Protected by Copyscape Plagiarism Scanner

Tuesday 6 December 2011

Calista Kaz "Penyihir Naga Arkhataya" (Chapter 14)











14. HUTAN FARFASIAN

Orion menatapku bimbang. Disebelah kanannya duduk Prechia dalam keheningan. Sementara Otto Cursen terlihat lesu menatap kearahku.
”Kita tidak bisa mengabaikan apa yang telah dilihat oleh Calista. Besar kemungkinan Zorca telah membangunkan leviathan,” ujar Orion membuka percakapan.
Otto membetulkan letak duduknya lalu menatap Orion resah. ”Zorca akan semakin kuat dan tak terkalahkan dengan kekuatan leviathan. Sebaiknya kau mempersiapkan gadis itu karena dia satu satunya harapan kita,” sarannya penuh harap seraya menatapku.
Aku benar benar tidak menyukai ucapannya. Wajahku menegang.
Orion menghela napasnya perlahan. ”Jangan membebani masalah Zorca hanya pada satu orang. Sudah kewajiban kita semua disini untuk mencegah Zorca melakukan kerusakan yang lebih parah lagi.”
Ada sedikit kelegaan didadaku begitu mendengar ucapan bijak Orion.
”Sudah ada kabar dari Hordos?” tanya Titus yang sejak tadi hanya berdiri mematung.
Orion menggeleng. ”Sepertinya Gorick Valdes tidak begitu memperdulikan peringatanku.”
”Biarkan aku pergi ke Hordos untuk meyakinkannya, Orion,” sela Titus lagi.
Orion menatap Titus ragu. ”Kurasa tidak perlu. Tugasmu kali ini adalah membantu Calista memahami isi jurnal Obidia dan mempelajari sihirnya.”
Orion mengeluarkan sebuah buku jurnal tua yang pernah kulihat sebelum ini. Lalu menyorongkannya pada Titus. Dengan cepat Titus memegang buku jurnal tersebut.
”Mulai sekarang kau akan berada dalam bimbingan Titus dan Prechia. Kuharap kau memanfaatkan waktu yang sedikit ini dengan sebaik baiknya Calista,” mata biru Orion menatapku tajam.
Aku mengangguk pelan masih dengan ekspresi wajah tegang.
”Ini salah, Orion. Bagaimana jika ia gagal membangunkan Arkhataya seperti yang kita inginkan. Hanya karena sebuah ramalan kau ingin mempertaruhkan seluruh negri dalam genggaman seorang penyihir pemula,” protes Shenai dengan nada tinggi.
”Sudah cukup Shenai. Kau tidak bisa terus menerus menyalahkan nona Kaz karena terpilih dalam ramalan,” ingat Prechia galak.
Shenai menggerutu kesal. Namun ia hanya duduk bersedekap dan melirik masam kearahku.  
Orion menghembuskan napas. ”Sebaiknya kita memikirkan masalah ini dengan tenang. Beri kesempatan pada nona Kaz. Karena aku percaya jika ia akan menjadi seorang penyihir hebat yang akan membangunkan naga Arkhataya,” lirik Orion seraya tersenyum padaku.
Tubuhku bergetar. Meski aku senang Orion memberi dukungannya padaku tapi bagaimana jika Shenai Readick benar. Bagimana jika aku tidak dapat membangunkan naga Arkhataya dan melindungi lembah ini.
Kebimbangan yang merasuki pikiranku semakin mengacaukan rangkaian latihan sihirku dengan Titus. Aku bahkan tidak dapat berpikir jernih membaca rapalan rapalan sihir yang tertera dalam jurnal Obidia.
Titus menatapku resah. Instingku mengatakan jika ia sedikit kecewa padaku.
Namun aku tak ingin terhanyut oleh pikiran kalutku. Keesokan harinya suasana hatiku terasa jauh lebih baik. Dan aku bertekad untuk berusaha lebih baik pada latihan sihir kali ini.
Kubaca buku jurnal Obidia dengan cermat. ”Aku pernah mendengar rapalan sihir naga Arkhataya ini sebelumnya dalam mimpiku Titus,” ucapku mantap seraya menutup jurnal Obidia sedikit kasar.
Titus menatapku kagum. ”Benarkah. Itu hebat sekali Calista. Ceritakan padaku.”
”Obidia selalu datang dalam mimpi mimpiku hampir setiap saat. Tapi kurasa ada sesuatu yang kurang.” Kucoba untuk mengingat kembali mimpiku akan Obidia yang memanggil naga Arkhataya beberapa hari yang lalu.
Titus menatapku setengah berharap.
Kugelengkan kepala sambil mendengus kesal.
”Cobalah mengingatnya kembali secara perlahan. Jika Obidia hanya memberikan penggalan rapalan sihir ini dalam jurnalnya, besar kemungkinan ia sengaja melakukan hal itu dengan maksud tertentu.”
”Aku tak mengerti. Mengapa ia tidak menulis seluruh rapalan sihir Arkhataya di jurnalnya,” sahutku putus asa.
Titus menatapku lembut. ”Karena ia tak ingin jurnal ini jatuh ke pihak yang salah. Obidia telah memilihmu sebagai pewaris gelang pusaka Arkhataya. Itulah sebabnya ia datang dalam mimpimu dan memberitahu seluruh rapalan sihir Arkhataya.”
Aku mendesah ragu. Kurasa teori Titus ada benarnya.
”Kau akan menyelamatkan kami dari kehancuran yang akan dibuat Zorca,” ujar Titus mencoba meyakinkanku.
Kutatap Titus haru. Titus benar aku tidak boleh menyerah. Aku harus memanfaatkan waktu yang singkat ini untuk memperkuat sihirku.  Meski aku tahu, tidak mudah untuk mengalahkan kekuatan sihir Zorca. Tapi aku membutuhkan semua bantuan yang ada.
Titus mengajariku sihir angin. Dan dalam waktu yang cukup singkat aku berhasil menguasai sihir angin itu. Titus bilang aku telah memiliki kekuatan sihir itu sejak lama namun aku tidak terlalu menyadarinya. Seolah mengejar waktu mereka tidak membiarkan aku mengambil napas sedikit pun. Keesokan paginya Prechia telah menungguku di benteng Sandora untuk berlatih beberapa sihir tingkat tinggi yang dimilikinya.
Prechia berdiri tegak menatapku ramah. Dipunggung besarnya tergantung sebuah pedang dengan sarung kulit yang berhias manik manik emas disekililingnya.
”Kau sudah siap menerima pelajaran sihir dariku hari ini, Calista?” tanyanya riang.
Keriangannya membuatku ikut terbawa perasaan senang.
”Tentu saja nyonya Gold. Anda terlihat berbeda sekali. Bukan seperti seorang penyihir melainkan lebih menyerupai seorang ksatria,” selorohku.
Kutelusuri pakaian terusannya yang tebal dan panjang selutut serta celana ketatnya yang menyerupai pakaian seorang ksatria dengan sepatu bootnya yang berwarna keemasan.
Prechia terkikik geli. ”Kau terlalu berlebihan memujiku. Aku memang agak sedikit berlebihan dalam berpakaian untuk latihan hari ini. Tapi siapa yang perduli. Aku sedang bersemangat jadi kuharap kau memakluminya,” ujarnya seraya mengerjapkan matanya kearahku.
Salah satu sifat Prechia yang kusuka. Tidak pernah bersedih dan selalu berpikiran positif. Terbukti dari caranya melatih sihirku. Sabar dan selalu menyemangati. Prechia memiliki kekuatan pengendalian pikiran tingkat tinggi. Meski ia terlahir sebagai seorang penyihir bukan sebagai illusionis tapi ia berhasil menggabungkan dua kekuatan itu dan menjadikannya sebuah sihir ilusi.
Meski awalnya aku mengalami kesulitan untuk mengerti sihir ilusinya namun Prechia dengan sabar mengajariku secara perlahan. Sihir ilusi adalah sebuah rapalan sihir untuk mengecoh lawan dengan kekuatan cahaya yang membutakan. Pendaran Cahaya emas yang keluar dari pedang Prechia benar benar sangat menyilaukan dan membuat pandanganku jadi teralihkan. Untuk sesaat aku hanya melihat cahaya cahaya emas yang bergerak gerak ekstrem kesana kemari menyerupai liukan seekor ular kecil yang lama kelamaan menjadi besar dan membuatku panik hingga mengurungkan niatku untuk melancarkan serangan sihir. Dan dengan mudah Prechia menjatuhkan tubuhku hanya dengan satu gebukan ringan ujung pedangnya di punggungku.
”Kau telah merusak konsentrasiku, Prechia,” decakku kagum.
”Sayang sekali kau tidak bisa melihat seluruh kemampuan bermain pedangku yang hebat,” celotehnya riang.
”Sepertinya kalian mengalami waktu berlatih yang menyenangkan,” seru Orion dari belakang kami.
Prechia tertawa senang. ”Tentu saja Xander.”  Bola matanya kini berputar dan  ditatapnya Orion lekat lekat. ”Kuharap kedatanganmu untuk suatu hal yang penting,” ucapnya penuh nada penekanan.
Orion tertawa lepas. Lalu mengalihkan pandangannya kearah Titus, Shenai, Ness, Brisa dan Helena yang juga sudah berdiri disamping Orion. Sementara dari arah yang berlawanan Darren, Oggie, Agnes dan sebagian para pengajar sihir tingkat dasar dan menengah telah berdiri mengelilingi aku dan Prechia.
Perasaan gugup seketika menyelimutiku. Orion memberikan isyarat pada Brisa untuk mendekat. Brisa menghampiri Orion dengan sebuah kotak beludru persegi panjang dikedua tangannya. Orion segera membuka kotak berwarna biru tersebut. Kedua tangannya mengeluarkan sebuah gelang emas yang terukir gambar naga yang tengah tertidur melingkar. Gelang emas tersebut seolah bersinar saat tertimpa sinar matahari pagi.
”Mendekatlah Calista,” panggil Orion pelan.
Seluruh tubuhku terasa lemas. Sulit kupercaya jika aku pemilik pusaka yang memiliki kekuatan yang sangat dashyat itu. dengan ragu kuhampiri Orion. Kini posisi kami sudah sejajar. Orion mengangkat gelang Arkahtaya tinggi tinggi dan memutar tubuhnya kesekeliling kami.
”Atas nama ruh suci Obidia penemu lembah Crystal. Dengan ini aku, Orion Xander mengembalikan gelang Arkhataya pada pewarisnya yang sah. Cucu dari pemimpin hebat lembah Crystal, Ghorfinus Anthea yang telah diwariskan oleh ayahnya, penemu lembah Crystal sebelumnya yaitu Staphilas Anthea.”
Kini Orion berdiri tegak dihadapanku. Kedua matanya menatapku dalam. ”Calista Kaz. Dengan ini kunyatakan kau adalah penyihir naga Arkhataya sekaligus ksatria sihir pelindung lembah Crystal. Terimalah warisanmu.”
Kemudian Orion memakaikan gelang emas Arkhataya ke lengan kananku diiringi dengan tundukan kepala hormat dari para pengajar yang tengah mengelilingiku.
”Pergunakan dengan sebaik baiknya Calista,” bisik Orion seraya menundukkan kepala sebagai tanda penghormatannya padaku.
Setitik air mata haru menetes dipipiku. Aku bahkan tidak dapat menahan emosiku yang begitu dalam  kala mereka kembali berdiri tegak dan menatapku penuh harap.
Kutatap mereka dengan pandangan haru. ”Aku berjanji akan melindungi lembah Crystal dengan nyawaku,” desahku pelan.
Semua pasang mata menatapku dengan keyakinan mendalam meski itu sulit kutemukan di sepasang mata gelap Shenai Readick.
Kutatap gelang emas Arkhataya yang kini berada dilengan kananku. Begitu pas dan nyaman berada disana. Masih sulit kupercaya jika aku adalah pewarisnya.
”Selamat Calista. Sekarang kau adalah bagian dari lembah ini.”
Kutatap sepasang mata keemasan  yang menatapku dalam.
”Sepertinya kita akan sering bertemu,” gurauku mencoba berbasa basi.
Ness tertawa. ”Sepertinya begitu.”
Aku terdiam sesaat. Kutatap langit biru yang terlihat cerah dengan gundah.
”Kami akan selalu berada disampingmu untuk melawan Zorca,” suara Ness melembut seolah merasakan keresahanku.
Aku tertawa sumbang. ”Terimakasih. Aku memang membutuhkan itu.”
Kedua mata kami saling bertatapan. Aku bisa merasakan jika percakapan ini adalah keakaraban kami yang terakhir.
Malam itu aku tertidur cepat. Rasa lelah yang kurasakan tak hanya secara fisik tapi juga batin. Obidia mendatangiku dalam mimpi. Mimpi yang sama yang pernah kualami sebelumnya. Dan kali ini aku berhasil mengingat sebagian rapalan mantra pemanggil naga Arkhataya yang hilang dari jurnal Obidia. Bisa kubayangkan wajah sedih Titus berganti cerah jika mendengar semua ini.
Tapi keadaan tidak secerah yang kuharapkan karena keesokannya lembah Crystal kedatangan tamu kejutan dari kota Hordos. Sebagian dari mereka datang dalam keadaan terluka parah.
Kota Hordos telah jatuh. Rufus, kaki tangan Zorca telah menghanguskan sebagian kota penghasil batu terbesar itu. Banyak para pejuang Hordos yang memiliiki kekuatan telekinetis mati atau berada dalam penawanan. Sedangkan pemimpin mereka Gorick Valdes tewas ditangan Rufus.
Yera, janda pemimpin Hordos berhasil melarikan diri dengan luka didada bersama lima orang pengawalnya ke lembah Crystal. Dan malam itu kastil Crystal kembali mengadakan pertemuan yang kini diiringi perdebatan sengit karena sebagian mulai meragukan pertahanan lembah Crystal dan meminta Orion meminta bantuan ke negri Amorilla pada raja Zordius.
”Kita belum membutuhkan Amorilla dalam pertempuran ini,” ujar Orion bijak.
”Jangan naif Orion. Kau tidak akan dapat membendung kekuatan Zorca. Dia bertambah kuat setiap harinya seiring bergabungnya kembali para pengikut Tisco yang dulu melarikan diri,” singgung Otto kesal.
”Tapi kita belum mengetahui secara pasti apakah Zorca benar benar memiliki kekuatan leviathan,” nada suara Orion meninggi menanggapi ucapan Otto yang semakin meresahkan semua orang diruangan ini. Otto Cursen  terdiam kesal.
Wajah Yera terlihat pucat menahan sakit. Wanita separuh baya dengan perawakannya yang tinggi besar terlihat menegang. ”Maafkan aku Orion yang agung. Aku rasa Zorca telah memiliki kekuatan yang kau maksudkan tadi. Ia telah membawa makhluk dari neraka itu ke jantung kota Hordos dan menghancurkan hampir seluruh negri kami hanya dalam hitungan jari!” serunya dramatis.
Seluruh orang yang berada diruang pertemuan langsung bergumam tak dapat menutupi rasa takut mereka. Mereka nampak resah dan mulai saling berbicara menyuarakan keinginannya.
”Tenang!” seru Orion marah.
Seketika mereka terdiam
”Katakan padaku Yera. Seperti apa makhluk iblis itu?” tanya Orion
Wajah Yera terlihat pucat dan menciut. ”Ular raksasa berkepala tujuh yang mengerikan. Semua senjata dan pukulan kami tak dapat melukainya. Kulitnya seperti baja yang tak dapat ditembus. Ia memakan apa saja yang ada dihadapannya,” getar Yera marah.
Semua kembali panik dan berseru resah.
”Makhluk itu juga akan menghancurkan lembah Crystal dalam sekejap jika anak itu tidak sanggup membangunkan Arkhataya!” teriak Shenai dengan nada tinggi diiringi seruan persetujuan dari penyihir lainnya.
Prechia dan Helena mencoba untuk menenangkan semua orang. Kugigit bibirku, berusaha menyembunyikan amarah yang tertahan pada Shenai. Ia selalu saja membuat keberadaanku semakin kecil dihadapan orang orang ini.
”Kita sudah mempercayai Calista sebagai pewaris sekaligus pelindung lembah Crystal. Kuharap kau menghargai itu, Shenai.” Ingat Brisa mencoba untuk membelaku.
Ditatapnya Brisa dengan senyum mengejek. ”Kau terlalu muda untuk memahami apa yang tengah terjadi Bris,” sindirnya halus.
Brisa mendengus kesal. Shenai tersenyum puas.
”Keadaan semakin genting Orion. Kau harus memutuskan nasib kami saat ini juga,” pinta Helena memberanikan diri berbicara.
Pikiran Orion menerawang untuk sesaat. Lalu ia menghela napas panjang. ”Aku akan pergi ke Amorilla malam ini juga. Aku akan kembali secepatnya. Semoga saja kita mendapatkan kabar baik dari Zordius nanti,” tatapnya kesekeliling ruangan menunjukkan keyakinan bahwa semuanya akan terkendali.
Semua orang diruangan ini tampak puas meski terlihat masih tegang.
Malam itu Orion pergi ke Amorilla dengan mengendarai pegasus. Tiga hari perjalanan ke Amorilla ditempuhnya hanya dalam waktu sehari bersama dengan pegasus.  
          Sementara itu Prechia semakin memperketat pengawasan dan mengirim beberapa ksatria untuk mengamati keadaan di luar lembah. Keadaan ini tidak memadamkan semangatku untuk meningkatkan kemampuan sihirku. Aku harus siap untuk kemungkinan terburuk. Tapi terus terang aku tak ingin mati ditangan Zorca.
          Siang itu Titus membawaku pergi ke sebuah perbukitan yang terletak diperbatasan laut Belma. Di dalam jurnal sihir Obidia berisi petunjuk mengenai sejarah lembah Crystal. Dan dalam jurnal tersebut, Obidia juga menyinggung legenda naga Arkhataya. Disana dikatakan jika Arkhataya tertidur di salah satu gua terbesar. Namun Obidia tidak menyebutkan secara spesifik letak gua tersebut. Titus mengatakan padaku disekitar perbukitan dekat perbatasan laut Belma banyak terdapat gua. Dengan wajah senang yang sulit kusembunyikan, akhirnya aku dan Titus berjalan mendaki menyusuri perbukitan yang curam. Beberapa kali aku hampir tergelincir jatuh namun dengan cekatan Titus memegangku dan membantuku berdiri. Awalnya banyak gua gua kecil yang membingungkan namun akhirnya kami berhasil menemukan sebuah gua besar yang gelap dan terlihat licin karena ketebalan lumut didalamnya.
”Kemungkinan ini gua tempat Arkhataya tertidur,” gumam Titus seraya membaca kembali jurnal Obidia dengan serius.
Kugelengkan kepalaku. ”Kurasa ini bukan gua yang dimaksud. Gua itu tersembunyi. Tertutup air terjun besar yang aliran airnya sangat deras dan berisik,” desahku ragu.
Titus menatapku bingung. ”Tapi sedari tadi kita telah menyusuri bukit ini. Dan gua ini adalah satu satunya gua terbesar yang ada. Disini tidak ada air terjun seperti yang kau maksudkan Calista, kecuali...” ujarnya agak ragu ragu.
”Kecuali apa Titus?” tanyaku penasaran.
Titus menatapku dengan wajah sedihnya yang berkerut. ”Sebenarnya ada sebuah air terjun yang kau maksudkan,” dengusnya.
Kutatap Titus mantap. ”Lalu apa yang kita tunggu. Antarkan aku kesana, Titus.”
Titus menggaruk kepalanya yang tidak gatal. ”Tapi air terjun itu tidak ada di lembah ini,” sahutnya penuh teka teki.
”Jangan membuatku bingung. Aku tidak suka menebak nebak,” rengutku kesal.
”Air terjun itu berada di dalam hutan Farfasian. Dan kita harus melakukan sedikit perjalanan kearah barat daya untuk menuju hutan itu,” ujar Titus seraya mengangkat kedua bahunya.
Aku tersenyum hambar.  Kutatap Titus lurus lurus. ”Baiklah. Aku tak perduli jika kita harus melakukan sedikit perjalanan kesana.” Aku berusaha meyakinkannya dengan kata kataku.
Titus terdiam sesaat. ”Situasi sangat berbahaya diluar sana. Aku tak yakin Prechia mengijinkan kita melakukan perjalanan saat ini.”
”Kalau begitu cobalah untuk membujuknya Titus. Kita tidak memiliki banyak waktu. Atau kau lebih memilih leviathan Zorca menghancurkan lembah ini,” sentakku kesal. Aku tahu nada suaraku sangat tidak sopan tapi aku benar benar buntu.
Titus menghela napas panjang. Kemudian duduk disebuah batu besar dengan pikirannya yang menerawang. ”Aku akan mencoba bicara padanya,” ucapnya ragu.
Keraguan Titus terbukti. Wajah Prechia menegang ketika mendengar permintaanku dan Titus. Ditatapnya Titus dan aku bergantian.  ”Apakah kau yakin dengan penglihatanmu itu Calista,” nada suara Prechia terdengar lebih serius.
Kuanggukan kepalaku. ”Ya Prechia. Aku sangat yakin.”
Lalu Prechia mengalihkan pandangannya kearah Titus. ”Bagaimana denganmu Titus. Mengapa kau begitu yakin sekali jika air terjun yang dimaksudkan Calista berada di dalam hutan Farfasian?”
Titus menatap Prechia ragu. ”Sebenarnya aku tidak begitu yakin Prechia, tapi setahuku hanya hutan Farfasian yang memiliki air terjun terbesar yang dimaksudkan Calista dalam mimpinya.”
”Tidak ada salahnya jika kami mencoba untuk melihatnya kesana, Prechia. Hanya untuk meyakinkanku!” seruku tertahan mencoba meyakinkan Prechia.
Prechia mendesah. Ditatapnya wajahku dan Titus bergantian.
”Berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk sampai kesana,” kali ini sepasang mata coklat gelapnya menatap Titus meminta jawaban pasti.
”Tiga hari penuh tanpa istirahat,” sahut Titus.
”Jadikan empat hari. Aku tak ingin kau membuat penyihir naga Arkhataya kita kelelahan dan jatuh sakit di saat penting nanti,” kerling Prechia.
Aku hanya tersenyum getir mendengar candaannya.
Keesokan paginya aku dan Titus telah memacu kuda kuda kami menuju arah barat daya. Seharian sudah kami memacu kuda tanpa berhenti. Semangat yang berkobar didadaku membuat aku sempat menolak peringatan Titus untuk beristirahat sebentar demi kuda kuda kami yang kelelahan.
Wajah sedih Titus terlihat tegang dan selalu waspada menatap kesekeliling kami. Sepertinya ia sangat memperhatikan keselamatan kami lebih dari apa pun. Bahkan disela sela perjalanan kami Titus menyempatkan diri untuk mengajarkanku beberapa trik sihir angin yang ia punya. Menurutnya aku harus memiliki segala keahlian sihir yang berbeda untuk mempertahankan diri. Apalagi mengingat sekarang aku telah menjadi ksatria sihir pelindung lembah Crystal. Sudah pasti banyak penyihir jahat yang menginginkan pusaka Arkhataya yang berada ditanganku.
Menginjak hari kedua menuju hutan Farfasian kami mengalami sedikit masalah. Kuda jantan tungganganku mengamuk tiba tiba dan menggulingkan tubuhku hingga terhempas keras ke tanah. Dengan cepat Titus mengejar kuda itu membisikkan sesuatu untuk menenangkannya. Titus menghipnotis kudaku dan membiarkannya tertidur dalam keadaan berdiri.
”Aku tak mengerti mengapa kuda itu menjadi gila dan tak terkendali, Titus,” gerutuku kesal seraya menahan rasa nyeri dibahu kananku.
Titus tak langsung menjawab. Ia hanya mengalihkan pandangannya kesekeliling kami.
”Sampai berapa lama kita akan tertahan disini,” ucapku lagi tak sabar.
Titus menatapku linglung. ”Sampai kuda ini tenang dan cukup istirahat,” sahutnya acuh. Kedua mata sedihnya kini terlihat waspada dan kembali mengarahkan pandangan kesekeliling kami.
”Apa ada yang aneh. Kau seperti kehilangan sesuatu,” kataku datar mencoba membaca airmukanya.
Sadar telah membuatku curiga Titus menatapku serius. ”Sepertinya kita diikuti,” ucapnya terus terang tanpa berusaha untuk menakutiku.
Jantungku berdebar cepat. ”Kau yakin,” bisikku mencoba bersikap tenang.
”Nampaknya penguntit kita telah melakukan sesuatu pada kuda tungganganmu ini. Kurasa orang itu tidak terlalu jauh dari kita. Aku hanya tidak dapat merasakan kehadirannya. Aneh sekali,” gumam Titus sendirian.
Kucoba meredam rasa takutku. Sia sia. Jantungku malah berdebar lebih kencang dari yang tadi. Aku benci dengan kepengecutanku ini.
”Cobalah bersikap wajar. Siapapun dia kurasa tidak terlalu berbahaya,” Titus mencoba menenangkan.
”Darimana kau tahu itu,” tandasku sengit berusaha merendahkan nada suaraku.
”Karena, sejauh ini orang itu tidak melakukan apa apa ditempat terbuka seperti ini. Sepertinya ia menunggu kelengahan kita jadi berhati hatilah Calista,” sahut Titus setengah berbisik seraya mengelus elus leher kuda tungganganku yang tengah tertidur.
Aku mengikuti saran Titus dan berusaha bersikap biasa. Berbaring dengan satu mata terbuka bukanlah hal yang menyenangkan. Tapi aku terlalu takut untuk memejamkan kedua mataku hingga pulas meski Titus menyuruhku untuk tidur dan tak perlu cemas karena ia akan berjaga disampingku.
Ini sangat menyebalkan. Bagaimana jika Titus kelelahan dan tertidur. Orang itu pasti akan membunuh kita berdua dalam keadaan tak sadar. Tengkukku merinding. Bukan karena dinginnya malam. Namun karena rasa cemas berlebihan akan takutnya ancaman dari pengintai kami.
Paginya wajah Titus terlihat kusut. Dia benar benar terlihat lelah dan tidak tidur semalaman hanya untuk menjaga keselamatan kami. Kutatap Titus iba. ”Sebaiknya aku yang berjaga nanti malam supaya kau bisa sedikit beristirahat,” ujarku menawarkan.
Titus tersenyum hambar. ”Tenang saja Calista. Sebelum makan siang kita pasti sudah sampai diperbatasan hutan Farfasian. Kuharap pengintai kita tidak akan mengikuti hingga kita masuk Farfasian.”
”Apa yang membuatmu seyakin itu,” desahku cemas.
Titus tersenyum tipis. ”Kebanyakan orang tidak berani memasuki hutan Farfasian karena mereka berpikir hutan itu menyeramkan dan sangat berbahaya.”
Kutatap Titus serius. ”Tapi itu tidak benar kan?”
Titus menatapku ragu ragu. ”Mungkin ada benarnya. Karena hampir semua penghuninya adalah makhluk buangan.”
Bagus. Ucapan Titus kembali menciutkan nyaliku. Kurasa aku harus mengumpulkan seluruh keberanianku untuk memasuki hutan tempat kelahiran Zorca tersebut.
Kami tiba diperbatasan hutan Farfasian menjelang makan siang. Kusodorkan roti mentega kearah Titus yang langsung melahapnya hingga tersedak. Kutepuk punggungnya pelan sewaktu roti mentega itu tersangkut ditenggorokannya.
”Aku tahu kau kelaparan. Tapi cobalah memakan roti itu perlahan lahan,” ujarku geli seraya menyorongkan tempat minumku padanya.
Titus langsung menenggak isinya tak memperdulikan peringatanku.
”Hey sisakan sedikit untukku,” protesku kesal.
Wajah Titus memerah. ”Maaf,”sahutnya malu malu.
Kupandangi hutan di depanku ini. Begitu hijau dan lebat. Sepertinya hutan ini menyimpan sejuta misteri didalamnya. Begitu dingin dan misterius.
Titus menatapku was was. ”Sebaiknya kau menyiapkan serangan sihir terbaikmu untuk kemungkinan terburuk di depan kita nanti,” kata katanya membuatku berpikir dua kali untuk memasuki hutan ini.
Kuhembuskan napasku kuat kuat. Lalu menganggukkan kepala dengan mantap.
Kami memasuki Farfasian perlahan. Menembus jejeran pohon pinus yang sebagian telah menggugurkan daun daunnya disepanjang jalan setapak hutan ini yang tak nampak karena tertutup tebalnya daun daun kering yang telah berguguran. Sepertinya angin dingin yang bertiup kencang dalam hutan ini ingin menyampaikan pada kami jika musim panas mulai berganti dengan musim gugur.
Kurapatkan jaket dan meyakinkan perasaanku yang terasa ganjil. Kulirik Titus yang terlihat santai menyusuri jalan tiga langkah didepanku. Tiba tiba kurasakan ujung sepatu boots ku tersandung benda keras. Tepatnya sesuatu entah apa telah menendang ujung kakiku sangat keras hingga aku terjerembab jatuh ke depan. Kurasakan wajahku menghantam tanah yang tertutup dedaunan kering yang telah berguguran. Belum sempat aku tersadar dan mencoba untuk bangun. Sesuatu yang tidak terlihat menarik lengan kananku mencoba melepaskan gelang pusaka Arkhataya yang tengah kukenakan. Aku menjerit berusaha untuk mempertahankannya dari sesuatu yang tak terlihat dan kini tengah berusaha melucutinya dari lengan kananku.
Melihat itu, Titus langsung menyerukan rapalan mantra seraya mengacungkan tangan kanannya kearahku. Tubuhku terpental keras hingga jatuh terduduk di tanah. Dan entah darimana datangnya, tiba tiba sosok laki laki cebol dengan wajah tua menyeramkan, berjanggut panjang dengan sekujur tangannya dipenuhi bulu bulu muncul begitu saja dan ikut jatuh terduduk disampingku. Suara paraunya terdengar berteriak kesakitan seraya mengelus elus kepalanya seolah tengah kesakitan atau telah kehilangan sesuatu. Sepasang matanya yang bulat berwarna hitam pekat menyorot tajam kearahku.
Aku terpekik ketakutan. Ia menyeringai marah lalu mengalihkan pandangannya pada sebuah helm yang menyerupai topi logam berwarna keperak perakan yang tergeletak tak jauh dari kakiku. Seperti seekor monyet, dengan lincah ia bangun dan melompat kearah helm logam itu berada. Namun ia kalah cepat karena Titus telah memantrai helm logam itu yang langsung melayang di udara lalu melesat cepat dan mendarat tepat di atas tangan Titus.
Ia mengeram marah. Dan melampiaskan marahnya dengan melayangkan kapak kecilnya kearahku, tapi aku jauh lebih siap berkat peringatan Titus. Kuteriakan mantra dasar untuk melayangkan kapak kecil itu diudara sekaligus mengarahkan mantra  pelumpuh ke tubuhnya hingga membuatnya jatuh berdebam dan tak bergerak. Kedua mata hitamnya mendelik marah dan mulutnya menyumpah nyumpah dengan mengeluarkan kata kata kasar yang terdengar parau di kupingku.
Aku bangun dari tempatku terjatuh dan berdiri disamping Titus dengan sikap waspada. Titus tersenyum bangga kearahku. ”Bagus Calista. Kau berhasil melumpuhkan si pengintai kita,” seraya menepuk nepuk bahuku.
”Siapa dia,” tanyaku resah.
Titus tertawa. ”Kau belum pernah melihat dwarf sebelum ini, ya?” tanyanya heran.
Aku menggeleng. ”Dia berusaha mengambil gelang Arkhataya dariku,” sengitku seraya menatap marah kearah manusia kurcaci yang disebut oleh Titus sebagai dwarf itu.
”Brengsek! Lepaskan aku makhluk rendahan,” maki si dwarf marah sambil meronta ronta.
Titus mengamati helm berbahan logam dalam genggaman tangannya. Sang pemilik helm tersebut langsung saja naik pitam dan berteriak seperti orang gila. ”Kembalikan helmku, manusia tolol tak berguna!” teriak si dwarf marah.
Titus menatapnya dengan rasa penasaran. ”Mengapa kau mengikuti kami?” tanyanya sopan.
”Jangan bodoh Titus. Tentu saja untuk merebut gelang Arkhataya ini,” bisikku kesal.
Titus mendengus resah. ”Siapa namamu?” Ia masih berusaha menjaga sikap sopannya.
Dwarf tersebut kembali tertawa keras seolah melecehkan pertanyaan Titus.
Benar benar membuang waktu. Gusarku. Kulihat Titus kembali mengamati helm logam ditangannya itu. Dan dengan perlahan ia memakai helm logam itu ke kepalanya. Hal aneh pun terjadi, sosok Titus seketika itu juga menghilang.
Aku terpekik kaget dan menyerukan namanya. Sementara dwarf yang tak berkutik itu langsung berteriak marah dan menyumpah nyumpah agar Titus segera melepaskan helm itu atau ia berjanji akan membunuhnya.
”Ini hebat!” seru Titus senang seraya melepas helm logam tersebut dan seketika itu juga sosoknya kembali terlihat.
”Apakah helm itu yang membuatnya menghilang?” tanyaku setengah berteriak pada Titus untuk menandingi suara parau makhluk menyebalkan yang dirundung marah itu.
”Sepertinya begitu,” gumam Titus seraya mengusap usap helm logam yang berada ditangannya itu pelan.
”Kembalikan helm itu. Helm itu milikku,” gerutu si dwarf geram.
”Pantas saja aku sempat tak dapat merasakan kehadiranmu untuk beberapa waktu. Kau pasti menggunakan helm ini untuk melindungi keberadaanmu,” gumam Titus setengah berpikir.
Si dwarf semakin menggila. Kali ini ia berteriak teriak minta dibebaskan dari mantra pelumpuh yang membelitnya. Sepasang mata gelapnya kini menatap liar kearah kami seolah telah bersiap siap untuk membunuh kami kapan saja. Kuambil kapak kecil miliknya yang tergeletak di tanah.
”Katakan pada kami siapa kau dan mengapa kau ingin mengambil gelang pusaka milikku!” ancamku setengah berteriak.
Ia menggerutu untuk beberapa saat. Kupegang erat kapak miliknya dalam genggamanku. Kapak ini cukup berat mengingat ukurannya yang kecil, sepertinya terbuat dari logam besi.
Sepasang mata hitamnya mengawasiku tajam. ”Aku Alberich sang penjaga harta Amon dan pemilik Tarnhelm yang kau pegang itu,” gerutunya kesal.
”Amon? Maksudmu negri dwarf di wilayah barat dekat perbatasan hutan Farfasian ini?” tanya Titus penasaran.
”Dimana lagi bodoh! Hanya itu satu satunya negri dwarf yang tersisa,” geramnya menahan marah.
Titus menelan ludah. Keningnya sedikit berkerut.
Dengan kesal kutatap wajah Alberich. ”Kau kasar sekali,” tukasku dingin.
Perkataanku hanya membuatnya tertawa. Kini Alberich menatapku tajam. ”Aku belum pernah menemui penyihir sebodoh kalian berdua, sebelumnya,” sindirnya mengejek kami.
”Dengar Alberich. Kami tidak memiliki banyak waktu. Tapi kami tak bisa melepaskanmu begitu saja mengingat kau telah mencoba merebut gelang Arkhataya. Jadi kami terpaksa meninggalkanmu dalam keadaan seperti ini,” nada suara Titus terdengar mengancam.
”Kalian memang penyihir rendah. Bebaskan aku dari mantra ini atau aku akan menghabisi kalian,” teriakannya kali ini lebih keras dan terdengar putus asa.
Belum sempat Titus menyahut. Sebuah jeritan nyaring mengejutkan kami seketika. Titus menengadahkan kepalanya keatas untuk menatap langit. Wajah sedihnya terlihat resah. ”Harpy,” gumamnya sendirian.
Alberich tertawa senang. Dipandanginya kami satu persatu dengan sorot mata licik. ”Kalian takkan selamat dari mereka. Kecuali kalian membebaskanku,” ujarnya sombong.
Kulayangkan pandangan kearah Titus. ”Apa itu Harpy?” tanyaku bingung.
”Sekelompok manusia penuh cela yang dikutuk menjadi hewan pemakan bangkai manusia,”  desis Alberich menjawab pertanyaanku.
Seketika itu juga jantungku berdebar kencang. Kulirik Titus dengan cemas.
”Jangan dengarkan dia, Calista. Harpy tidak akan menganggu kita karena kita belum menjadi bangkai,” gumam Titus mencoba menenangkanku.  
Perkataan Titus membuat hatiku berlubang.
Alberich tertawa licik. ”Mereka akan menemukan cara agar kalian mati,” seru Alberich menakutiku.
”Bisakah kau tutup mulutmu itu,” seru Titus kesal.
”Jika kau kembalikan helmku!” seru Alberich tak mau kalah.
”Dan memberikan kesempatan bagimu untuk menghilang dan mengambil gelang Arkhataya? Jangan berharap teman!” wajah Titus menegang.
Jeritan itu kini kembali terdengar. Dan kali ini sangat dekat, seakan akan berada diatas kepala kami. Kudongakkan kepala menatap langit diantara tingginya pepohonan pinus yang menghalangi pandanganku. Samar samar dari jarak tempatku berdiri dua burung raksasa melayang layang dan kembali mengeluarkan suara jeritan tinggi yang sangat mengganggu.
”Sepertinya burung burung itu tidak berbahaya,” kutatap Titus meminta persetujuan.
Alberich kembali terkekeh geli. ”Sebaiknya kau tarik ucapanmu dan lihat mereka lebih jelas. Karena mereka sama sekali tidak mirip dengan burung, gadis tolol!” sindirnya sinis padaku.
Meski kesal dengan olok oloknya namun kuturuti saran Alberich dan kembali menatap langit untuk memastikan bentuk dua burung raksasa melayang layang diatas langit itu. Seketika itu wajahku menjadi pucat. Hewan bersayap yang menyerupai burung diatas sana ternyata memiliki bentuk yang aneh. Tubuhnya terlihat menyerupai tubuh manusia dengan kedua tangan dan kakinya seperti cakar burung elang. Ia memiliki kepala wanita dengan rambut merah yang acak acakan. Namun wajah itu sangat menyeramkan dengan hidung, dan dagu yang lancip serta gigi giginya yang bertaring. Harpy memiliki bentuk mata yang agak menonjol dan menyorot tajam. Pandangannya terlihat tegas dan jeli mengamati kesekeliling seolah olah mencari sesuatu.
”Cepat lepaskan mantra sial ini. mereka pasti sudah dapat mencium bau kita dalam jarak sedekat ini!” teriak Alberich kesal.
Alberich benar. Belum sempat Titus menyetujui permintaannya, seekor Harpy terbang rendah dengan kedua tangannya berusaha meraihku dengan cakar cakarnya yang  tajam. Aroma busuk tercium kental diujung hidungku seiring kehadiran makhluk terkutuk itu. Dengan cepat aku berguling seraya melancarkan mantra sihir untuk menjungkalkannya namun sayangnya meleset.  
Alberich berteriak panik meminta Titus melepaskan belitan mantra pelumpuh ditubuhnya. Titus bergegas menghampiriku namun Harpy kedua bergerak lebih cepat. Terbang lebih rendah lagi dan menancapkan kedua kakinya yang memiliki cakar cakar yang sangat tajam ke tubuh gempal Alberich yang menjerit kesakitan.
Titus tidak tinggal diam dan segera melontarkan sihir anginnya kearah Harpy kedua yang membawa Alberich. Kali ini berhasil, Harpy kedua melengking kesakitan terkena angin kencang yang menghantam tubuhnya dan hilang keseimbangan. Cengkraman cakar cakar kedua kakinya terlepas dan menghempaskan Alberich jatuh tujuh langkah dari ketinggian hingga ke tanah. Alberich mengerang kesakitan. Dengan cepat kulafalkan mantra sihir asapku yang menggulung tubuh gempal kurcaci menyebalkan itu dan membawanya kehadapanku.
”Tunjukkan tempat persembunyian yang aman dari para Harpy terkutuk itu,  Alberich!” teriak Titus panik. Mencoba melakukan penawaran.
”Helmku,” erang Alberich kesakitan.
”Kau akan mendapatkannya setelah mengeluarkan kami dari sini,” teriak Titus kesal.
Alberich menganggukkan kepala tanda persetujuan. Dengan anggukkan dari Titus aku segera membebaskan Alberich dari mantra pelumpuh. Kedua Harpy tadi kini terlihat menjerit jerit mengeluarkan suara yang memekakkan telinga.
”Mereka memanggil kawanannya,” desis Titus dingin.
”Ayolah kita harus bergerak cepat!” teriakku panik menahan keresahan.
Dengan cekatan Titus memapah Alberich yang meringis menahan rasa nyeri disekujur tubuhnya. Seolah telah mengetahui rencana pelarian kami. Mereka terbang rendah dan menukik tajam kearah kami. Kembali aroma busuk menembus hidungku membuat perutku terasa mual. Dengan cepat kulayangkan sihir asapku kearah mereka. Kini kedua Harpy tersebut berada dalam gulungan asap hitam buatanku. Mereka menjerit dan berusaha mengepakkan sayap besar mereka sekuat tenaga untuk melepaskan diri. Tapi sihir asapku terlalu kuat untuk dipatahkan.
Ketakutanku semakin menjadi. Sepasang Harpy kembali datang dan menjerit kencang siap untuk menyerang kami. Aku dan Titus segera angkat kaki secepat mungkin dari tempat ini dan berlari sekuat tenaga diantara deretan pohon pohon pinus mengikuti langkah langkah pendek Alberich yang berlari di depan kami. Sepasang Harpy yang baru datang seakan tak rela membiarkan kami lolos, terus terbang rendah dan menukik tajam diantara pepohonan pinus untuk memburu kami.
”Sudah dekat! Bertahanlah!” parau Alberich dengan napas terengah engah.
Follones!” teriak Titus menjungkalkan satu Harpy yang nampak bernapsu mengejar kami.
”Sekarang lompat!” teriak Alberich memberikan peringatan pada aku dan Titus.
Kami melompat berbarengan ke dalam sebuah galian tanah yang sangat dalam dan gelap. Tubuh kami terus berguling dan terperosok masuk lebih dalam hingga akhirnya berhenti dan terhempas ke tanah lembek yang lembap karena genangan air.
Titus membantuku berdiri. Dengan kesal kucoba untuk mengibaskan kotoran kotoran tanah yang menempel di bajuku. Pekerjaan sia sia. Kotoran tanah itu malah semakin meresap ke dalam serat serat di bajuku. Kulirik Titus yang berdiri mematung disampingku. Lalu menatap ke depan kami dan mendapati Alberich tengah tersenyum licik seraya memegangi helm logamnya.
”Dia mendapatkan kembali helm itu Titus!” seruku panik.
”Brengsek! Kau telah menjebak kami kan!” teriak Titus marah.
Alberich tertawa sumbang. Dengan cepat ia mengenakan helm logamnya dan seketika itu juga sosoknya menghilang.
”Kembali dwarf sial! Kau harus membawa kami keluar dari sini!” teriakku putus asa dan terduduk lemas di tanah lembap yang menjijikkan ini.
Titus menghela napas. ”Perjanjian yang adil. Setidaknya ia telah menyelamatkan kita dari para Harpy itu,” gumamnya.
”Dan membawa kita ke lubang kelinci yang menjijikkan ini,” tukasku sinis.
Titus mengangkat bahu. ”Jika Alberich membawa kita kesini. Aku yakin ada jalan keluar dari sini, Calista.” gumamnya pelan.
Kupandangi terowongan tanah yang gelap dan panjang di depan kami dengan kesal. Sepertinya perjalanan menuju air terjun tempat bersemayam naga Arkhataya tidak semudah seperti perkiraanku.
Writer : Misaini Indra

No comments:

Post a Comment