Protected by Copyscape Plagiarism Scanner

Tuesday 13 December 2011

Calista Kaz "Penyihir Naga Arkhataya" (Chapter 15)

15. GUA ARKHATAYA

Berada di tempat gelap seperti ini benar benar membuatku putus asa. Meski Titus telah berusaha keras membuat api keluar dari jemarinya namun cahaya yang keluar terlalu lemah. Berkali kali kakiku menginjak genangan air kotor dan hal itu semakin menambah kekesalanku.
”Sihir api memang bukan keahlianku,” seringai Titus gugup seolah membela diri.
”Seharusnya kau lebih memperhatikan pelajaran sihir api sewaktu kau seusiaku. Mana tahu kita akan mengalami hal menyebalkan seperti ini,” sindirku halus.
Wajah tirusnya berkerut. ”Kau benar. Tapi Orion dan Prechia menganggap sihir api terlalu berbahaya untuk dipelajari. Jadi kami hanya mempelajari sihir dasarnya saja. Yah seperti yang kau lihat hasilnya hanya seperti ini,” Titus mengibaskan jemari kanannya hingga membuat api kecil yang tersulut menjadi padam terkena hembusan angin dari kibasan tangannya sendiri.
Aku merengut kesal.
”Maaf,” ujarnya seraya menyulut kembali api redup dari telunjuk tangan kanannya.
”Tapi, mengapa Ghorfinus membiarkan semua pengikut Zorca memiliki kekuatan sihir api yang begitu besar dan mengerikan,” desisku penasaran.
”Karena mereka mempelajarinya secara diam diam. Meski kakekmu, Ghorfinus telah mengeluarkan larangan untuk mempelajari sihir api dengan alasan terlalu berbahaya dan sangat merusak. Tapi Zorca tak perduli. Diam diam ia mengajarkan sihir itu pada murid muridnya,” tangan Titus kini meraba raba pinggiran terowongan gelap sambil merasakan kelembapannya.
Aku mengerutu sendirian. Kakiku kembali menginjak genangan air kotor. Sepatu bootsku basah. Kini aku merasa lembap dan semakin kedinginan.
”Aku lelah Titus. Dan aku benci kegelapan,” rengekku menyebalkan.
Titus tak memperdulikan rengekkanku.  Kedua matanya terlalu sibuk mengamati jalan didepan kami yang terlihat semakin gelap dan menakutkan.
”Kita takkan pernah bisa keluar dari sini!” keluhku kesal.
Seketika itu juga suara mendesing bergaung disekeliling terowongan. Titus mengangkat sebelah tangannya memberikan isyarat padaku untuk tenang. Wajahnya menegang. ”Dengar Calista. Turuti kata kataku dan cobalah untuk tenang,” desisnya pelan. Sepasang matanya tak mau melepaskan pandangan dari bahu kananku.
Perasaanku tak enak. ”Ada apa Titus? Katakan padaku?” tuntutku cemas.
Dengan cepat Titus melayangkan sihir kearah bahu kananku. Aku terpekik kaget. Seekor cacing tanah sebesar kepalan tangan orang dewasa terlontar keras kedalam genangan air dan menggelepar. Cacing itu berwarna merah. Semerah darah manusia. Kedua bagian ujung tubuhnya memiliki moncong terbuka yang menyerupai mulut sebagai alat penghisap. 
Tubuhku bergetar jijik. Kutatap Titus penuh rasa terimakasih yang tak sempat terucap. Karena hal berikutnya yang kulihat entah darimana puluhan cacing cacing merah sekepalan tangan bermunculan dari dalam tanah dan mulai menggeliat geliat dan bergerak mendekat.
Aku hanya terpaku dan tak mampu menggerakkan kedua kakiku. Titus berlari menyeretku sepanjang terowongan gelap ini dengan api yang tersulut samar dari jemarinya. Sementara mulutku terkatup rapat sepanjang jalan terowongan yang akhirnya membelah jadi dua.
Tanpa berpikir panjang Titus mengambil arah ke kanan dan terus menyeretku kencang. Napasku memburu. ”Berhenti Titus. Kau akan membunuhku jika terus menyeretku sepanjang terowongan ini tanpa berhenti untuk mengambil napas.”
Titus membuang napas dengan keras. Sepertinya ia juga telah kehabisan napas sama sepertiku. ”Seharusnya aku tidak mempercayai dwarf itu,” dengus Titus sedikit menyesal.
”Bukankah sudah terlambat untuk menyesalinya.” sahutku malas seraya duduk perlahan di tanah yang agak kering dengan ragu ragu. Perutku mulai terasa keroncongan. Berada di dalam terowongan ini benar benar menguras energiku.
”Kita tidak bisa beristirahat lama lama disini. Terlalu berbahaya,” ucap Titus pelan seraya menatapku iba.
Kuanggukkan kepalaku dengan lemah. Dia benar. Kita harus meneruskan perjalanan ini. Berharap saja dapat menemukan jalan keluar. Sekilas terbayang wajah licik Alberich. Kuhembuskan napas perlahan. Aku akan memberinya pelajaran jika bertemu lagi dengannya. Dendamku dalam hati.
Kesabaran kami membawa hasil. Sebuah cahaya redup dari jarak pandang kami menambah semangatku untuk melangkahkan kaki lebar lebar dan melupakan rasa lelah, lapar dan dingin di kedua kakiku yang gemetaran. Senyum lebar tergambar jelas dikedua wajah kotorku dan Titus.
Terowongan ini pun jadi semakin membesar. Dan kami sampai pada sebuah tempat yang menyerupai sebuah gua. Sepertinya cahaya sinar matahari menembus celah celah diatas gua ini. Dan ditengah gua ini terdapat genangan air yang menyerupai kolam. Airnya terlihat jernih dan sejuk. Dengan bersemangat aku hendak mencelupkan kedua tanganku ke dalam air kolam itu namun Titus segera mencegahnya. ”Sebaiknya kita tidak melakukannya sebelum aku yakin jika kolam kecil itu aman,” ingatnya.
”Ayolah Titus, apa yang berbahaya dari sebuah kolam kecil yang jernih itu,” gerutuku kesal.
Titus tak menanggapiku namun ia malah mendongak keatas. ”Sepertinya kita berada dibawah hutan Farfasian.”
 Kudongakkan kepala mengikuti pandangannya. ”Jika itu memang benar. Lalu bagaimana kita menuju keatas sana,” tandasku.
”Entahlah. Aku belum tahu,” hembus Titus dengan pikiran menerawang.
”Bagaimana jika kita mendakinya?” saranku.
Titus tertawa. ”Jangan konyol? Terlalu curam dan berbahaya.”
”Aku tahu itu. Tapi aku tidak melihat jalan lain disekitar gua ini,” ujarku seraya menyapu pandangan kesekeliling gua.
”Pasti ada jalan untuk keluar dari sini,” gumam Titus pelan.
Aku terdiam. Lalu terduduk lelah disebuah batu besar di pinggiran kolam.
Titus kini berdiri disampingku. ”Alberich pasti mengetahui jalan keluarnya,” gumamnya pelan.
”Tapi dia tak ada disini,” sahutku sengit.
Mata Titus terpaku pada kolam di depan kami. Sepasang matanya terlihat bersinar cerah. ”Kau salah. Kurasa dia tengah memperhatikan kita saat ini,” bisiknya di telingaku seraya memberi isyarat dengan pandangan matanya yang mengarah ke kolam yang kini sedikit bergetar membuat sebuah gelombang halus.
Kami pun mengatur rencana.
Aku masih duduk disebuah batu besar dekat pinggiran kolam. Perlahan kubuka gelang Arkhataya dilengan kananku dan menaruhnya tepat disampingku. Kunaikkan kedua lengan baju seolah hendak mengambil air untuk membasuh muka. Tapi ekor mataku tetap waspada dan tidak melepaskan pandangan dari gelang Arkhataya.
Aroma tubuh berkeringat tercium keras di ujung hidungku. Kurasakan gelang Arkhataya bergeser pelan dari tempat aku meletakkannya. Tanpa membuang waktu Titus melancarkan mantra pelumpuh kearah gelang Arkhataya dan mendapati suara raungan parau kesakitan. Sosok pendek gempal muncul tiba tiba dengan posisi tertelungkup tak bergerak di tanah. Helm logam yang terpental berbunyi keras ketika beradu dengan bebatuan. Dengan cepat kusambar gelang Arkhataya yang tergeletak di tanah dan langsung mengenakannya kembali dilengan kananku.
Kami berhasil menangkap Alberich.
Wajah Alberich memerah. Mata gelapnya terlihat pasrah.
”Bangsa dwarf adalah bangsa yang picik dan hanya mementingkan harta. Kelemahan kalian itu telah melumpuhkan otak kalian untuk berpikir rupanya,” dehem Titus membuka percakapan.
Mata Alberich melotot marah. ”Penyihir rendahan tak berguna. Beraninya kau menghina Alberich sang penjaga harta kerajaan Amon,” makinya kasar.
”Aku tak perduli siapa kau. Katakan padaku jalan keluar dari gua ini!” ujarku galak mencoba untuk menakutinya.
Alberich terbahak. Ditatapnya aku dengan pandangan sebelah mata. ”Anak tolol. Jika caramu seperti ini mengatasi musuhmu. Zorca akan membunuhmu dengan cepat,” serunya mengejek.
Aku dan Titus terhenyak seketika. Kali ini airmuka Titus berubah kaku. Ditariknya rambut Alberich hingga ia menjerit kesakitan. ”Darimana kau mengenal Zorca? Apakah Zorca yang menyuruhmu mengambil pusaka Arkhataya!” nada suara Titus meninggi.
Alberich menutup mulutnya rapat rapat.
”Katakan padaku atau kau akan menyesal telah bertemu denganku,” kali ini Titus menjambak rambut Alberich lebih keras lagi.
”Peri buangan bernama Pinsky penghuni hutan ini selalu membicarakan Zorca. Dia bilang Zorca akan datang untuk menjemput warisannya. Gelang itu, gelang itu!” raung Alberich kesakitan.
Titus melepaskan jambakkannya. Ditatapnya mata gelap Alberich penasaran. ”Apalagi yang dibicarakan Pinsky tentang Zorca?” tanya Titus penasaran.
”Siapa yang perduli. Yang kutahu gelang itu adalah harta yang bernilai tinggi. Melihat ukirannya yang indah dan terpahat dalam emas murni seperti itu. Pembuatnya pastilah salah satu moyang kami dari kerajaan Amon,” gumam Alberich bangga.
”Dan kau mencoba mengambil ini dariku,” tukasku galak seraya mengacungkan gelang pusaka Arkhataya di lengan kananku tepat di depan hidungnya.
Alberich hanya mengeram.
”Dia seorang dwarf penjaga harta. Tugasnya mengumpulkan kembali pusaka pusaka buatan bangsanya untuk disimpan kembali di kerajaan Amon. Tak perduli harus dengan cara apa untuk mengumpulkannya bahkan jika perlu dengan mencuri,” tukas Titus menjawab pertanyaan yang kuajukan pada Alberich.
Aku mendengus kesal. Kupandangi Alberich yang terbaring tak berdaya di tanah. Lalu menyapukan pandangan kesekeliling dengan putus asa. ”Lalu apa yang akan kita lakukan untuk keluar dari sini Titus.”
Sepasang mata sedih Titus ikut menyapukan pandangan kesekeliling gua. Untuk beberapa saat ia terdiam. Lalu ditatapnya Alberich penasaran. ”Kau yang membawa kami masuk ke sini. Kau pasti tahu jalan keluar dari sini, kan?”
”Aku tidak tahu,” desahnya parau.
”Pembohong!” seruku seraya melayangkan serangan jarak jauh yang sengaja kulancarkan untuk menghancurkan batu yang berada tepat disamping wajah Alberich.
Alberich memejamkan mata ketakutan. Titus berteriak marah seraya menatapku penuh tanda tanya. ”Kau sudah gila ya. Kau nyaris membunuhnya.”
”Aku tidak perduli. Dia harus mengatakan jalan keluar dari tempat sial ini,” sahutku marah.
”Aku tidak tahu. Aku bersumpah atas nama Ulterich, ayahku yang sudah tiada,” rengek Alberich ketakutan dengan suaranya yang parau.
Senyum puas tersungging di sudut bibirku. Meski tidak mendapatkan jawaban yang kucari, setidaknya aku telah memberikan sedikit pelajaran pada manusia kurcaci ini.
”Lain kali tidak akan meleset. Percayalah!” tukasku dingin.
Alberich hanya menatapku resah.
Kuhembuskan napas panjang. Benar benar buntu. Menurut pengakuan Alberich ia hanya mengetahui jika terowongan ini sengaja dibangun oleh sekawanan goblin sebagai tempat persembunyian mereka dari kejaran makhluk lain yang telah diganggunya. Seluruh penghuni hutan Farfasian membenci goblin goblin kecil pencuri itu yang selalu mengendap endap dikegelapan malam hutan Farfasian dan mencuri apa saja yang menurut mereka berharga. Dan Alberich mengikuti kami selama ini dalam lindungan helm Tarnhelm yang membuatnya kasat mata karena ia sendiri tidak mengetahui jalan keluar dari terowongan goblin ini.
Aku dan Titus duduk lesu sambil memandangi kolam kecil di depan kami dan tenggelam dalam pikiran masing masing. Rasa lapar dan lelah membuat kami menjadi lemas. Kulirik Alberich yang masih terbelit mantra pelumpuh nampak memejamkan mata kelelahan. Mendengar dari nada suaranya sepertinya ia tengah mendengkur.
Titus mengelus Tarnhelm milik Alberich seraya termenung.
”Apakah kau ingin mengambilnya?” tanyaku penasaran.
Titus menggeleng. ”Tidak. Aku tidak pernah merampas sesuatu yang bukan milikku. Aku akan mengembalikannya jika waktunya sudah tepat,” senyum Titus datar.
Suara gelembung air terdengar samar seiring dengan kolam kecil yang bergetar pelan. Aku dan Titus menoleh kearah kolam kecil di depan kami berbarengan.
”Kau mendengar itu?” tanyaku datar.
Titus hanya menganggukkan kepalanya. Dengan perlahan aku berjongkok dan menghampiri kolam di depanku. Dengan sedikit ragu aku berniat menaruh telapak tanganku diatas permukaan air kolam.
”Berhati hatilah. Aku tak ingin mendapatkan kejutan yang tidak menyenangkan lagi hari ini,” gumam Titus mengingatkan.
Kuurungkan niat meletakkan telapak tanganku di atas permukaan air kolam kecil ini. Kuhampiri Alberich yang tengah tertidur pulas. Kuguncang bahunya perlahan hingga ia membuka kedua mata gelapnya dan menatapku bingung.
”Sewaktu kau mengikuti kami sampai gua ini. kau memakai Tarnhelm mu dan kami tak dapat melihatmu. Apakah kau sempat membasuh tanganmu ke dalam kolam kecil itu?” tanyaku tak sabar.
Alberich menggeleng lemah. ”Aku tidak pernah menyentuh air kolam itu.”
Wajahku berseri seri. ”Kau yakin?” nada suaraku sedikit bersemangat.
”Ya,” jawab Alberich takut takut.
Aku berteriak kesenangan. Titus menatapku bingung.
”Titus kita selamat,” jeritku tertahan.
Titus menyipit. ”Aku tak mengerti,” sahutnya bingung.
”Kolam itu jalan keluarnya. Kita harus melewati kolam kecil itu jika ingin keluar dari gua ini,” ujarku bersemangat seraya menunjuk mantap kearah kolam kecil didepanku yang kembali mengeluarkan gelembung kecil dari dalam kolam.
Dengan cepat aku menyampaikan teoriku. Gelembung gelembung air kecil yang muncul di permukaan menandakan kemungkinan adanya suatu dorongan air yang lebih besar di dalamnya. Mungkin saja dibawah dasar kolam ini ada sebuah celah yang mengarah ke suatu tempat yang lebih luas. Para goblin itu tidak mungkin membangun suatu tempat persembunyian tanpa jalan keluar rahasia.
”Bagaimana jika kau salah?” cetus Titus dengan raut wajah penuh keraguan.
”Aku tidak mungkin salah. Aku yakin jika hujan turun selama dua hari penuh gua ini pasti sudah dipenuhi air pasang yang berasal dari dasar kolam ini,” ujarku seraya menunjukkan garis halus disekeliling gua yang ketinggiannya diatas kepalaku dan Titus. Titus menghampiri salah satu pinggiran gua yang terdapat garis garis halus seperti bekas pembatas air. Ia menyentuhnya dengan hati hati.
”Aku harus segera keluar dari tempat ini Titus. Masih banyak yang harus kulakukan untuk menyelamatkan lembah Crystal dari serangan Zorca,” tandasku.
Titus menatap ragu ragu kearah kolam kecil di depan kami.
”Para goblin adalah para perenang handal,” sela Alberich datar.
Aku dan Titus langsung memalingkan pandangan kearah dwarf itu bersamaan. Alberich terlihat kikuk. Namun dengan memberanikan diri ditatapnya wajahku dengan wajah memerah. ”Kurasa kau perlu tahu itu. Jika para goblin adalah perenang hebat,” desisnya pelan.
Titus menatapku cukup lama sebelum akhirnya menyetujui teoriku. Setelah memastikan air kolam tersebut aman dan tidak beracun akhirnya Titus memutuskan untuk menyelam ke dasar kolam. Aku menunggu diatas bersama Alberich yang terbaring kaku. Cukup lama Titus menyelam hingga membuatku cemas dan takut jika ia tak kembali. Dan aku bersorak lega begitu melihat wajah tirus yang biasanya murung itu berseri seri dan nampak hampir kehabisan napas.
Teoriku terbukti. Didasar kolam terdapat celah sempit seukuran orang dewasa  yang menuju sebuah lautan. Titus sempat melalui celah sempit itu untuk sekedar mengetahui arah air itu berakhir namun karena terlalu luas dan hampir kehabisan napas Titus berusaha kembali untuk memberitahuku terlebih dahulu.
”Sebaiknya kita beristirahat dulu untuk mengumpulkan tenaga. Kita akan keluar dari tempat ini besok dengan kondisi tubuh yang lebih baik,” saran Titus seraya bergerak naik dan mengenakan jubah coklat lusuhnya.
”Bagaimana denganku? Kau tak akan meninggalkan aku seperti ini kan?” protes Alberich dengan nada tinggi.
”Kami akan membebaskanmu dengan syarat kau akan berkelakuan baik dan berhenti menganggu kami, mengerti.” tandas Titus seraya menatap tajam kearah Alberich.
Alberich menggerutu. ”Lalu bagaimana dengan Tarnhelmku?”
”Aku akan mengembalikannya padamu sekeluarnya kita dari tempat ini,” sahut Titus lagi tegas.
Alberich tersenyum puas. Sorot matanya yang biasa terlihat licik kini nampak menyorot tulus kearahku. ”Aku akan menarik ucapanku padamu. Menurutku kau seorang penyihir muda yang cerdas,” akunya malu malu.
”Terimakasih,” sahutku kaku.
Alberich mengalihkan pandangannya dan mencoba untuk kembali memejamkan mata. Untuk beberapa saat aku merasa iba dengan kondisinya yang terbaring kaku karena mantra pelumpuhku. Dia pasti sangat tersiksa dengan kondisi seperti itu.
Kutatap dwarf di depanku ini dengan resah. ”Jika aku membebaskanmu. Berjanjilah kau akan patuh dan tidak berbuat macam macam,”  pintaku ragu ragu.
Titus mendesis. ”Apa yang kau lakukan Calista. Kau akan membahayakan kita berdua,” protesnya.
Sepasang mata gelap Alberich bersinar. ”Janji seorang Alberich dari negri Amon adalah suatu kehormatan yang akan kuberikan padamu,” tukasnya dengan suara parau.
Kutatap Titus. ”Kita tidak bisa membiarkannya terbaring kaku seperti itu semalaman. Dia membutuhkan kekuatan yang sama seperti kita untuk keluar dari tempat ini, besok.”
Titus mendengus. ”Terserah kau saja.”
”Percayalah. Alberich tidak berbahaya. Dia sudah membunuh kita jika dia menginginkannya. Dia hanya seorang dwarf tamak pemburu harta,” bisikku pelan dikuping Titus.
Malam itu, aku tertidur dengan satu mata terbuka. Aku hanya ingin memastikan jika Alberich menepati janjinya. Titus memantrai Tarnhelm Alberich, dengan mantra pelindung yang akan mengeluarkan bunyi ledakan jika seseorang berusaha  mengambilnya. Namun sepanjang malam hingga pagi menjelang Alberich tertidur pulas dengan suara dengkuran yang cukup keras.
Meski tidurku kurang namun semangatku tetap membara. Meski sudah dua hari ini kami tidak makan namun aku berusaha untuk menguatkan diri karena aku sudah muak terkurung dalam gua ini.
Titus membungkus Tarnhelm Alberich dengan jubah lusuhnya lalu mengikatkannya pada salah satu bahunya. Sementara aku memutuskan untuk tetap memakai seluruh pakaianku. Kami menghirup napas dalam dalam dan meyakinkan diri untuk membangkitkan semangat. Titus turun terlebih dahulu dan menghilang dari pandanganku. Diikuti Alberich yang nampak menggigil kedinginan ketika masuk ke dalam kolam dan menghilang dengan cepat. Kutarik napas dalam dalam sebelum mengikuti Alberich dari belakang.
Aku mencoba berenang secepat mungkin berpacu dengan waktu. Aku tak ingin kehabisan napas dan tenggelam sia sia. Samar samar kulihat sosok Alberich melalui celah sempit seukuran orang dewasa. Kuikuti dari belakang dengan tergesa. Kini kami berada dilautan luas. Aku masih dapat melihat sosok Titus yang meluncur cepat menuju permukaan. Alberich nampak sedikit kesulitan dan mulai sedikit melambat. Agak sulit rasanya berenang di kegelapan dan diantara terumbu karang dengan berbagai jenis ikan yang meluncur kesana kemari dengan lincah. Kupandangai rumput laut yang melambai lambai seolah tengah menari dengan penuh kekaguman.
Kugerakkan kakiku secepat mungkin untuk mencapai permukaan. Kini aku dan Alberich berenang sejajar. Dapat kulihat gerakannya mulai melamban dan wajahnya terlihat membiru. Alberich terlihat sudah mulai kehabisan napas. Kuraih tangan dwarf itu dan menariknya sekuat tenaga untuk membantunya menuju permukaan. Ada kelegaan ketika Titus yang berenang agak jauh di depan kami kini meluncur dan membantuku memegang lengan Alberich menuju kepermukaan. Kami segera bergegas menggerakkan kaki secepat mungkin sebelum kehabisan napas.
Dan hal buruk terjadi. Seekor hiu putih pemburu melintas cepat diantara kami dan membuatku terkejut hingga melepaskan pegangan tanganku pada Alberich. Wajah Titus terlihat panik. Kucoba meraih tangan Titus yang tersorong padaku namun hiu itu mengeleparkan buntutnya ke bahuku hingga aku semakin terpisah jauh dari Titus dan Alberich. Kujungkalkan hiu pemburu itu dengan mantra folloness, untuk mengusirnya. Namun perbuatanku malah semakin membuat hiu itu mengamuk. Kembali kulayangkan mantra folloness untuk kedua kali. Kali ini hewan itu terpental cukup jauh. Kufokuskan pandangan pada Titus yang masih menungguku dengan Alberich yang sudah tak sadarkan diri di genggamannya. Kuberikan isyarat padanya untuk meneruskan berenang ke permukaan menyelamatkan Alberich tanpaku. Dengan raut cemas ia mengikuti keinginanku. Firasatku benar. Kali ini hiu pemburu tersebut datang dengan kawanannya. Dadaku berdesir. Aku harus menyingkirkan ketiga hiu pemburu itu. Sebelum mereka mencabik tubuhku. Dengan cepat kulayangkan sihir ilusiku. Pendaran cahaya yang menyilaukan menerangi dasar laut ini dan membutakan mereka untuk sesaat. Kurasakan paru paruku sudah mulai terisi air laut. Rasanya sesak luar biasa. Samar samar pandanganku mengabur. Tubuhku terasa ringan dan melayang. Sesuatu atau tepatnya seseorang menarik kedua tanganku dengan cepat dan membawaku berenang bersamanya. Setelah itu aku tak sadarkan diri.
Aku terbangun dengan memuntahkan air laut yang begitu banyak. Rasa mual dan pusing luar biasa terasa menyatu ditenggorokanku yang kering.
”Kau baik baik saja Calista?” wajah Titus terlihat cemas menatap kearahku.
Aku terbatuk batuk kecil. Dan berusaha menegaskan pandanganku. Aku terbaring di pinggir laut dengan Alberich disampingku yang nampaknya masih belum siuman. Tapi bukan itu yang menarik perhatianku. Didepanku terlihat lima wanita cantik berambut panjang yang memiliki ekor menyerupai ikan. Tiga diantaranya tengah berenang dan bercanda ria. Suara mereka terdengar merdu. Sementara yang dua lagi tengah berbaring santai disebuah batu karang sambil berjemur di cerahnya matahari pagi. Sisik mereka terlihat bercahaya ketika terkena sinar matahari.
”Para putri duyung itu yang menyelamatkanmu Calista,” ujar Titus pelan mencoba menjelaskannya padaku.
Kupaksakan diri untuk bangun dan menatap mereka dengan penuh kekaguman. Salah satu putri duyung berambut pirang keemasan yang tengah berjemur disebuah batu karang menatapku tajam. Kemudian ia meluncur turun dan berenang ke tepi laut untuk menghampiriku. Diikuti oleh keempat putri duyung lainnya yang meluncur cepat yang juga menuju kearahku.
”Terimakasih telah menyelamatkan nyawaku,” anggukku sopan.
Putri duyung yang berambut pirang keemasan tersenyum datar. Wajahnya sangat cantik dan halus. Sepertinya ia adalah pemimpin dari sekawanan putri duyung ini.
”Kau membangunkan kami dengan sinar yang kau buat di dasar laut,” tukasnya seraya melirik kearah teman temannya.
  ”Maaf. Aku hanya berusaha mengusir sekumpulan hiu pemburu yang berusaha memangsaku,” sahutku canggung tak ingin membuatnya marah.
Sekawanan putri duyung itu tertawa merdu.
”Kau telah membutakan Pheas dan teman temannya. Hingga mereka berenang tak tentu arah,” kikik putri duyung berambut hitam geli.
”Mereka pantas mendapatkan itu,” desis temannya yang berambut coklat kemerahan galak.
”Kami tidak berniat jahat. Kami hanya mencari air terjun terbesar yang berada di dalam hutan ini,” sela Titus kikuk.
Pemimpin mereka yang berambut pirang tertawa lepas. ”Apakah dia selalu setegang ini,” liriknya padaku meminta persetujuan.
Aku mengangguk. ”Ya. Dan dia juga sangat kaku,” tambahku kalem.
Seketika itu juga wajah Titus memerah.
Putri duyung berambut keemasan itu tertawa riang. ”Namaku Adina. Ini Mino,” tunjuknya pada putri duyung berambut hitam yang berenang disampingnya. ”Dan yang disana Olen, Mara dan Uthea.” tunjuknya pada tiga putri duyung yang memutuskan untuk kembali berenang riang seolah bosan dengan percakapan kami.
”Aku, Calista Kaz. Dan laki laki kaku disebelahku ini adalah mentorku, Titus Lader,”  sahutku sopan.
Titus menatapku sewot.
”Siapa Dwarf itu?” tanya Adina dengan sedikit jijik.
”Itu Alberich. Kebetulan ia terjebak bersama kami di sebuah gua. Dan ia kehabisan napas ketika berusaha berenang menuju permukaan,” tandasku menjelaskan.
”Gua para Goblin. Kenapa kalian bisa sampai berada disana,” Mino terlihat heran.
”Kami menghindari para Harpy,” desahku.
Mino berjengit lalu menggumamkan kata kata tak jelas. Adina tersenyum kearahku. ”Jadi. Kau kah penyihir naga Arkhataya itu?” tanyanya tanpa basa basi seraya melirik gelang Arkhataya yang melekat erat dipergelangan tangan kananku.
Kutatap Adina dengan sorot mata penuh hormat. ”Ya. Dan aku tengah mencari gua tempat bersemayam naga Arkhataya.”
”Calista,” desis Titus seolah tak setuju akan keterbukaanku.
Adina melirik Titus untuk sesaat lalu kembali memandangiku. ”Kau tahu. Aku menyukaimu karena berterus terang padaku. Biasanya mereka datang ke Farfasian dengan mengendap endap dan penuh kebohongan.”
Kuanggukkan kepalaku sementara Titus hanya menelan ludah.
Adina tersenyum samar. ”Berjalanlah kearah utara. Diantara deretan pohon pinus kau akan menemukan tebing tinggi dimana air terjun terbesar di Farfasian mengalir,” bisiknya dikupingku seraya mengerlingkan mata indahnya kearah Titus yang terlihat semakin kikuk.
”Terimakasih Adina,” sahutku pelan.
Adina meluncur cepat kembali ke laut biru bersama Mino dan tiga putri duyung lainnya. ”Semoga berhasil penyihir naga Arkhataya,” lambainya seraya menghilang ke dalam laut biru diiringi tawa merdu teman temannya yang ikut menghilang ke dalam lautan biru didepanku.
Untuk beberapa saat aku masih tertegun penuh kekaguman.
Kami memutuskan untuk meninggalkan Alberich yang masih belum sadarkan diri. Karena harus mengejar waktu untuk meneruskan perjalanan pencarian gua Arkhataya. Titus meletakkan Tarnhelm logam kasat mata itu disamping Alberich yang kini mendengkur keras lalu kembali meneruskan perjalanan.
Butuh waktu seharian untuk berjalan menuju arah yang ditunjukkan Adina. Tubuhku terasa lemas karena sudah dua hari ini aku tidak makan. Ketika kami menemukan buah berry yang berserakan di tanah kami tak berpikir panjang dan langsung memakannya dengan rakus. Titus yang sempat ragu dan takut keracunan akhirnya malah menjadi yang lebih bersemangat mengumpulkan berry berry itu ke dalam kantung di jubah lusuhnya untuk persediaan makanan kami nanti. Kami bahkan tak perduli rasa manis asam yang bercampur rasa getir tanah ketika memakan buah buah berry yang kotor tersebut.
 Tebing yang dimaksud Adina akhirnya terlihat. Benar benar tinggi dan terlihat licin dipenuhi tebalnya lumut lumut yang menyerupai rumput tebal yang menghijau kehitam hitaman. Dari ujung tebing terdengar suara air terjun mengalir deras dengan suara keras. Kembali kucoba mengingat posisi Obidia ketika memanggil naga Arkhataya. Seingatku Obidia berdiri disebuah batu besar yang sudah berlumut lalu menghadap air terjun. Mataku tertumbuk pada sebuah batu besar yang berwarna hitam yang berada tak jauh diatas bebatuan yang berderet tak rapih disepanjang air terjun ini.
”Inikah air terjun yang kau maksudkan itu!” seru Titus menatapku meminta persetujuan.
”Ya Titus. Benar benar sempurna seperti dalam mimpiku. Kurasa Obidia berdiri diatas batu itu dan memanggil Arkhataya dari sana!” seruku riang seraya menunjuk kearah batu hitam yang berada diatas deretan batu lainnya sepanjang tebing.
Senyum cerah menghias wajah Titus yang berkerut.
”Bagus. Tidak ada alasan untuk membuang waktu. Sekarang waktunya berlatih mantra pemanggil Arkhataya!” teriak Titus berusaha mengalahkan suara air terjun yang deras.
Memanggil Arkhataya bukanlah suatu hal yang mudah. Aku mencoba untuk berkonsentrasi penuh merapal mantra tersebut namun hasilnya nihil. Titus mencermati kembali jurnal Obidia. Sayangnya Obidia tidak memberikan petunjuk apapun tentang kegagalan memanggil Arkhataya.
”Ini sia sia. Lagipula jika aku berhasil membangunkannya lalu bagaimana aku harus menidurkannya kembali!” teriakku kesal ditengah derasnya suara air terjun.
Kening Titus berkerut begitu mendengar ucapanku. Dengan cepat ia kembali mencermati jurnal Obidia untuk kembali mencari petunjuk.
”Kurasa kau benar. Obidia sama sekali tidak memberikan petunjuk untuk menidurkan kembali naga Arkhataya,” Titus menatapku. ”Apakah kau mendapat petunjuk lain dalam mimpimu Calista?”
Aku menggeleng lemah. Wajah Titus meredup.
”Akan sangat berbahaya jika kau berhasil membangunkan Arkhataya namun tak dapat menidurkannya kembali,” dengus Titus. ”Bagaimanapun juga Arkhataya adalah seekor naga yang sangat berbahaya jika kau tidak dapat mengendalikannya dengan kekuatan sihir,” sambung Titus lagi menerawang.
”Jadi semuanya sia sia saja. Zorca akan menghancurkan kita semua bersama kekuatan leviathannya itu,” erangku marah.
Titus terdiam.
”Jika Zorca telah berhasil membangunkan leviathan ada kemungkinan ia akan mencoba merebut gelang Arkhataya dan membangunkannya juga, benarkan,” ujarku sedikit berlebihan.
 ”Kurasa tidak. Arkhataya hanya dapat dibangunkan oleh pewaris sah pemegang pusaka gelang tersebut,” ucap Titus ragu ragu.
”Tetap saja itu tidak menolong Titus. Jika aku mengalami kegagalan itu berarti aku bukanlah pewaris tunggal gelang Arkhataya,” bantahku kesal.
”Tenanglah Calista. Kau terlalu berlebihan karena lelah memikirkan semua ini sekarang. Kita akan memecahkan masalah ini bersama. Sebaiknya kita mencari tempat aman untuk bermalam. Hari sudah mulai gelap,” saran Titus.
Kutatap Titus dengan keengganan. Benar benar buntu. Dan aku tak punya waktu untuk kegagalan mengingat Zorca semakin dekat untuk menghancurkan tanah leluhurku.
Tidak banyak yang dapat kami lakukan disini. Karena keesokan harinya Titus memilih untuk kembali ke lembah Crystal dengan alasan keamanan. Perjalanan ini terasa sia sia karena Titus melarangku berlatih mantra pemanggil Arkhataya dengan alasan misi kali ini hanya untuk mencari lokasi Arkhataya. Dan tenggat waktu yang diberikan Prechia telah lewat menjadi lima hari karena kami sempat terkurung selama seharian dalam gua goblin.
”Sepertinya kau harus bersabar. Kita tidak punya pilihan lagi selain kembali ke lembah Crystal,” ujar Titus hati hati.
Titus benar. Tidak ada gunanya bertahan disini. Semua latihan pemanggilan naga Arkhataya juga tidak membuahkan hasil. Kami memutuskan kembali ke lembah Crystal dengan mengendarai kuda liar lewat mantra pemanggil yang telah diajarkan Amara padaku. Kemudian Titus memantrai kedua hewan itu agar mematuhi semua keinginan kami.
Kami tiba di lembah Crystal dalam waktu tiga hari dengan berganti kuda liar sebanyak tiga kali. Kami hanya beristirahat sebanyak dua kali mengingat kami mencoba menghindari segala bentuk bahaya dari makhluk makhluk aneh penghuni hutan Farfasian.
Setibanya di lembah Crystal aku langsung menuju rumah Brisa dan membaringkan tubuh kotorku dalam ranjang hangat dan tidak memperdulikan seribu pertanyaan Brisa yang samar samar terdengar menghilang dikupingku.
Dan keesokan paginya pegasus telah datang membawa pesan dari Orion Xander yang masih berada di Amorilla kepada Prechia. Orion telah memerintahkan pengungsian besar besaran dan bertahap pada seluruh penduduk lembah Crystal menuju pinggiran hutan Sprohnia atas seijin raja Zordius. Sepertinya Orion berhasil membujuk Zordius untuk memberikan tempat berlindung sementara. Prechia segera mengerahkan beberapa ksatria sihir untuk mengawal para pengungsi termasuk tamu dari bukit Foresse dan kota Hordos. Otto Cursen dan janda Gorick Valdes, yakni Yera beriringan menuju hutan Sprohnia untuk menghindari serangan kaki tangan Zorca ke lembah Crystal.

Writer : Misaini Indra




No comments:

Post a Comment