Protected by Copyscape Plagiarism Scanner

Tuesday 29 October 2013

PART II : CALISTA KAZ “BANGKITNYA SANG NAGA” (Chapter 9)



  

9. RITUAL

Kulirik Brisa yang mendengkur halus. Dengan langkah perlahan seraya meraih jaket dan sepatu boots, aku menutup pintu kamar. Kukenakan boots dan jaket dengan cepat dan membiarkan rambut panjangku yang mulai tak terurus tergerai berantakan.


Setengah berlari aku menyeberangi taman kecil disamping istana dengan tergesa gesa. Semuanya kulakukan karena aku tak ingin melihat wajah konyol Kircey muncul terlebih dahulu di pintu kamar ku pagi ini.
Dengan sedikit mengendap endap aku menyusuri bagian barat lorong istana Amorilla. Sinar matahari belum sepenuhnya muncul tapi kesibukan para pelayan istana mulai terlihat.
“Ada yang bisa kami bantu nona?” tegur sopan seorang laki laki berparas menawan dengan wajah kaku. Sementara kedua tangannya terlihat memegang nampan minuman dengan cangkir cangkir perak diatas permukaannya.
“Tahukah kau dimana kamar Master Titus?” tanyaku sedikit gugup.
“Kamar kamar tamu para ksatria dari lembah Crystal berada di lorong unicorn. Berjalanlah lurus ke depan lalu berbelok kah ke kanan, setelah kau melihat patung unicorn kecil kau akan melihat kamar yang kumaksud tadi.”  Sahut datar pelayan istana sambil berjalan meninggalkanku.
Tanpa membuang waktu aku segera melangkahkan kaki. Setelah melewati patung unicorn kecil, lambang kebanggaan kerajaan Amorilla ini, terlihat jejeran pintu pintu kamar bercat coklat marun masih tertutup rapat. Pemandangan disepanjang pintu kamar begitu menyejukkan mata dengan adanya jejeran cemara berembun yang berada tiga puluh langkah dari masing masing pintunya yang memudahkanku untuk bersembunyi.
Kutarik napas panjang. Bagaimana caranya aku menemukan kamar Titus. Aku tak mungkin mengetuk semua pintu kamar satu persatu. Saat ini aku merasa sangat bodoh karena datang tanpa rencana.
Salah satu pintu kamar deretan ketiga dari tempatku berdiri tiba tiba terbuka perlahan. Dengan panik aku kembali berlindung dibalik cemara tempatku bersembunyi. Kuatur napas dan mengintip sosok yang keluar dari pintu kamar tersebut.
Aku nyaris teriak kegirangan begitu melihat muka kuyu Titus yang keluar dari kamar tersebut. Kali ini aku benar benar beruntung.
Aku segera keluar dari tempat persembunyian. Titus terlihat sedikit terkejut akan kehadiranku. Dahinya nampak berkerut menatapku.
“Calista?! Apa yang kau lakukan disitu?” tanyanya agak heran.
Aku tersenyum samar. “Hanya kebetulan lewat untuk menyapamu.” Lalu kuhampiri Titus. “Bagaimana kabarmu Titus?”
Titus memiringkan kepalanya dan kembali menatapku dengan dahi berkerut.
“Seperti yang kau lihat aku baik baik saja. Dan kau? Apa ada masalah?” Tanya Titus penasaran.
Kutarik napas pelan dan duduk di bangku kayu yang terletak diantara jejeran cemara. “Sedikit….”sahutku enggan.
Kini Titus duduk disampingku. “Mungkin aku bisa membantumu?” tawarnya sedikit ragu.
Kutegakkan posisi dudukku lalu menatap Titus yang duduk disampingku dengan rasa penasaran. “Apakah kau tahu cara mengalahkan jiwa yang terkutuk?” desahku pelan.
Titus terdiam sesaat. Kemudian ia memiringkan kepalanya seolah tengah berpikir.
“Kau tahu Calista. Jiwa jiwa yang terkutuk seperti Zorca tidak akan hidup selamanya. Penyihir hanya seorang manusia biasa. Kami dapat mati kapan saja.” Ujar Titus datar.
“Bahkan jiwa yang bersemayam di raga lain,” kejarku meminta penjelasan lebih.
“Yahh..bahkan jiwa yang bersemayam di raga lain,” sahut Titus seraya melirikku.
“Tapi bagaimana cara mengalahkan jiwa jiwa tersebut. Maksudku mereka sangat kuat dan kejam karena kekuatan ruh jahat yang membantu mereka?” tanyaku sedikit putus asa.
Titus menghela napas panjang. “Kuberitahu kau sesuatu.” Gumamnya. Lalu ia melirikku sekilas kemudian meluruskan pandangan ke depan. “Ada sebuah dongeng tua di lembah Crystal yang cukup terkenal. Kurasa kau belum pernah mendengarnya tapi aku akan menceritakannya sedikit padamu.” Senyum tipis menghias wajah kuyu Titus.
Kutatap Titus dengan antusias.
“Dahulu kala hidup penyihir kembar bernama Coress dan Therice. Meski mereka terlahir kembar namun sifat mereka sangat berlawanan. Coress begitu penuh semangat dan sangat periang. Sementara Therice sangat pendiam dan lembut. Bahkan kekuatan sihir mereka pun tak sama, Therice memiliki kekuatan dan kecerdasan diatas Coress. Hal ini membuat Coress menjadi sangat iri.” Titus menghela napas perlahan.
“Penduduk desa begitu mengelukan Therice yang ringan tangan dan membantu mereka dengan segala kebaikan sihirnya. Hal ini membuat kedengkian Coress mencapai puncaknya. Hingga akhirnya Coress pergi meninggalkan desa dan menyendiri di pegunungan. Sayangnya, pegunungan tempat Coress tinggal dikuasai ruh jahat penunggu hutan. Penduduk desa menyebutnya ruh hitam Orua.”
Kutatap Titus dengan penuh perhatian.
“Ruh hitam Orua sering mendatangi Coress dalam mimpi mimpinya. Membujuk Coress untuk menerima kekuatannya serta membisiki Coress untuk menentang saudara kembarnya sendiri, Therice. Meski waktu itu Therice tengah mencari Coress dengan penuh kekhawatiran di lebatnya hutan tempat Coress mengasingkan diri.”
“Lalu apa yang terjadi?” tanyaku penasaran.
“Coress yang dengki terbujuk rayuan ruh hitam Orua. Dan dengan liciknya Orua meminta imbalan berupa sebuah raga. Raga sebagai tempat persemayamannya yang baru. Awalnya Coress ragu. Tapi karena rasa dengkinya yang begitu kuat terhadap Therice. Coress membuat perjanjian dengan ruh hitam Orua. Yaitu sihir hitam Orua dengan tubuhnya sebagai pengisi jiwa terkutuk Orua di dalamnya, nanti.”
Tubuhku bergetar. Dongeng Titus mirip sekali dengan situasi yang tengah kuhadapi dengan Arkhataya. Untuk sesaat Titus memperhatikan gerak tubuhku.
“Kau baik baik saja? Apa aku terlalu cepat bercerita?” Tanya Titus bingung.
Kugelengkan kepala seraya tersenyum kaku. “Teruskan Titus. Aku sangat ingin mendengar dongeng ini sampai selesai.”
“Baiklah!” Titus menarik napas perlahan. “Setelah pencarian berhari hari, akhirnya Therice menemukan Coress di dalam hutan. Dengan rasa haru ia memeluk saudara kembarnya itu dan mengajaknya pulang ke desa. Sayangnya Coress yang telah termakan bujukan Orua malah menyerang Therice dengan sihir hitam pemberian Orua dan membuat Therice terluka parah. Untuk sesaat begitu mengira saudara kembarnya telah mati. Coress pun turun ke desa dan berniat membalaskan sakit hatinya pada penduduk desa yang menurutnya tidak menghargai dirinya selama ini.”
Wajah tirus Titus menatap lurus ke depan.
“Hampir separuh desa hangus terbakar sihir Coress. Coress tertawa puas diatas isak tangis penduduk yang kehilangan keluarga dan rumah rumah mereka. Dan jiwa terkutuk Orua pun tanpa membuang waktu menagih janji yang telah disepakati bersama Coress. Ruh hitam Orua menagih raga Coress bagi jiwa terkutuknya yang tersesat. Coress mulai ketakutan dan menolak perjanjian itu. Lalu berusaha melarikan diri dari kemurkaan Orua. Disaat kritis, dimana Orua hampir berhasil menguasai raga Coress. Therice datang untuk menyelamatkan saudara kembarnya itu. Dengan susah payah dan kondisi tubuh yang terluka parah. Therice berusaha menyelamatkan Coress dari cengkraman Orua. Rasa sayangnya yang begitu besar kepada Coress membuat Therice seketika memiliki pertahanan sihir yang luar biasa.” Titus mengatur napas nya sebentar.
“Lalu apa yang terjadi Titus?” tanyaku tak sabar.
“Therice menjadikan tubuhnya sebagai perisai Coress saat jiwa terkutuk Orua tengah berusaha memasuki raga Coress. Ruh hitam Orua tidak berhasil menembus tubuh Coress yang terhalang tubuh Therice. Karena Therice adalah seorang penyihir berjiwa ksatria yang memiliki segala kebaikan dan ketulusan hati. Dan Therice akhirnya berhasil menyelamatkan Coress dari ruh hitam Orua.” Senyum mengembang di wajah Titus.
“Ruh hitam Orua? Kemana perginya jiwa terkutuk itu? Apakah dia mengalami kematian?” kejarku dengan napas memburu.
Mata Titus menyipit. Ada sedikit kecurigaan dari raut wajahnya ketika menatapku. Kucoba untuk bersikap wajar namun aku benar benar tidak bisa mengendalikan rasa ingin tahuku.
Aku benar benar berharap dongeng Titus ini sebagai jalan keluar dari permasalahan Arkhataya.
Titus menghembuskan napasnya seraya menggeleng pelan. “Entahlah. Mungkin kembali ke hutan di pegunungan tempatnya bersemayam. Atau bisa saja jiwa terkutuknya itu mati. Apapun itu, tidak ada yang tahu kemana perginya ruh hitam Orua.”  
Kuhempaskan tubuhku kesandaran kursi kayu dengan kesal. “Aku tidak menyukai dongengmu itu.”
“Mengapa tidak? Bukankah semua berakhir dengan bahagia?” ujar Titus balik bertanya.
“Menurutku tidak! Bagaimana jika ruh hitam Orua kembali datang dan menuntut raga Coress? Apakah menurutmu semuanya akan berakhir bahagia lagi bagi Coress dan Therice?!” Seruku marah.
Wajah Titus terlihat serius menatapku dan dahinya sedikit mengernyit. “Itu hanya sebuah dongeng Calista. Mengapa kau begitu kesal mendengarnya?”.
Kuhembuskan napas pelan. “Maaf, aku tidak bermaksud meneriakimu seperti itu.”
“Kau tahu, hal terpenting yang dapat kita pelajari dari dongeng tua lembah Crystal itu adalah tidak ada kekuatan selain ketulusan hati lah yang akan mengalahkan segala keserakahan dari jiwa kelam yang tersesat.” Nada suara Titus terdengar penuh penekanan.
“Semudah itukah Titus. Ketulusan hati mengalahkannya? Lalu bagaimana dengan jiwa terkutuk dan sihir hitamnya yang kuat ketika membakar tubuh kita hingga kita tak sempat berteriak meminta pertolongan. Apakah ketulusan hati akan mengalahkan sihir Zorca dengan leviathan nya itu?!” lengkingku nyaris histeris.
“Ya ampun Calista! Apakah ada sesuatu yang begitu menganggumu?!” kejar Titus dengan suara tertahan sambil memicingkan kedua matanya.
Dengan cepat aku beranjak dari kursi kayu. “Aku harus kembali ke kamarku.” Sahutku datar dan mulai melangkahkan kaki.
“Rasanya bukan suatu kebetulan kan jika kau mencariku sebelum matahari terbit hanya sekedar untuk menyapaku?” nada suara Titus mulai meninggi.
 Aku terus berjalan dan tidak memperdulikan pertanyaan Titus.
“Cepat atau lambat aku pasti akan mengetahui apa yang kau sembunyikan dariku Calistaa!” seruan Titus samar samar menghilang seiring dengan kepergianku yang tergesa gesa.
Benar benar dongeng konyol. Sama sekali tidak membantuku.
Kubuka pintu kamar dengan kasar dan mendapati Brisa tengah duduk diatas tempat tidurku dengan kedua tangannya yang bersedekap.
“Aku hampir saja tidak mempercayai ucapan Ness ketika mengatakan padaku kau suka berkeliaran sesukamu tanpa pamit,” nada suara Brisa terdengar kesal.
“Aku hanya menyapa Titus dan melihat keadaannya.” Sahutku acuh seraya membuka sepatu bootsku.
“Haruskah sepagi itu?” cecar Brisa.
“Selamat pagi!” lengkingan Oogie menyelamatkanku dari gerutuan Brisa.
Dengan kesal Brisa menghampiri Oogie dan menepuk pelan sisi kanan kepala laki laki kecil itu. “Temani Calista ke ruang makan istana!” perintahnya seraya berjalan keluar dengan menghentakkan kedua kakinya karena kesal padaku.
“Sial! Kenapa dia selalu melakukan hal itu padaku?” sungut Oogie kesal seraya mengusap usap kepalanya dari tepukan tangan Brisa.
“Pergilah dari kamarku Oog!” seruku pelan.
“Kau dengar perintah Brisa pada ku kan?” bantah Oogie.
“Kau kan bisa menungguku diluar,” ucapku malas.
“Baiklah. Aku akan…
Kudorong Oogie dengan kesal lalu membanting pintu kamarku tepat di depan hidungnya. Samar samar kudengar suara omelan Oogie dari balik pintu kamarku.
Seharian aku mencari cara untuk menghindari Oogie namun semuanya sia sia. Akhirnya kuputuskan untuk mengajaknya ke tempat pengungsian untuk menemui Evelyn.
Dan seperti biasa, Oogie tak berhenti henti bertanya. Mulut kecilnya berkerucut dan terus menerus menanyakan perihal keperluanku untuk menemui Evelyn di pemukiman para pengungsi.
Kami akhirnya tiba dipinggiran hutan Sphronia. Sepasang mataku mencari cari sosok Evelyn kesekeliling. Mataku akhirnya menangkap sosok Audrey. Salah satu teman Evelyn yang tengah mengumpulkan ranting kayu.
Dengan cepat kuhampiri gadis itu.
”Audrey,” sapaku pelan.
Gadis berambut pendek yang dipanggil Audrey mengamatiku.
”Aku Calista. Teman Evelyn. Apakah kau masih ingat padaku?”
Audrey mengangguk. ”Tentu saja aku masih ingat.”
”Aku ingin bertemu dengan Evelyn. Dimanakah dia?” tanyaku pelan.
Audrey melirik Oogie sekilas.
”Aku Oogie salah satu murid nyonya Prechia, kau pasti murid nyonya Ginka kan?” tanya Oogie ramah seraya menyodorkan tangan kanannya.
Audrey hanya mengangguk acuh.
”Bisakah kau memberitahu Evelyn jika aku mencarinya,” ujarku meminta pertolongannya.
“Aku akan mengantarmu kesana.” Sahut Audrey sambil berlalu dihadapanku dan Oogie.
Aku dan Oogie berjalan mengikuti gadis berambut coklat itu. Kami menyusuri beberapa pondokan sederhana yang dibangun seadanya dengan kayu kayu maple. Beberapa anak anak kecil berlarian senang seolah olah mereka tidak merasakan kepedihan orangtua mereka berada dalam pengasingan.
Evelyn Keech terlihat tengah tertawa bersama seorang wanita separuh baya yang tengah memegang sebuah cangkir.
“Eve!” panggil Audrey seraya melambaikan tangan kanannya.
Wajah Evelyn terlihat tegang begitu melihat kehadiranku bersama Oogie.
“Sebenarnya apa yang kau inginkan dari Evelyn?” dahi Oogie berkerut dan memandangku bingung.
“Bisakah kau membantuku sedikit Oog.” Pintaku setengah memohon.
“Entahlah..kalau harus melibatkan suatu masalah besar kurasa…
“Jika kau tidak menutup mulutmu dan mengikuti kemauanku. Aku bersumpah akan menggantungmu di pohon maple itu dengan sihirku,” senyum sinis menghias wajah kesalku.
“Kau mengancamku?” suara Oogie terdengar meremehkan.
“Aku hanya mengingatkanmu jika sihirku jauh melampaui sihirmu.” Ujarku santai.
Oogie terbahak. “Baiklah kau menang. Asal kau tahu saja, penyalah gunaan kekuatan sihirmu itu akan masuk dalam laporan tertulisku pada Prechia. Ditambah dengan sikapmu yang cukup menyusahkanku.”
“Catatlah sesukamu. Tapi hari ini aku hanya ingin kau menutup mulutmu. Lengkingan suaramu itu benar benar membuat kupingku lelah beberapa hari ini.” Tandasku seraya berjalan menghampiri Evelyn.
Oogie menggerutu kesal dibelakangku.
“Kau datang juga.” ujar Evelyn sedikit terkejut.
“Tentu saja. Kau tidak berniat untuk membatalkan janji kita kan?” Aku balik bertanya dengan nada curiga.
Evelyn tertawa sumbang.
“Hey Eve. Kalau boleh tahu sebenarnya apa yang kalian rencanakan?” sambar Oogie dengan rasa ingin tahu.
Evelyn menatapku dengan sedikit ragu.
“Abaikan saja dia.” Bisikku seraya merangkul bahu Evelyn dan berjalan meninggalkan Oogie yang memicingkan mata dengan wajah sedikit jengkel.
Evelyn kemudian meminta Audrey untuk mencari Elise. Setelah itu kami pergi ke sebuah pondok kecil tempat Evelyn tinggal bersama Audrey. Oogie terlihat menggerutu sesekali karena kami selalu mengabaikan pertanyaannya.
Saat tiba di depan pintu pondok, kutahan bahu Oogie dengan kedua tanganku.
“Sebaiknya kau berjaga di pintu depan. Jika ada sesuatu yang aneh kau bisa mengetuk pintu ini dan memanggilku.” Pintaku sedikit memerintah.
“Tunggu Cal. Aku harus tahu apa yang akan kalian lakukan di dalam. Karena aku memiliki tanggung jawab atas keselamatanmu!” seru Oogie mulai marah.
“Ini urusan perempuan Oog! Aku yakin kau tidak akan mau mendengarkannya.” Senyumku mencoba menepiskan ucapannya.
“Baiklah! Tapi semua orang akan membunuhku jika terjadi sesuatu pada dirimu!” desah Oogie resah.
“Sebenarnya sudah lama semua orang berpikiran ingin menyingkirkanmu karena sikapmu yang menyebalkan itu Kircey,” ujar Evelyn santai.
“Diamlah Keech. Tidak ada yang bertanya padamu!“ sahut Oogie sewot.
Sementara Audrey dan Elise tertawa cekikikan.
“Dengar Oog….” ujarku menahan tawa. “Percayalah, kami tidak akan melakukan hal aneh di dalam sana,” lanjutku seraya melirik pondok Evelyn.
Meski dengan berat hati akhirnya Oogie menuruti juga permintaanku.
Kini kami duduk mengelilingi meja segi empat dengan sebuah lilin yang menyala beserta setangkai bunga lili.  Terakhir kali aku melakukan ritual pemanggilan arwah Obidia, aku tak sadarkan diri. Saat kuberitahukan hal itu, wajah Evelyn terlihat sedikit tegang.
”Kumohon Eve. Aku sangat membutuhkan ritual pemanggilan ruh Obidia ini. Demi kebaikan semua,” rengekku setengah memohon.
Evelyn mengalihkan pandangannya pada Audrey dan Elise bergantian. ”Apakah kalian siap? Karena ruh yang akan kita panggil kali ini memiliki energi yang besar. Jika ingin mundur sebaiknya katakan dari sekarang!” suara Evelyn terdengar sedikit bergetar.
Audrey dan Elisa saling memandang. Lalu mengalihkan pandangan mereka kearahku.
”Seberapa besar ritual ini akan membantumu?” tanya Elise lembut.
Untuk sesaat aku terbayang wajah Ness dengan senyum kaku nya yang menawan. Mata emasnya yang kecoklatan menyorot lembut kearahku. Kutarik napas pelan dan menatap Elise sendu. ”Sangat berarti melebihi apapun. Dan aku akan mati pelan pelan jika kalian tidak membantuku saat ini.”
Kening Audrey berkerut. ”Ucapanmu itu tidak mencerminkan seorang ksatria yang akan maju ke medan perang, tapi lebih seperti seseorang yang tengah putus asa karena cinta,” sindir Audrey.
Evelyn dan Elise menegaskan pandangannya kearahku.
Seketika itu juga wajahku memanas. ”Tolonglah. Aku benar benar membutuhkan bantuan kalian. Obidia satu satunya penyihir yang tahu jalan keluar dari permasalahanku.”
”Kalau boleh aku tahu, apa permasalahanmu itu?” singgung Evelyn.
Ekor mata Elise dan Audrey kembali menyorot padaku.
Jika aku tidak memberikan jawaban, mereka akan semakin mencurigaiku. Sedangkan aku sangat membutuhkan pertolongan mereka.
”Mengendalikan naga seperti Arkhataya ternyata tidak semudah yang aku bayangkan. Itulah sebabnya aku membutuhkan bantuan kalian untuk memanggil ruh Obidia.”
Mereka saling berpandangan. Lalu menatapku.
”Dan kau berharap ruh Obidia akan membantumu?” tanya Elise lugu.
Aku terseyum datar. ”Dia pernah membantuku sebelumnya. Aku yakin dia akan membantuku juga kali ini.”
Mereka terdiam sesaat. Lalu  Evelyn menatapku dalam. ”Aku akan membantumu Calista.”
Audrey dan Elise serentak mengangguk dan tersenyum kearahku.
Aku nyaris menjerit senang. ”Terimakasih. Aku tidak akan pernah melupakan bantuan kalian ini.”
”Baiklah. Sebaiknya kita segera memulai ritual pemanggilan ini,” nada suara Evelyn terdengar bersemangat.
”Tunggu Eve. Jika ruh Obidia memasuki ragaku saat ritual ini berlangsung. Maukah kau menyampaikan pertanyaanku padanya,” pintaku.
Evelyn mengangguk. ”Tentu saja. Katakan padaku.”
Kutarik napas pendek dengan cepat. ”Tanyakan pada Obidia. Bagaimana membunuh jiwa tersesat yang terkurung dalam raga lain yang bukan miliknya.”
Untuk sesaat Evelyn memandangku. ”Pertanyaan yang sangat aneh?”
”Aku tahu. Tapi tolong tanyakan saja padanya,” desakku.
”Hanya itu?” Evelyn kembali bertanya.
”Ya. Hanya itu saja,” tandasku.
”Baiklah. Kita akan memulai ritual ini sekarang,” ujar Evelyn seraya mengalihkan pandangan pada kami satu persatu.
Kemudian, kami berempat, saling berpegangan tangan. Dengan suara rendah dan penuh penekanan Evelyn memulai ritual pemanggilan arwah Obidia.
”Kami berkumpul disini untuk mencari tahu kebenaran. Kami memanggil arwah dari masa sebelum kami untuk memperlihatkan kepada kami apa yang sedang terjadi dan mencari tahu apa yang harus kami lakukan.”
Belum ada tanda kehadiran Obidia. Dan aku dapat merasakan ketegangan kala melihat lilin dihadapan kami mulai meliuk liuk tertiup hembusan angin dingin yang datang tiba tiba.
”Tunjukan pada kami apa yang dapat kami lihat. Tunjukan pada kami apa yang dapat kami dengar di masa lalu dan masa mendatang,” ujar Evelyn lagi kali ini dengan nada suara sedikit bergetar.
Tiba tiba kurasakan dingin diseluruh tubuhku. Aku menggigil hebat namun aku tak bisa melihat apa apa. Tubuhku terasa nyeri luar biasa. Kurasakan sesak di dada dan berusaha menghirup udara sekuat tenaga namun paru paru ini terasa tertekan. Semuanya terasa berat. Aku tidak dapat melihat dan tidak dapat mendengar apapun. Aku tidak dapat merasakan apapun juga. Aku merasa melayang dan pada akhirnya tidak dapat berpikir.
Mataku terasa berat saat mencoba membukanya. Samar samar kulihat wajah Evelyn dan Oogie memandangku dengan raut cemas.
”Oog? Apa yang kau lakukan disini? Seharusnya kau tak berada disini,” protesku dengan suara lemah.
”Kau ini sudah gila ya!? Meminta para Illusionist tidak berpengalaman seperti mereka untuk memanggil ruh Obidia!!”sSeru Oogie histeris.
“Heyy jaga mulutmu Kircey! Kau pikir dirimu lebih baik karena kau seorang penyihir?!” ujar Audrey ketus.
Oogie mencibir kesal kearah Audrey.
“Bagaimana perasaanmu Calista?” tanya Evelyn cemas.
“Aku baik baik saja,” anggukku pelan seraya tersenyum.
Kutarik lengan kanan Evelyn dan berbisik,”Apakah kau sudah menanyakan yang kuminta?”
Evelyn tersenyum datar. “Obidia bilang, kau tidak akan bisa membunuhnya. Kau hanya bisa mengurungnya dalam raga yang mati.”
Untuk sesaat aku terdiam dan memikirkan jawaban Obidia yang baru saja disampaikan Evelyn. Sayangnya gerutuan Oogie dan suara ejekan balasan Audrey pada Oogie membuatku tidak dapat berpikir.
Kualihkan pandanganku ke setiap sudut pondok Evelyn yang mungil ini. Semua barang barang disini nampak berserakan dimana mana, seolah baru saja terhempas angin yang dashyat.
”Apakah aku yang melakukan semua itu?” desahku meminta penjelasan pada Evelyn.
”Tidak sepenuhnya salahmu. Ruh Obidia yang melakukannya lewat ragamu. Energinya sangat kuat dan membuat kami sedikit kewalahan,” papar Evelyn.
Aku terdiam dalam perasaan bersalah.
”Aku terpaksa berteriak memanggil Kircey untuk melumpuhkanmu yang tengah kerasukan ruh Obidia yang tak terkendali. Demi kebaikan kita semua. Dan mencegah hal buruk yang bisa terjadi pada kita, nantinya. Lagipula kau sudah mendapatkan jawaban dari pertanyaanmu kan?” Evelyn menatapku meminta kepastian. ”Terus terang aku tidak mau melakukan ritual pemanggilan Obidia lagi meski kau merengek dan mencium kedua kakiku,” desah Evelyn sambil mengangkat kedua bahunya.
Aku hanya mengangguk lemas.
Aku dan Oogie kembali ke istana Amorilla dengan sedikit tergesa. Suara lengking Oogie kembali menggerutu dan menceramahiku. Untungnya aku terlalu sibuk memikirkan arti dari jawaban ruh Obidia daripada mendengarkan lengkingan Oogie.
“Kau tidak akan bisa membunuhnya. Kau hanya bisa mengurungnya dalam raga yang mati.”
Sebenarnya apa yang dimaksud oleh Obidia. Aku tidak bisa membunuh jiwa Arkhataya yang tersesat. Dan hanya bisa mengurungnya dalam raga mati.
Kutarik napas panjang. ”Aku tidak bisa membunuh Arkhataya,” gumamku putus asa.
”Mengapa kau ingin membunuh naga itu? Bukankah ada mantra untuk menidurkannya kembali untuk selamanya.” cetus Oogie seenaknya.
”Dengar Oog. Bisakah kita melupakan kejadian hari ini. Dan kuminta kau tidak berbicara pada siapapun juga tentang pemanggilan ruh Obidia hari ini.” Jantungku berdegup keras dan berharap Oogie tidak mencurigai permintaanku ini.
Oogie menatapku ragu.
”Aku berjanji akan menuruti semua kemauanmu seperti orang bodoh tanpa bertanya,” janjiku mencoba memberikan penawaran.
Oogie tertawa keras. ”Bagus! Tawaranmu kuterima!” lengkingnya puas.
Dan mulai hari ini dan seterusnya aku akan mempersiapkan telingaku untuk mendengar kicauan suara Oogie yang sangat menyebalkan itu.
Dan baru hari pertama sejak perjanjianku dengan Oogie, rasanya aku mulai kehilangan pikiran karena Oogie selalu mendominasi semua percakapan dengan pembicaraan yang tak penting. 
Dan keesokan harinya aku memutuskan untuk melontarkan mantra pelumpuh pada Oogie dan membiarkannya terbaring kaku dilantai kamarku dengan wajah marah menatap dendam kearahku.


Writer : Misaini Indra        
Image from :  http://parentingbeyondbelief.com/parents/wp-content/uploads/2013/01/ritual.jpeg


























3 comments:

  1. tak like deh ceritanya ........ terima kasih aku bisa berperan dalam film yang mengangkat ceritamu by teddy ferian

    ReplyDelete
  2. Kelanjutan'y cerita calista'y kapan lagi diposting mba'

    ReplyDelete
    Replies
    1. Pasti akan dilanjutkan. Maaf ya kemarin saya sibuk bikin naskah FTV. Ditunggu saja lanjutannya ya ;D

      Delete