Protected by Copyscape Plagiarism Scanner

Tuesday 9 August 2011

Calista Kaz "Penyihir Naga Arkhataya" (Chapter 8)

8. PERTENGKARAN DI BUKIT FORESSE

Sepasang mata ungu itu mulai membuka perlahan. Wajah tampannya yang pucat nampak terkejut begitu mendapatiku bersama Ness dan Titus yang tengah memandanginya. Tristan berusaha untuk bangun dari tempatnya berbaring namun dengan cepat kutahan tubuhnya untuk tetap berada disana.
”Kau terluka cukup parah,” ingatku padanya. 
Tak memperdulikan ucapanku, Tristan memaksakan diri untuk duduk dan melirik kearah Ness dan Titus dengan marah. ”Apa yang terjadi? Dimana Chaides dan Amara?” bisiknya dikupingku namun sepasang mata ungunya tetap waspada mengawasi Ness dan Titus.
”Entahlah. Mungkin masih berada di Essendra atau dalam perjalanan kemari untuk menolongmu,” ujarku pelan sambil meliriknya takut takut.

Tristan menatapku bingung seolah meminta penjelasan.

”Serangan sihir air Chaides yang ditujukan pada Titus secara tak sengaja mengenaimu. Kau tak sadarkan diri dan terluka,”  ujarku berusaha menjelaskan kejadian yang menimpanya.

”Dan sekarang mereka menawanku?” sahutnya geram.

Sepasang mata emas Ness terlihat mengawasi kami.

Wajah resah Tristan nampak semakin geram.

Sementara Titus yang sedari tadi diam perlahan menjauhi kami dan duduk di pinggiran sungai Olyms seraya membuang pandangannya jauh ke dalam hutan kecil di depan kami.

Kutatap Tristan dengan keraguan. ”Akulah yang meminta mereka untuk membawamu kembali ke lembah Crystal,” bisikku pelan.

”Apa kau sudah gila!!” teriak Tristan marah seraya bangkit dari duduknya lalu menatapku tajam.

”Aku tak bisa meninggalkanmu terluka parah seperti itu. Kau hampir mati disana,” sanggahku gugup berusaha untuk meraih tangannya.

Dengan kasar Tristan menepisnya dan berbalik memunggungiku. ”Aku takkan perduli jika aku harus mati saat itu juga asal tidak menjadi tawanan seperti ini dan kembali ke lembah sial itu!” nada suara Tristan masih terdengar tinggi.

Kutatap punggung Tristan dengan perasaan tak karuan.

Dia benar benar keras kepala. Batinku resah.

”Apakah kau bersungguh sungguh dengan ucapanmu barusan,” ucapku pelan.

Tristan hanya diam tak menyahutiku.

Ness berjalan kearahku. ”Seharusnya kita tak perlu membawanya,” ucapnya dengan sengaja dikupingku seraya berlalu meninggalkan kami.

Seketika itu juga Tristan berbalik dan menatap sinis kearah Ness yang tak begitu memperdulikan reaksi kemarahannya.

Kupandangi wajah beku Tristan dengan kesal. ”Kau tahu. Sudah tiga hari ini kau tak sadarkan diri selama perjalanan kita melewati kota Hordos. Titus tak pernah mengeluh memanggulmu dipundaknya atas permintaanku. Dan Ness berusaha sekuat tenaganya untuk menyembuhkan lukamu. Sementara aku tak pernah benar benar terlelap dalam tidurku hanya untuk merawatmu dan memastikan kau masih bernapas...” sengalku marah.

”Tapi aku tidak pernah meminta semua itu,” potong Tristan sinis.

Kutatap wajah angkuh itu dengan kekecewaan yang mendalam.

”Mengapa kau tidak membiarkan saja kematian menjemputku, Calista!” raung Tristan lagi mencoba untuk menguji kesabaranku.

Kualihkan pandanganku dari tatapan sinisnya yang terluka.

Dengan geram Tristan meninjukan tangan kanannya ke salah satu dahan pohon disamping kami hingga bergetar. ”Mengapa kau melakukan hal yang sangat bodoh dan mempermalukan diriku seperti ini,” kata katanya begitu keras dan terdengar sangat menyudutkanku.

”Aku hanya mencoba untuk menyelamatkanmu...” bisikku pelan, mencoba untuk menahan jatuhnya butiran hangat dari kelopak mataku yang mulai memanas.

Tristan menghela napas panjang. Kutatap sepasang mata ungunya yang mulai meredup. Namun Tristan membuang tatapannya seakan tak ingin melihatku.



”Setibanya di lembah Crystal nanti, aku akan meminta Orion Xander untuk mengampunimu,” tekadku dengan suara parau.

Sepasang mata ungu itu menatapku galau. ”Sepertinya kau telah merencanakan semua ini untukku ya.”

Kubuang pandanganku dari tatapan matanya yang dingin. Ucapannya membuatku malu karena semua itu benar.

Tristan tersenyum tipis. ”Tatap aku Calista,” bisik Tristan lembut.

Kuberanikan diri menatap matanya yang terlihat lelah dan menyorot dalam.  

”Terimakasih untuk semua kesalahan yang telah kau buat untukku, tapi aku lebih memilih mati daripada kembali ke lembah Crystal,” ucapannya benar benar menusuk dan meninggalkan lubang dihatiku.

”Kuharap kalian sudah selesai bicara. Karena kita akan meneruskan perjalanan ke bukit Foresse,” ujar Ness mengingatkan seraya bersedekap menatap kami.

Kutatap wajah Ness yang terlihat bercahaya dibawah sinar matahari.

”Sebaiknya kita tidak perlu terburu buru meneruskan perjalanan ini mengingat keadaan Tristan yang baru saja pulih,” sahutku galau, kedua ekor mataku melirik sekilas kearah Tristan karena masih mencemaskan keadaannya.

”Aku baik baik saja,” sahut Tristan dingin.

Airmuka Ness terlihat tenang dan datar. Sepasang mata emasnya menatapku tajam. ”Ia tanggung jawabmu sekarang,” liriknya malas kearah Tristan. ”Tapi aku akan mengawasi kalian berdua.”

”Sepertinya, Quilla telah membuatmu semakin percaya diri dengan kekuatan antingnya itu,” sindir Tristan parau menantang Ness.

Segaris senyum sinis tersamar dari bibir Ness. ”Aku membiarkanmu hidup karena permintaan Calista,” tukas Ness dingin.

”Tak perlu menunggu. Sekarang pun aku siap menghadapimu!” seru Tristan marah.

”Kau sudah kalah. Dan berada dalam penahanan kami ke lembah Crystal. Terimalah kekalahanmu itu dengan besar hati Readick,” balas Ness tajam dengan airmukanya yang berubah kaku dan menunjukkan rasa ketidak senangannya pada Tristan.

Tristan tertawa sinis. Kemudian sepasang mata ungunya menatap tajam kearah Ness yang hanya mengamatinya tak berkedip.

”Ada masalah?” tanya Titus yang tiba tiba saja sudah berada dihadapan kami dengan wajah was was.

”Tidak ada, Titus. Kami baru saja bersiap siap untuk meneruskan perjalanan,” sahut Ness datar seolah tak terjadi apa apa.

”Waktu kita terbatas. Sebaiknya kita segera meninggalkan tempat ini sebelum senja,” Titus menatap kami satu persatu.

”Bagaimana keadaanmu Tristan. Sudah merasa lebih baik,” tanya Titus mencoba memberi perhatian.

Dengan angkuh Tristan menatap Titus lantang. ”Tak perlu perdulikan aku.”

Titus terdiam.

Kuhampiri Titus dan menatap sepasang mata cekungnya yang terlihat sedih. ”Kurasa keadaannya sudah semakin membaik Titus...” sahutku mencoba mencairkan suasana.

Airmuka Titus berubah cerah. ”Bagus. Sepertinya kekuatan cahaya Ness perlahan lahan membuat ia pulih kembali,” lirik Titus pada Tristan yang membuang pandangannya jauh jauh dengan kesal karena ucapannya.

Ada sedikit rasa bersalah dibenakku sewaktu melihat sikap dingin Tristan. Sementara, kulihat senyum kemenangan mengembang di sudut bibir Ness yang tersamar.

Sepanjang perjalanan menuju bukit Foresse, Tristan hanya membisu. Berkali kali ia memegangi dadanya seolah menahan rasa sakit. Dan setiap kali kuulurkan tanganku untuk membantunya berjalan ia selalu menolakku dengan raut wajah kaku.

 Akhirnya kami tiba di sebuah hamparan bukit berbunga dengan beraneka warnanya yang cerah. Udara dingin yang sejuk menyapu kulitku dengan lembut. Titus tersenyum riang dan mengatakan padaku jika kita telah tiba di bukit Foresse.

Kupandangi bukit Foresse yang terlihat indah berlatar belakang warna jingga kemerahan diambang senja itu dengan penuh kekaguman.

Kami terus melangkah menyusuri jalan utama. Tanpa sadar, aku semakin terbius oleh suasana disekililing jalan yang ditumbuhi ilalang liar yang meliuk liuk tertiup angin seolah olah tengah menari, menyambut kehadiran kami.

Berbeda sekali dengan pemandangan dipinggiran kota ataupun daerah pemukiman pertambangan yang pernah kulalui. Rumah rumah penduduk yang bermukim sepanjang bukit ini bernuansa kehijauan dan sedikit kekuningan dengan adanya bunga bunga matahari yang berjejer lantang menghadap kemilau temaram matahari senja disepanjang jalan utama bukit ini.

”Tempat ini indah sekali. Seperti dalam dongeng saja,” gumamku terpesona.

Ness melirikku. ”Itu benar. Tapi apapun yang tengah kau pikirkan tentang bukit ini. Cobalah untuk tidak terbawa suasana disini,” bisik Ness pelan.

Kutatap Ness penuh tanda tanya.

Ness menghela napas. ”Kita hanya akan singgah semalam disini. Aku tak ingin kau terlalu menyukai tempat ini.”

”Kurasa itu sulit untuk tidak kulakukan mengingat tempat ini begitu mempesonaku,” protesku pelan.

”Itulah salah satu keahlian mereka untuk mempengaruhi pikiran pikiran kita,” ucap Ness datar sebelum akhirnya berjalan mendahuluiku dan meninggalkan beberapa pertanyaan dibenakku.

Tristan yang sedari tadi hanya membisu mulai menjajari langkahku dan mengenggam tanganku perlahan. Sepasang mata ungunya terlihat mengawasi punggung Ness dari belakang lalu menatapku resah. ”Apa yang kalian bicarakan?” tanyanya dingin.

”Bukan sesuatu yang penting. Hanya mengagumi keindahan bukit ini,” sahutku kikuk.

”Menjauhlah darinya Calista,” bisik Tristan dengan airmuka tegang.

Kulirik Tristan dengan ekor mataku.

”Kau milikku. Dan aku takkan membiarkan si brengsek itu menyentuh apa pun yang sudah menjadi milikku,” ujar Tristan penuh penekanan. Ada nada kecemburuan yang kutangkap dari nada suaranya.

Dadaku berdesir hebat. Kurasakan genggaman tangan Tristan semakin erat mengunci jemariku. Kulirik Tristan kembali dengan sedikit malu malu. Airmukanya terlihat dingin dan wajahnya tampannya hanya menatap lurus lurus ke depan.

”Kita telah memasuki desa bukit Foresse. Cobalah untuk tidak bertatapan langsung dengan mata mereka,” ujar Tristan mengingatkanku.

”Boleh kutahu mengapa,” bisikku tegang. Seraya melayangkan pandangan ke sekeliling dan mendapati beberapa orang yang nampak memperhatikan kedatangan kami dengan raut wajah penasaran.

”Hampir seluruh penduduk bukit ini memiliki kekuatan ilusi. Mereka tidak berbahaya. Hanya saja memiliki keahlian tinggi mengendalikan pikiran seseorang hanya dengan bertatapan mata. Mereka tidak begitu menyukai orang asing. Itulah sebabnya mereka selalu mempengaruhi pikiran siapapun yang singgah ke desa ini dengan perasaan yang sekarang kau rasakan. Semata mata untuk melindungi bahaya yang mengacam desa mereka,” ujar Tristan menjelaskan.

Hipnotis. Kini aku mengerti maksud perkataan Ness.

”Beberapa orang penduduk desa ini, bahkan ada yang memiliki kekuatan meramal masa depan,” ujar Tristan pelan seraya menyapukan pandangannya kesekeliling kami dengan cemas begitu melihat penduduk desa ini begitu antusias menatap kami satu persatu.

Kucoba membuang pandanganku dari tatapan mereka. Kemudian kulirik Tristan sekilas. ”Lalu apa yang kau risaukan. Ness bilang kita hanya singgah semalam saja disini,” tukasku mencoba untuk menenangkannya.

Tristan tersenyum dingin. Wajah tampannya yang sedari tadi resah kini lebih sedikit bersahabat.

”Tidak. Kau benar, tak ada yang perlu kita cemaskan. Hanya saja mereka benci para penyihir,” sahut Tristan spontan.

Penjelasannya membuatku terperangah. Begitu melihat raut wajahku yang sedikit tegang, Tristan kembali mempererat genggaman tangannya.

”Tenang saja. Bukit Foresse adalah salah satu sekutu Lembah Crystal,” ujarnya lagi mencoba untuk menenangkanku.

Kuhembuskan napas lega. ”Bagaimana kau bisa tahu begitu banyak tentang bukit ini,” desahku.

Ditatapnya kedua mataku tak berkedip. Airmukanya kali ini terlihat lebih bersahabat. ”Kau lupa ya jika aku pernah menjadi salah satu ksatria sihir di lembah Crystal.”

Aku tersipu malu menyadari kebodohanku.

Dari kejauhan nampak beberapa orang mulai berbisik dan menatap kearah kami terang terangan. Titus dan Ness terus berjalan dan tak memperdulikan semua itu. Sementara aku dan Tristan hanya mengikuti langkah langkah mereka dari belakang.

Kami tiba disebuah penginapan sederhana yang bernuansa hijau. Penginapan ini terlihat nyaman dan asri. Berbagai macam bunga dari berbagai jenis menghiasi sekeliling penginapan ini. Sesaat, aku teringat akan kota Willow yang begitu teduh dan hijau dengan deretan pohon cemara yang tumbuh teratur di sepanjang jalan utamanya. Hanya saja kota Willow tidak ditumbuhi terlalu banyak bunga bunga liar seperti desa ini.

Seorang laki laki tua menyambut kami dengan ramah. Dengan cepat ia memberikan dua kamar untuk kami. Sebuah kamar ukuran yang besar untuk Ness, Titus dan Tristan dan satu lagi sebuah kamar yang lebih kecil untukku.

Menjelang makan malam tak ada satu pun dari kami yang berbicara. Tristan duduk membeku dikursinya. Titus terlihat sibuk mengunyah makanan sementara Ness masih dengan gaya khasnya yang tenang dan datar duduk termenung sambil menyesap teh hangatnya.

Berulang kali Titus mencuri pandang kearahku seolah ada yang ingin disampaikannya. Ketika aku berbalik menatapnya, wajah Titus yang sedih itu nampak tersenyum gugup dan mengalihkan pandangannya kembali ke piring makan yang ada di depannya.

Kualihkan pandanganku kearah Ness. ”Bisakah kau tuangkan segelas teh yang sama untukku,” pintaku ramah.

Ness hanya menatapku datar dan tak berkedip. Sepertinya ia tak menyangka jika aku akan meminta suatu pertolongan kecil padanya mengingat keberadaan Tristan yang selalu ada disampingku dan rela melakukan apa saja untukku.

Dengan segenap keberanian kupaksakan diri menatap sepasang mata emasnya yang indah. Wajah tampannya yang elegan tersenyum kaku. ”Tentu saja,” sahutnya sopan.

Dengan antusias kuambil cangkir kecil pemberian Ness dan kusesap perlahan. Seketika itu juga aku merasa sedikit tenang. Kulirik Tristan yang masih membeku sambil memainkan makanan dalam piringnya. ”Apakah kau mau secangkir teh untuk menghangatkan tubuhmu,” tawarku hati hati padanya.

Tristan tersenyum kaku. ”Aku benci teh. Minum teh adalah kebiasaan orang yang sudah lanjut usia,” sindirnya sinis seraya melirik Ness yang nampak tak terpengaruh oleh ucapannya. Tetap tenang dan menikmati secangkir tehnya dengan santai.

Kutatap Tristan sedikit gusar. ”Cobalah untuk makan sedikit, kau membutuhkan tenaga untuk perjalanan besok.”

Airmuka Tristan terlihat tegang. ”Berhentilah mengaturku,” tukasnya dingin.

Aku terdiam.

Entah mengapa, ucapannya sedikit menyakiti perasaanku.

”Calista, bisakah aku bicara denganmu sebentar setelah makan malam,” sela Titus canggung seraya menatapku penuh harap.

Kuanggukkan kepala seraya melayangkan senyum hambarku.

Titus tersenyum senang. Dialihkan pandangannya kearah Tristan penuh perhatian. ”Sebaiknya kau mendengarkan ucapan Calista karena perjalanan kita kembali ke lembah Crystal masih cukup jauh.”

Wajah angkuh Tristan mengeras. ”Aku lebih baik mati kelaparan daripada ikut kalian kembali ke sana,” tandasnya dengan nada tinggi.

Kulirik gemas kearah Tristan yang mulai berulah lagi. ”Bisakah kau pelankan sedikit nada suaramu, Tristan. Titus hanya bermaksud baik padamu,” desisku setengah berbisik.

Tristan tersenyum mengejek kearahku. ”Aku tak perduli,” ucapnya dingin.

Sikapnya yang kaku dan keras kepala sangat mengintimidasiku. Kedua mata kami saling bertatapan. Ada amarah yang meluap diantara kami. 

Wajah Titus berubah jengkel. Sementara Ness terlihat berusaha keras menjaga emosinya, namun aku sempat menangkap kilatan geram di sepasang mata emasnya.

Mungkin Ness benar, ada sedikit rasa sesal yang kurasakan karena telah memintanya untuk membawa Tristan kembali ke lembah Crystal.

”Sebaiknya kau nikmati makan malammu tanpa banyak bicara,” sahut Ness suram dan sedikit enggan.

Tristan tertawa keras keras. ”Kau berbicara seolah olah kau ini seorang keturunan sejati bangsawan elf. Sadarlah Ferin, kau hanya separuh keturunan bangsa elf.”

Airmuka Ness berubah tegang. Begitu pula denganku.

”Kau hanya beruntung karena Quilla telah memilihmu, selebihnya kau hanya seseorang berdarah campuran yang terbuang di lembah Crystal,” ada kepuasan dari nada suara Tristan yang terdengar sedikit melecehkan.

Pertahanan Ness retak. Ketenangan yang biasa terlihat diwajahnya kini berganti dengan luapan amarah. ”Sepertinya mereka telah mencuci otakmu, hingga kau tak dapat berpikir jernih saat berbicara dengan orang lain,” sindir Ness tajam.

”Setidaknya aku masih dapat berjalan dengan harga diri diatas kakiku dengan kemampuanku sendiri tanpa bantuan orang lain!” balas Tristan setengah berteriak.

”Kumohon, hentikanlah pertengkaran kalian itu!” jeritku gusar dari tempat dudukku.

Tristan menatapku tak puas sementara Ness hanya melirik datar kearahku.

”Calista benar. Pertengkaran kalian akan menarik perhatian orang orang disekeliling kita,” bisik Titus sedikit tegang seraya mengawasi kesekeliling ruangan dan mendapati beberapa pasang mata mulai melirik ke meja makan kami.

Kuatur napasku perlahan. ”Bisakah kita duduk bersama menikmati makan malam ini dengan tenang,” pintaku seraya merendahkan nada suaraku. Kutatap Tristan dan Ness bergantian.

Tristan tertawa sinis. ”Jangan membuatku tertawa, Calista. Siapa yang dapat duduk tenang bersama dengan seorang musuh.”

”Kau tak perlu bersikap seperti ini, Tristan. Sesampainya di lembah Crystal nanti, Orion yang akan memutuskan nasibmu. Dan aku yakin sekali, jika keputusannya adalah yang terbaik untukmu,” sela Titus mencoba memberi pengertian.

Ditatapnya Titus dengan raut wajah tak senang. ”Aku tidak perduli. Bahkan jika Orion memutuskan untuk menginginkan kematianku,” ujarnya ketus.

”Itu takkan terjadi. Orion cukup bijak menentukan apa yang akan dilakukannya padamu mengingat kau juga pernah berjasa sebagai mantan ksatria sihir di lembah Crystal,” gigih Titus meyakinkan Tristan.

Tak mau menanggapi ucapan Titus, Tristan malah menatapku dingin. ”Seharusnya kau membiarkan aku mati saja disana,” ujarnya kembali menyalahkanku.

Seketika dadaku terasa sesak begitu mendengar ucapannya. Kutatap mata ungunya dengan tegar. ”Itukah yang kau inginkan.”

”Tentu saja. Daripada berada disini dan menjadi seorang pesakitan!” teriak Tristan meluapkan emosi, mengejutkanku, Ness dan Titus.

Ness berdiri seraya menatap Tristan kaku. ”Kau membuatku muak dengan semua rengekkanmu itu,  Readick.”

”Sudahlah. Hentikan pertengkaran kalian. Orang orang diruangan ini mulai memperhatikan kembali,” ingat Titus gugup.

”Jika kau sudah muak padaku. Mengapa kau tidak bersikap jantan dan berduel denganku sekarang,” tantang Tristan tak mau kalah seraya berdiri dari kursi makannya.

Kini mereka telah berdiri berhadapan hadapan.

”Melawan seorang pesakitan seperti kau, sangat bertentangan dengan prinsipku, tapi jika kau memintanya kurasa aku tidak punya pilihan lain,” ejek Ness sinis.

Tristan terbahak. ”Kau pasti sudah tersungkur di kedua kakimu dalam hitungan jari meski kau menggunakan kekuatan anting Quilla padaku.”

”Baiklah jika itu maumu,” ucap Ness ringan.

Aku hanya terduduk lemas di kursi makanku. Kepalaku terasa penat.

”Kapanpun kau siap Ferin,” ujar Tristan seraya mengepalkan tangan kanannya.

Kutatap meja makan yang penuh dengan tumpukan piring berisi makanan dan gelas gelas yang masih penuh.

”Apakah kalian sudah gila!” teriak Titus tertahan. ”Jangan membuat kekacauan di sini. Pikirkanlah,” suara Titus terdengar putus asa.

Sepertinya Ness maupun Tristan sudah tak mau mendengarkan peringatan Titus. Keduanya tetap bersitegang karena telah terbakar amarah.

Kupejamkan kedua mataku yang mulai terasa lelah. Masih terdengar seruan Titus yang berusaha keras mencegah duel mereka. Tapi suara suara kemarahan Ness dan Tristan yang bersahutan seolah mengabaikan perintah Titus.

”Hentikan...” seruku lemah.

Sia sia mereka tak mendengarkan keinginanku dan terus saja berdebat dan mulai bersiap siap untuk saling menyerang.

 Kesabaranku habis dengan teriakan kemarahan aku kembali menyerukan permintaan untuk menghentikan pertengkaran mereka.

Dan sesuatu yang hebat terjadi. Suara teriakan keras dari amarahku yang tertahan telah memecahkan piring piring makan dan gelas gelas diatas meja kami hingga berkeping keping dengan suara dentingan yang keras.

Teriakan teriakan cemas terdengar diseluruh ruangan. Beberapa orang ada yang beranjak pergi untuk menghindari kekacauan yang telah kami buat.

Ness menatapku terkesima.

Sementara Tristan nampak terkejut melihat kekuatan yang baru saja kulakukan meski itu diluar kesadaranku.

Dengan cepat Titus memegang bahuku. Wajah tirusnya terlihat cemas. ”Kau baik baik saja, Calista...”

Bukannya menjawab pertanyaan Titus aku hanya memandangi hamparan kepingan kaca diatas meja makan kami yang yang berkilauan.

”Ini tidak mungkin. Kau tidak bisa melakukan sihir...” geleng Tristan masih tak percaya akan penglihatannya.

”Aku merasa lebih baik sekarang...” gumamku pelan seraya menatap Titus.

Aku benar benar tak mengira jika kekuatan sihirku kembali. Ternyata Brisa benar. Begitu aku melepaskan beban pikiranku maka kekuatan sihir yang kumiliki akan kembali lagi padaku.

”Sepertinya kita kedatangan teman lama, Titus.” gumam Ness pelan seraya menatap kearah pintu dimana tiga orang laki laki tengah berjalan kearah kami. Mereka mengenakan jubah putih dengan lambang bunga matahari menempel di dada kiri masing masing.

”Biar aku saja yang bicara,” perintah Titus seraya menatap kami satu persatu. Airmukanya terlihat tegang.

Ketiga laki laki tersebut kini berdiri dihadapan kami. Titus memasang wajah ramah dan berusaha bersikap wajar. ”Sudah lama sekali sejak pertemuan terakhir kita, Otto!” sapa Titus berusaha terdengar wajar dan mengangguk sopan kearah laki laki yang berdiri ditengah.

 Laki laki yang berdiri ditengah yang dipanggil Otto terlihat mencoba untuk membalas sapaan Titus. ”Seharusnya kau mengirim pesan supaya kami dapat menyambutmu dengan pantas disini Titus, ” balasnya kaku.

Titus tertawa getir.

Aku, Ness dan Tristan hanya membisu.

”Maafkan kami yang tak sengaja membuat sedikit keributan. Kau tahu, perjalanan pulang sehabis menjalankan misi begitu melelahkan hingga membuat kami terkadang tak dapat menjaga emosi satu sama lain,” seringai Titus kikuk.

Otto memandangi kami satu persatu. Pertama ia menganggukkan kepala kearah Ness yang menyambutnya dengan senyum datar lalu mengalihkan pandangannya kearah Tristan yang diam membeku. Terakhir ia menatap kearahku lekat lekat untuk beberapa saat seolah berusaha membaca pikiranku.

Kulirik Titus meminta pertolongan.

Titus menangkap isyarat dariku. ”Gadis ini bernama Calista Kaz. Seorang penyihir muda yang akan ikut ke lembah Crystal bersama kami,” ucapnya hati hati.

Untuk beberapa saat Otto masih memandangiku dan tak mengindahkan ucapan Titus. Kuputuskan untuk membalas tatapannya dengan lantang sekaligus menunjukkan rasa ketidaksenanganku karena pandangannya yang begitu mengintimidasi.

”Tak sopan rasanya menatap seseorang seperti itu tanpa memperkenalkan dirimu terlebih dahulu Otto,” tegur Ness mengingatkan.

Pandangan Otto kini beralih pada Ness. ”Maafkan aku Ferin. Aku tak bermaksud untuk tidak sopan padanya,” ujar Otto seraya melirik kearahku. ”Tapi ada sesuatu dalam dirinya yang terlihat begitu berbeda. Ia seperti memiliki aura yang sangat kuat hingga menarik seluruh perhatianku dari kekacauan yang kalian buat,” gumam Otto menerawang.

”Dengan menelanjanginya oleh tatapan matamu yang liar dan menjijikkan itu,” kecam Tristan sinis.

”Hentikan Tristan!” sentak Titus panik.

Tristan mendengus kesal sementara Otto hanya tersenyum.

”Tak apa Titus. Aku mengerti kegelisahan Tristan akan keselamatan nona Kaz.”

Otto mengulurkan tangan kanannya padaku. ”Namaku Otto Cursen. Aku adalah orang yang bertanggung jawab atas keamanan desa ini.”

Kusambut uluran tangannya dengan ragu. Begitu kami berjabat tangan raut wajah ramah Otto Cursen berubah tegang. Kucoba melepaskan tanganku tapi Otto seolah makin mempereratnya dan tak mau melepaskan.

”Kau tak perlu membaca isi pikiran kami Otto. Karena kami tidak berniat buruk dan hanya singgah semalam di sini,” seru Titus melirik kearahku dan Otto bergantian.

Akhirnya kedua tangan kami terlepas. Wajah Otto masih terlihat tegang untuk sesaat. Kutatap laki laki itu dengan jengkel. Namun dengan cepat Otto menguasai diri dan kembali tersenyum ramah. ”Tenang saja Titus. Aku tahu itu. Tapi terkadang kalian para penyihir seringkali tidak dapat menahan diri. Kehadiran kalian sedikit meresahkan penduduk disini. Kuharap kau mengerti akan keinginan kami juga.”

”Tentu Otto. Itulah sebabnya kami berniat segera pergi secepat mungkin keesokan paginya  tanpa kalian sadari,” janji Titus meyakinkan.

Otto mengangguk puas. Sebelum berlalu dari hadapan kami bersama dua orang pendampingnya. Otto menyempatkan diri  menatapku.  ”Kau memiliki energi yang kuat dan berbeda dengan penyihir penyihir muda yang pernah kutemui sebelumnya, sepertinya kau ditakdirkan untuk sesuatu yang besar.”

Belum sempat aku bertanya maksud perkataannya ia telah memunggungiku dan berlalu dari hadapan kami.

”Dia hanya mempermainkan pikiranmu,” dengus Tristan seraya melirikku.

Titus menatap ragu kearah Tristan. ”Kurasa tidak. Otto Cursen adalah seorang illusionist hebat yang terpilih untuk memimpin desa ini. Hampir semua ramalannya menjadi kenyataan.”

Seketika tubuhku bergetar. Membayangkan ucapan Otto Cursen yang mengatakan jika aku ditakdirkan untuk sesuatu yang besar membuatku resah.  Bagaimana jika ia benar. Bagaimana jika aku adalah gadis dalam ramalan yang selama ini di cari Zorca Anthea.

Kutepiskan pikiran bodoh itu secepatnya. Membayangkannya saja sudah membuatku ketakutan setengah mati.

Seolah dapat membaca pikiranku Ness yang sejak tadi diam saja, menatapku lekat lekat. ”Satu atau dua hari lagi kita akan tiba di lembah Crystal. Kau dapat mengetahui asal usulmu yang sebenarnya,” ujarnya lembut.

Kutatap sepasang mata keemasan itu dengan lega. Untuk satu hal ini aku setuju dengannya. Pergi ke lembah Crystal adalah satu satunya jalan terbaik yang harus kulakukan sebagai tempat persembunyianku dari para penyihir hitam Zorca yang tengah memburuku.

Sebelum aku sempat masuk ke dalam kamarku, Titus menyempatkan diri untuk mengajakku bicara. Wajah sedihnya terlihat begitu tegang. ”Aku hanya ingin tahu. Ketika di Essendra, saat kita melawan dua penyihir Zorca. Apakah kau telah melepaskan mantra panggil supaya kita bisa melarikan diri,” tanyanya pelan.

Aku tak dapat berbohong pada Titus. ”Ya,” sahutku datar.

Titus menatapku kagum. ”Ini benar benar luar biasa. Brisa jelas jelas mengatakan padaku kalau kau telah kehilangan kekuatan sihirmu. Namun kejadian malam ini menunjukkan jika kau masih memiliki harapan.”

”Itu benar Titus. Tapi seseorang membantuku mengembalikan kekuatan sihirku.”

”Siapa?”

Kutatap Titus ragu. ”Penyihir wanita yang bersama Tristan waktu itu.”

Titus terdiam sesaat. ”Untuk apa ia melakukan itu.”

”Untuk sebuah pertemanan.” sahutku pelan.

Dahi Titus berkerut. ”Sungguh tak masuk akal. Para penyihir Zorca takkan pernah mau mengajarkan sihir mereka pada siapapun untuk alasan apapun,” ujarnya menganalisa.

Aku menggeleng lemah. ”Entahlah. Selama berada dibawah penawanan mereka. Aku tidak terlalu merasa terancam. Mereka memperlakukanku dengan baik begitu pula dengan Tristan.”

Titus menatapku dalam. ”Sepertinya ucapan Otto Cursen ada benarnya. Kau seperti memiliki suatu aura untuk menarik simpati seseorang.”

Aku termenung. Kurasa ucapannya terlalu berlebihan.  ”Apakah kau berpikir jika aku adalah gadis dalam ramalan Zorca,” gumamku pelan.

”Masih terlalu dini untuk menyimpulkan hal itu. Seharusnya kau tak boleh mengetahui isi ramalan tersebut. Namun karena para penyihir Zorca telah memberitahukanmu terlebih dahulu. Aku tak punya pilihan lain selain membawamu secapatnya ke lembah Crystal untuk menemui Orion.”

”Kuharap ini suatu kesalahan. Aku tak mungkin memiliki kekuatan besar untuk mengalahkan penyihir hebat seperti Zorca,” gelengku kesal.

Titus menatapku iba. ”Berharap saja memang suatu kesalahan. Tak dapat kubayangkan jika kau harus menanggung beban seberat itu dipundakmu untuk melawan penyihir kejam macam Zorca dan para pengikutnya.”

Seketika itu juga tubuhku bergidik kencang.

Dan malam itu untuk yang pertama kalinya setelah sekian lama bayangan wajah seorang wanita berambut panjang dengan sorot mata hitamnya yang kelam kembali menghantuiku.

Wanita itu berdiri ditengah derasnya hujan seraya mengacungkan tangan kanannya yang mengeluarkan kumparan angin puyuh yang berputar cepat kearah seorang laki laki muda berwajah mirip dengannya. Laki laki itu nampak berteriak marah dan mengeluarkan kilatan api yang cukup besar dan menghantam angin puyuh yang ditujukan kearahnya. Terdengar suara dentuman keras yang memekakkan telinga dan seketika itu juga aku terbangun dalam tidurku, berpeluh keringat dingin dengan tubuh yang gemetaran.

Keesokannya, kami bangun pagi pagi sekali karena Titus telah berjanji pada Otto untuk segera meninggalkan bukit Foresse secepat mungkin.

Sepanjang perjalanan kami hanya terdiam.

Tristan nampak sedikit lesu. Sementara Ness terlihat begitu tenang.

Kujejeri langkah langkah panjang Titus. Jujur saja saat ini aku tak ingin berjalan berdampingan dengn Tristan maupun Ness karena peristiwa semalam. Sekilas, kulirik mereka dengan ekor mataku. Ness nampak waspada mengawasi setiap langkah Tristan dari belakang.

”Menurutmu apa yang akan dilakukan Orion pada Tristan?” tanyaku pelan pada Titus seolah tak ingin Tristan mendengarku.

Titus menghela napas. ”Tristan seorang pemuda yang baik. Penyihir hebat jika rajin berlatih. Namun perbuatannya yang bergabung dengan Zorca tetap dianggap salah dan tak bisa dimaafkan begitu saja.”

Kulirik Tristan yang kini nampak merapatkan jubahnya karena udara memang agak dingin sepanjang pagi ini.

”Apakah Orion akan melakukan hal hal yang buruk padanya, Titus.”

Titus tertawa mendengar ucapanku. ”Tidak Calista. Itu sama sekali bukan sifat Orion. Orion Xander adalah pemimpin yang sangat bijaksana. Tristan akan diperlakukan adil di lembah Crystal.”

”Saat aku meminta Ness untuk membawanya pulang ke lembah Crystal aku memiliki keyakinan jika Tristan akan berubah. Dia bukan orang yang jahat. Hanya saja jiwanya tengah terluka,” desahku.

Titus menatapku dengan pandangan serius.

”Tristan sangat melindungiku ketika aku dalam penawanan mereka.”

Titus menghela napas panjang. ”Mungkin kau bisa jadikan itu sebagai alasan pada Orion untuk menolongnya nanti.”

Kulirik Tristan sesaat.

Titus benar. Aku harus memberikan pembelaan yang layak pada Tristan. Orion pasti mengerti dan memberikan kesempatan kedua pada Tristan.

”Terimakasih Titus,” gumamku pelan.

Titus mengangguk senang.

Malam itu Titus memutuskan agar kami bermalam dipinggiran hutan kecil yang dipenuhi dengan hamparan rumput tebal sepanjang jalan. Suara suara burung hantu dan jangkrik yang saling bersahutan terdengar seperti irama malam dan menjadi hiburan tersendiri bagi kami berempat yang hanya terdiam mengelilingi api unggun.

Sepanjang hari ini Tristan seolah menghindari setiap tatapan mataku. Meski terasa menyakitkan namun aku pura pura tak mengetahuinya.

”Bagaimana keadaanmu. Apakah lukamu semakin membaik,” tanyaku mencoba memberi perhatian.

”Aku baik baik saja,” sahut Tristan acuh tanpa menoleh kearahku.

Ness melirikku datar sementara Titus pura pura mengalihkan pandangannya ke langit malam yang penuh taburan bintang.

”Aku hanya mencemaskanmu Tristan,” ucapku memberi alasan.

Sepasang mata ungu Tristan menatapku kesal. ”Berhentilah mengurusiku seperti bayi, Calista. Semakin dekat menuju lembah Crystal, semakin membuatku ingin mati saja. Seharusnya kau membiarkan saja aku terkapar sekarat di Essendra,” sentaknya marah dengan wajah tampannya yang nampak tertekan seolah ingin menghukumku dengan ucapannya yang tajam.

Dia berhasil.

Aku terpancing dan merasakan kepedihan luar biasa di hatiku. Dadaku terasa nyeri dan berdebar cepat. Dengan kesadaran penuh, aku berdiri dan menyeret langkahku yang terasa berat. Tak kuperdulikan panggilan Titus padaku. Dan terus berlari tanpa arah menembus hutan kecil yang gelap ini.

Tristan benar benar telah mempermalukan aku di depan Ness dan Titus.

Seseorang memegangi lenganku dari belakang. Membalikkan tubuhku yang meronta marah. Saat aku berbalik untuk menatap pelakunya. Sepasang mata coklat keemasan menatapku iba.

”Tinggalkan aku sendiri Ness,” raungku marah.

”Aku tidak bisa membiarkanmu masuk ke dalam hutan lebih jauh.”

”Karena aku akan menyusahkanmu yang terpaksa harus mencariku karena tersasar dalam hutan ini atau karena Titus yang menyuruhmu,” sindirku halus.

Ness terdiam.

Kuhapus airmata yang telah membasahi kedua pipiku sejak tadi.

”Aku pasti terlihat menyedihkan sekali dimatamu,” aku mencoba bernapas teratur dan menguasai emosiku.

Wajah tampan itu menatapku datar. ”Tidak juga.”

Aku tertawa sumbang. ”Kurasa kau menang. Saat ini aku benar benar menyesal telah memintamu membawanya kembali ke lembah Crystal.”

Ness masih diam tapi sepasang mata emasnya tetap mengawasiku.

”Mengapa kau jadi begitu pendiam. Kau yakin tak ingin mengucapkan satu atau dua kata sindiran untukku,” sindirku dengan suara parau.

Ness terlihat melamun dan menatapku dengan raut wajah yang penuh tanda tanya.

”Kurasa Tristan bukan orang yang tepat untukmu,” desahnya pelan sambil menghela napas panjang.

Desiran halus menyapu perasaanku. Berani sekali ia berkata seperti itu padaku.

”Sudahlah. Aku tak ingin mendengar apapun darimu saat ini apalagi mengenai Tristan,” sergahku kasar.

Alis Ness terangkat satu. ”Baiklah. Kupikir kau tadi tak senang melihatku jadi pendiam,” nada suaranya merendah.

Kulirik ia dengan ekor mataku. Ada segaris senyum di wajah tampannya.

”Jika kau butuh udara segar aku akan berada disini menemanimu. Aku berjanji tak akan mengeluarkan sepatah kata pun padamu jika itu yang kau inginkan,” ucapnya lagi bernada penekanan.

Kuberanikan diri menatap wajah tampannya yang begitu elegan. Sepasang mata emasnya yang menawan masih menatapku. Pangeran peri ini begitu mempesona dibawah terangnya sinar rembulan. Dengan bimbang kuanggukkan kepala sebagai tanda persetujuan.

Tanpa canggung Ness duduk santai diantara rerumputan tebal seraya menatap bulan yang bersinar penuh.

Dengan ragu aku duduk disampingnya. Kini kami hanya terdiam dan memandangi bulan yang terlihat indah diantara taburan bintang.

”Seharusnya ada kunang kunang disini?” gumam Ness sendirian.

Dengan sedikit bingung kupandangi garis wajahnya yang lembut dan sempurna itu. Tampan dan menakjubkan. Berbeda dengan ketampanan Tristan yang selalu muram dan terlihat dingin.

”Biasanya mereka selalu keluar pada malam hari,” ujarnya lagi, tak memperdulikan tatapanku.

”Mungkin tangisanku membuat mereka ketakutan,” gurauku parau mencoba untuk melucu.

Ness menatapku lekat lekat. ”Kau tak seharusnya menangis untuk sesuatu yang tak pantas untukmu.”

”Bukankah kau sudah berjanji tak akan mengatakan sepatah kata pun padaku,” rengutku menampakkan kekesalan padanya.

”Kau benar,” ucapnya datar menyadari kesalahannya.

Kuluruskan kedua kakiku dan berusaha terlihat santai. ”Mungkin sebaiknya kita tetap membicarakan kunang kunang,” saranku padanya.

Ness tertawa. Sepasang mata coklat keemasannya nampak bersinar terang. ”Tunggu sebentar,” pintanya dengan suara merdu.

Telunjuk tangan Ness seketika bergerak pelan membentuk setengah lingkaran. Sebuah cahaya redup berpendar keluar dari jari telunjuknya. Cahaya itu sedikit demi sedikit terlihat terang ketika ia telah membuat telunjuknya menjadi gerakan lingkaran penuh.

Cahaya terang yang terpendar dari jari telunjuknya adalah cahaya yang sama yang pernah kulihat keluar dari telapak tangan Ness beberapa waktu yang lalu. Bedanya cahaya ini tidak terlalu menyilaukan.

Karena masih terpaku oleh cahaya yang keluar dari telunjuknya aku tak terlalu memperhatikan cahaya cahaya kecil yang beterbangan dan melayang layang disekitar cahaya yang dibuat Ness.

Ness menurunkan jari telunjuknya dan cahaya yang keluar dari jari telunjuknya pun seketika padam. Saat aku tersadar, puluhan kunang kunang yang datang telah berterbangan mengelilingi aku dan Ness. Mereka terlihat indah kala mengeluarkan cahaya dari tubuh kecil mereka di terangnya sinar bulan.

Aku tertawa lepas.

”Mereka cantik sekali,” seruku senang seraya berdiri dan berputar putar berusaha menangkap kunang kunang yang kini tengah melayang layang di udara.

Pangeran peri yang tampan itu hanya tersenyum melihat kelakuanku.

Seperti anak kecil yang polos, aku terus saja berputar putar dan berusaha menangkap salah satu kunang kunang sambil berteriak kesenangan. Ness hanya memandangiku dari tempat duduknya.

Bebanku terasa hilang. Aku bisa sedikit melupakan kekesalanku pada sikap Tristan. Tak pernah terbayangkan sebelumnya jika aku akan menghabiskan malam yang menyenangkan bersama Ness saat ini.

Genre : Novel Fantasy Romance 
Writer : Misaini Indra


No comments:

Post a Comment