Protected by Copyscape Plagiarism Scanner

Wednesday 29 February 2012

PART II : Calista Kaz “Bangkitnya Sang Naga” (Chapter 2)


2. GRIFFIN

Keinginan kuatku untuk kembali ke hutan Farfasian akhirnya terwujud. Prechia menyetujui rencanaku untuk kembali kesana bersama Titus. Mengingat perjalanan kearah barat yang sangat berbahaya, Prechia meminta aku dan Titus untuk lebih berhati hati.
Namun kejadian buruk menghambat perjalanan kami. Ketika kami tiba dipinggiran hutan Sprhonia, disana telah terjadi keributan. Beberapa pengungsi nampak berlarian kearah kami ketika aku dan Titus melewati pemukiman sementara penduduk lembah Crystal itu.
Beberapa orang terlihat menderita luka bakar dan raut kepanikan terlihat jelas di wajah mereka. Tiga orang pasukan cahaya dan dua orang ksatria sihir yang tengah bertugas jaga di tempat pengungsian itu nampak mengepung dua orang penyusup yang telah membuat keributan.
Dan aku mengenali salah satunya. Dia adalah Herzog Mandal. Laki laki sinting yang menyeramkan itu nampak tertawa riang dan tengah menikmati kekacauan yang diciptakannya. Sementara yang satunya terlihat masih sangat muda. Wajahnya yang kekanak kanakan mengingatkanku pada Oggie. Raut wajahnya terlihat tegang sementara sepasang mata hitamnya nampak menyipit dan menatap waspada kearah para pengepungnya.
Aku dan Titus segera bergabung. Begitu melihat wajahku seketika itu juga Herzog melancarkan sihir apinya yang terarah padaku dengan cepat. Untungnya, aku telah terlebih dahulu menahan serangannya dengan membentuk perisai es yang besar untuk melindungi seluruh tubuhku.
Dua orang pasukan cahaya segera menghunus pedang dan melancarkan serangan kearah Herzog yang seketika itu juga langsung terjengkang terkena serangan dadakan pasukan cahaya. Sayangnya, teman Herzog berhasil melancarkan serangan balasan yang ditujukan pada Titus dengan sangat cepat. Seketika itu juga, Titus terhempas keras menghantam pohon tumbang dan tubuhnya terbanting ke tanah dengan posisi tangan kanan melintir dan tertindih tubuh kurusnya sendiri.
Sihir angin. Ia menguasai sihir angin yang sempurna seperti Titus. Desahku resah.
Dua orang ksatria Crystal kembali melancarkan sihir balasan namun sayangnya mereka mengalami nasib yang serupa dengan Titus. Dengan geram kuteriakkan mantra warisan Tristan. Seketika itu juga gulungan asap hitam keluar cepat dari kedua tanganku dan menggulung tubuh penyihir hitam itu hingga naik ke udara. Ia meronta dan mencoba melepaskan sihir asapku dengan sekuat tenaga namun aku tidak memberikannya kesempatan dan dengan cepat menghempaskan tubuh langsingnya ke tanah. 
Setelah merasa aman, kuhampiri Titus setengah berlari. Titus mengalami patah tangan yang sangat parah.
”Jangan perdulikan aku. Temui Prechia dan katakan padanya telah terjadi penyusupan di pengungsian ini!” seru Titus panik.
Aku menggeleng kuat kuat. ”Tidak. Aku harus tinggal dan melawan mereka. Berbaringlah sebentar disini, aku akan meminta salah satu ksatria kita untuk mencari bantuan,” ujarku seraya membaringkan Titus dan beranjak pergi tak memperdulikan panggilannya yang bernada marah.
Laki laki tadi berdiri dengan cepat seolah tak merasakan sakit. Semantara Herzog nampak sudah pulih dan mulai bangkit dari tempatnya terpuruk. Kurasakan jantungku berdetak kencang dan tubuhku sedikit menegang melihat mereka berdiri dihadapanku dengan wajah garang dan posisi tubuh siap menyerang.
”Jika kita membunuh gadis itu sepertinya kita tidak perlu menemui Zordius, Roven,” kekeh Herzog menjijikkan.
Wajah laki laki yang dipanggil Roven berkerut sesaat lalu ia melemparkan pandangannya kearahku. ”Kaukah penyihir naga Arkhataya itu?!” serunya seraya menatap angkuh kearahku.
Aku tak menyahutinya namun kedua mataku menatap waspada kearahnya. Sementara tiga orang pasukan cahaya mulai kembali begabung disampingku dan berjaga jaga akan serangan berikutnya.
”Pergilah ke Amorilla Lenas. Cari Prechia. Ceritakan keadaan disini,” perintahku setengah berbisik kepada salah satu prajurit cahaya yang berdiri di sisi kananku.
Wajah Lenas terlihat bimbang.
”Apalagi yang kau tungguu!!” seruku kesal hingga membuat Lenas berubah pikiran dan bergegas pergi.
”Tidak secepat itu!” raung Herzog geram seraya melancarkan sihir apinya kearah Lenas yang tak sempat menghindar. Lenas melengking keras menahan luka bakar disekujur tubuhnya.
Aku berteriak panik memanggil nama Lenas yang tengah berguling ditanah mencoba memadamkan api yang merambat keseluruh tubuhnya. Belum sempat kulancarkan sihir es ku ke tubuh Herzog, laki laki sinting itu ternyata lebih cepat bergerak dan melancarkan sihir apinya kearahku dengan brutal. ”Aku akan membunuhmu untuk Zorcaaa. Matilah kau penyihir Arkhatayaaa..!!” teriaknya parau.
Salah satu pasukan cahaya Zordius segera mendorongku dan menjadikan tubuhnya sebagai perisaiku. Aku terlempar empat langkah ke samping. Tubuhku bergetar hebat begitu mendengar teriakannya yang pilu menahan panasnya api disekujur tubuhnya. Teriakan kematian dari laki laki peri yang tubuhnya separuh terbakar itu membuatku merinding karena telah mengorbankan jiwanya untukku.
Dengan marah kulayangkan sihir angin ku tepat kearah Herzog dan membuatnya melayang terbang menghantam batang cemara yang langsung berderak terkena kerasnya hantaman tubuh besar Herzog. Seketika itu juga Herzog Mandal tak sadarkan diri.
Tiba tiba dalam sekelebatan saja, penyihir muda yang dipanggil Roven segera meloncat dan berdiri tepat di depanku. Sepasang mata hitamnya yang keji, menatapku tajam. Untuk sesaat mengingatkanku pada Rufus Black, penyihir kesayangan Zorca.
Belum sempat aku menghindar, tangan kanannya telah mencekik leherku kuat kuat. Kini ia tersenyum sinis padaku. Kupegangi tangan kanannya dengan kedua tangan rapuhku berusaha melepaskan diri dari cekikkannya. Namun tangan laki laki itu sekuat baja dan tak mau lepas. Kurasakan sakit luar biasa dileherku. Nyaris tak bernapas. Pandanganku perlahan lahan mulai memudar. Dan saat aku hampir kehilangan kesadaranku. Kurasakan cekikan tangannya terlepas dari leherku seketika dan aku jatuh terduduk memegangi leherku yang terasa sakit. Aku terbatuk batuk dan berusaha menghirup udara sebanyak mungkin mengingat aku hampir saja mati kehabisan napas.
Meski kepalaku masih sedikit pusing namun aku dapat melihat laki laki penyihir yang mencekik leherku tadi terlihat mencoba bangun dari tempatnya terjatuh. Zordius dan Prechia nampak berdiri tegak dihadapannya. Dan sepuluh orang pasukan cahaya berdiri disekeliling Odile dan menatap waspada kearah Roven yang tersenyum sinis meremehkan.
”Kau akan merasakan lebih dari itu jika kau tidak pergi dari sini!” perintah Zordius dingin.
Roven Lefre terbahak. Sepasang mata hitamnya menatap licik kearah Zordius. ”Aku membawa pesan dari Master Zorcaa!!” teriaknya lantang.
Sementara itu Herzog Mandal mulai tersadar dan bangun dengan susah payah berusaha menghampiri rekannya.
Seseorang memegang bahuku lembut. Aku mendapati Ness yang telah berjongkok disampingku. Sepasang mata coklat emasnya menatapku cemas. ”Kau baik baik saja?”
Aku mengangguk lemah. ”Titus...” sahutku galau.
”Shenai dan Helena telah membawanya ke tempat aman,” suara Ness terdengar berusaha menenangkanku. Aku mengangguk dan kembali mengalihkan pandangan kearah Roven dan Herzog.
”Serahkan penyihir naga Arkhataya atau master Zorca akan menghancurkan Amorillaa!” teriak Roven masih dengan wajah angkuhnya.
Pesan yang bernada ancaman itu membuat kami semua menarik napas dan berpaling pada raut dingin Zordius yang nampak tak senang. Mencoba menebak nebak keputusan yang akan diberikannya pada Zorca sebagai jawaban.
Zordius menatap lurus tepat ke wajah Roven. ”Katakan pada Zorca. Aku tidak membuat perjanjian dengan penyihir buangan seperti dirinya!” nada suara Zordius dingin dan meninggi.
Roven tersenyum licik. ”Kau akan menyesal yang mulia. Keputusanmu itu akan menghancurkan negrimu sendiri, tunggu saja,” kekehnya seraya memberi isyarat pada Herzog untuk mundur.
Herzog yang terlihat masih sempoyongan nampak melirik tajam kearahku. Lalu dengan cepat menyusul langkah Roven dan menghilang diantara jejeran cemara yang merapat. Sementara itu kabut tipis mulai merayap disekeliling hutan Sphronia.
”Pastikan mereka telah menjauhi hutan ini,” perintah Odile pelan pada lima orang pasukan cahaya yang dipanggilnya.
Dengan sekelebatan saja mereka telah menghilang diantara kabut tipis yang mulai menebal, mengikuti arah kepergian dua penyihir pengikut Zorca itu.
”Sebaiknya kau menunda kepergianmu ke hutan Farfasian,” nada suara Prechia terdengar cemas.
Seketika itu darahku mendidih.
”Tidak Prechia. Aku tidak akan menundanya lagi. Waktu kita sedikit. Aku tak ingin Zorca menghancurkan Amorilla karena keterlambatanku,” ujarku bersikeras.
”Kau hampir mati jika kami terlambat datang sedikit saja tadi!” bentak Prechia galak.
Kutatap Prechia dengan kesal. ”Tapi aku tidak mati!  Kumohon Prechia, aku harus pergi ke Farfasian. Aku harus membangunkan Arkhataya sebelum semuanya terlambat.”
Prechia menatapku galau. ”Aku tidak ingin kehilangan dirimu. Aku telah berjanji pada Orion untuk menjagamu tetap hidup meski harus kehilangan nyawaku,” ujarnya dengan nada suara sedikit tertahan.
Tubuhku lemas seketika. Kutatap Prechia nanar. ”Aku telah membuat Orion kehilangan jiwanya untuk melindungiku dan saat ini aku juga tak ingin kau mengorbankan jiwamu untuk menjagaku,” getarku pelan menahan rasa duka yang dalam.
Untuk sesaat Prechia terdiam.
”Aku akan menemaninya,” ujar Ness mencoba memecah keheningan.
Kutatap Ness dengan bingung.
Sepasang mata Prechia tertuju pada Ness.  
”Aku akan menjaga Calista dengan seluruh hidupku,” suara lembut Ness terdengar berusaha untuk meyakinkan Prechia.
Jantungku berhenti berdetak sesaat demi mendengar ucapan Ness.
Prechia menghela napas. ”Tawaran yang menarik, sayangnya, nona Kaz harus didampingi oleh seorang penyihir berpengalaman seperti tuan Titus Lader. Misi ini terlalu berbahaya untuk kalian berdua,” tegas Prechia.
”Kau salah, Prechia. Kekuatan Ness lebih dari seorang penyihir. Dia adalah pilihan tepat bagimu untuk mengawal gadis itu untuk menyelesaikan takdirnya,” potong Odile lantang. Kakek Ness itu tiba tiba saja sudah berdiri diantara kami.
Wajah Ness terlihat tegang begitu melihat keseriusan di wajah tua Odile. Demikian pula denganku dan Prechia. Odile menatap tajam kearah Ness yang terlihat menunggu alasan atas pernyataannya itu.
Odile menghela napas panjang dan menatap kami bergantian.
”Karena aku akan memberikan kekuatan Griffin ku padanya,” kali ini nada suara Odile terdengar penuh penekanan dan menyorot tajam pada Ness.
Ness mendesah. Sekilas terlihat ada sedikit penolakan diwajahnya. Sementara wajah Prechia terlihat memerah karena bersemangat.
”Kalau begitu tidak ada alasan bagiku untuk menolak kepergian kalian?” ujar Prechia mantap dengan pandangan berbinar tertuju kearah Ness.
Ness membuang napas sedikit keras dan menatap Odile dengan wajah bercampur kesal.
”Jika kau ingin menyelamatkan negrimu dan gadis ini. Sebaiknya kau menerima  tawaranku,” tandas Odile lagi masih dengan sorot tajam dari sepasang mata tegasnya yang tak mau beranjak dari wajah Ness.
Ness sedikit tersudut lalu berpaling menatapku. Sorot matanya yang resah seolah tengah memikirkan sesuatu. Ada rasa jengah ketika ia memandangiku seperti itu.
”Mengapa kau ingin memberikan satu satunya kebanggaanmu itu padaku?” kedua mata Ness kini terarah tajam pada Odile.
Odile menghela napas perlahan. Ditatapnya Ness dengan sorot mata penuh kelembutan. ”Karena kau adalah cucuku satu satunya. Aku hanya mencoba untuk memperbaiki masa lalu. Dan aku benar benar menyesal atas semua yang telah terjadi,” ditatapnya Ness lekat lekat.
Kulirik Prechia yang terlihat tak nyaman, sama sepertiku karena telah berada dalam percakapan pribadi keluarga mereka.
”Seharusnya kau menyingkirkan harga dirimu sejak dulu dan menyatukan kami,” nada suara Ness meninggi.
Odile membuang pandangannya dari tatapan Ness. ”Aku tahu,” desahnya. ”Tapi sulit bagiku untuk melupakan kejadian itu.. jika melihat ibumu.”
Kini Odile menatap Ness dengan pandangan melunak. ”Sewaktu aku melihatmu untuk yang pertama kali, aku merasakan sebuah harapan telah lahir dan meyakinkan diriku untuk mewarisi semua milikku padamu hingga aku bisa tenang menjelang ajalku,” ujarnya seraya menatap Ness lekat lekat.
Ness terdiam untuk sesaat begitu mendengar penjelasan Odile.
Odile menarik jubah putihnya yang menutupi kedua lengannya perlahan. Kini ia memperlihatkan dua buah gelang perak kembar di kedua tangannya itu. Gelang ditangan kanannya terukir gambar kepala burung elang sementara yang ditangan kirinya bergambar matahari.
Perlahan Odile melepaskan gelang ditangan kirinya yang bergambar matahari lalu memakaikannya pada tangan kiri Ness. Berikutnya gelang bergambar kepala burung elang ke tangan kanan Ness.
”Ini adalah pusaka Griffin. Gelang perak kembar yang akan mendatangkan cahaya matahari yang dibawa Griffin untukmu. Sumber kekuatan terhebat, sebagai cahaya kehidupan yang terbesar dan dapat digunakan untuk menghalau kekuatan jahat. Satukan gelang kembar ini, berbisiklah ke langit dan meminta Griffin datang membawakanmu cahaya untuk menghancurkan musuh musuhmu.”
Ness menatap sepasang gelang kembar di kedua lengannya tak berkedip.
”Jika kau kehilangan salah satu gelang ini. Griffin takkan pernah mendengar bisikanmu lagi,” ujar Odile mengingatkan.
Sepasang mata emas Ness nampak melunak.
Tangan kanan Odile kini memegang bahu Ness. ”Lindungi gadis itu dan selamatkanlah negrimu dari cengkraman Zorca,” Odile mempertegas ucapannya.
Aku dan Prechia hanya dapat menghela napas panjang sambil menatap Odile dan Ness dengan wajah haru.
Kini Odile tua mengalihkan pandangannya dari Ness dan menatapku tajam. ”Ghorfinus seorang penyihir yang hebat. Tapi ia tidak pernah memiliki kesempatan membangunkan Arkhataya dari tidurnya. Sepertinya takdir itu memang berada ditanganmu sekarang,” ucapnya dalam hingga membuatku tertegun beberapa saat akan ucapannya.
Odile mengangguk pelan kearah Prechia lalu berjalan menghampiri Zordius yang telah menunggunya. Kini mereka berjalan beriringan dikelilingi pengawalan ketat dari pasukan cahaya untuk kembali ke istana Amorilla. Meninggalkan kami dengan pikiran masing masing.
”Sebaiknya kalian menunda perjalanan ke hutan Farfasian. Sampai keadaan benar benar aman dan dua pengikut Zorca berada jauh dari sini,” perintah Prechia tegas.
Aku dan Ness hanya terdiam dan menuruti perintah Prechia untuk menunda keberangkatan kami.
Malam itu aku kembali bermimpi buruk. Kulihat sosok berjubah hitam tengah tertawa diatas kehancuran Amorilla. Asap hitam membumbung tinggi di atas bangunan istana megah milik Zordius. Bau daging terbakar dan jeritan panik terdengar hampir disetiap sudut istana. Dan hawa panas bercampur jilatan api yang menghanguskan mulai menjalar ke seluruh negri peri yang dingin ini.
Sementara itu aku berlari dengan seluruh kekuatanku menuju sosok tinggi berjubah hitam yang menjauhiku dengan cepat. Aku harus melawannya, batinku kalut. Semakin ku kejar sosok nya semakin cepat ia menjauh. Seluruh tubuhnya yang terbalut jubah hitam seolah melayang terbang dan menjauhiku.
Dengan cepat kuangkat tangan kananku yang mengenakan gelang Arkhataya kemudian mengarahkannya tepat ke tubuhnya yang memunggungiku. Dengan napas memburu kurapalkan mantra pemanggil Arkhataya dengan lantang. Hingga membuat sosok berjubah hitam itu kini berbalik menatap mataku seraya membuka penutup kepalanya. ”Jangan bangunkan sang naga!!” serunya garang dengan sepasang mata kelamnya yang telihat sangat cekung, menatap dalam hingga menembus jantungku.
Aku terbangun seketika dengan napas memburu. Kuatur napasku perlahan. Mencoba menenangkan diri. Sambil mengingat ingat kembali sosok berjubah hitam dalam mimpiku. Sepasang mata cekung sekelam malam itu bukan milik Zorca. Itu sepasang mata milik Obidia. Tapi mengapa ia melarangku membangunkan Arkhataya.
Kubenamkan wajahku dalam dalam pada kedua telapak tanganku yang gemetar. Mengapa Obidia melarangku membangunkan Arkhataya. Renungku galau. Lalu untuk apa ia mengungkapkan mantra pembangkit naga mematikan itu dalam jurnalnya. Kini pandanganku beralih pada gelang pusaka yang berada dilengan kananku dengan bingung.
Pikiranku buntu. Aku sedang tak ingin memecahkan sebuah misteri. Tapi setiap kehadiran Obidia dalam mimpi dan penglihatanku adalah sebuah pertanda yang tidak dapat kuabaikan begitu saja. Entah ini hanya sebuah mimpi buruk karena rasa kalut yang melanda perasaanku atau Obidia memang sengaja datang dalam mimpiku dan memberikan sebuah petunjuk.
Kucoba memejamkan kedua mata lelahku meski aku tahu keresahan di hati ini membuatku sulit untuk kembali tidur.
Pagi itu kuputuskan untuk menemui Titus. Selain untuk melihat keadaannya akibat serangan penyihir hitam Zorca kemarin, aku juga ingin menumpahkan seluruh kegalauanku akan mimpi anehku semalam.
Kutatap dari kejauhan sosok laki laki kurus yang tengah duduk dengan wajah serius menatap jurnal tua milik Obidia. Tangan kanannya yang kurus nampak dibebat kain dan menopang jurnal Obidia. Sementara itu tangan kirinya nampak kesulitan membuka lembaran kertas dalam jurnal tersebut hingga membuat buku jurnal dalam topangannya terjatuh. Terlontar sebuah makian pelan dari bibir tipisnya yang terlihat mengerucut.
Ketika menyadari kehadiranku yang tengah memperhatikan gerak geriknya itu, Titus berdehem pelan seraya meraih jurnal Obidia yang terjatuh tepat di kakinya sendiri. Kemudian tangan kirinya nampak menggenggam jurnal tersebut dengan erat.
”Senang melihatmu datang untuk menengok keadaanku,” ujar Titus cerah.
Kuanggukkan kepala dengan enggan lalu duduk disamping kursi kayu tempat Titus duduk. Kuhela napas panjang tanpa mengucap sepatah kata pun.
”Sepertinya kita harus menunda misi ke hutan Farfasian hingga kondisi tanganku pulih kembali,” tandas Titus mencoba untuk menyemangatiku.
Aku menggeleng pelan. ”Lupakan saja,” gumamku.
Titus menatapku heran.
Kulirik Titus sekilas. ”Ness yang akan mendampingiku pergi ke Farfasian.”
Bibir tipis laki laki itu mengerucut kesal. ”Sungguh menggelikan, maksudku, sudah menjadi tugasku mendampingimu melalui semua ini. Akulah mentor yang ditunjuk Prechia untuk melindungimu dalam misi berbahaya ini, Calista.” protes Titus kesal.
Kusunggingkan senyum datar. ”Prechia yang memintanya.”
Dahi Titus terlihat berkerut. Kemudian ia menghela napas pendek.
”Lihatlah dirimu. Butuh waktu lama untuk membuat tangan kananmu berfungsi normal untuk melayangkan serangan sihir pada musuh musuh kita,” ejekku setengah bercanda.
”Tapi Ness tidak memiliki kekuatan sihir untuk melindungimu,” sungut Titus.
”Jangan khawatir, Odile memberikan gelang pusaka Griffin padanya.”
Airmuka Titus terlihat sedikit terkejut atas perkataanku.
”Owh.. akhirnya laki laki tua itu mewariskan kebanggaannya pada Ness,” gumam Titus kembali dengan dahi berkerut.
Kulirik Titus, ”Obidia datang kembali dalam mimpiku.”
Titus menatapku tegang.
”Dia melarangku membangunkan Arkhataya.”
”Mengapa ia memintamu untuk melakukan itu?” tanya Titus bingung.
Kuangkat kedua bahu,”Aku berharap kau memiliiki jawabannya, mengingat kau sering sekali membaca jurnalnya. Mungkin kau menemukan petunjuk di dalam jurnal itu,” harapku.
Titus menggeleng. ”Seingatku tidak ada. Jika Obidia melarangmu membangunkan Arkhataya, lalu untuk apa ia menuliskan rapalan mantra untuk membangkitkan Arkhataya dalam jurnalnya itu.”
”Entahlah Titus. Aku hanya berpikir, kehadirannya dalam mimpiku seolah hendak mengatakan sesuatu ketika ia melarangku untuk membangunkan Arkhataya.”
”Jangan konyol. Jika kau tidak membangunkan naga itu, kita takkan pernah pulang kembali ke lembah Crystal. Dan cepat atau lambat, Zorca akan menghancurkan tempat perlindungan terakhir kita ini,” omel Titus setengah bergumam.
Ucapan Titus ada benarnya. Penduduk Crystal membutuhkan kekuatan Arkhataya untuk mengembalikan tanah leluhur mereka. Rumah mereka.
”Dengarkan aku Calista. Itu hanya mimpi. Mungkin kau terlalu lelah memikirkan semua beban yang ada dipundakmu. Tidak akan ada hal buruk yang akan terjadi,” ucap Titus tegas.
Kutatap Titus ragu.
”Berhentilah berpikiran aneh dan bangunkan Arkhataya untuk melawan kekuatan leviathan Zorca,” dengus Titus penuh semangat.
Sebuah tepukan tangan mengejutkanku dan Titus yang serentak menoleh kearah datangnya suara tepukan tersebut. Kulihat Brisa berdiri dengan senyum mengembang di sudut bibirnya yang indah.
”Kau beruntung memiliki seorang mentor hebat yang selalu menyemangatimu,” ujar Brisa seraya menatap aku dan Titus bergantian.
Airmuka Titus berubah kikuk. Wajah tirusnya terlihat sedikit memerah dari jarak pandangku.
”Sepertinya, kau harus selalu mengucapkan kata kata tadi pada si keras kepala ini, Titus.” ucap Brisa dengan nada sindiran seraya menepuk kepalaku seenaknya.
”Hey,” protesku pelan seraya menepis tangannya dari kepalaku.
Airmuka Titus terlihat tak nyaman. ”Aku hanya melakukan apa yang sudah menjadi tugasku,” ucapnya kikuk.
Brisa tertawa. ”Baiklah. Terserah kau saja.”
Raut tirus itu nampak tersipu. Dan tanpa sadar aku tersenyum sendirian.
Sepertinya Titus memiliki perasaan khusus pada Brisa.
Kualihkan pandangan pada Brisa yang terlihat santai dan sama sekali tak dapat membaca raut wajah tirus yang terlihat semakin kikuk.
Sepasang mata biru Brisa menatap Titus lurus lurus. ”Aku kemari atas perintah Prechia.”
Titus mengangguk pelan.
Kini Brisa menatapku dan Titus bergantian.
”Sejak serangan mendadak para pengikut Zorca di perbatasan hutan Sprhonia kemarin. Zordius memutuskan untuk memperketat penjagaan di sepanjang perbatasan. Odile juga telah memerintahkan beberapa prajurit cahayanya untuk melindungi penduduk Amorilla dan juga para pengungsi lembah Crystal.”
Aku dan Titus hanya terdiam.
”Prechia meminta para ksatria Crystal untuk melakukan hal yang sama. Cepat atau lambat Zorca akan segera tiba di Amorilla karena penolakan Zordius. Dan kita harus memastikan jika kita siap menghadapi mereka,” desah Brisa.
Kupalingkan wajah kearah pintu dengan resah.
”Jangan terlalu khawatir. Aku yakin semua akan baik baik saja. Zordius dan Odile adalah pejuang tangguh begitu pula Prechia, Shenai Helena dan kau Titus. Dan kami akan memastikan Zorca tidak akan menguasai Amorilla dan menghancurkannya. Seperti yang telah ia lakukan pada lembah Crystal,” desah Brisa seraya melirik kearahku.
”Lalu pesan apa yang kau bawa dari Prechia,” Titus memberanikan diri menatap Brisa.
Senyum tipis terlihat disudut bibir Brisa. ”Setelah kau pulih, secepatnya kau mengatur strategi pertahanan dan melatih para ksatria Crystal yang tersisa.”
Ironis. Tapi ucapan Brisa adalah suatu kebenaran.
Keesokan paginya aku dan Ness bersiap siap melakukan perjalanan ke Farfasian. Namun sebelumnya kami mengunjungi Prechia terlebih dahulu untuk berpamitan.  
Kupandangi Ness yang masih tertegun menatap gelang kembar pemberian Odile dikedua tangannya. ”Kau pantas mendapatkannya Ness,” ucapku setengah berbisik.
”Kakek tua itu bener benar telah kehilangan akal sehatnya,” gumam Ness datar.
Prechia tersenyum. ”Calista benar. Kau memang pantas mendapatkannya karena kau adalah ksatria terbaik yang pernah dimiliki lembah Crystal, Ferin,” tegas Prechia.
Kali ini Ness menghela napas penuh kelegaan. Ditatapnya wajah lelah Prechia dengan segurat senyum datar. ”Terimakasih Prechia. Kurasa sudah saatnya bagi kami untuk pergi,” nada suara Ness terdengar mantap seraya melirik kearahku dengan ekor matanya.
Prechia tersenyum senang. ”Bagus. Tunggu sebentar.”
Kali ini Prechia memandang langit dan mulai bersiul dengan nada tinggi. Dari kejauhan terlihat pegasus mengepakkan sayapnya yang kokoh diantara gumpalan awan putih yang bergerombol. Kuda tunggangan Orion yang besar dan gagah itu kini mendaratkan keempat kaki kakinya dengan mulus di hadapan kami seraya meringkik ramai. Sepasang matanya seolah menanti perintah Prechia.
Kedua tangan gemuk Prechia kini mengelus punggung pegasus dengan lembut. ”Pergilah bersama pegasus untuk menghindari pengikut Zorca. Sepertinya para penyihir hitam itu telah menguasai hampir seluruh wilayah diluar Amorilla.”
Aku mengangguk haru hingga tak sanggup mengucap sepatah kata pun padanya.
Ness meraih pinggangku dan menaikkan tubuh rapuhku keatas punggung pegasus. Kemudian dengan gerakan lincah ia melompat ke punggung pegasus untuk duduk dibelakangku. ”Kami segera kembali dengan kabar baik Prechia,” nada suara Ness terdengar mantap seraya melingkari pinggangku dengan sebelah tangan kekarnya. Sementara aku berpegangan pada leher pegasus.
Prechia mengangguk lemah. Ness menepuk leher pegasus pelan dan dengan cepat kuda itu mengepakkan kedua sayapnya dan terbang dengan cepat ke langit. Meninggalkan Prechia yang menatap kami dengan raut cemas yang tergambar jelas di wajah gemuknya.
Perjalanan menuju hutan Farfasian berjalan lancar dan tanpa hambatan. Berada diatas punggung pegasus dan terbang diantara gumpalan awan putih seperti ini membuatku merasa terbebas dari semua beban. Aku bahkan sempat melupakan keberadaan Ness yang duduk bersamaku dipunggung pegasus ini. Kedua tangan kokohnya memeluk erat pinggangku. Dan jantungku berdetak cepat seketika, bukan karena perasaan senang terbang melayang seperti ini namun karena aku dapat merasakan  hidungnya yang seolah sengaja ia benamkan dirambutku yang terurai bebas. Pipiku menghangat. Ness seorang laki laki yang sopan, entah mengapa ia melakukan hal itu. Tapi aku menyukainya. Separuh hati kecilku seolah bersorak senang dan menikmati perlakuannya. Sayangnya yang separuh lagi terasa sesak akan pengkhianatan yang telah kulakukan atas kenangan Tristan.
Tebing tinggi yang dipenuhi tebalnya lumut hutan diantara deretan pinus mulai terlihat. Dengan semangat aku berteriak kencang memberitahukan Ness akan tempat bersemayam naga Arkhataya yang terletak di sekitar air terjun yang terlihat indah dari punggung pegasus. Ness mengelus leher pegasus dan terdiam beberapa saat seolah tengah berkomunikasi dengannya. Benar saja, dengan perlahan ia segera terbang rendah dan mengurangi kecepatannya. Pegasus menurunkan kami di dataran landai beralaskan rerumputan tebal tak jauh dari air terjun Farfasian ini.
Ness meloncat turun dari punggung pegasus. Lalu dengan lembut ia meraih pingangku dengan kedua tangannya dan menurunkanku perlahan dari punggung pegasus. Dielusnya kembali leher pegasus, lalu ia membisikkan sesuatu dikuping makhluk menakjubkan itu, yang dengan cepat mengepakkan kedua sayapnya dan terbang perlahan menuju langit cerah hingga menghilang diantara gumpalan awan putih yang berkejaran.
Kutatap Ness penasaran. ”Sebenarnya apa yang kau bisikkan ditelinga makhluk itu hingga ia menurutimu?” gumamku sedikit keras ditengah derasnya suara air terjun.
Ness tertawa seraya memamerkan senyumnya yang menawan. ”Sebenarnya hanya seorang penyihir hebat seperti Orion dan Prechia yang dapat memantrai pegasus dan membisikinya agar menuruti keinginan mereka!” serunya.
Aku semakin bingung dengan penjelasannya yang hanya separuh.
Ness membungkukkan badannya kearahku. ”Aku seorang psychic illusionist, Calista. Aku dapat melakukan apa yang dilakukan Tristan dengan sihir ilusinya,” kali ini ia berkata tepat dikupingku mencoba memperjelas ucapannya diantara suara air terjun.
Seketika dadaku bergetar begitu ia menyebutkan nama Tristan. Kenangan pahit kembali menggores hatiku. Sadar telah mengucapkan hal yang telah membangkitkan lukaku. Ness menatapku canggung. ”Maaf,” gumamnya ragu.
Aku menggeleng lemah. ”Lupakan saja,” senyumku kaku.
Ness terdiam untuk beberapa saat. Begitupula denganku. Suasana pun mendadak jadi sedikit aneh. Sementara gemerisik keras suara air terjun seolah tak memperdulikan keresahan hati diantara kami dalam situsi yang tak nyaman ini.
”Sebaiknya kita tidak membuang waktu!” seruku mencoba memecah kebekuan diantara kami.
Ness mengangguk sebagai tanda persetujuan. ”Dimana guanya?!” tanya Ness setengah berteriak.
”Dibalik air terjun itu!” tunjukkku tepat di depan air terjun dihadapan kami.
Wajah Ness terlihat tegang. Sepasang mata emasnya mengamati derasnya air terjun di depan kami dengan waspada. Seolah tengah meraba sesuatu yang sekiranya akan membahayakan keselamatan kami.
Dengan lincah aku melompati dua tiga deret bebatuan yang besarnya tak sama. Ness mengawasi empat langkah di belakangku. Kucoba untuk berkonsentrasi dengan memejamkan mata. Kutarik napas panjang dan mulai menggumamkan mantra untuk membangkitkan naga mematikan itu.
Gagal...
Kucoba untuk yang kedua kali.
Masih sama. Tak ada perubahan. Hanya ada suara curahan air terjun yang terdengar keras di telinga kami.
Kubuka kedua mataku dan menatap air terjun di depanku yang tengah mengalir deras itu.
”Semuanya baik baik saja Calista,” tanya Ness cemas.
Aku tak menyahut. Dengan geram kembali kurapalkan mantra pemanggil Arkhataya dan kali ini dengan nada suara sedikit kesal dan memaksakan diri.
Tetap sama. Tidak ada apapun.
Aku berteriak marah melampiaskan kekesalanku. Ness membalikkan kedua bahuku dari belakang kemudian menatap lembut padaku.
”Sebaiknya kau menenangkan pikiranmu,” sarannya pelan.
”Aku selalu gagal Ness.  Aku tak mengerti apa penyebabnya!” isakku histeris.
”Jika kau terus merengek seperti itu tentu saja kau takkan pernah dapat membangunkan naga terkenal itu!” seru Chaides dari balik pepohonan pinus sambil memainkan buliran buliran air dikedua jemarinya.
Seruannya mengejutkan kami. Dengan cepat Ness melancarkan serangan kearah Chaides dengan sekuat tenaga. Namun sayangnya Chaides dapat membaca serangan itu dan dengan lincah menghindar seraya melayangkan buliran buliran air mengarah tepat ke dada Ness. Dengan kesadaran penuh, kudorong Ness dengan seluruh kekuatanku dan melancarkan sihir es ku kearah buliran buliran air sebesar kepalan tangan orang dewasa itu, yang langsung membeku terkena sihir es ku dan jatuh menjadi kepingan batu es yang berserakan.
Chaides bersorak senang. ”Hebaaatt!! Kau sudah banyak kemajuan rupanya?!” teriaknya girang, menyemangatiku.
Kutatap sosok laki laki cebol itu dengan waspada dan berusaha untuk tidak terpengaruh oleh ucapannya. Ness bergerak maju dan menarik tubuhku dibalik tubuh kekarnya. Mencoba untuk melindungiku.
”Ahh sepertinya kau telah memiliki pengganti Tristan ya,” keluhnya, menyindirku.
Kutatap Chaides dengan kesal. ”Apa yang kau lakukan di sini Chaides?!” tukasku dingin.
Chaides tertawa geli seolah ucapanku adalah sesuatu yang sangat lucu baginya.
Ness segera melirik kesekeliling kami, mewaspadai ancaman lain yang mungkin saja datang bersama dengan Chaides.
”Aku hanya sendirian, nak!” seru Chaides tertuju pada Ness seraya duduk diantara bebatuan besar yang hanya berjarak sepuluh langkah dihadapan aku dan Ness yang masih berdiri tegak dan menatap waspada padanya.
”Apa yang kau inginkan Chaides?!” teriakku marah karena ia telah mengabaikan pertanyaanku.
Ditatapnya aku dengan sepasang mata hijaunya yang ramah. ”Kau tahu, air adalah sesuatu yang menenangkan,” ujarnya datar, tak menjawab semua pertanyaanku.
Aku dan Ness bertatapan bingung.
”Kau harus mengetahui sifat dasar air sebelum kau melakukan sesuatu padanya,” sambung Chaides santai.
”Apakah kau sudah sinting hingga memberikan pelajaran tentang air pada kami, sekarang!” teriak Ness dengan nada suara setengah mengejek.
Chaides tergelak keras dari tempat duduknya. ”Kau tahu nak. Kurasa, aku  menyukai kekasihmu yang ini, dibandingkan Tristan yang pemurung. Ahh malang benar nasib anak itu, harus berakhir seperti ayahnya,” ujar Chaides menerawang.
Sepasang mata hijau terang Chaides kini menatapku riang. ”Tapi yang satu ini, benar benar menghiburku,” kekehnya seraya menatap Ness dan aku bergantian.
Kutatap wajah Chaides lekat lekat. Sepertinya Chaides memang sudah menjadi sinting. ”Dimana Amara?” tanyaku mengulur waktu sambil membaca raut wajahnya yang seketika menjadi muram dan termenung.
Chaides hanya melamun dan tak menjawab pertanyaanku.
”Apakah dia berada disini, Chaides. Kau selalu bepergian bersamanya kan?” tanyaku seraya melirik kesekeliling berusaha mencari sosok penyihir gemuk yang sempat dekat denganku dulu.
Chaides menatapku linglung. ”Dia berhenti mengekoriku,” desahnya pelan.
Kusipitkan pandanganku padanya. Itu bukan jawaban yang kuharapkan darinya.
”Aku senang telah terbebas dari wanita dungu tak berguna itu,” gumam Chaides getir seraya menatapku kosong.
Kugelengkan kepalaku bingung. ”Apa maksudmu Chaides. Dimana dia sekarang?”
Chaides menarik napas dalam dalam kemudian sepasang mata hijau terangnya menatapku dingin. ”Amara sudah mati. Zorca telah mengorbankan jiwanya untuk persembahan pada ruh hitam penghuni neraka.”
Jawabannya sedikit mengejutkanku. Tiba tiba aku teringat perkataan Tristan beberapa waktu yang lalu di lembah Crystal saat kami hendak melarikan diri.
”Mengapa Zorca melakukan perjanjian dengan kekuatan ruh jahat seperti itu, Chaides. Apakah, hanya demi membangkitkan ular raksasa mengerikan yang telah menghancurkan tanah leluhurku itu. Mengapa Zorca tidak bersikap ksatria dan menghadapi Orion dengan kekuatan sihirnya sendiri!” seruku marah.
Chaides memiringkan kepalanya lalu memandangiku. ”Kurasa kau sama dungunya dengan Amara jika berpikir seperti itu nak,” ucapnya datar.
Darahku mendidih. ”Jika kau datang hanya untuk menghinaku, aku bersumpah akan membunuhmu sekarang juga, Chaides!” tandasku dingin.
Chaides kembali menarik napas panjang dan mengalihkan pandangannya ke deretan pinus. ”Ketika seorang laki laki tidak dapat berdiri di kakinya sendiri untuk mempertahankan diri, seharusnya kau telah mengetahui ada sesuatu yang salah dengan laki laki tersebut.” Kini Chaides berdiri dan menatapku nanar.
Untuk sesaat aku terdiam, mencoba menganalisa perkataannya, kemudian kutatap Chaides dengan pandangan seolah tak percaya. ”Maksudmu, kekuatan sihir Zorca mulai melemah?” tanyaku ragu.
Chaides tersenyum samar. ”Jauh lebih buruk, Zorca sekarat. Ketika ia membuat perjanjian dengan kekuatan jahat untuk membangkitkan kembali leviathan dengan ketujuh ruh hitam yang terkutuk dan terkurung dalam tubuh makhluk tersebut, Zorca harus membayar mahal. Pada akhirnya iblis itu sendiri yang meminta jiwanya.”
”Lalu untuk apa ia mengorbankan Amara sebagai persembahan jika iblis itu sendiri hanya meminta jiwa kotornya,” sahutku sengit.
”Zorca mencoba mengulur waktu. Dengan mengorbankan darah penyihir hitam seperti si dungu, ia berharap dapat memuaskan dahaga sang iblis meski ia tahu, pada akhirnya ia tidak dapat menghindar dari kematiannya sendiri. Setidaknya Zorca telah mencapai tujuannya untuk membalas dendam,” tandas Chaides.
Aku menjadi mual begitu mendengar penuturan Chaides.
Ness memegang tangan kananku. ”Apakah ucapannya itu bisa di percaya?” bisiknya lembut.
Pertanyaan Ness membuatku berpaling untuk menatap Chaides kembali, dengan perasaan bimbang. ”Mengapa kau mengatakan semua ini padaku?”
Chaides membuang napas panjang lalu menatapku datar. ”Entahlah. Mungkin aku melakukannya untuk Tristan dan Amara,” matanya terlihat menerawang.
Mendengarnya menyebut nama Tristan membuat dadaku perih dan kembali teringat sosok dingin yang sempat mengisi hatiku itu.
Chaides tersenyum hambar. Sepasang mata hijaunya menatapku dalam. ”Dengarkanlah irama air terjun itu dengan hatimu. Jika kau bisa melakukannya maka kau akan menembus apapun yang tertutup dibalik suara deras curahannya.”
”Bagaimana jika itu tidak berhasil?” sahutku hati hati.
Chaides menatapku tajam. ”Sebagai seorang penyihir yang mewarisi gelang pusaka Arkhataya kau terdengar kurang percaya diri dengan kemampuan sihirmu,” sindir Chaides menyudutkan.
Wajahku memerah. ”Untuk apa aku mendengarkan saran seorang musuh sepertimu,” rengutku kesal.
”Karena kau akan menjadi seorang penyihir muda yang sama dungunya dengan Amara jika kau tidak mau mendengarkan saranku,” senyum Chaides terlihat tulus.
Segurat senyum kaku terlukis diwajahku, mengungkapkan rasa terimakasihku atas sarannya.
”Bangunkanlah naga jelek itu nak. Dan hentikan aksi Zorca dan ular kepala tujuhnya. Karena aku bisa gila jika terus bersama mereka,” keluh Chaides seraya membalikkan tubuh cebolnya dan memunggungiku. Lalu ia berjalan pelan menuju deretan pinus di depan kami. Dan menghilang dengan cepat.
Ness menatapku penuh kekaguman. ”Sulit dipercaya.”
”Zorca telah melukai perasaannya dengan mengambil satu persatu sahabatnya,” desahku.
Ness terdiam.
Kucoba memberanikan diri untuk meraih telapak tangannya yang sehalus sutra.
”Jangan pernah berpaling dariku saat aku membangunkan Arkhataya, Ness.” pintaku lembut, menyiratkan rasa takutku.
Sepasang mata emas itu hanya menyorot dalam dan menyunggingkan senyum samar.
  
Writer : Misaini Indra        
Image taken from : http://craigssketchpad.co.uk/2009/06/the-griffin/

No comments:

Post a Comment