Protected by Copyscape Plagiarism Scanner

Monday 4 August 2014

PART II : CALISTA KAZ “BANGKITNYA SANG NAGA”



10. PATAH

Malam itu sepulang dari makan malam di istana Amorilla, Oogie terus mengekoriku ketika kukatakan hendak berjalan-jalan sebentar menikmati cahaya bulan purnama yang begitu mempesona menyinari malam yang indah ini.

Mulut kecil Oogie tak henti-hentinya menceritakan keindahan para penari kerajaan yang begitu gemulai menari menghibur para tamu sepanjang makan malam berlangsung.
                                                                                     “Seandainya saja aku punya kesempatan mengajak salah satu penari itu untuk berdansa denganku. Kurasa aku tidak akan bisa tidur malam ini, Cal.”  Kekeh Oogie. 
 “Senang mendengar angan-anganmu yang tidak kesampaian itu Oog,” sindirku sambil tertawa.
“Kenapa tertawa?  Kau pikir aku tak pantas berdansa dengan mereka?” delik Oogie kesal.
Aku semakin tertawa lepas.
“Bukan itu. Hanya saja sulit bagiku membayangkan kau berdiri di samping salah satu penari itu Oog. Sadarkah kau begitu tingginya tubuh mereka.”
“Mengapa kau senang sekali menghancurkan semua harapanku Cal,” Oogie menggelengkan kepalanya.
Aku pun kembali tertawa. “Maafkan aku.”
Tawaku terhenti begitu sepasang mata coklat keemasan mengawasi kami dari jauh. Perlahan namun pasti pemilik sepasang mata emas itu melangkah menghampiriku.
“Lihat itu! Sepertinya masalah tak henti-hentinya datang padamu Calista,” ujar Oogie sinis.
Kuhembuskan napas panjang saat melihat Ness mulai mendekati kami.
“Apapun yang dimintanya sebaiknya kau menolak. Demi kebaikanmu sendiri.” Oogie mengingatkanku dengan merendahkan nada suaranya.
“Dan kuharap kau menjaga mulutmu jika dia sudah berdiri di sini. Aku tidak ingin kau membuatnya gusar karena aku tak mau melihat kalian mencoba membunuh satu sama lain,” ucapku tertahan seraya melirik Oogie yang mengerutkan dahi memandangi Ness.
“Maaf tapi aku tidak bisa berjanji padamu. Karena Ferin adalah makhluk aneh yang menyebalkan,” sahut Oogie asal.
Kukatupkan rahangku kuat-kuat. Aku jadi teringat kejadian di kamar ku siang itu kala Ness melempar tubuh mungil Oogie dengan cepat hanya dengan kibasan tangannya karena terbakar amarah.
“Ingat Oog. Ness akan menghajarmu lebih keras jika kali ini kau kembali melontarkan kata-kata tak pantas padanya seperti tempo hari,” ingatku pada Oogie.
“Heyy! Dengar Calista, Dialah yang memulai perselisihan ini terlebih dahulu! kau kan melihat semua itu dengan sangat jelas,” sungut Oogie kesal.
 “Aku tahu itu tapi Ness tak akan perduli siapa yang memulai. Tolonglah Oog, turuti saja permintaanku,” desahku resah.
Oogie menarik napas panjang.
“Berhentilan bermain api. Jauhi Ferin. Aku bisa melihat keadaan semakin kacau kini dengan kehadiranmu dalam percintaan Ferin dan Quilla. Justru kaulah yang akan tersakiti nantinya Calista,” sindir Oogie sinis.
 “Terimakasih banyak telah mengingatkanku Oog, kau sungguh perhatian padaku,” sahutku kesal.
Oogie tersenyum sinis, “Itulah gunanya seorang teman, sayang.”
Ness kini berdiri di depan kami. Matanya tak berkedip menatapku.
“Ikutlah denganku. Ada yang ingin kubicarakan denganmu,” nada suara Ness terdengar memerintah.
Oogie mencondongkan tubuh mungilnya kearah Ness lalu berdehem keras.
“Calista tidak akan pergi kemana pun tanpa aku,” lengking Oogie.
Ness hanya menarik napas pendek lalu menatap Oogie datar.
“Kesetianmu itu sudah melebihi harapan semua orang. Harus kuakui kau sangat hebat Kircey tapi.. kau itu tak lebih dari seekor anjing penjaga yang tengah melakukan tugas. Sebaiknya kau meredam sedikit gonggonganmu padaku,” sindir Ness santai.
“Kau memang brengsek dan tak tahu malu!” seru Oogie kesal.
“Sudahlah Oog. Hentikan semua ini,” pintaku seraya meraih lengan Oogie untuk menjauhi Ness.
Ness tertawa pelan. Begitu datar dan merdu.
“Kau harus mengajarkan Kircey cara bersikap di depan tamu tuannya, Calista.” sindir Ness tajam pada Oogie.
“Setidaknya aku tidak harus menjual diriku pada Zordius seperti yang telah kau lakukan selama ini. Terima takdir mu dan nikahi putri sinting itu. Kau tahu Ferin? Aku ini jauh lebih berharga dibanding kau dan sifat munafikmu itu,” ejek Oogie puas sambil tersenyum sinis.
Ness terdiam. Sepasang matanya hanya mengawasi Oogie.
“Kau ikut denganku atau tidak Cal?”  tanya Ness padaku tanpa melepaskan tatapannya pada Kircey.
Kulangkahkan kakiku untuk menghampiri Ness namun Oogie menarik tanganku dengan cepat. “Ingat! Terakhir kali kau ikut dengannya kau terlibat masalah dengan Quilla. Pikirkan itu!”
Kutatap Ness ragu.
“Kalian tidak perlu takut. Aku bebas menemui siapapun yang ku mau. Quilla tahu itu dan dia tidak akan bisa melarangku,” ujar Ness tinggi seraya menatap tajam pada Oogie.
“Quilla akan tetap menyalahkan Calista jika semua itu berhubungan dengan kau Ferin! dan Quilla tidak akan berhenti sampai melihat Calista hancur!” Oogie berteriak marah.
Ucapan Oogie ada benarnya. Terakhir kali aku terlihat berduaan dengan Ness, Brisa dan Cleo terluka terkena pelampiasan amarah Quilla.
“Jika ada yang ingin kau sampaikan padaku, kau bisa mengatakannya disini.” ucapku pelan.
Ness tersenyum kecut. “Kini kau mulai termakan ucapan Kircey.”
“Aku benar-benar lelah Ness. Dan sikapmu semakin membuat semuanya begitu melelahkan untukku…”  kutatap Ness takut-takut.
Ness tertegun.
Oogie memandangku dengan sorot aneh dan kerut di dahi sempitnya.
Kubuang pandanganku dari tatapan Ness.  “Lupakan saja perkataanku. Tapi aku benar-benar sangat lelah dan tidak dapat berpikir jernih untuk saat ini..
Ness meraih lenganku dengan sedikit memaksa.
“Ikut denganku dan berhenti mendramatisir keadaan,” ucap Ness mencoba membujukku.
Oogie tidak tinggal diam. Dengan penuh emosi Oogie menarik tanganku dari cengkraman tangan Ness.  
“Apakah kau sudah tuli Ferin. Calista tidak ingin ikut denganmu mengerti!” seru Oogie marah.
“Aku tidak tuli. Mungkin kau lah yang sudah mulai sinting dan haus pujian Prechia untuk tugas bodohmu menjaga Calista!” ejek Ness sinis.
“Brengsek!!” dengan sekuat tenaga Oogie melayangkan tinjunya ke wajah Ness.
Ness terjatuh.
Aku mencoba melindungi Ness dan berteriak kesal pada Oogie. “Hentikann Oog! Sudah cukup!”
Oogie terlihat marah dan mengepalkan tinjunya ke udara. “Brengsek!!”
Dengan menggerutu Oogie berjalan pergi meninggalkan aku dan Ness yang kini terduduk di tanah.
Kulirik pipi Ness yang mulai terlihat membiru. Aku berjongkok disamping Ness dan mengusap lembut pipi Ness dengan cemas. “Kau tidak apa apa?”.
Ness memegang tanganku yang menyentuh pipinya. Meremasnya pelan dan menatap mataku dengan sorot mata emasnya yang terlihat aneh ketika menatapku. Lalu dengan cepat kedua tangan Ness memegang wajahku, mendekatkannya ke wajah tampannya. Aku dapat merasakan hembusan napasnya yang memburu.
Dengan kasar Ness mencium bibirku tanpa memberi kesempatan untukku bernapas. Aku tak kuasa menolak dan terhanyut dalam kehangatan ciumannya itu. Perlahan kurasakan kelembutan di bibirnya. Rasanya begitu menyenangkan. Aku merasa tenang dan nyaman. Dengan kesadaran penuh aku membalas ciumannya tanpa merasa takut akan rasa bersalah. Seakan Ness hanyalah milikku seorang. Kami begitu menikmatinya. Dan ketika Ness menarik bibirnya perlahan-lahan menjauhi bibirku, ada perasaan kesal karena aku tak ingin ia menghentikannya.
Kuhembuskan napas panjang mencoba untuk mengendalikan perasaan yang bergemuruh di hatiku. Membuka kedua mataku dan mendapati Ness tengah mengamatiku dengan senyum tipis di bibirnya yang indah. Kubuang pandanganku darinya. Dia benar-benar telah membuatku tersipu karena malu. Tangan kanan Ness menyentuh dagu ku dan mengarahkan wajahku untuk menatapnya. Untuk sesaat aku begitu terpesona menatap sepasang mata coklat emasnya yang terlihat berkilau di tengah indahnya sinar bulan purnama malam ini.
“Kau telah meracuni pikiranku,” ucap Ness pelan seraya menatapku tak berkedip.
Kata-katanya melambungkan perasaanku. Ucapannya seolah mempertegas perasaannya padaku.
Ness menarik napas panjang. “Aku …
Jantungku berdebar kencang mencoba menahan gemetar yang kurasakan diseluruh tubuhku. Sepertinya Ness hendak mengungkapkan perasaannya padaku.
“Maafkan aku. Seharusnya aku tidak mencium mu tadi,“ ucap Ness nyaris tak terdengar.
Aku tertegun.
Hanya itu. Batinku lemas.
Setelah ciuman kami yang begitu hebat dan deru jantung yang saling menderu. Kini ia menyesal telah menciumku.
Ness kemudian berdiri. Mengulurkan tangannya padaku.
Dengan rasa marah yang tertahan. Kuputuskan untuk tidak menyambut uluran tangannya. Aku berdiri cepat lalu memalingkan wajahku darinya.
Dengan sedikit terkejut tangan Ness yang kokoh menarik lenganku.
“Lepaskan aku!” teriakku marah seraya menepis pegangan tangannya.
Ness tak mau melepaskanku begitu saja sebaliknya ia merengkuh tubuhku dengan kedua tangan kokohnya lalu memelukku kencang. Sepasang mata Ness menatapku dalam.
“Dengarkan aku dulu Calista,” desahnya dengan nada sedikit bersalah.
“Aku tidak perlu mendengarkan apapun lagi darimu. Kata-katamu hanya membuatku marah!” seruku kesal.
Sepasang mata emasnya yang berkilau indah menatapku dengan resah,” Lalu apa yang harus kukatakan padamu untuk membuatmu tenang Calista? Katakan padaku?! sahut Ness tak kalah kesalnya.
Kudorong tubuh Ness dengan marah. “Lepaskan akuu!! Menjauhlah dariku!.”
Ness mengendurkan kedua tangannya dan membiarkan aku lepas dari pelukannya. Kubalikkan tubuhku dan berlari kencang meninggalkannya. Meninggalkan Ness yang menatapku dengan wajah penuh penyesalan.
Aku terus berlari.
Kurasakan airmataku mulai mengalir hangat membasahi pipi.  Hatiku terasa sakit. Aku merasa sangat bodoh saat ini.
Seharusnya aku menahan diri dan menolak ciumannya. Seharusnya aku menjauhi Ness sejak awal. Ness tidak akan pernah menyatakan perasaannya padaku sampai kapan pun karena dia tahu, itu hanya akan menyakiti perasaanku saja. Seharusnya aku tahu itu.
Ness tidak mau memberikan harapan palsu padaku. Karena kami memang tidak pernah ditakdirkan untuk saling memiliki.
Aku benar benar lelah. Tubuh dan pikiranku seakan mati perlahan. Kulihat wajah cemas Oogie yang berdiri di depan pintu kamarku. Matanya menyipit dan mulutnya mengerucut menanyakan banyak pertanyaan tentang Ness.
Mendengar nama Ness yang disebutnya membuat hatiku semakin sakit. Rasa kecewa yang mendalam ini benar-benar menguras pikiran dan energiku. Kesedihan ini begitu melelahkan. Kurasakan pandanganku mulai mengabur. Kepalaku pun terasa pusing. Lambat laun pandanganku menjadi gelap. Samar-samar kudengar teriakan Oogie memanggil manggil namaku. Setelah itu aku tidak mendengar atau melihat apapun. Yang ada hanyalah kegelapan.
Aku tersadar dengan Brisa yang duduk disamping tempat tidurku. Brisa tersenyum haru dengan airmata membasahi pipinya.
“Sukurlah kau telah sadar Calista,” ujar Brisa lega seraya mencium keningku.
“Aku haus ..
Dengan cepat Brisa mengambil segelas air lalu memberikannya padaku. Kuminum dengan rakus tanpa menarik napas.
Brisa meraih gelas kosong dari genggaman tanganku. Lalu menaruh gelas tersebut diatas meja. Dan kembali duduk untuk mengamati wajahku.
“Kau tak sadarkan diri selama dua hari dan membuat kami semua ketakutan karena cemas,“ ucap Brisa hati-hati.
Aku hanya diam.
“Hampir semua orang ingin melihat kondisimu. Hingga aku meminta Oogie dan Darren melakukan penjagaan ketat di depan pintu kamar kita dan memilih penjengukmu dengan hati-hati,” ujar Brisa.
“Aku tak tahu jika aku begitu dirindukan orang,” sahutku getir.
Brisa tersenyum. “Siapa yang tidak? Tentu saja kami sangat merindukan mu...
Aku tersenyum kaku pada Brisa
“Seharusnya kau tidak mengijinkan orang mengunjungiku Bris. Lihat betapa menjijikkan rambutku ini,” gusarku sambil memegangi ujung rambutku yang dua hari ini tidak kucuci.
“Anehnya, kau terlihat semakin cantik saat tak sadarkan diri,” hibur Brisa padaku.
“Kau yakin tak menginginkan sesuatu padaku untuk ucapanmu itu?” sindirku.
Brisa tergelak senang mendengar sindiranku.
Aku hanya terenyum datar. “Trimakasih telah berada disampingku selalu, Bris?”.
Brisa menganggukkan kepalanya padaku dan tersenyum lembut.
Pintu kamar terbuka.
Oogie dan Darren tersenyum lebar menatapku. Oogie menghambur cepat dan duduk disamping tempat tidurku.
“Kau sadar!” ujar Oogie girang
Aku tertawa pelan
“Oogie sempat menangis saat pertama kali kau tak sadarkan diri,” ledek Darren.
“Kau sungguh berlebihan kera besar,” protes Oogie kesal.
Darren hanya menggelengkan kepalanya sambil tersenyum kecut.
“Oh ya monyet kecil? Justru kau yang terlalu berlebihan karena menolak siapapun yang hendak mengunjungi Calista,” sambung Darren geli.
“Larangan konyol Oogie membuatku harus menjelaskan pada semua orang di Amorilla jika kau tidak terkena penyakit menular atau kutukan penyihir jahat,” ujar Brisa.
Oogie hanya menaikkan kedua bahunya seraya menatapku.
“Benar-benar merepotkan,” sambung Brisa lagi sambil menepuk kepala Oogie gemas.
“Ouch! Untuk apa kau lakukan itu padaku Bris?” protes Oogie. “Kau kan tahu aku terpaksa melakukan semua itu supaya Ferin tidak datang mengganggu Calista lagi,” seru Oogie.
Untuk sesaat jantungku berhenti berdetak mendengar ucapan Oogie.
“Tapi sayangnya si brengsek itu memang tidak punya perasaan. Karena dia sama sekali tidak datang untuk sekedar melihat keadaanmu,” ucap Oogie puas seraya melirikku.
“Ness tidak seperti itu Oog. Dia hanya tidak mau terjadi kesalah fahaman lagi jika ia mengunjungi Calista disini. Kau kan tahu betapa menyebalkan sikap Quilla pada Calista,” sahut Darren membela sahabatnya itu.
“Sudahlah, kalian berdua benar-benar tolol jika membahas Ness saat ini.” ucap Brisa setengah berbisik seraya melirik kearahku yang hanya diam memandangi jendela kamar.
Oogie dan Darren menjadi salah tingkah.
“Sebaiknya kau meminum ramuan yang telah disiapkan Piphylia untukmu.” Brisa meraih botol diatas meja kayu disamping sisi tempat tidurku.
“Piphylia…” bisikku pelan.
Semua terdiam sesaat.
“Wanita itu datang mengunjungiku,” senyum tipis terulas di bibirku.
“Tentu saja Piphylia datang. Dia kan harus menyembuhkanmu dan memastikan keadaanmu akan baik-baik saja,” sahut Brisa riang.
Aku kembali terdiam. Berusaha keras, mencoba untuk tidak memikirkan Ness. Kuraih ramuan dari gelas yang disodorkan Brisa padaku. Lalu meminumnya perlahan.
Malam itu aku hampir tidak bisa tidur. Mungkin karena terlalu banyak memejamkan mata saat tidak sadarkan diri. Kuakui tubuhku memang terasa sangat lelah diitambah lagi rasa penat di otakku memikirkan urusan Arkhataya.
Kucoba turun dari tempat tidurku. Brisa nampak begitu lelap. Sepertinya ia kelelahan karena telah menjagaku selama dua hari ini. Kulirik jendela kamar. Ada rasa aneh menjalari seluruh tubuhku. Rasanya seperti ada bisikan suara yang memintaku untuk menghampiri jendela itu lalu membukanya.
Kucoba untuk menepiskan keinginan itu. Tapi rasa itu semakin kuat. Hingga akhirnya aku tak kuasa untuk tidak melakukannya. Kuhampiri jendela kamar dan membukanya perlahan.
Kulihat Ness berdiri tak jauh dari jendela kamar dan tengah menatapku. Sepasang mata coklat keemasannya terlihat sayu. Raut wajah Ness yang biasa terlihat sinis kala menatapku kini terlihat begitu cemas bercampur lega. Segaris senyum kaku terlihat samar tertuju padaku.
Aku hanya membeku. Menatapnya dengan pandangan kosong.
Kau baik baik saja. Suara lembut Ness bermain dalam pikiranku. Ness mencoba mengajakku berbicara lewat pikiranku. Kubalikkan tubuhku untuk menghindari tatapannya dari kejauhan.
Jangan berpaling dariku. Aku datang karena aku sangat khawatir padamu Calista. Suara lembut Ness terdengar setengah memohon.
Kubalikkan tubuhku kembali untuk menatap Ness yang masih berdiri menatapku dari luar jendela kamar. Kupejamkan kedua mataku dan menarik napasku perlahan. Pergilah Ness. Dan jangan perdulikan aku lagi. Kubuka kedua mataku. Kini sepasang mata coklat keemasan itu terlihat semakin sayu. Memandangiku. Sepertinya jawabanku sampai juga dalam pikirannya.
Kututup jendela kamarku pelan. Membiarkan Ness yang masih tak beranjak dari tempatnya berdiri dan masih terus menatap kearahku.
Aku tidak tahu. Hati siapa yang hancur malam ini.Tapi yang aku tahu, Aku sangat lelah. Dan perasaanku begitu hampa. Aku benar-benar merasa sendirian. 

Writer : Misaini Indra        
Image from : moonglowlilly.deviantart.com

No comments:

Post a Comment