Protected by Copyscape Plagiarism Scanner

Thursday 8 March 2012

PART II : Calista Kaz “Bangkitnya Sang Naga” (Chapter 3)


3. BANGKITNYA SANG NAGA

Kugenggam tangan Ness dan menariknya pelan untuk berjalan disisiku mendekati air terjun besar dihadapan kami.
Aku berhenti di depan gundukan bebatuan yang tak rata tepat diujung jatuhnya air terjun yang mengalir deras. Tak kuperdulikan cipratan halus butiran airnya yang dingin membasahi pakaianku. Kulepaskan genggaman tanganku dari tangan Ness dan menatapnya sendu.
”Jangan pernah berpaling dariku saat aku membangunkan Arkhataya, Ness.” pintaku lembut, menyiratkan rasa takutku.
Seolah memahami perasaan takut ini, Ness membelai rambut coklatku dengan ujung jemarinya. ”Aku akan memastikan kau hidup dan menaklukkan makhluk itu Calista,” ucapnya dengan ketegasan diantara sepasang mata emasnya.
 Kali ini kupejamkan kedua mataku. Mencoba mendengarkan suara derasnya air terjun Farfasian yang keras dan berisik. Kukosongkan pikiranku dan mencoba untuk tenang. Kuambil napas dalam dalam dan kembali menyelami irama air terjun ini dengan hatiku seperti saran Chaides.
Sayangnya, masih belum dapat kurasakan.
Sentuhan di bahu membuatku terpaksa membuka mata dan menatap Ness yang tengah tersenyum menatapku.
”Mungkin aku bisa membantumu sedikit.”
Aku menatap Ness dengan bingung.
”Tatap mataku dan jangan berkedip meski sesaat,” perintahnya.
Kutatap sepasang mata emasnya yang indah. Tak berapa lama kemudian, pikiranku terasa jauh lebih tenang. Dan Ness kembali mempertegas tatapannya. Kali ini ia memintaku untuk menutup kedua mata dan berkonsentrasi penuh mendengarkan riak air terjun yang terdengar deras.
Iramanya masih sama. Keras dan deras.
Suara lembut Ness yang memintaku untuk terus berpikir tenang seolah membiusku. Hal yang sama yang pernah kurasakan sebelumnya ketika Tristan menghipnotisku dengan sihir mimpinya.
Samar samar suara deras air terjun mengalun seirama. Meski masih terdengar keras dan berisik namun aku mulai mendengar irama yang teratur, seperti nada nyanyian yang menenangkan.
Ini pasti mimpi. Karena suara irama air terjun itu kini mengalun merdu di kupingku. Kunikmati irama air terjun dihadapanku dengan memejamkan kedua mata. Tiba tiba aku menangkap suara lain. Suara dengkuran kasar yang perlahan lahan terdengar jelas. Suara itu berasal dari balik air terjun.
”Aku mendengarnya Ness. Aku dapat mendengar suara Arkhataya yang tengah tertidur,” bisikku antusias masih dengan mata terpejam.
”Ini kesempatanmu. Segera ucapkan mantra itu Calista!” perintah Ness samar di kupingku.
Kutarik napas dalam dalam dan menghembuskannya perlahan. Kemudian dengan penuh keyakinan kembali kubisikkan mantra pemanggil Arkhataya dengan sepenuh hati.
Bangun bangunlah Arkhataya ...
            Tunjukan kesetianmu padaku ...tunjukan kekuatanmu sebagai pelindungku...
            Dengar dengarlah Arkhataya...
            Menyatulah dalam pikiranku ... dengarkan perintahku...
Tidak ada respon.
Tidak. ini salah. Suaraku terlalu pelan untuk didengarnya. Seingatku Obidia mendendangkan mantra pemanggil Arkhataya ini dengan perlahan seperti sebuah nyanyian. Lalu menghentaknya dengan suara lengkingan tinggi dan mengakhirinya dengan teriakan keras sebagai suatu perintah. Tapi aku harus terlebih dulu menyatukan jiwaku dengan Arkhataya. 
Kembali kuatur napasku, seraya berdendang pelan mengucapkan mantra pemanggil dengan sepenuh jiwaku,
Bangun bangunlah Arkhataya ...
            Tunjukan kesetianmu padaku ...tunjukan kekuatanmu sebagai pelindungku...
            Dengar dengarlah Arkhataya...
            Menyatulah dalam pikiranku ... dengarkan perintahku...
            Dan kini dengan penuh keyakinan, kuhentakkan suaraku dengan lengkingan tinggi, seraya menatap tajam kearah air terjun dihadapanku,
Bangun dan datanglah dengan kekuatan sihirku...
            Bangun dan turuti perintahku...
Berikan kekuatanmu padaku, wahai Arkhataya....
Suara erangan keras terdengar dari balik air terjun besar di depanku hingga mengalahkan derasnya suara air yang mengalir jatuh. Kutegaskan pandanganku dan menguatkan hati. Sementara Ness berdiri disampingku dengan raut tegang.
Kembali erangan parau yang cukup keras terdengar dari balik air terjun.
Bulu kudukku meremang. Aku dapat merasakan suatu kekuatan besar akan datang. Sebuah kepala bertanduk perlahan lahan keluar dari balik air terjun. Begitu besar dengan moncongnya yang mengeluarkan napas yang berasap. Sepasang mata hitam dengan bintik kemerahan di bola matanya kini menatap buas mengarah padaku.
”Kau berhasil membangunkannya,” bisik Ness tertahan.
Dengan cepat kutarik Ness untuk mundur beberapa langkah kebelakang bersamaku karena Arkhataya sepertinya hendak keluar dari balik air terjun di depan kami dengan tak sabar.
Arkhataya kembali mengerang keras seraya menunjukkan deretan giginya yang besar dan tajam. Dengan gerakan cepat naga itu keluar dari peraduannya. Tubuhnya yang sama besarnya dengan leviathan Zorca terlihat bergerak perlahan ke kanan dan ke kiri. Ia mengepakkan kedua sayapnya yang bersirip dan setajam mata pisau itu dengan gerakan cepat. Punggung besarnya yang bertanduk hingga ujung buntutnya terlihat menakutkan. Sementara kedua kakinya yang memiliki cakar tajam terlihat mencengkram bebatuan dipinggiran air terjun yang mengalir deras. Punggungnya terlihat licin dan basah karena siraman air terjun yang deras. Sepasang mata hitam dengan bintik merah di bola matanya kini menatapku buas seraya mengerang keras.
”BERANI SEKALI KAU MEMANGGILKUUU!!!” erang Arkhataya marah.
Aku tersentak kaget. Napasku memburu.
Naga ini berbicara padaku. Batinku dengan jantung berdebar seolah masih tak percaya. Dia terlihat tak senang akan perbuatanku ini.
Dengan tergesa aku mundur beberapa langkah ke belakang diantara bebatuan yang tak sama besarnya.
Naga itu kini mengibaskan kedua sayapnya dan mengejar langkah langkah kecilku dengan amarah yang meluap. ”KAUU BUKANN OBIDIAA. DIMANA OBIDIAAA!!!” Erangnya keras seraya menunjukkan deretan giginya yang setajam pedang.
Ness berusaha melindungiku dengan menyarangkan serangan ke punggung Arkhataya yang nampak terkejut dan berbalik arah padanya dengan erangan keras. 
Arkhataya mengibaskan buntutnya yang bertanduk ke tubuh Ness hingga ia terhempas delapan langkah diantara bebatuan keras ini.
Kini sepasang mata hitam Arkhataya terlihat memerah dan pandangannya tertuju pada Ness yang jatuh tertelungkup.
            ”KUMOHON HENTIKANN!” teriakku begitu melihat reaksi Arkhataya atas serangan Ness padanya.
            ”AKU AKAN MEMBUNUH KALIANNN!!” raung Arkhataya seraya bersiap siap untuk meniupkan api dari moncongnya kearahku.
            Perlahan Ness berusaha keras mendongakkan kepalanya dan menatapku. ”GELANGNYA CALISTA!! TUNJUKKAN GELANGNYA!! teriak Ness kesal dari tempatnya berbaring dengan wajah penuh goresan luka.
Dengan cepat kuacungkan gelang pusaka di lengan kananku pada naga yang terlihat murka tersebut. ”OBIDIA MEWARISKAN GELANG INI PADAKU. KAU DENGARR!!! LIHATLAH GELANG INI!! LIHATLAH GELANG INIII!!”  Teriakku panik.
Arkhataya memiringkan kepalanya untuk melihat gelang yang melingkar di tangan kananku. Dan dengan gerakan cepat, pandangan makhluk itu kini mengarah padaku. Sepasang mata liarnya seolah menembus pandanganku. Tak mau melewatkan kesempatan ini, dengan cepat kuteriakkan kembali rapalan mantra panggilnya dengan menatap langsung kedua mata liarnya itu,
TUNJUKKAN KESETIANMU PADAKU...
TUNJUKKAN KEKUATANMU SEBAGAI PELINDUNGKU...
DENGARLAH ARKHATAYA...
MENYATULAH DALAM PIKIRANKU...
DENGARKAN PERINTAHKU...
Sepasang mata liar itu terpaku begitu mendengarkan rapalan mantra yang kuucapkan. Seolah terbius. Arkhataya terlihat memiringkan kepalanya kembali dan terdiam.
Berhasil. Napasku memburu dan dengan lengkingan tinggi seraya menunjukkan gelang Obidia kearahnya kuucapkan mantra perintah yang kedua pada naga mematikan ini,
            DENGAN KEKUATAN SIHIRKU.. TURUTI PERINTAHKU...
            BERIKAN KEKUATANMU PADAKU, WAHAI ARKHATAYA...
            Arkhataya terlihat lebih tenang. Tubuhnya yang berukuran besar dan tinggi menjulang kini membeku.
            ”Mulai sekarang kau akan menuruti perintahku!!” seruku tertahan.
            Arkhataya hanya mengibaskan buntutnya yang besar dan panjang.
            ”Namaku Calista. Obidia mewariskan gelang ini padaku. Dan kau akan menuruti semua perintahku!!” tegasku.
            ”Apakah kau tengah berbicara pada makhluk itu?” desah Ness terheran heran yang kini telah berdiri disampingku. Ada goresan darah terlihat jelas di pelipisnya.
            Kutatap Ness bingung. ”Ya. Bukankah kau juga mendengar semua ucapan dan kemarahannya?!” ujarku balik bertanya.
            ”Sayangnya tidak,” geleng Ness seraya melirik Arkhataya yang terlihat membeku ditempatnya berdiri. ”Apakah dia tengah tertidur saat ini?” tanya Ness lagi dengan nada setengah mengejek.
Kualihkan kembali pandanganku pada naga dihadapanku ini.
”Aku tahu kau ada di dalam sana Arkhataya,” ucapku hati hati.
Kini Arkhataya menghembuskan napasnya yang berasap. ”APA YANG KAU INGINKAN DARIKUU!” erangnya pelan.
Kutatap sepasang mata hitamnya lekat lekat. ”Aku ingin kau membantuku membunuh leviathan, makhluk dari neraka yang telah merampas negri leluhurku,” ujarku tertahan menunggu reaksinya.
Arkhataya mengerang kencang seolah tengah tertawa keras keras.
Membuat aku dan Ness terkejut karena suara tawanya lebih menyerupai jeritan panjang.
”KAU TIDAK BISA MEMBUNUH JIWA TERKUTUK YANG TELAH MATII!!” pandangan liarnya tertuju padaku.
”Kalau begitu kembalikan jiwa jiwa terkutuk itu kembali ke asalnya. Kau pernah melakukan itu sebelumnya kan?!” desakku putus asa.
”BODOH!! KAU MERAGUKAN KEHEBATANKUU. AKUU, ARKHATAYA ADALAH PENYIHIR TERHEBAT DARI UTARA!!!” erangnya bergema keseluruh hutan, mengalahkan derasnya suara air terjun Farfasian ini.
Ternyata legenda itu benar. Batinku resah. Rupanya ruh Arkhataya, telah masuk ke dalam tubuh naga mematikan milik kerajaan Amorilla ini.
”KETIKA OBIDIA MEMBANGUNKAN TUBUHKU. DIA MENJANJIKAN SESUATU PADAKU!!” kini Arkhataya menatapku dengan sorot garang.
Aku menatap bingung kearah makhluk mengerikan itu.
”KAU INGIN KEKUATANKU, KAU HARUS MEMENUHI PERMINTAANKU!!” erangnya kasar.
Hatiku ciut seketika.
”Apa yang kau inginkan dariku?” tanyaku ragu.
Ness melirikku resah. ”Sebenarnya apa yang tengah kalian rundingkan? Bukankah seharusnya makhluk itu menuruti semua permintaanmu?” nada suara Ness terdengar gusar karena tidak dapat mendengar satu pun ucapan Arkhataya.
Kutatap Ness nanar. Arkhataya adalah seorang penyihir cerdas di masanya. Tapi, sepertinya, jiwanya itu sekelam ilmu sihir yang dimilikinya.
Kini aku mulai mengetahui arti mimpiku beberapa hari yang lalu, akan ucapan Obidia yang melarangku untuk membangkitkan Arkhataya.
”Percayalah padaku Ness. Tapi ini benar benar diluar dugaan. Tidak semudah seperti yang kita bayangkan sebelumnya,” bisikku pelan pada Ness tanpa mengalihkan pandangan sedikit pun pada Arkhataya yang tengah mengawasiku.
”Jangan turuti permintaannya, kau dengar aku Calista?!!” seru Ness marah. Sepasang mata emasnya kini menatap tajam pada naga Arkhataya.
Arkhataya mendengus keras seolah terusik oleh seruan Ness.
Dengan cepat kuangkat tangan kananku tinggi tinggi kearah sang naga. ”Aku pewaris gelang pusaka milik Obidia. Itu berarti kau harus menuruti semua perintahku!!” seruku sedikit bergetar.
Arkhataya kembali mengeluarkan suara erangan tinggi. Menyerupai suara tawa bernada mengejek.
”KAU PIKIR KAU DAPAT MENGENDALIKANKU LEWAT GELANG ITU!!”  
Wajahku terasa tegang. Kata katanya membuatku kehilangan percaya diri dan semakin tersudut. Apakah makhluk buas ini hanya ingin menakutiku saja dengan ucapannya barusan.
Seakan dapat membaca pikiranku. Arkhataya kembali tertawa keras yang bernada raungan tinggi. ”OBIDIA MEMBUAT GELANG YANG ADA DITANGANMU ATAS PERMINTAANKU. TAPI AKULAH YANG MEMANTRAI GELANG ITU!!” kini sepasang mata merah sang naga menyorot tajam padaku. ”SAAT KAU MEMAKAINYA MAKA KAU DAPAT MENDENGAR SEMUA UCAPANKU!!” raungnya kasar.
Aku terperangah untuk beberapa saat. Kupandangi gelang perak dilengan kananku dengan ragu. Jadi gelang ini hanya berfungsi sebatas itu saja. Batinku kecut.
”TAPI OBIDIA MENGKHIANATIKUUU!!!  DIA MEMBUAT MANTRA UNTUK MENGURUNGKU DILUBANG KOTOR INI!!!” raungnya seraya memiringkan kepalanya kearah air terjun Farfasian.
Nafasku memburu. Sepertinya aku cukup beruntung karena dalam keadaan marah, Arkhataya telah membuka rahasia terbesar yang belum kuketahui sebelumnya akan fungsi gelang pusaka ini.
”BERTARUNGLAH UNTUKKU!!! DAN DAPATKAN KEMBALI KEHORMATANMU!!” teriakku mencoba membujuknya.
Naga mematikan dihadapanku ini mengerang keras, ”BERIKAN AKU SEBUAH RAGA!! MAKA AKU AKAN BERTARUNG UNTUKMUU!!” raungnya tinggi mengalahkan derasnya suara air terjun seraya mengibaskan sayapnya ke udara dan terbang tinggi ke langit biru hutan Farfasian yang luas ini.
”NESS!!! AKU HARUS MENIDURKANNYA KEMBALI. DIA TERLALU BERBAHAYA UNTUK DIBIARKAN BEBAS!!!” teriakku panik seraya berlari cepat mencoba untuk mengejar naga tersebut dengan sekuat tenaga.
Dengan sigap, Ness melompat lincah mengikuti langkah langkah rapuhku.
Kurapalkan mantra penidur Arkhataya dengan putus asa tapi naga tersebut terlalu cepat dan telah berada jauh dari jangkauan. Kini ia mulai menyemburkan api dari moncongnya ke segala arah hingga menghanguskan sebagian pohon pohon pinus yang dilaluinya.
”Sial! Kita tidak mungkin mengejarnya seperti ini,” maki Ness kesal.
Aku hampir menangis mendengar kebenaran dalam ucapannya itu. ”Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan. Kekuatan pikiran dari ruh Arkhataya lah yang mengendalikan tubuh naga mematikan itu,” sahutku parau.
Ness hanya menatapku resah.
”Seharusnya aku tidak membangunkannya. Obidia telah memperingatkanku sebelumnya dalam mimpi. Dan itu juga penyebab Obidia berduel mati matian dengan Balthazar dengan tujuan mencegah makhluk mengerikan itu bangkit dari tidurnya. Arkhataya hanya mementingkan dirinya sendiri dan ambisinya. Dia sangat berbahaya Ness!” cerocosku kalut.
”Baiklah, aku mengerti maksudmu. Kita akan menidurkan kembali makhluk itu,” ujar Ness mencoba menenangkanku.
Airmata mulai menggenang disudut kedua mataku. Kuhapus dengan kasar dan merasa muak dengan sikap cengengku.
Ness menatapku ragu. ”Aku akan mencoba mengalihkan perhatiannya untuk mengejarku. Lalu membawanya pada jarak pandang terdekatmu. Setelah itu berusahalah untuk memantrainya,” suara Ness terdengar lembut mencoba untuk menenangkanku.
Aku mengangguk dengan rasa gemetar disekujur tubuhku.
”Kau harus bisa melakukan itu Calista,” tegas Ness.
Seperti orang bodoh aku kembali menganggukkan kepala tanpa bersuara.
”Bagus! karena jika kau tidak dapat melakukannya, kita berdua akan mati di hutan ini dengan sia sia,” desah Ness datar seraya menghembuskan napas kencang.
Kukatupkan rahangku rapat rapat. Aku benci mendengarnya tapi semua ucapan Ness itu benar.
”Bersembunyilah dibalik pohon pinus dekat batu besar itu. Jika aku berhasil membawanya kemari. Berjanjilah padaku, kau akan menidurkan makhluk jelek itu,” sungut Ness bernada sarkastis.
Aku hanya mengatupkan rahangku kuat kuat.
Ness melompat lincah diantara bebatuan dipinggiran tebing. Dan mulai mendaki dengan cepat. Sementara aku berlari dengan segenap kekuatanku dan bersembunyi di tempat yang diperintahkan Ness padaku.
Jantungku terus berdetak kencang. Tak henti hentinya aku memaki diriku yang begitu bodoh membangunkan Arkhataya, tanpa pemikiran matang.
Kudongakkan kepala dan melihat Ness berdiri diantara undakan tebing tertinggi. Ia berdiri tegak disebuah batu besar kemudian menyilangkan kedua tangannya di dada lalu menatap langit biru seraya mengucapkan sesuatu.
Dari jarak pandangku yang cukup jauh, aku masih dapat melihat sinar menyilaukan yang terpancar dari kedua gelang kembar perak Griffin yang berada di pergelangan tangan Ness.
Keajaiban terjadi. Awan awan putih yang menggumpal di langit terlihat bergerak pelan seolah memberikan jalan pada sesuatu. Setitik bayangan melayang pelan dan perlahan lahan semakin terlihat jelas menuju kearah Ness. Sosok seekor burung elang raksasa dengan kakinya yang bercakar menyerupai singa terlihat melayang anggun terbang diantara gumpalan awan awan putih.
Burung elang itu mengeluarkan lengkingan panjang seolah memberitahu kehadirannya pada si pemilik pusaka. Burung elang raksasa bercakar singa itu adalah Griffin sang penjaga matahari. Senjata pusaka milik Odile, jenderal pasukan cahaya negri Amorilla, yang diwariskan pada cucu satu satunya, Ness Ferin.
Dengan gerakan lincah Ness melompat ke punggung Griffin ketika burung elang raksasa itu terbang pada jarak terdekatnya dengan Ness. Sosok Griffin pun menghilang bersamaan dengan Ness yang duduk diatas punggung, tubuh besarnya.
Sementara itu, aku hanya berjongkok kesal dibalik pohon pinus dengan perasaan sangat tersiksa. Menunggu kedatangan sang naga.
Ketakutan terbesarku adalah kegagalan menidurkan kembali makhluk buas yang cerdas itu kedalam gua dibalik air terjun Farfasian dihadapanku ini.
Tak perlu menunggu terlalu lama, samar samar terlihat sosok Ness duduk diatas punggung burung elang raksasa yang terbang menukik dari kejauhan dengan diikuti seekor naga berwajah garang yang tengah memburunya.
Sepertinya Ness benar benar telah membuat Arkhataya marah. Wajah tampan Ness yang duduk diatas punggung Griffin terlihat tegang. Sementara itu sosok Griffin terlihat semakin dekat dan menukik tajam kearahku. Sedangkan Arkhataya mengekorinya terus seraya mengerang keras dengan garang.
Dengan murka Arkhataya menyemburkan api dari moncongnya, ditujukan pada punggung Griffin, untungnya dengan lincah burung elang raksasa itu berbelok arah menuju deretan pinus tempat persembunyianku dan terhindar dari semburan api Arkhataya.
”SEKARANG CALISTAA!!!” teriak Ness sekuat tenaga diatas punggung Grifin yang terbang begitu rendah hingga nyaris menghantam bebatuan.
Aku berlari sekuat tenaga dan menghadang Arkhataya yang tengah menukik tajam, berusaha mengejar sosok Grifin.
Dengan teriakan keras kurapalkan mantra nyanyian tidur bagi Arkhataya dengan sepenuh jiwa, mencoba untuk menyatukan pikiran kami,
DENGARLAH AKU ARKHATAYA YANG AGUNG...
PEJAMKAN MATA DAN BERMIMPILAH KEMBALI ....
DENGARLAH AKU ARKHATAYA YANG HEBAT ...
PEJAMKAN MATA SAMPAI AKU MEMANGGILMU LAGI ....
Tubuh besar Arkhataya mendarat dengan cepat dan menghancurkan beberapa bebatuan besar yang diinjaknya. Sepasang mata hitam berbintik merah itu menatap buas kearahku. Kembali kurapalkan mantra nyanyian tidur untuknya. Kali ini ia meraung keras, memekakkan telinga. Kutatap sorot mata liarnya yang tengah menatapku. Aku bahkan dapat merasakan hawa panas yang keluar dari tenggorokannya.
Dengan cepat kembali kurapalkan mantra penidur untuk yang ketiga kali,
Raungannya berubah menjadi erangan yang mulai melemah. Tubuh besarnya nampak sedikit bergetar.
”Kembalilah ke peraduanmu dan tidurlah dengan damai,” ucapku pelan sebagai penutup nyanyian sihir penidur untuknya.
Sepasang mata kelam Arkhataya nampak meredup. Dalam keadaan terbius tubuh besar Arkhataya perlahan menembus derasnya curahan air terjun untuk masuk kembali dalam gua dibalik air terjun di hadapanku. Perlahan lahan tubuh besarnya menghilang diantara derasnya riak air terjun yang meluncur deras.
Kutarik napas panjang penuh kelegaan. 

Writer : Misaini Indra        
Image source :http://img-cache.cdn.gaiaonline.com/af1ff49b3d75cea37ac6156ebb7224b2/http://i245.photobucket.com/albums/gg44/Pheonix_flower_rising/dragon%20warriors/Wyvern-3.jpg

No comments:

Post a Comment