Protected by Copyscape Plagiarism Scanner

Tuesday 15 November 2011

Calista Kaz "Penyihir Naga Arkhataya" (Chapter 13)

13. TAKDIR

Berita jatuhnya bukit Foresse dalam kekuasaan Zorca menggemparkan seluruh lembah. Orion telah memerintahkan penjagaan yang lebih ketat dan mengirim utusan ke negri Hordos untuk memperingati pemimpin mereka. Sementara itu, raja Zordius dari Amorilla telah mengirim sebuah pasukan cahaya khusus untuk mengawal putri Quilla yang tengah berkunjung di lembah Crystal agar segera kembali ke Amorilla demi keselamatannya.
Orion memerintahkan Prechia, Titus dan Shenai untuk secepatnya mengajariku sihir tingkat tinggi. Gunjingan dan tatapan sinis kembali ditujukan sebagian murid yang tidak menyukai kebenaran akan terpilihnya aku sebagai penyihir naga Arkhataya. Brisa mencoba menghiburku disela sela pelatihanku yang padat dan melelahkan. Berbeda sekali dengan  sikap Tristan yang dingin dan sedikit menjauhiku.
Perasaan cemas dan takut hinggap. Aku dapat merasakan jika Tristan tengah merencanakan sesuatu. Suatu hal yang sangat tidak menyenangkan, tentunya.
Apa yang aku takutkan menjadi kenyataan. Tristan mengingkari janjinya padaku. Wajah bekunya yang tampan menatapku tegang. Kupandangi ia dengan segudang pertanyaan akan keberadaannya dikamarku malam ini.
”Kita harus pergi dari sini Calista.”
Kutatap nanar. ”Mengapa? Kita sudah sepakat pada Prechia untuk tetap tinggal.”
Tristan berteriak marah. Kucoba mengingatkan jika teriakannya itu akan membangunkan Brisa di kamar sebelah. Dengan sinis ia mengatakan padaku telah membuat Brisa terlelap dengan sihirnya hingga tak ada yang perlu dikuatirkan.
”Ikutlah bersamaku. Kau dalam bahaya dan aku berjanji akan menjagamu.”
Kebimbangan menyergapku. Mungkinkah Tristan akan benar benar melindungiku atau justru malah membawaku langsung pada Zorca untuk menghadapi kematianku. Meski aku menyukainya namun aku masih meragukan tujuannya.
”Apakah kau akan membawaku pada Zorca?”
Tristan tertawa lemah. ”Kau gadis tolol yang pernah kutemui. Aku takkan mungkin mengkhianatimu dengan cara hina seperti itu.”
Aku terdiam sesaat.
”Bagaimana?” tanya Tristan tak sabar.
Kutatap Tristan resah.
”Percayalah padaku. Zorca tengah merencanakan sesuatu. Ia membuat sebuah perjanjian dengan kekuatan ruh hitam untuk membangunkan makhluk jahat dari neraka. Jika kau tetap berada di tempat ini, jiwamu dalam bahaya,” ujarnya tertahan.
Napasku memburu. ”Mengapa kau baru mengatakannya padaku sekarang,” desisku marah.
”Karena kau begitu keras kepala dan ingin tetap tinggal tanpa memperdulikan keselamatanmu,” sentak Tristan tak kalah marah.
”Tapi...aku adalah pewaris pusaka Arkhataya, Tristan. Aku harus memenuhi takdirku demi keselamatan orang orang ini dari ancaman Zorca,” desahku putus asa.
Tristan terdiam. Wajah bekunya terlihat lelah dan sepasang mata ungu gelapnya menatapku bingung. ”Dia mengorbankan banyak sekali, darah para penyihir hitam untuk persembahannya. Dia memberikan dua pilihan sulit, bergabung dengannya atau mati ditangannya. Dan Zorca tidak akan berhenti sampai ia membalaskan dendamnya pada Orion dan lembah ini.”
Aku terduduk lemas di sisi tempat tidurku.
”Begitu ia tahu kau adalah gadis dalam ramalan itu. Dia tidak akan mengampunimu,” ujar Tristan dalam.
Kuhembuskan napas perlahan. ”Berjanjilah kau akan membawaku ke tempat yang aman dan jauh darinya,” mohonku padanya.
Tristan menarik tubuhku dan memelukku erat erat seolah tak ingin melepaskannya. ”Aku berjanji,” bisiknya lembut ditelingaku.
Kuanggukan kepalaku dengan ragu ragu.
Malam itu kami menyelinap dari rumah Brisa menuju lorong lorong gelap lembah Crystal. Tristan menggenggam erat tangankku seolah ingin menunjukkan bahwa ia akan selalu menjaga keselamatanku.
Kuseret langkahku dengan perasaan ragu. Ada rasa takut menjalariku. Aku tahu ini sebuah kesalahan. Tapi demi melihat wajah beku yang seolah kehilangan arah itu membuatku iba dan tak dapat menolaknya permintaannya.
Ketika kami tiba tepat di depan pintu gerbang keluar lembah Crystal. Tristan mulai merapal sebuah mantra. Hanya dalam waktu singkat kedua penjaga tertidur lelap. Tristan telah berhasil membius mereka.
Dengan sekuat tenaga Tristan menarik lenganku dan menyeretku keluar melewati pagar. Kami berlari kencang menembus dinginnya malam. Sekelebat bayangan nampak mengikuti kami dari belakang. Nyaliku mendadak ciut. Dadaku berdebar kencang. Namun dengan sigap Tristan memelukku. Dengan setengah berbisik Tristan memintaku untuk tenang.
Kami berlindung disebuah pohon oak tua yang rimbun. Dapat kurasakan desahan napas Tristan ditengkukku yang mulai terasa dingin. Kami menunggu namun tak ada suara apapun yang terdengar mencurigakan. Hanya derik jangkrik yang bersahutan. Suara gemerisik dedaunan sempat mengejutkan kami bersamaan.
Wajah Tristan terlihat putus asa. ”Tunjukkan dirimu!” serunya tegang.
Tak ada sahutan. Kutahan napasku.
”Keluar pengecut!” kali ini Tristan mulai kehilangan kesabarannya.
Diterangnya bulan purnama, sebuah bayangan muncul bersamaan dengan sosok tinggi berjubah biru langit yang sudah terlihat familiar dimataku.
Orion Xander berdiri tegak dihadapan kami dengan seulas senyum bijak diwajahnya yang ramah. Jubah biru langitnya melayang layang tertiup dinginnya angin malam yang berhembus kencang.
”Selamat malam tuan Readick. Maaf jika kehadiranku membuatmu sedikit resah.”
Tristan menatap sinis kearah Orion. Namun Orion lebih tertarik untuk mengalihkan pandangannya padaku yang tengah menguasai rasa keterkejutanku. ”Apakah kau berencana untuk melakukan sebuah perjalanan bersama dengan tuan Readick, Calista?” selidiknya ramah.
”Simpan basa basimu. Jika kau ingin menghalangiku. Aku tak kan segan untuk membunuhmu,” seru Tristan marah.
Aku hanya terpaku tak dapat berkata apapun.
Orion menatap Tristan dengan sorot mata datar dan tenang.
”Sebaiknya kalian kembali. Aku berjanji akan melupakan peristiwa malam ini.” pintanya tegas.
Tristan kembali menatap sinis kearah Orion. Namun Orion tidak terlalu memperdulikannya. Sepasang mata biru laki laki tua itu tetap tertuju padaku.
”Aku tak bisa membiarkan kau pergi Calista. Kami semua membutuhkanmu,”  ujar Orion lembut.
Tristan menatap kesal kearah Orion. ”Omong kosong. Kalian hanya ingin memanfaatkannya saja.”
Kini sepasang mata ungunya menyorot tajam kearahku. ”Kita harus pergi dari sini. Aku akan menjamin keselamatanmu,” tegasnya sengit.
 Kutatap Tristan penuh kebimbangan.   
”Aku takkan membiarkan kau membawa Calista pergi untuk menanggung semua kesalahan yang telah kau perbuat di masa lalu, tuan Readick.” tatap Orion  tajam.
Tristan mendengus marah. ”Kaulah yang membuat kesalahan itu padaku Orion. Kau telah membunuh ayahku!” serunya meluapkan amarahnya.
Airmuka Orion sedikit berubah. Dahinya mengernyit. ”Maafkan aku. Tapi saat itu kami tengah bertarung antara hidup dan mati. Tak ada keinginanku untuk membunuh Arias dengan kesengajaan. Aku benar benar menghormati ayahmu.”
Tristan berteriak marah. ”Berhentilah bersikap munafik. Kau sama sekali tidak akan mendapatkan simpatiku. Aku tidak seperti Shenai yang lemah. Aku takkan memaafkanmu sampai kapanpun.”
”Dia benar Tristan. Ini suatu kesalahan!” seruku tertahan.
Orion menatapku tajam. Sepasang mata biru langitnya seolah menembus pandanganku. Kutatap wajah bijak Orion dalam kebimbangan. Orion mengangguk pelan meyakinkanku.
Seruan kedua Tristan yang bernada kemarahan terlontar seiring rapalan sihir yang dilayangkan kearah Orion yang nampaknya sudah dapat menebak serangan sihir dadakannya. Dengan gerakan elegan, Orion memutar tangan kanannya yang membentuk lingkaran dan seketika itu juga gulungan asap hitam Tristan terserap dalam lingkaran tangan Orion. Menghilang tak berbekas.
Wajah Tristan menjadi pucat seketika.
”Calista memiliki takdir yang harus dijalaninya di lembah ini. Aku tidak akan membiarkanmu membawanya. Tapi aku akan membiarkanmu pergi dengan ketenangan,” ucap Orion dengan nada tegas.
Tristan menatap Orion penuh kebencian. Orion mengalihkan pandangannya kearahku. ”Hanya kau yang dapat membangunkan Arkhataya untuk melawan kekuatan leviathan yang tengah dibangunkan kembali oleh Zorca,” ujar Orion padaku tak memperdulikan tatapan Tristan yang nampak terkejut mendengar penuturannya.
”Ternyata kau telah mengetahuinya selama ini!” seru Tistan gusar.
Orion tersenyum bijak. ”Otto Cursen memberikan penglihatan persis seperti yang ada dalam benakku.”
Kutatap Tristan gugup dengan mata berkaca kaca. Kebimbangan meliputiku tapi melihat sepasang mata biru langit Orion yang teduh dan memohon membuatku menjadi serba salah.
”Kau harus menerima takdirmu dan menolong orang orang ini dengan membangunkan naga Arkhataya. Jangan biarkan kekuatan leviathan yang dimiliki Zorca menghancurkan dunia tengah. Kami semua sangat berharap padamu,” bujuk Orion padaku.
”Jangan dengarkan dia, Calista. Kita harus segera pergi dari sini, mengerti!” seru Tristan tak sabar.
Kutatap wajah beku yang bingung itu pilu. Orion Xander benar. Melarikan diri dari takdirku bukanlah jalan keluar.
”Maafkan aku Tristan,” ujarku penuh penyesalan.
Sepasang mata ungu itu meredup. Raut wajahnya menunjukkan kekecewaan yang mendalam. Saat ini Tristan terlihat begitu rapuh dimataku.
Kuanggukkan kepala kearah Tristan yang mencoba tegar dan berdiri tegak di depanku. Kulayangkan senyum terbaikku kearahnya. Seolah memahami keinginanku, segaris senyum beku terlukis di wajah tampannya. Hanya dalam sekelebatan saja Tristan telah menghilang diantara gelapnya malam dan jejeran cemara didepanku.
Orion menatapku lega. ”Kau telah melakukan hal yang benar.”
Aku hanya termenung menatap kepergian Tristan digelapnya malam.
Kepergian Tristan semalam nampaknya belum diketahui banyak orang. Aku bahkan takkan perduli jika nanti semua orang di Sandora menjadi gempar ketika mengetahui perihal pelarian Tristan. Aku hanya berharap Orion menepati janjinya untuk melepaskan kepergian Tristan dan tidak memburunya.
Brisa mendatangiku saat makan siang. Wajah cantiknya nampak berkerut dan menatapku seolah menuntut penjelasan.  ”Shenai Readick ditemukan dalam keadaan tak sadar pagi ini. Sepertinya Tristan telah membius ibunya sendiri.”
Kuputar kedua bola mataku. ”Dia seharusnya tidak melakukan itu,” acuhku mencoba untuk menelan makan siangku.
”Mengapa aku merasa jika kau tahu persis perihal kaburnya Tristan dari lembah Crystal,” sepasang mata birunya menatapku tajam.
Sepertinya aku tidak bisa mengelabui Brisa. Lagipula aku adalah seorang pembohong yang payah.  ”Dia membujukku pergi bersamanya semalam,” desahku mengalah.
Wajah Brisa memerah. ”Mengapa kau tidak mengatakannya padaku sejak tadi pagi Cal,” ingatnya tajam.
”Aku tak ingin merusak harimu,” sahutku pelan seraya melirik kearah Cleo Maltese yang kini menatapku sinis bersama dengan beberapa orang temannya yang menunjukkan sikap permusuhannya padaku secara terang terangan.
”Terlambat. Ceritakan padaku yang sebenarnya,” perintah Brisa seenaknya seraya menarik kursi dan duduk dihadapanku.
Dengan singkat kuceritakan kejadian semalam pada Brisa. Untuk beberapa saat ia terdiam kemudian menatapku dalam. ”Lalu apa rencanamu sekarang?”
”Entahlah. Mungkin menghadapi takdirku seperti yang disarankan Orion,” desahku ragu.
Brisa hanya memandangiku dengan segudang tanda tanya terlihat jelas di wajahnya.
Sisa hari di benteng Sandora kujalani dengan malas. Titus berkali kali mengingatkanku untuk berkonsentrasi. Tapi pikiranku terlalu lelah untuk menurutinya. Dengan sedikit kesal Titus memutuskan menghukumku untuk membereskan seluruh peralatan yang biasa dipergunakan sehabis berlatih milik tiap kelompok.
Kumasukan alat alat aneh tersebut ke dalam lemari di gudang penyimpanan dengan kasar. Aku sama sekali tidak menyusunnya dengan benar hingga membuat pintu lemari penyimpanan tidak mau menutup. Dengan jengkel kubanting pintu lemari tersebut sekuat tenaga. Hasilnya sama. Bukannya menutup tapi tindakan kasarku justru membuat  beberapa barang kembali berjatuhan keluar dan pinggiran kayu pintu lemari tua itu menjadi retak dan terlihat semakin menyedihkan.
”Kau ini seorang penyihir. Mengapa tidak menggunakan mantra sederhana untuk menyelesaikan masalah kecilmu itu,” sapa suara merdu dibelakangku.
Ness Ferin berdiri tegak dengan kedua tangan bersedekap di dada dan menatapku datar. Postur tubuhnya yang sempurna terlihat begitu kekar dengan wajah tampannya yang semakin terlihat menawan dimataku.
”Titus melarangku menggunakan sihir,” acuhku mencoba untuk tidak memperdulikan kehadirannya dan terus berusaha memasukkan seluruh peralatan sial ini.
Ness tertawa senang. ”Kau pasti telah membuatnya sangat kesal padamu ya.”
Aku hanya mengangkat bahu seraya melempar satu persatu peralatan latihan dengan tergesa. Kedua tangan kekar Ness kini ikut memunguti satu persatu sebagian peralatan yang masih tergeletak dilantai dan dan menaruhnya kembali ke dalam lemari. Kini kami bekerjasama membereskan peralatan itu tanpa mengucapkan sepatah kata pun.
Tak kuasa manahan perasaan aneh ini. Kulirik Ness dengan rasa penasaran. Wajah Ness terlihat santai tak terbebani.
”Ada sesuatu diwajahku?” tanyanya pelan mengejutkanku.
Dengan kikuk aku melempar sarung tangan kedalam lemari. ”Tidak. Aku hanya, yah terimakasih telah membantuku,” sahutku gugup.
Ness kini menatapku. Sepasang mata emasnya terlihat mengawasiku.
”Aku senang kau memutuskan untuk tinggal,” ucapnya pelan.
Aku meringis kesal. Sepertinya ia tidak jauh berbeda dengan yang lainnya. Ia hanya ingin membahas kepergian Tristan dariku.
 ”Aku dan Tristan memiliki takdir yang berbeda,” sahutku malas malasan.
Ness menatapku dalam namun penuh kelembutan.
”Mungkin akan terdengar sedikit aneh. Tapi jika kau butuh seorang teman. Kau dapat mengandalkanku,” desahnya.
Aku tergelak seketika. ”Kau benar. Ucapanmu memang terasa aneh dikupingku. Tapi aku akan mempertimbangkan tawaranmu itu, tuan Ferin,” ujarku setengah meledeknya.
”Jangan memulainya Kaz. Aku mengatakannya karena merasa kasihan padamu,” balas Ness dengan senyum tipis tersamar di bibirnya.
”Oh benarkah. Mengapa begitu,” tukasku dingin.
Sepertinya ia telah berhasil memancing emosiku.
”Karena kau telah menghabiskan waktumu sia sia dengan seseorang yang tidak pantas untukmu.” Ia mengangkat satu alisnya. Nada suaranya terdengar tegang.
Kusipitkan pandangan tepat kearah sepasang mata emasnya yang tengah menyorot tajam padaku hingga nyaris menembus jantungku. ”Lalu siapa yang pantas untukku. Kaukah orangnya,” ucapku melecehkan pendapat pribadinya akan kehidupan percintaanku.
Sorot mata emasnya terlihat bercahaya. Raut mukanya kini berubah kaku.  ”Entahlah. Menurutmu?” Kini ia menatapku lembut.
Aku terdiam seketika. Dia pasti asal bicara. Tapi kedua tangan Ness yang kini meraih tubuhku lembut sepertinya tidak bergurau. Sepasang mata coklat keemasannya menatapku tak berkedip. Jantungku berdegup kencang ketika ia merapatkan tubuh kekarnya dan mulai meletakkan kedua tangannya melingkari pingggangku. Kini ia memelukku erat. Wajah kami begitu dekat. Aku bahkan dapat mencium harum napasnya. Tangan kanan Ness mulai bergerak keatas. Jemarinya yang lembut menelusuri pipiku. Lalu ia meraih wajahku untuk lebih dekat ke wajah tampannya yang lembut mempesona. Hidung kami saling bertautan. Tubuhku terasa lemas dalam pelukan hangat Ness. Bibirnya mulai menekan bibirku dengan lembut dan perlahan. Aku tak kuasa menolak. Tanpa sadar bibir ini telah membalas ciumannya yang hangat. Begitu mendapatkan respon dariku, bibir Ness seolah tak mau berhenti dan terus melumat bibirku. Ciuman lembutnya berubah menjadi sedikit kasar dan mendominasi. Aku sedikit kewalahan dan hampir kehabisan napas. Aku benar benar telah jatuh dalam pesonanya dan tak kuasa menolak ciumannya yang begitu bergairah. Kubiarkan ia melumat bibirku hingga puas. Sampai akhirnya berakhir perlahan lahan dan kembali ke awal. Bibir indah itu mulai menjauh pelan. Namun kami masih menyisakan napas yang sedikit memburu.
Jemarinya kembali membelai pipiku lembut dan menatapku tajam. Kurasakan kedua pipiku menghangat. Namun kami hanya diam dan saling memandang seolah tak ingin merusak kebersamaan ini dengan ucapan.
”Rupanya kau ada disini,” sebuah seruan tajam menyadarkan kami dari mimpi indah ini.
Putri Quilla berdiri tegak dengan ekspresi wajah yang sulit ditebak bersama dengan dua orang pengawalnya yang tengah berdiri disampingnya.
Dengan perlahan Ness melepaskan pelukannya dariku. Namun tangan kanannya tetap menggenggam tanganku lembut seolah mencoba untuk menenangkan. Sepasang mata emasnya menatap lurus kearah Quilla. Tetap terlihat tenang dan datar.
”Lepaskan aku Ness,” dengusku panik melihat raut wajah Quilla yang terlihat begitu dingin dan angkuh menyorot tajam kearah kami bergantian.
Tapi laki laki disebelahku nampaknya sudah kehilangan akalnya. Ia tak memperdulikan peringatanku namun malah mempererat genggaman tangannya.
”Aku tak menyangka kau masih disini. Bukankah kita telah mengucapkan salam perpisahan,” ujar Ness datar.
Dasar bodoh. Seharusnya ia berlari untuk menenangkan tunangannya itu. Bukan malah mempersulitku.
Quilla menatapku berang lalu mengalihkan pandangannya pada Ness.
”Aku hanya berpikir untuk memintamu ikut bersamaku ke Amorilla. Tapi kelihatannya kau tengah disibukkan oleh sesuatu.” Quilla berusaha keras menjaga nada suaranya yang bergetar.
Dengan sekuat tenaga kuhentakan tanganku dari genggaman kuat Ness.
”Maafkan aku putri Quilla tapi ini sebuah kesalah pahaman,” ujarku memberanikan diri untuk menatap sepasang mata indah Quilla.
Quilla tertawa kesal. ”Kalian penyihir sama saja. Tidak bisa dipercaya,” lengkingnya dingin. Seketika itu juga bulu tengkukku meremang.
Sepasang mata abu abunya menyorot tajam kearahku. ”Aku akan melupakan semua yang kulihat hari ini. Tapi, sebaiknya kau segera menyingkir dari hadapanku,” Quilla kembali berusaha keras menjaga nada ucapannya padaku di depan Ness.
”Maafkan aku. Aku akan pergi dari sini,” ujarku sopan seraya mengangguk hormat dan berlalu dengan cepat meninggalkan Ness untuk menyelesaikan semuanya dengan Quilla.
Quilla menatapku dengan penuh kebencian. Tiba tiba sebuah bisikan terdengar pelan ditelingaku seiring kepergianku berlalu dari hadapan mereka.
Kau tidak akan pernah mendapatkan dia, penyihir.
Seketika itu bulu tengkukku kembali meremang. Putri Quilla seolah telah membisikkan kata kata itu meski aku telah berada jauh darinya.
Quilla telah melemparkan ancamannya. Tubuhku sedikit bergetar dan tanganku terasa dingin namun aku terus berjalan dan berusaha melupakan kejadian hari ini.
Pagi itu aku tak beranjak dari tempat tidur. Kutatap langit langit kamar dengan sejuta pikiran. Kejadian kemarin sore di ruangan peralatan membuatku makin malas untuk bangun dan mempersiapkan diri untuk pergi ke Sandora. Meski begitu aku tak dapat melupakan hangatnya ciuman Ness yang begitu membara.
Terbayang kembali wajah cantik Quilla yang sangat marah. Kemarahannya membuatku merasa lemah dan tak berdaya. Keresahan kini timbul. Rasanya semakin banyak saja masalah yang datang padaku.
Kubenamkan kembali wajahku dalam dalam pada bantal mungil Brisa dengan kesal. Semua ini salah Ness, bukan salahku. Seharusnya ia tidak menciumku. Perbuatan pangeran peri itu tidak hanya menambah beban pikiran tapi juga menambah panjang deretan musuh musuhku. Terus terang saja, aku adalah pilihan terakhir bagi sebagian orang untuk dijadikan teman kesayangan.
Sudah bukan rahasia lagi jika semua orang di Sandora tidak ada yang menyukaiku. Bisa kurasakan denyut jantung mereka yang berdetak tak karuan dengan wajah berkerut menatapku kesal setiap aku berjalan memasuki Sandora. Pandangan mencemooh dan tatapan permusuhan selalu tertuju padaku.
Dan hari ini pun semakin menjadi jadi. Aku tahu telah terlambat datang untuk latihan sihirku mengingat sebentar lagi makan siang. Namun aku memilih untuk tidak perduli dan tetap datang ke Sandora karena telah berjanji pada Orion untuk belajar sihir lebih serius dan memenuhi takdirku.
Beberapa orang terlihat berkelompok dan berbisik terang terangan didepanku. Kucoba untuk melangkah tegar dan tak memperdulikannya. Tak berapa lama kulihat para pengajar terlihat keluar dari ruang pertemuan dengan Orion, Prechia dan Helena. Tatapan aneh Titus dan Shenai yang mengarah padaku membuatku sedikit gugup.
Sementara Darren, Agnes dan Oggie melayangkan pandangan ragu yang terarah padaku. Tak sengaja mataku bersirobok dengan tatapan tenang Ness. Airmuka Ness terlihat dingin namun sorot mata emasnya menatap cemas kearahku.
Akhirnya kuketahui jika Orion Xander telah memberitahukan takdirku sebagai penyihir naga Arkhataya pada para pengajar di Sandora dan meminta mereka untuk membantuku mempelajari sihir tingkat tinggi. Brisa juga mengatakan jika keadaan semakin genting. Kelompok Zorca mulai bergerak menguasai kota kota pertambangan kecil disepanjang jalan menuju kota Hordos.
Makan siang hari itu benar benar tak tertelan olehku.
Hari hari berikutnya terasa semakin berat untukku. Aku harus berpacu dengan waktu untuk menguasai sihir tingkat tinggi yang diajarkan Prechia dan Titus sebelum Zorca menyerang lembah Crystal. Untungnya kemajuanku sangat pesat. Apalagi mengingat darah murni Anthea mengalir ditubuhku.
Prechia bilang aku mewarisi kekuatan sihir yang sama yang dimiliki kakekku, Ghorfinus. Sihirku tajam dan akurat. Aku bahkan dapat merapal mantra hanya dengan mendengarnya sekali saja.
Tidak hanya itu. Aku juga mendapat kesempatan belajar beberapa trik psichic dari beberapa pengajar psychic termasuk Darren dan Ness. Sikap Ness yang dingin saat mengajariku seolah ingin menunjukkan keseriusannya membantuku. Kami bahkan tak sempat membahas masalah ciuman kemarin yang sepertinya telah menguap dan terlupakan begitu saja.
Kemampuan telekinetisku yang kurang terlatih menunjukkan kedashyatannya. Meski tak banyak berkomentar namun aku dapat merasakan senyum kepuasan terlintas dari bibir Ness. Sementara Darren tak henti hentinya berdecak kagum dan dengan sportif memberikan tepukan bahu berkali kali padaku. Sepertinya aku memang mengantungi beberapa keuntungan dengan memiliki ayah seperti Arman yang memiliki kekuatan psichic yang hebat.
Tak diduga sambutan hangat datang dari kelompok berbaju ungu terang. Para ilusionist muda itu menyambut hangat kehadiranku dengan senyum cerah terpancar dari wajah mereka. Hari ini adalah giliranku mengasah keterampilan pikiranku dengan kelompok illusionist. Helena Ginka tersenyum lebar menerima kehadiranku.
Seorang gadis berambut ikal merah dengan perawakannya yang tinggi tersenyum kearahku. Sepasang matanya yang berwarna coklat tua menatapku ramah.
”Halo Calista. Masih ingat aku?”
Kusipitkan pandangan. ”Tentu saja. Kau gadis yang berteriak ketakutan sewaktu kelompok Zorca menyerang Oggie, kan?” sahutku ragu.
Gadis itu tertawa. ”Benar sekali. Aku Evelyn Keech. Kau tahu, Agnes mencambak rambutku keras sekali ketika ia menyusulku kedalam hutan dalam keadaan panik. Dia benar benar kejam dan tak berperasaan,” geramnya.
”Apakah kau baik baik saja waktu itu?” tanyaku bersimpati.
Ia mengangguk riang. ”Untungnya. Dan aku senang kau selamat dari cengkraman para penyihir jahat itu.”
Aku mengangguk bingung.
”Jadi. Kau adalah anak dalam ramalan Zorca rupanya. Tapi aku sudah menduganya,” ujarnya sedikit pamer.
”Hebat sekali. Tapi bagaimana kau mengetahui itu?”tanyaku berbasa basi.
Evelyn tertawa riang. ”Aku bisa merasakan energi yang besar dan kuat terpancar dari wajah pucatmu itu.”
Aku tersenyum getir ketika mendengar ia menyinggung wajah pucatku.
”Kau pasti bertanya tanya mengapa kami menyambutmu begitu hangat?”
Aku tersenyum bingung. ”Yah pasti. Sambutan kalian membuatku terkesan.”
Evelyn kembali tertawa riang. ”Kami bukan orang orang picik yang mengucilkan seseorang dengan kelebihan mereka yang menakjubkan. Kami dapat merasakan ketulusan yang kau sebarkan lewat auramu. Kau akan selalu diterima di kelompok kami.”
Para ilusionist muda ini seolah mengalami euphoria akan statusku sebagai penyihir naga Arkhataya. Beberapa diantaranya malah terang terangan menyatakan aku sebagai tamu kehormatan diberbagai kegiatan para ilusionist muda yang seringkali bermeditasi bersama.
Mereka membantuku belajar mengendalikan pikiran dan membaca ramalan. Meski terkadang aku mendapat penglihatan lewat mimpi namun itu tidak banyak membantu dan seringkali tidak akurat. Helena mengatakan selama beban pikiran masih terlalu banyak maka aku takkan bisa melepaskan aura positif ditubuhku untuk melihat atau membaca suatu pertanda dengan jernih.
Kekuatan para ilusionist tidak bisa dianggap remeh. Terbukti ketika Evelyn berhasil mendemonstrasikan kekuatannya mengendalikan pikiran seseorang dengan cara menghipnotisnya. Aku jadi teringat Tristan. Menurut Evelyn seorang penyihir biasanya akan lebih cepat menguasai tehnik ini mengingat ia memiliki rapalan mantra yang dapat membantu proses pengendalian pikiran. Dan keluarga Readick adalah pengendali pikiran yang hebat di lembah Crystal.
Makan siangku hari ini jadi terasa menyenangkan dengan keberadaan teman teman ilusionisku. Evelyn mengaku tak kuasa menahan haru ketika melihatku selalu makan siang sendirian sejak Tristan meninggalkanku. Suatu perhatian yang berlebihan menurutku.
Malam itu aku memimpikan Tristan. Kami berlari bebas ditengah padang rumput yang melambai lambai tertiup angin kencang. Cuaca musim panas yang cerah dan hangat membuat wajah beku Tristan terlihat hangat dan cerah kala menatapku. Kami berpegangan tangan seolah tak ingin melepaskan satu sama lain.
Tiba tiba awan hitam bergerak menutupi matahari yang bersinar terang. Wajah Tristan kembali membeku. Sosok laki laki asing berjubah hitam berdiri dihadapanku dan Tristan. Laki laki itu kini menatap tajam kearah kami. Meski samar namun wajahnya terlihat pucat seputih kapas. Ia tertawa keras dan lantang. Dengan cepat Tristan memelukku dan menjadikan tubuhnya sebagai perisaiku.
Laki laki itu berteriak memanggil namaku. Membuat seluruh tubuhku bergetar kencang ketakutan. Kemudian ia mengacungkan tangan kanannya kearah kami seolah memberi perintah pada sesuatu yang tak terlihat. Ia merapalkan sebuah kata kata yang menyerupai nyanyian sihir. Tristan menatapku panik seraya meneriakkan kata kata yang tak dapat kumengerti. Tiba tiba sesuatu yang besar merayap pelan dibelakang laki laki berjubah hitam tadi. Makhluk itu meliuk liuk seolah tengah menari mengikuti nyanyian sihir yang terdengar parau ditelingaku. Ular raksasa itu kini mendesis keras dengan tujuh kepalanya yang menatapku marah.
Tristan kembali berteriak dan mendorongku untuk menjauh namun terlambat. Nyanyian laki laki itu kini berganti dengan teriakan keras seperti kata kata perintah. Tujuh kepala ular raksasa itu saling berkejaran dan meluncur cepat kearah kami. Seketika itu juga aku menjerit kencang dan sangat ketakutan. Aku tersadar dari mimpi burukku oleh guncangan tangan Brisa di kedua bahuku.
”Aku melihatnya Bris.” getarku ketakutan.
Brisa menatapku tegang. ”Tenangkan dirimu.”
”Dia memanggilnya. Zorca memanggil makhluk jahat dari neraka itu.” seruku marah.
Brisa terpaku menatapku.

Writer : Misaini Indra

No comments:

Post a Comment