini Titus!” pinta Ness dingin.
Titus nampak kebingungan. Ditatapnya Ness dengan ragu.
”Kubilang bawa dia pergi dari sini. Biar aku yang menghadapi Tristan!” seru Ness kesal.
Dengan cepat Titus merangkulku dan menyeret tubuhku yang masih lemas. Kucoba untuk menahan rasa sakit disekujur tubuh dan berjalan tegar mengikuti langkah langkahnya meski kedua kakiku terasa nyeri.
Sayangnya, sosok laki laki cebol dengan topi bulat berwarna hitam telah berdiri menghalangi langkah kami menuju pintu keluar. Dengan tenang Chaides membenarkan letak topi di kepalanya.
Kutatap wajah Chaides yang tengah tersenyum dengan panik.
”Ahh, para ksatria dari lembah Crystal rupanya...”  sapa Chaides ramah.
Seketika itu juga aku dan Titus menghentikan langkah.
”Sepertinya wajahmu tak asing. Apakah aku mengenalmu?” sepasang mata hijau terang Chaides menatap Titus penasaran.
Titus tersenyum kecut. ”Menyingkirlah atau aku akan menghabisimu,” gusarnya masih dalam posisi menopang tubuhku dengan tangan kirinya.
”Kau tahu, ucapanmu itu benar benar lancang dan sangat mengancam padahal aku telah bersikap sopan padamu...” gumam Chaides geram karena Titus tidak menggubris pertanyaannya.
Kini Chaides mengangkat kedua tangannya tinggi tinggi.
Kulirik Titus dengan gugup. ”Kita harus berlindung atau ia akan membekukan kita dengan gumpalan airnya yang sangat dingin,” bisikku lemas pada Titus.
Titus menatapku bingung. ”Maksudmu...laki laki cebol itu menguasai sihir air?”
Aku mengangguk lemah. ”Sihirnya sangat hebat,” sahutku tegang berusaha mengingatkannya.
Tapi semua sudah terlambat. Belum sempat Titus menyeret langkah kami untuk mencari perlindungan Chaides telah membisikkan sebuah mantra dan dengan cepat mengayunkan kedua tangannya kearah kami. Seketika itu juga butiran butiran air mengalir keluar dari jemarinya.
Tubuh rapuhku kembali terhempas menghantam meja makan sementara Titus terpelanting jatuh diatas tumpukkan kursi yang beberapa sudah terlihat rusak dan patah akibat terkena serangan serangan Ness yang kini tengah berduel dengan Tristan.
 Dadaku terasa penuh dengan air. Aku tersedak dan terbatuk batuk. Rasa dingin yang luar biasa kurasakan disekujur tubuhku yang memang sudah kesakitan sejak tadi. Persendianku terasa ngilu. Seketika itu juga aku menggigil kedinginan.
Titus nampak tak bergerak. Dengan senyum penuh kemenangan Chaides berjalan menghampiriku seraya berdendang. Setelah jarak kami hanya tinggal beberapa langkah saja, Titus kini berdiri dan meneriakkan mantra balasan kearah Chaides yang nampak sangat terkejut.
Terdengar suara gemuruh yang kencang berbarengan dengan keluarnya kumparan angin dari kedua tangan Titus yang mengarah ke Chaides. Kumparan angin puyuh itu berputar cepat dan menyapu tubuh Chaides hingga menabrak dinding ruangan. Tubuh kecil Chaides jatuh tertelungkup tak bergerak.
Dengan susah payah Titus menghampiri aku yang kini terduduk di lantai ruangan sambil memeluk kedua kakiku dan menggigil kedinginan.
”Kkau bisa berdiri...” gemeletuk Titus dengan wajah tirusnya yang terlihat basah dan sangat pucat.
”Aakkan ...kkkuuccoobaa...” sahutku seraya menggigil menahan kebekuan.
Kembali Titus membantuku berdiri namun sepuluh langkah dari hadapan kami, Chaides juga tengah bersusah payah untuk bangun. Setelah berdiri tegak, sepasang mata hijaunya menatap geram kearah kami.
Aku menelan ludah dan menatap Titus resah. ”Chaides tidak akan menyerah. Itu bukan sifatnya.”
Titus mengernyitkan dahinya yang sempit. ”Tunggu disini, aku segera kembali,” ujarnya tak yakin.
Aku hanya dapat mengangguk lemah.
Titus berjalan tegar beberapa langkah di depanku.
”Menyerahlah dan serahkan anak itu, kawan!” seru Chaides dengan senyum getir.
Wajah tirus Titus terlihat tegang. Ditatapnya Chaides dengan sedih. ”Maaf, tapi aku tidak bisa melakukannya.”
Airmuka Chaides berubah masam. Diayunkan tangan kanannya itu dengan sekuat tenaga kearah Titus berdiri. ”Aquarishh!” teriak Chaides lantang.
Butiran butiran air sekepalan tangan kembali meluncur keluar dari telapak tangannya dan melayang cepat kearah Titus yang nampaknya sudah siap menyambut serangan Chaides.
Titus memutar kedua tangannya dengan cepat seraya merapalkan mantra. Dari kedua tangannya yang berputar terbentuk angin puyuh yang meliuk liuk dan menyambar gumpalan air Chaides, lalu menggelungnya dengan cepat hingga gumpalan besar air dingin itu sekarang berbalik menyerang kearah Chaides, yang langsung menghindar dengan lincah.
Serangan sihir angin Titus pun meleset dan mengenai jendela kayu yang langsung hancur berantakan dan basah terkena cipratan gumpalan air dingin yang pecah dalam gulungan sihir anginnya.
Tak ingin membiarkan musuhnya lolos, Chaides terus melancarkan sihir airnya kearah Titus. Gumpalan air kembali melayang tepat kearah Titus berdiri. Dengan cepat Titus berlari kearahku dan menarik lenganku untuk merunduk agar terhindar dari serangan sihir air Chaides.
Aku terpekik ketakutan dan jatuh tertelungkup disamping Titus.
”Kau baik baik saja, Calista!” teriak Titus cemas seraya meraih tubuhku untuk membangunkanku.
”Yah ya.. kurasa begitu  ... ” sahutku gugup, mencoba untuk bangun dan duduk.
Kupegangi kedua lenganku yang terlihat memar dan terasa sakit luar biasa. Sebuah sentuhan lembut tangan seseorang diatas bahuku, memaksaku untuk membalikkan seluruh tubuhku kehadapannya. Sepasang mata coklat terang keemasan menatapku dengan penuh kecemasan. ”Kita harus segera pergi dari tempat ini,” suara Ness terdengar begitu lembut dan terasa menenangkan dikupingku.
Kubalas tatapannya nanar. ”Dimana Tristan?” tanyaku ragu.
Ness melayangkan pandangan kearah Tristan yang tengah terbaring pingsan tak jauh dari tempat kami.
”Sepertinya ia terluka parah...” desah Ness ragu.
”Tidak.. tidak...” gelengku parau seraya berdiri dan berusaha mendekati tempat dimana Tristan terbaring namun kedua tangan kokoh Ness telah terlebih dulu menahanku.
”Aku ingin melihat keadaannya,” mohonku pada Ness.
Wajah tampan itu menatapku dengan sedikit bingung.
”Bawa dia pergi dari sini, Ness!” seru Titus mengejutkan kami.
Ness mengangguk. Lalu kembali menatapku. Wajah tampannya kembali tenang dan datar tapi tidak dengan Titus yang terlihat tegang ketika menatap Chaides yang tengah bersiap siap melancarkan serangan sihirnya lagi.
”Sihir anginmu tidak buruk, kawan. Selama ini belum pernah ada yang bisa menahan serangan sihir air ku sebelumnya,” senyum Chaides getir.
Titus tak bergeming. Begitu pula dengan Ness. Sementara aku melirik cemas kearah Tristan yang masih terbaring pingsan.
”Ness biarkan aku melihat keadaannya,” bisikku, kembali memohon.
Raut wajah Ness yang tenang terlihat sedikit terganggu dengan rengekkanku. ”Untuk apa?” tanyanya datar.
”Tristan tidak seburuk perkiraanku. Ia banyak membantuku selama ini. Aku harus melihat keadaannya. Tolonglah Ness,” seruku dengan nada tinggi berusaha meyakinkannya.
”Tidak!” tolak Ness tegas seraya berdiri menghalangi langkahku.
Kudorong Ness dengan sekuat tenaga namun sia sia. Dengan cepat Ness memegangi kedua tanganku, meraih tubuh rapuhku dan merengkuhku dalam pelukkannya. Ditatapnya wajahku dengan sepasang mata emasnya yang menawan.
Kuatur napas perlahan untuk menguasai perasaanku. ”Lepaskan aku atau....”
”Atau apa?” air muka Ness terlihat begitu tenang dan datar. Mata emasnya menatapku tak berkedip.
”Kau tahu Ness, sikapmu ini sangat tidak menyenangkan. Dan aku sangat tidak menyukainya, sekarang!” teriakku kesal.
”Ohh benarkah...” sahutnya tak mau kalah.
Kedua mataku berkilat marah menatap wajah tampannya yang masih terlihat tenang seolah tengah mempermainkanku.
”Baiklah. Asal kau tahu saja. Aku takkan pergi dari sini tanpa Tristan,” geramku seraya berusaha melepaskan diri dari pelukkannya.
Ness mendekatkan wajahnya pada wajahku. Aku dapat mencium napasnya yang wangi dan melihat garis wajahnya yang sempurna. Begitu halus dan lembut.
Kurasakan kedua pipiku terasa hangat. Bentuk wajah si pangeran peri ini terlalu sempurna dan sangat menawan. Aku bahkan tak sanggup menolak pesonanya. Ketika tersadar dengan cepat kupalingkan wajahku dari tatapan mata emasnya yang terlihat indah dari jarak sedekat ini. Segaris senyum samar terlukis disudut bibirnya yang indah.
”Sepertinya kau sudah sedikit tenang,” sindir Ness lembut dengan nada suara yang sengaja menggodaku.
Kupingku terasa panas.
”Dan sepertinya kau sangat menyukaiku mengingat betapa eratnya kau memelukku dan tak mau melepaskanku..” sahutku sinis membalas ucapannya.
”Sepertinya begitu..” ucapnya datar.
Keterlaluan. Dalam situasi seperti ini masih saja ia berusaha mempermainkan perasaanku.
”Katakan padaku, Ness. Apakah nama Quilla mengingatkanmu pada sesuatu?” cetusku dengan nada tinggi.
Airmuka Ness berubah untuk sesaat. Namun dengan cepat ia dapat menguasai diri dan kembali mempertahankan raut wajahnya yang tenang.
”Bisa kubayangkan betapa kecewanya putri peri itu jika melihat kekasihnya tengah memelukku seperti ini,” sindirku tajam dengan nada kemenangan seraya mengamati  raut wajahnya.
Sepasang mata emas Ness justru semakin menatapku dalam. ”Kurasa Brisa terlalu banyak bicara,” sesalnya datar tanpa berusaha melepaskan pandangannya dariku.
Wajahku memanas.
Kuberanikan diri untuk terus menatap sepasang matanya dan menyipitkan pandanganku padanya.
Akhirnya Ness mengalah.
Ia mengendurkan pelukannya perlahan. Seketika itu juga aku menghambur kearah Tristan yang tengah terbaring pingsan.
”Calistaa..” lengking Amara memanggilku. Tubuhnya masih terbaring kaku terkena mantra pelumpuh dekat meja makan tempat dimana kami tadi duduk.
Dengan cepat Ness meloncat dan berdiri disampingku, bersikap melindungi. Amara menatap geram kearah Ness.
”Apa yang diinginkan penyihir wanita itu padamu,” selidik Ness seraya melayangkan pandangannya pada Amara.
”Biarkan saja. Dia sudah tak berdaya,” perintahku pada Ness.
”Hatimu benar benar mulia..” gumam Ness mengejekku.
Aku tak memperdulikan ucapannya. ”Maafkan aku Amara, aku tak dapat menolongmu,” sesalku.
Amara hanya tersenyum kecut. ”Selamatkan saja Tristan. Sepertinya ia terluka parah,” ujarnya lirih.
Keadaan Tristan memang parah. Tubuhnya membeku. Aku bahkan dapat melihat darah segar masih tersisa dari bibirnya yang mulai membiru. Kuraih kedua tangannya yang sedingin es. ”Sebenarnya apa yang telah  terjadi padanya,” tanyaku kebingungan. Kulirik Ness dengan ekor mataku.
”Sebelum ia sempat bangun untuk membalas seranganku, sihir temannya itu telah menghantamnya begitu keras hingga ia jadi membeku seperti itu,” ujar Ness datar seraya melayangkan pandangan kearah Chaides.
Kulirik Chaides yang masih berduel dengan Titus. Nampaknya duel mereka seri. Karena baik Titus atau Chaides masih tegak berdiri meski mereka mulai terlihat kelelahan.
”Ini kesempatan kita Calista. Titus tidak dapat bertahan lama. Kita harus segera pergi dari sini..” ingat Ness padaku.
Aku menggeleng lemah. ”Tidak tanpa Tristan,” ujarku keras kepala.
”Rasanya akan sangat sulit membawanya pergi bersama kita dalam keadaan beku seperti itu,” alis mata Ness terangkat satu seraya menatapku kesal.
”Kumohon Ness. Aku harus membawanya ke lembah Crystal bersamaku. Masih ada harapan untuknya,” gusarku.
Ness menatap ragu kesungguhan di wajahku.
”Percayalah padaku. Aku berhutang padanya,” sengauku putus asa.
Sepasang mata emas itu kini nampak resah. Wajah tampannya yang biasa tenang dan datar kini sedikit berkerut. Menunjukkan jika ia tak setuju dengan permintaanku. ”Aku tak ingin kau menyesal akan keinginanmu ini, nanti,” desah Ness mengingatkan.
”Aku tahu itu. Dan aku sendiri yang akan meminta Orion untuk mengampuninya,” serakku putus asa.
Ness memalingkan wajahnya kearah Titus yang berjuang menahan gumpalan gumpalan air Chaides dengan angin puyuh buatannya. Aku dapat merasakan angin yang cukup besar mulai memporak porandakan tempat ini dan membuat seluruh isi ruangan ini bergetar hebat.
Ness berjongkok untuk melindungiku dari angin kencang yang telah bercampur dengan percikan air dingin dan membasahi seluruh wajahku. ”Sepertinya Titus butuh pertolongan. Aku segera kembali,” dengan cepat Ness melompat dan menghilang dari sisiku.
Kembali, kutatap wajah tampan Tristan yang sedikit membiru. Suhu tubuhnya masih sama. Beku sedingin es. Dadaku berdebar cepat. Tiba tiba saja aku merasa takut akan kehilangan sosoknya.
”Calista, gunakan sihir yang kuajarkan padamu,” lengking Amara mengejutkanku.
”Kurasa aku tak sanggup melakukannya,” rengekku seperti seorang pengecut.
Amara menatapku lembut. ”Kau pasti bisa, nak. Hanya itu satu satunya jalan keluar untuk melepaskan diri dari Chaides.”
”Tapi.. sihir Chaides terlalu kuat, Amara. Tempat ini saja sudah mulai hancur dan tergenang air,” parauku kesal sendiri.
”Itulah sebabnya aku menyuruhmu melakukan mantra pemanggil itu. Karena aku juga tak mau mati tenggelam ditempat kotor ini!!” teriak Amara tak kalah kesal.
Kutatap Amara ragu.
”Dengarkan aku dan mulailah berkonsentrasi memikirkan tikus tikus parit yang besar besar,” lengking Amara padaku.
Kutatap Amara dengan jijik. ”Tikus ...” protesku.
Amara malah terkikik geli. ”Chaides benci tikus. Jadi, segera panggil mereka untuk menyerang Chaides supaya kau bisa pergi dengan temen temanmu itu ke lembah Crystal.”
Kutatap Amara dengan haru.
”Selamatkan jiwamu dari Rufus, nak” wajah gemuk tersebut terlihat tulus ketika menatapku.
Kuanggukkan kepalaku tanda persetujuan. ”Baiklah akan aku lakukan. Tapi maafkan aku karena tidak bisa menolongmu saat ini,” sesalku.
”Jangan perdulikan aku. Aku akan hidup. Percayalah,” seringainya memamerkan deretan giginya yang runcing.
Kupejamkan kedua mata dan mulai membayangkan tikus tikus parit yang besar besar. Meski ada rasa jijik namun aku harus melakukannya. Sebuah kursi terlempar tepat disampingku dan mengenai bahu kananku. Aku mengerang kesakitan menahan rasa nyeri yang tak tertahankan, dan memecahkan konsentrasiku.
”Ayo coba lagi. Kau pasti bisa,” lengking Amara membimbingku.
Kuanggukkan kepalaku seraya melirik kearah Titus dan Ness yang mulai kewalahan menghadapi hempasan hempasan air yang membekukan dari Chaides.
Aku kembali berkonsentrasi membayangkan tikus besar yang keluar dari parit parit. Tikus itu nampak mengendus ngendus dan membaui sekelilingnya. Kini binatang itu berlari cepat dan memasuki ruang makan di penginapan ini. Begitu dilihatnya banyak makanan yang jatuh berserakan bercampur dengan genangan air, makhluk itu nampak mencicit senang.
Kubisikkan mantra pemanggil itu sekali lagi dan kini kubayangkan puluhan tikus dari jenis yang sama keluar dari lubang, selokan dan parit untuk berlari ke tempat dimana aku berada. Dengan mantap kubuka kedua mataku dan melihat puluhan tikus berlomba lomba masuk dari pintu ruang makan.
Chaides nampak terkejut dan berteriak marah. Begitupula dengan Titus dan Ness yang sama terkejutnya dengan Chaides. Amara terkikik geli seolah puas melihat reaksi Chaides.
Dengan marah kutatap Chaides. Dan kubisikkan kembali mantra pemanggil dan memerintahkan puluhan tikus tikus besar tadi untuk menyerang Chaides. Seketika itu juga puluhan tikus tikus tadi melompat ke tubuh Chaides dan mencakar cakar wajah dan tubuh laki laki cebol itu.
Chaides nampak kewalahan. Berusaha menghalau serangan tikus tikus tersebut dengan butiran butiran air dinginnya yang membekukan. Beberapa diantaranya langsung mati membeku.
Karena tak ingin memberinya kesempatan kembali kubayangkan puluhan tikus tikus besar untuk datang dan menyerangnya. Puluhan tikus tikus besar kini kembali datang bergabung untuk menyerang Chaides lebih ganas sesuai perintahku.
”Ness!” panggilku kencang seraya menatapnya penuh harap.
Dengan sigap Ness menghampiriku dan memanggul Tristan dibahunya. Sementara Titus hanya menatapku dan Ness bergantiaan.
”Aku sudah siap pergi dari sini,” ujarku pada Titus yang masih terlihat bingung melihat Ness yang tengah memanggul Tristan dibahunya.
Kualihkan pandanganku pada Amara.”Terimakasih untuk semuanya Amara,” ucapku tulus.
”Semoga beruntung nak. Kau memang ditakdirkan untuk menjadi seorang penyihir hebat,” seringainya seolah mengucapkan salam perpisahannya.
Kualihkan pandanganku pada Titus. ”Tolong bebaskan temanku dari mantra pelumpuh mu, Titus.. ” pintaku dengan suara memohon.
”Temanmu?? Tapi ...” Titus menatap ragu kearah Amara yang masih terbaring tak berdaya  dibawah pengaruh sihir pelumpuh.
”Percayalah padaku...lakukan saja permintaanku supaya kita segera pergi dari tempat ini,” desakku tak sabar.
Titus mengalah.
Akhirnya, Amara terbebas dari mantra pelumpuh Titus dan hanya diam terpaku menatap kepergian kami dari tempatnya berdiri.
Dengan cepat aku dan Titus bergerak meninggalkan tempat ini. Menyusul Ness yang telah berjalan terlebih dahulu di depan kami sambil membawa Tristan dibahunya.
Sementara itu Chaides terlihat sibuk menghalau serangan tikus tikus ganas yang tak terkendali itu. Sesekali ia beteriak teriak marah dan memaki puluhan tikus tikus yang menyerangnya itu.
Bahkan saat kami sudah berada diluar dan melihat puluhan pasang mata yang menatap kearah kami dengan penasaran karena keributan yang telah kami buat dirumah penginapan ini, aku masih dapat mendengar lengkingan keras suara tawa Amara yang terdengar puas karena telah berhasil membalas perlakuan Chaides padanya, lewat mantra sihir yang kurapalkan.

Genre : Novel Fantasy Romance
Writer : Misaini Indra

No comments:

Post a Comment