Protected by Copyscape Plagiarism Scanner

Tuesday 14 February 2012

PART II : Calista Kaz “Bangkitnya Sang Naga” (Chapter 1)


1. AMORILLA

Fajar telah datang untuk mengakhiri gelapnya malam. Namun mentari seolah malas menyapa pagi. Kupertajam penglihatanku pada cahaya cahaya redup dikejauhan. Cahaya tersebut perlahan lahan merayap dan menyusup dalam keheningan negri Amorilla yang beku. Mencoba membawa keceriaan bagi negri peri ini.
Aku menguap lebar lebar seraya mengusap pelan kedua mataku yang terasa gatal. Aku tidak tidur semalaman. Sekeras apapun usahaku untuk tertidur namun semua itu sia sia. Tetap saja mataku tak mau terpejam. Kulemparkan bantal bantal empuk disekelilingku sembarangan. Kutatap wajah Brisa yang tertidur diranjang sebelahku. Begitu tenang dan damai. Dengkuran halusnya menandakan jika wanita itu sangat menikmati waktu tidurnya.
Untuk sesaat aku termenung. Sudah beberapa hari ini aku bermimpi tentang Tristan. Masih jelas teringat, wajah tampannya yang dingin, senyum bekunya yang sinis serta sorot mata ungunya yang dalam ketika memandangku. Aku tak dapat menepis bayangnya dibenakku. Dan saat ini aku sangat merindukan sosoknya untuk hadir menemaniku, melalui masa sulit seperti ini.  Sebagian dari diriku seolah menolak kepergiannya dan selalu  berpikir jika Tristan selalu ada di sini. Dihatiku.  
Airmata mulai jatuh disudut kedua mata lelahku. Rasa kehilangan yang menghantui dan kurang lebih sama dengan yang kurasakan ketika kehilangan ayahku sewaktu di Essendra, telah menyita seluruh energiku. Kubenamkan wajah ini pada kedua telapak tanganku yang terbuka. Mencoba untuk meredam rasa hampa yang kurasakan. Sayangnya, aku selalu gagal melakukan itu. Ditambah lagi oleh rasa bersalah yang menjadi beban terbesarku adalah, pengorbanan Orion Xander untuk keselamatan jiwaku. Aku telah membuat lembah Crystal kehilangan sosok pemimpin hebat yang sangat dicintai rakyatnya itu.
Kususuri karpet kamar dengan seretan langkah gundah. Dengan hanya mengenakan gaun tidur sutra pinjaman aku keluar dari kamar melewati susuran tangga teras untuk membunuh rasa kehilangan ini. Kusapu pandangan seraya mengamati luasnya taman istana yang diterangi lentera lentera yang tergantung di batang batang cemara dengan tatapan terpesona.
Kolam air mancur ditengah taman istana, bergemerisik, memperdengarkan irama merdu yang teratur. Tak kuperdulikan dinginnya hembusan angin di awal musim dingin yang sangat membekukan ini. Kududuki kursi kayu tua yang masih basah karena embun pagi. Untuk sesaat aku termenung. Angin dingin yang berhembus keras kini mempermainkan rambut coklatku yang terurai. Kakiku yang telanjang mulai terasa kedinginan. Badanku pun ikut bergetar merasakan dinginnya hembusan angin yang menyelinap diantara gaun sutraku yang tipis. Gaun sutra pinjaman dari negri Amorilla ini mungkin saja salah satu gaun tidur bekas milik putri Quilla yang sudah tak terpakai. Aku tersenyum sendirian begitu memikirkannya.
“Kau akan membeku jika berlama lama berada disini.”
Ness Ferin menatapku penuh perhatian. Ia bersandar pada salah satu pohon cemara yang hampir mengering. Sepasang mata emasnya menyorot tajam kearahku, membuatku terpesona dan hanya tertegun tak menyahutinya.
“Seingatku kau tidak suka bangun pagi, benarkah?” sepasang matanya menyipit meminta jawaban.
Wajahku menghangat. Kuatur posisi dudukku. “Kebiasaan seseorang bisa dirubah kan,” desahku pelan seraya membuang pandangan jauh ke depan.
Ness tertawa, dengan nada rendah dan merdu. “Sepertinya kau selalu punya jawaban untuk setiap pertanyaan,” gelengnya.
Segaris senyum kaku tergurat diwajahku.
Ekor mata Ness melirik sekilas kearahku. “Kau memang banyak berubah.”
Kuhembuskan napas perlahan dan memberanikan diri untuk memandangnya. “Maaf jika mengecewakanmu.”
Ia tergelak. Kemudian mengusap lehernya dengan tangan kanannya yang kokoh. Lalu kembali bersedekap dan menatapku riang. Wajahnya terlihat begitu menyenangkan dan sayang untuk dilewatkan walau sekedip saja.
Kau selalu membuatku terpesona  batinku resah.
Kami terdiam untuk beberapa saat.
“Menurutmu berapa lama batas waktu yang pantas untuk memenuhi takdirku sebagai pelindung lembah Crystal,” tanyaku pelan.
Kutatap Ness penuh harap.
Dahi Ness berkerut. Raut wajahnya terlihat tidak terlalu senang dengan pertanyaanku. “Kau mulai terdengar lelah dan kehilangan kepercayaan diri,” tukas Ness sarkastis.
Kupalingkan wajah ke kolam air mancur. Ucapannya membuatku malu.
“Takdir atau bukan. Kau telah terpilih. Lebih baik kau persiapkan dirimu daripada mengeluhkan hal yang tak penting,” desah Ness mengingatkanku.
Kuhembuskan napas dengan sedikit keras.
Ness menatapku tak berkedip.
Kucoba mengabaikan tatapannya, “Aku akan selalu mengingat ucapanmu itu,” desahku ragu.
“Sebaiknya kau bersiap siap. Sebentar lagi keluarga kerajaan akan mengadakan sebuah upacara,” ujar Ness seraya berlalu dari hadapanku.
Kutatap punggung Ness yang perlahan menjauh dengan tanda tanya atas perkataannya.
Dengan malas aku beranjak dari kursi tua ini. Kuseret langkah menuju susuran tangga teras dengan sedikit bergegas. Kuusap kedua bahu dengan telapak tanganku yang terasa dingin seraya memasuki kamar tamu dengan pikiran melayang.
Sesampainya di kamar kulihat Brisa telah bangun dan berpakaian rapih. Sudut matanya menatapku dengan pandangan nanar.
“Bergegaslah. Kita akan menghadiri upacara pemakaman salah satu kerabat kerajaan,” ujarnya datar.
Kini aku mengetahui jawaban dari perkataan Ness. Aku hanya menganggukkan kepala tanpa banyak bertanya.
Setelah selesai mandi dan mempersiapkan diri, Brisa mengatakan padaku jika hari itu adalah hari berduka bagi negri Amorilla. Karena salah satu kerabat dekat raja Zordius, yakni Anella telah tutup usia.  
Anella, adalah adik perempuan Thaddeaus, ayahanda Zordius yang telah tiada. Dan hari ini raja Zordius mengundang para ksatria lembah Crystal untuk mengikuti upacara pemakamannya.
Raja Zordius berdiri tegak mengenakan jubah perak yang indah didampingi ratu Orelia yang terlihat anggun, mengenakan jubah dengan warna senada. Dibelakang mereka nampak putri Quilla berdiri angkuh dengan dagu yang sedikit terangkat keatas seraya menatap sekelilingnya dengan dingin. Quilla terlihat cantik dengan gaun sutranya yang berwarna perak. Rambut pirangnya yang keemasan tergulung rapih dihiasi jepit yang juga berwarna perak berbentuk bintang.
Pandanganku beralih pada Ness Ferin yang terlihat dibarisan belakang para kerabat raja bersama ibunya, Piphylia yang terlihat sedih.
Sepasang mataku tak kuasa untuk melepas pandangan dari sosok Ness. Meski pagi ini kami telah lebih dulu bertemu namun rasanya aku tak pernah bosan memandangnya. Wajah tampannya terlihat bercahaya. Ia mengenakan jubah perak dan pakaian berwarna sama dengan kerabat raja lainnya. Ness terlihat gagah dan mempesona dari jarak pandangku.
Sepuluh orang datang dengan memakai pakaian serba putih lengkap dengan jubah panjang yang tersulam gambar kepala unicorn dan pedang yang tersarung di pinggang masing masing. Mereka mengawal seorang laki laki tua yang masih terlihat gagah. Laki laki itu menggunakan jubah yang berwarna sama dengan yang dikenakan raja Zordius. Sorot matanya terlihat tajam. Untuk sesaat ia melirik kearah Zordius dan mengangguk hormat. Sementara Zordius hanya membalas senyumnya dengan kaku. Kemudian laki laki tadi kembali menghadap ke depan mengikuti jalannya upacara pemakaman. Untuk sesaat aku sempat melirik raut wajah Ness yang menegang begitu melihat kearah laki laki tua tersebut.
Jasad Anella dibaringkan pada sebuah altar batu pualam. Wajahnya yang seputih kapas masih menunjukkan sisa sisa kecantikan. Tujuh wanita cantik mengelilinginya sambil memegang lilin yang menyala ditangan mereka masing masing. Tujuh wanita cantik tersebut mulai menyenandungkan nada seperti nyanyian. Rendah dan merdu.
Disini terbaring seorang wanita mulia..
Dengan ketegaran dan cinta yang ditinggalkannya..
Disini terbaring seorang wanita tercinta..
Senandungkan lagu perpisahan untuknya..
Kami takkan melupakan selamanya ...
Raja Zordius menghampiri jasad Anella dan menaruh setangkai mawar putih diikuti oleh ratu Orelia yang juga melakukan hal yang sama. Sepertinya mawar putih adalah sebuah lambang perpisahan atau mungkin saja merupakan sebuah bunga kesayangan Anella.
Tujuh wanita yang memegang lilin tadi kembali menyenandungkan nada pujian dengan nada rendah yang terdengar memilukan seperti sebuah nyanyian perpisahan.
Kini empat orang pengawal kerajaan Amorilla yang mengenakan jubah putih panjang berlambang unicorn membawa sebuah tandu yang sangat indah. Tertutup kelambu perak disekelilingnya. Laki laki tua yang memakai jubah perak yang datang bersama serombongan pasukan cahaya dengan perlahan menghampiri jasad Anella. Ia membungkuk untuk sesaat dan mencium kening Anella dengan raut wajah penuh kegetiran.
Suara isak tangis Piphylia pecah seketika. Beberapa dari kami sempat mengarahkan pandangan pada Piphylia yang kini berada dalam dekapan Ness. Sorot mata Ness terlihat tajam dan penuh kekesalan mengarah tepat pada laki laki tua yang tadi mencium kening Anella.
Hanya raja Zordius, ratu Orelia ataupun putri Quilla terlihat tenang dan sepertinya tidak terganggu oleh isak tangis Piphylia yang semakin terdengar jelas dalam upacara pemakaman ini.
Kulirik kearah sebagian dari para ksatria lembah Crystal yang hadir dalam upacara pemakaman ini sama bingungnya denganku dan hanya saling berpandangan melihat reaksi Piphylia Ferin yang terisak pilu menangisi jasad Anella. Hanya Prechia, Helena, Shenai dan Titus yang bersikap tenang seolah isakan tangis Piphylia adalah hal yang wajar.  
Kulirik wajah sedih Titus yang kebetulan berdiri disampingku. Kusikut lengannya perlahan. Titus menatapku bingung. Kuputar kedua bola mataku seraya memiringkan kepalaku tepat kearah Ness yang tengah mendekap ibunya yang masih menangis.
Kedua mata Titus menyipit. Kuhembuskan napas panjang dan kembali memiringkan kepalaku kearah Ness dan Piphylia, berharap ia mengerti maksudku. Wajah bingung Titus kini terlihat tegang. ”Nanti saja,” bisiknya kaku.
Aku merengut kesal.
Laki laki tua tadi kini menggendong jasad Anella dan membaringkannya ke dalam tandu seraya menutup kelambunya. Lalu ia memberikan isyarat dengan tangan kanannya pada sepuluh orang pasukan cahaya untuk berjalan bersama di depan. Diiringi oleh tujuh wanita cantik tadi yang menyenandungkan lagu perpisahan. Baru kemudian keempat pengawal kerajaan yang mengusung tandu berisi jasad Anella kemudian dikuti oleh iring iringan keluarga kerajaan dibelakangnya dan rombongan tamu termasuk kami para ksatria lembah Crystal.  
Iring iringan ini berjalan keluar istana Amorilla. Menyusuri jalan utama dimana para rakyat Amorilla, para bangsa peri, yang telah bercampur dengan para pengungsi dari lembah Crystal lainnya tengah menunduk hormat begitu melihat iringan pemakaman Anella melewati mereka. Kulirik sekilas rakyat Amorilla yang mulai bermunculan dari balik hutan Sprhonia. Tak sadar aku berdecak kagum memandangi raut wajah mereka yang begitu rupawan dengan airmuka yang terlihat dingin pada garis wajah mereka. Jujur saja aku tak pernah melihat sosok mereka sedekat ini. Dan memandangi wajah mereka sekarang, membuatku berpikir betapa bahagia dan damai sekali kehidupan yang mereka jalani disepanjang pinggiran hutan teduh selebat ini.
Barisan pohon pinus yang dahannya bergoyang karena hembusan angin musim dingin seolah merasakan kesedihan mendalam yang dirasakan oleh laki laki tua yang memimpin di depan kami. Namun dengan gagah ia berjalan mendaki, menuju bukit yang dikelilingi pepohonan cemara dan hamparan pakis hutan. Disana sudah ada empat orang pengawal kerajaan yang menunggu dengan tanah yang sudah tergali.
Keempat pengawal menurunkan tandu dengan sangat hati hati. Laki laki tua tersebut membuka kelambu tempat dimana jasad Anella terbaring. Ia kembali menggendong tubuh kaku Anella lalu mencium keningnya dengan wajah penuh kepiluan. Meski tak ada setitik airmatapun yang menetes. Namun aku dapat merasakan dukanya yang mendalam. Setelah itu dengan wajah tegar, ia membaringkan Anella ke sebuah peti kayu yang telah dilapisi kain sutra dengan sulaman gambar unicorn berwarna perak sebagai alas tidurnya. Kemudian menutup peti kayu tersebut diiringi raut kesedihan.
Empat orang pembawa tandu bergegas memanggul peti kayu tersebut dan menaruhnya pada tanah yang telah tergali lalu menguburkan Anella dibawah rindangnya pepohonan cemara.
Gundukkan tanah segar telah diratakan. Dan jasad Anella telah terbaring damai di dalamnya. Belakangan baru kuketahui jika laki laki tua yang tengah berduka dan mengantarkan jasad Anella pada pembaringannya yang terakhir itu adalah suaminya sendiri. Laki laki itu bernama Odile. Seorang jenderal pasukan cahaya di masa pemerintahan raja Thaddeaus. Odile adalah ayah dari Piphylia Ferin. Yang artinya adalah,  kakek dari Ness.
Kutatap Titus penuh rasa bingung bercampur kekaguman. ”Apakah semua orang di lembah Crystal mengetahui hal ini,” tanyaku penasaran.
Titus menggeleng. ”Kurasa hanya orang tertentu saja.”
Melihat ekspresi wajah Prechia yang tenang ketika mendengar isak tangis Piphylia. Aku berpendapat jika dia dan Orion sudah pasti mengetahui hal ini. Begitu pula dengan Shenai dan Helena.
”Aku tidak mengerti Titus. Mengapa mereka tidak membiarkan Piphylia mendekati jasad ibunya sendiri di pembaringan terakhirnya,” ujarku penasaran.
Titus menghela napas perlahan. Ditatapnya wajahku dengan ragu ragu. Sebelum akhirnya ia menceritakan kisah dibalik kehidupan keluarga Ness yang sesungguhnya. ”Waktu masa pemerintahan raja Thaddeaus, ayah dari Zordius. Odile membawa kejayaan bagi negri Amorilla sebagai negri yang disegani. Thaddeaus mempercayakan keamanan negrinya dibawah kendali Odile dan pasukan cahayanya yang tangguh.”
Titus berhenti sebentar untuk menarik napas. ”Sebagai balas budi, Thaddeaus meminta Odile untuk menikahi Anella, adik perempuannya. Dan menjadikan Odile sebagai bagian dari keluarga kerajaan Amorilla, bangsawan elf. Pernikahan Odile dan Anella dikaruniai seorang anak perempuan yaitu Piphylia. Piphylia kecil yang gemar berkebun, mewarisi bakat Anella untuk meracik ramuan obat dari berbagai jenis tanaman. Piphylia adalah satu satunya peri penyembuh dari Amorilla yang memiliki kemampuan untuk menyembuhkan penyakit apapun. Bahkan sebuah kutukan sihir terburuk yang di derita seseorang,” desah Titus menerawang.
”Kesetiaan dan kehebatan Odile melindungi raja Thaddeaus dan kerajaan Amorilla membuat Thaddeaus semakin kagum dan memiliki gagasan gila untuk menikahkan putra putri mereka. Namun takdir berkata lain. Beranjak dewasa, Piphylia yang sedang mencari tanaman untuk racikan obatnya dan tengah berada di dalam hutan Sprhonia, menyenandungkan sebuah lagu yang indah dengan suaranya yang merdu hingga terdengar oleh seorang pemuda yang bukan berasal dari keturunan peri hingga jatuh cinta seketika, begitu mendengar suara indahnya.”
”Aisling Ferin tengah berada dalam hutan Sprhonia untuk berburu rusa. Begitu melihat kecantikan Piphylia yang bersuara merdu seketika itu juga terpesona. Mereka bertemu dan saling jatuh cinta. Belakangan diketahui Aisling adalah seorang pemuda yang memiliki kekuatan telekinetis dan tengah mengembara. Akhirnya Aisling memutuskan untuk tinggal sementara di pinggiran hutan Sprhonia demi bertemu dengan Piphylia.”
Titus menarik napas perlahan.
”Ketika Odile menyampaikan keinginan rajanya pada anak perempuannya itu. Piphylia menolak dengan alasan telah menemukan cintanya pada Aisling. Odile murka begitu mengetahui putrinya telah jatuh cinta pada pemuda biasa yang bukan berasal dari kalangan bangsawan elf. Dengan seluruh kekuatan cahaya yang dimiliknya Odile melampiaskan kemarahannya dengan menyerang Aisling yang tengah menunggu Piphylia ditempat pertemuan rahasia mereka dipinggir hutan Sprhonia. Dalam keadaan terdesak dan hampir kalah dari Odile, Piphylia yang datang bersama ibunya, Anella, meraung meminta ayahnya untuk menghentikan serangannya pada pemuda yang dicintainya itu. Namun semua itu hanya membuat Odile semakin menggila dan tak mau berhenti untuk terus menyerang Aisling yang telah terluka parah. Melihat jeritan pemohonan putri satu satunya, Anella gundah dan merasa iba, lalu ia menjadikan tubuhnya sebagai perisai dari serangan Odile untuk menyelamatkan laki laki yang dicintai putri satu satunya itu.”
Aku menahan napas untuk beberapa saat mendengar penuturan Titus.
”Anella roboh ke tanah. Ia terluka parah dan separuh tubuhnya menjadi lumpuh karena serangan Odile. Odile yang kecewa dan terluka hatinya mengusir Piphylia selamanya dari Amorilla dan tak mau mengakuinya sebagai anak. Dalam keadaan bingung dan sedih Piphylia membawa Aisling yang terluka parah dan merawatnya. Hingga akhirnya mereka menikah dan pergi mencari tempat damai untuk hidup bersama,” ujar Titus menutup cerita singkatnya akan kisah hidup Piphylia Ferin.
”Isak tangis Piphylia tadi adalah ungkapan kesedihannya akan kebekuan Odile yang tak pernah membiarkan ia melihat keadaan Anella hingga akhir hidupnya,” desah Titus seraya menatap langit biru yang cerah.
Kutatap Titus dengan raut penasaran. Seakan mengerti arti tatapanku ia memicingkan matanya. ”Ness membenci Odile, dan separuh darah peri yang mengalir ditubuhnya itu.”
Kuhembuskan napas perlahan. Sepertinya aku bisa mengerti alasan Ness.
”Lalu mengapa Ness memilih Quilla,” tanyaku tertahan. Untungnya Titus tidak terlalu memperhatikan wajahku yang sedikit memerah ketika menanyakan perihal hubungan Ness dan Quilla.
”Ketika Ness beranjak remaja. Dia tumbuh menjadi pribadi yang cukup, yah mempesona,” dehem Titus canggung.
Segaris senyum hangat tergambar diwajahku.
Titus memutar kedua bola matanya. ”Maksudku begini. Ness sangat pendiam dan tertutup sejak kematian Aisling sewaktu serangan Zorca dan para pengikutnya pada upacara pengangkatan Orion,” ralat Titus.
Aku mengangguk dan berlagak bodoh.
”Namun ia tumbuh menjadi pemuda tangguh dan memilki kekuatan telekinetis hebat yang dimiliki ayahnya. Orion membujuknya untuk mengembangkan kekuatannya itu di Sandora sebagai salah satu ksatria lembah Crystal dibawah bimbinganku. Itulah sebabnya aku sangat mengetahui latar belakang kehidupannya,” suara Titus terdengar kaku.
”Tapi itu tidak menjawab pertanyaanku barusan padamu Titus,” gumamku memojokkannya seraya menaikkan kedua bahuku.
Titus terdiam untuk beberapa saat. Dahinya terlihat sedikit berkerut. ”Oh masalah perjodohannya dengan Quilla ya,” gumamnya balik bertanya.
Aku terkesiap. Perjodohan. Kupikir mereka hanya menjalani percintaan biasa yang  bersifat sementara.
Titus mengernyitkan dahinya. ”Begini. Odile mengirim seorang utusan untuk mengundang Ness. Mungkin diambang masa tuanya ia memutuskan dan merasa perlu untuk melihat seperti apa cucunya itu. Desakan Piphylia untuk menemui Odile, membuat Ness tak kuasa menolak undangan Odile ke Amorilla. Awalnya Odile begitu angkuh dan memandang Ness sebelah mata. Namun kekaguman yang tersorot di kedua mata tajam Odile tak dapat ditutupi begitu melihat sosok Ness. Odile menawarkan tempat tinggal untuk Ness di Amorilla dan berniat mendidik cucunya itu menjadi seorang prajurit cahaya yang tangguh. Namun Ness menolaknya. Dan saat Ness menghadiri undangan makan malam di istana dari raja Zordius bersama Odile, saat itulah putri Quilla jatuh cinta begitu melihat pesona yang terpancar dari wajah Ness yang tampan,” kali ini suara Titus terdengar melengking dengan sikapnya yang terlihat tak nyaman akan pernyataannya sendiri terhadap Ness.
Aku menggigit bibirku untuk menyembunyikan tawa.
”Bagaimana kau bisa tahu begitu banyak tentang hal ini,” selidikku.
Titus menatapku kesal. ”Karena aku mendampingi kepergian Ness ke negri Amorilla atas perintah Orion Xander. Padahal aku memiliki tugas yang jauh lebih penting daripada sekedar mengantar Ness ke Amorilla,” ujarnya menjelaskan dengan wajah berkerut.
Tawaku pecah. Aku tak sanggup lagi menahan rasa geliku.
”Aku seorang mentor ksatria sihir di lembah Crystal tapi Orion selalu memberikan misi untuk mengasuh ksatria ksatria sihir muda yang kehilangan arah,” ucap Titus sedikit kesal.
Kuhentikan tawaku dengan napas terputus putus. ”Maaf.”
”Dan kau adalah salah satunya,” lengking Titus seraya meletakkan telunjuknya tepat didahiku.
”Heyy, itu sangat tidak sopan master Titus,” protesku pelan.
Dengan wajah jengah Titus mengalihkan tatapannya dariku. ”Nanti malam ada jamuan makan malam untuk mengenang kepergian Anella. Raja Zordius mengundang Prechia dan para ksatria Crystal untuk datang,” dengus Titus.
Kuanggukkan kepala tanda mengerti. ”Kalau begitu sampai ketemu nanti malam,” gumamku pelan.
Titus mengangguk sebelum akhirnya berlalu dari hadapanku.
Kutarik napas panjang seraya menatap punggung Titus dari belakang.

Para peri sangat menghormati leluhurnya. Mereka menghormati kelahiran sama seperti mereka menghormati kematian. Anella adalah kebanggaan negri Amorilla. Bibi Zordius itu adalah seorang peri penyembuh yang terkenal ramah dan penolong. Sifat rendah hati Anella pun menurun pada putrinya Piphylia. Yang tak pernah membedakan siapapun yang ditolongnya.
Odile terlihat duduk dengan tenang disamping raja Zordius. Sementara ratu Orelia dan putri Quilla duduk disebelah kiri Zordius dengan anggun. Kali ini para anggota kerajaan mengenakan pakaian berwarna keemasan. Sesekali mata tajam Odile mengawasi ke sekeliling meja, mengamati para undangan yang tengah duduk satu persatu. Ketika sepasang matanya menatap kearahku aku dapat merasakan getaran kuat jika Odile tengah menajamkan pandangannya dan mengamati wajahku. Sementara Zordius nampak membisikkan sesuatu di kuping Odile begitu ia mengetahui jika Odile tengah mengawasiku.
Kualihkan pandanganku mencoba untuk menghindari tatapan Odile. Seolah merasakan keresahanku. Odile mengalihkan pandangannya pada cucu satu satunya yaitu, Ness yang terlihat duduk mendampingi Piphylia yang terlihat lesu. Sepasang mata wanita lembut itu nampak sembab karena terlalu banyak mengeluarkan air mata. Tangan Ness tak henti hentinya mengusap bahu ibunya itu seolah mencoba memberikan ketenangan padanya.
Tanpa sadar sepasang mata kami bertemu. Mata coklat keemasannya yang indah menatapku datar. Kucoba melempar senyum tipis sebagai tanda rasa dukaku. Ness memahami arti senyumku. Ia mengangguk pelan dan kembali mengalihkan tatapannya pada Piphylia.
Odile bangkit dari tempat duduknya dan seisi ruangan seketika berhenti bersuara. ”Kuucapkan terimakasih yang paling dalam atas kehadiran para ksatria lembah Crystal yang telah menghadiri pemakaman istriku, Anella,” ujarnya lantang membuka percakapan. Yang disambut dengan anggukkan hormat kami padanya.
”Dan untuk Prechia Gold dan para ksatria lembah Crystal yang pemberani. Aku turut berduka atas keadaan negri kalian dan kepergian pemimpin kalian Orion Xander. Orion adalah sahabatku yang berhati mulia sekaligus seorang pemimpin yang hebat,” dengusnya bersemangat.
Prechia berdiri dengan senyum penghormatan ditujukan pada Odile. ”Terimakasih, teman baikku Odile. Kata katamu memberikan semangat bagi kami semua untuk memperjuangkan kembali tanah leluhur kami yang telah terampas.”
Odile membalasnya dengan mengangguk hormat.
Zordius kini ikut berdiri disamping Odile dan mengangkat gelas ditangan kanannya tinggi tinggi. ”Sebaiknya kita bersulang untuk Anella. Semoga kedamaian selalu bersamanya.”
Kami pun mengangkat gelas bersama sama dan bersulang untuk Anella.
Sepanjang malam ini kuhabiskan waktu dengan melamun di meja makan. Di waktu yang begitu sempit aku berusaha keras memutar otak, mencari cara mudah untuk segera merapalkan mantra membangunkan sang naga. Kulirik Titus yang tengah sibuk berbincang dengan Prechia. Laki laki kurus itu adalah seorang mentor yang hebat namun sayangnya ia terlalu berhati hati jika mengambil keputusan hingga seringkali memperlambat kemajuanku.
Paginya aku berniat menemui Prechia untuk meminta ijin padanya untuk kembali ke hutan Farfasian. Karena hanya itulah satu satunya jalan bagiku berlatih mantra untuk membangunkan Arkhataya. Tapi sepertinya, aku harus menahan keinginanku karena Prechia kini tengah disibukkan oleh Shenai dan Helena yang tengah mendiskusikan nasib rakyat lembah Crystal yang kini seluruhnya bergantung padaku. Aku tak sengaja mendengar perkataan tajam Shenai yang menyudutkanku dari balik pintu kamar Prechia. Dan berlari kesal meninggalkan kamar Prechia dengan perasaan kacau.
Kucoba menenangkan pikiran dengan duduk di kursi kayu tua dekat kolam kecil disamping taman istana Amorilla. Aku menyukai tempat ini karena letaknya yang agak tersembunyi. Kupandangi kolam kecil yang berada di depanku itu. Begitu tenang dan datar. Kuhembuskan napas panjang perlahan untuk sekedar melepaskan beban pikiranku. Aku benci seperti ini. Menjadi tak berguna dan menyusahkan. Sementara nasib penduduk lembah Crystal bergantung padaku. Inikah yang dinamakan takdir. Sungguh menggelikan, dengusku marah.
Samar samar kudengar suara keras seperti bernada amarah. Ternyata aku tak sendirian. Sosok yang telah kukenal nampak saling berhadapan tepat sepuluh langkah dari tempatku duduk dan terlihat tengah bersitegang. Odile nampak terlibat perdebatan dengan Ness. Mereka berdiri disebuah jembatan kecil di taman utama. Raut muka Ness terlihat marah sementara Odile menatapnya dengan pandangan menyudutkan.  
Aku tak dapat menahan kedua mataku untuk tidak melepaskan pandanganku kearah mereka. Perdebatan kecil mereka terhenti karena Ness mengakhirinya dengan berjalan lurus lurus memunggungi Odile dan tak mau memberi kesempatan pada kakeknya itu untuk meneruskan pembicaraannya. Odile terlihat marah dan menatap tajam kearah punggung Ness sebelum akhirnya berbalik dan pergi meninggalkan taman utama.
Wajah Ness terlihat sama kacaunya dengan perasaanku. Kini sosok laki laki tampan itu menghentikan langkahnya begitu tiba di depanku. Mata emasnya menatapku dengan sorot aneh. Kubalas tatapannya itu dengan mencoba bersikap tenang menutupi rasa tersipuku.
”Sepertinya kau mendapatkan tontonan yang menarik hari ini,” ujarnya sinis seraya menyipitkan pandangannya kala menatapku.
”Tidak juga. Aku tidak tertarik dengan urusan orang lain,” hembusku keras mencoba mengacuhkannya.
Ness tergelak parau. Kini ia memandangiku dengan raut mukanya yang kembali  tenang dan datar. ”Boleh aku duduk disampingmu?”  tanyanya sopan.
Aku hanya mengangguk pelan.
Ia menghempaskan tubuh kekarnya ke kursi tua ini hingga berderit. Kemudian menatap lurus ke depan. Memandangi kolam kecil di depan kami. Kunikmati wajah tampannya yang indah dari tempat dudukku dengan sembunyi sembunyi.
”Kau tahu. Lebih baik aku menghadapi puluhan pengikut Zorca daripada berurusan  dengan laki laki tua itu,” desahnya sendirian. Wajah tampannya kini terlihat redup.
”Apa yang diinginkan Odile padamu, hingga kau terdengar begitu putus asa,” helaku penasaran.
Ness tersenyum getir. ”Untuk orang yang tidak tertarik dengan urusan orang lain, pertanyaanmu itu menyiratkan rasa keingintahuan yang dalam.”
”Kau tak perlu menjawab pertanyaanku jika kau tak mau,” sungutku kesal.
Sudut bibir indah Ness hanya membentuk senyuman. Ia melirik kearahku sekilas. ”Ia menginginkan aku dan Piphylia kembali padanya,” desahnya.
Kulirik laki laki itu sekilas lalu kembali menatap lurus ke depan.
”Kurasa permintaannya sangat sederhana. Memiliki kembali keluarganya setelah mengalami rasa kehilangan yang menyakitkan,” sahutku datar.
Satu alis matanya terangkat. ”Kerinduannya pada kami dapat ku mengerti tapi..,” kini ia menggantung kalimatnya seolah menimbang nimbang apakah akan meneruskan ucapannya atau tidak. Kini ia membalikkan tubuh kekarnya sejajar kearahku dan mencoba untuk membaca raut wajahku.
”Apa yang akan kau katakan pada Ghorfinus seandainya ia masih hidup saat kau mengetahui ia telah mewariskan gelang pusaka itu padamu,” tanya Ness penasaran seraya melayangkan pandangannya pada gelang Arkhataya yang melingkar di lengan kananku.
Kutatap Ness nanar. ”Saat ini kita sedang tidak membicarakan tentang aku, Ferin” sindirku tajam.
Ness menggeleng kuat kuat. ”Tidak. Aku hanya ingin mengatakan padamu jika sekarang aku mulai memahami perasaanmu ketika kau harus menanggung beban yang sebenarnya tidak kau inginkan,” dengusnya dingin seraya menatapku dalam.
”Pernyataan simpati mu sama sekali tidak menghiburku,” tandasku kesal seraya berdiri dengan posisi tegang.
Ness hanya duduk bersedekap dan menghindari tatapanku. ”Odile ingin mewariskan pusaka Griffin padaku sebagai penerusnya,” gumamnya hampir tak terdengar.
Kuputar kedua bola mataku. Pusaka Griffin, apa maksud ucapannya. Batinku.
”Permintaannya untuk menikahi Quilla saja sudah sangat membebaniku. Ditambah lagi mewariskan Griffin dan menjadikanku jenderal pasukan cahaya Amorilla. Laki laki tua itu pasti sudah sinting,” gumam Ness setengah memaki.
Wajahnya terlihat sedikit garang dan dingin.
Aku tersentak. Jadi Odile yang meminta Ness untuk menikahi Quilla. Pantas saja ia nampak tersiksa jika Quilla tengah berada disampingnya. Itu berarti Ness tidak memiliki perasaan apapun pada Quilla. Dengan perlahan aku kembali duduk disampingnya dengan napas lega. Kini kami terdiam. Setelah kusadari, untuk beberapa saat, aku melihat Ness sudah tak lagi mengenakan anting perak pemberian Quilla yang biasa tersemat di kuping kirinya.
”Kurasa kau telah menghilangkan antingmu,” ujarku ragu.
”Aku mengembalikan anting itu pada pemiliknya,” sahut Ness pelan.
Dadaku berdesir. Apakah ini menandakan perjodohan mereka batal, kerutku penuh tanda tanya.
”Itulah salah satu penyebab perdebatan kami yang baru saja kau lihat,” tandasnya sedikit geram menjelaskan padaku tanpa aku memintanya.
Kutatap Ness dari tempat dudukku. Ada perasaan bingung dan senang mendengar kabar tersebut. Kuhembuskan napas perlahan untuk mengatur degup jantungku yang berdetak cepat.
”Aku masih sangat muda dan bangga sewaktu aku mengetahui memiliki seorang kakek yang hebat. Seorang jenderal pasukan cahaya dari negri peri seperti Amorilla,” hembusnya pelan membuka percakapan. Kemudian ia tersenyum getir. ”Kebanggaan yang membutakan, membuatku berjanji memenuhi permintaannya untuk menikahi Quilla demi memperbaiki nama baik keluarga yang telah dihancurkan oleh ibuku dengan menikahi seseorang yang bukan berasal dari keturunan bangsawan kerajaan elf,” tukas Ness dingin mencoba membuka diri padaku.
”Odile selalu menyalahkan Piphylia atas penderitaan Anella. Namun sekarang ia menaruh harapan besar terhadapku. Sungguh tidak adil,” gumamnya sendirian.
Ada keinginan kuat untuk mengusap tangannya dan berkata sesuatu yang lembut untuk sedikit menenangkan perasaannya. Namun keinginan itu hanya kusimpan dalam anganku saja.
”Pernahkah terpikir olehmu jika ia melakukan semua itu karena ia mulai menyayangimu,” tanyaku hati hati.
Ness hanya membisu.
”Kurasa ia hanya seorang kakek yang merindukan cucu laki laki yang telah diabaikannya selama ini. Dan menjelang masa tuanya, ia baru menyadari jika ia ingin memberikan yang terbaik untukmu,” sambungku pelan mencoba memberikan pandangan yang berbeda dalam pikirannya.
Ness menghembuskan napasnya pelan.
”Kau tahu, Ness. Seseorang dapat berubah,” ingatku pelan.
Sepasang mata emas itu kini menoleh kearahku. ”Mungkin kau benar. Aku akan mempertimbangkan ucapanmu itu,” desisnya seraya berdiri.
Kutatap punggungnya dari samping. Sosoknya yang gagah, yang selalu mempesonaku, kini berbalik menatapku dari tempatnya berdiri.
”Terimakasih. Aku menyukai perbincangan kita hari ini,” kerlingnya menggodaku.
”Hari ini, kau juga tidak terlalu menyebalkan seperti biasanya,” tandasku membuatnya tergelak.
Ness berjalan meninggalkan aku yang kembali duduk sendirian melayangkan pikiranku pada Arkhataya.
 
Writer : Misaini Indra
 Image taken from : http://desktoplace.com

No comments:

Post a Comment