Protected by Copyscape Plagiarism Scanner

Tuesday 26 August 2014

PART II : CALISTA KAZ “BANGKITNYA SANG NAGA” (Chapter 12)



12. PERTARUNGAN TERAKHIR

Pasukan cahaya Zordius tetap berjaga-jaga disekeliling benteng. Odile terlihat melakukan pengawasan tanpa henti. Sementara aku tak henti hentinya melayangkan pandangan dari balik celah dinding benteng untuk melihat keadaan. Darren datang padaku dengan berlinang airmata. Dipeluknya tubuh rapuhku sebagai ucapan terimakasih yang mendalam. Cleo selamat meski mengalami luka dalam yang cukup serius.
“Mereka menghancurkan beberapa urat sarafnya hingga kecil kemungkinan Cleo dapat mengerahkan tenaga dalamnya lagi,” isak Darren.
Aku terduduk lemas.
“Jika sembuh pun Cleo masih harus memulihkan syarafnya untuk kembali normal seperti sedia kala. Dan itu membutuhkan waktu yang sangat lama.” Sambung Darren berusaha menguasai diri.
“Kekuatan yang begitu besar untuk kembali pada kami membuatnya berjalan sejauh itu memaksakan syaraf-syarafnya yang terluka,” terawangku.
Darren menghembuskan napas panjang. “Mereka telah menghancurkan bakatnya Cal,”
Airmataku menggenang. “Tapi mereka tidak akan bisa menghancurkan semangatnya Darr. Berjanjilah padaku kau akan selalu berada disampingnya,”
“Aku akan selalu mendampinginya tanpa kau harus memintanya,” senyum tipis mengembang di sudut bibir Darren.
“Kita akan memenangkan pertempuran ini. Dan aku akan menghancurkan leviathan Zorca dengan bantuan Arkhataya. Kita akan kembali pulang ke lembah Crystal,” janjiku.
“Aku percaya kau akan melakukan semua itu. Aku percaya padamu Calista,” angguk Darren mantap.
“Terimakasih.“ desahku haru.
Kecemasan sedikit membuat kami merasa tidak bisa begitu saja percaya akan kekuatan mantra Zordius. Zorca adalah seorang iblis kejam yang memilki segala cara untuk menghancurkan semua yang diinginkannya. Mengingat dia menjual jiwa malangnya pada ruh jahat penghuni neraka, semakin meyakinkanku jika Zorca tidak akan menyerah semudah itu. Zorca akan menembus benteng Zordius. Hanya masalah waktu saja hingga itu terjadi. Dan saat itu terjadi. Aku harus membangunkan Arkhataya dan sekuat tenaga meyelamatkan jiwa kami dengan segala resiko yang ada.
Dan saat itu terjadi. Adalah saat dimana jiwa Ness berada dalam bahaya.
Senja telah tiba. Kabut tipis mulai turun perlahan. Hening. Dan tidak ada tanda-tanda apapun akan kedatangan musuh. Pasukan cahaya Odile yang terus berjaga disekitar benteng seolah tak pernah merasakan lelah dan tetap waspada.
Melihat keadaan para penduduk lembah Crystal yang terlihat resah membuatku iba. Aku dapat memahami rasa takut dibenak mereka jika Zorca benar-benar datang untuk membinasakan kami semua. Beberapa penduduk nampak menyalami tanganku dan mengucapkan kata-kata pengharapan secara bersamaan. Kutatap wajah mereka dengan perasaan getir berkepanjangan. Aku bahkan tak sanggup berpikir jernih jika aku adalah alasan bagi mereka untuk bertahan dan membawa mereka kembali ke tanah kelahiran mereka, lembah Crystal. Terkadang aku berharap ini hanya sebuah mimpi buruk dan berharap Orion masih hidup untuk menyelesaikan persoalanku.
Kupandangi Ness yang terlihat tengah menikmati secangkir tehnya. Terlihat tenang seolah-olah tidak merasakan ketegangan yang kurasakan. Kualihkan pandangan di depanku. Semua terlihat tidak bersemangat meski Zordius bersikap seolah semuanya wajar. Bahkan raja peri yang elegan itu dengan santai mengangkat gelas minumnya mengajak kami untuk bersulang demi kemenangan Amorilla.
Kutatap piring-piring perak berisi makanan lezat yang terhidang diatas meja makan ini. Lalu aku teringat oleh para pengungsi yang berlindung di dalam benteng istana.
“Apakah para pengungsi telah mendapatkan ransum makanan meraka?” tanyaku pelan pada Brisa yang mengunyah lambat-lambat sambil termenung.
“Zordius telah memastikan mereka mendapatkan jatah makan setiap hari yang di poskan di taman istana,” sahut Brisa gundah.
Aku kembali terdiam.
“Bisakah aku berbicara denganmu sebentar Calista.” Sosok gemuk berwajah ramah berdiri disampingku.
Aku mengangguk hormat pada Prechia. “Tentu saja, Prechia.”
Prechia membawaku ke kamarnya. Dan mempersilahkan aku untuk duduk.
Aku duduk dengan resah. Prechia sepertinya dapat menangkap kegelisahanku.
“Kau penyihir muda yang brilian Calista.” Ucapnya tanpa basa basi.
“Terimakasih atas pujiannya tapi kurasa semua penyihir bisa mempelajari apapun yang mereka inginkan, bukankah begitu Prechia?” sahutku kikuk.
Prechia tertawa. “Kau begitu rendah hati Calista. Dan aku suka cara pandangmu itu.”
Kini Prechia menatapku lekat lekat. “Kau tahu nak. Penyihir lain membutuhkan panduan dan pengawasan ketika mempelajari sebuah mantra sihir. Tapi kau! Kau tidak membutuhkan semua itu. Kau hanya perlu mendengar dan melihat sekali dan kau melakukannya dengan sangat baik.” Puji Prechia.
Wajahku memerah.
“Kau mengingatkanku pada Orion muda.” Kenang Prechia tersenyum sendirian.
“Kurasa aku hanya beruntung  karena memiliki insting yang kuat,” sanggahku.
Prechia tertawa lepas. “Belum pernah aku tertawa seperti ini sejak mereka merampas semua yang kita miliki di lembah Crystal,” desahnya getir.
“Aku akan merebut kembali rumah kita Prechia, percayalah padaku,” ucapku meyakinkannya.
“Aku tahu. Dan aku percaya padamu,” angguk  Prechia lembut.
Tanpa sadar kupeluk Prechia dengan perasaan haru.
“Berjanjilah kau akan tetap hidup nak,” parau Prechia penuh kesedihan.
Kulepaskan pelukanku dan tertawa getir. “Aku tidak akan mati hari ini jika itu yang kau maksudkan,” kerlingku mengodanya.
Prechia tertawa lepas mendengar gurauanku.
“Tentu saja tidak. Tidak hari ini dan hari kapan pun. Karena kami semua akan berdiri disekelilingmu dan mengorbankan nyawa untukmu nak,” isak Prechia pecah.
Kuusap airmataku yang mulai mengalir dari kedua sudut mata. Karena aku tak ingin terlihat rapuh di mata Prechia.
“Sepertinya aku membutuhkan semua itu,” anggukku seraya tertawa dalam isak tangis.
Prechia mengangguk haru. “Kami semua akan berjuang untukmu dan untuk kembalinya tanah leluhur kami.”
Ucapan Prechia semakin membuat beban dipundakku terasa berat. Ada sedikit rasa bersalah karena tidak menceritakan hal yang sebenarnya perihal Arkhataya.
Kulirik Ness yang tengah duduk bersedekap dan melamun dengan perasaan kacau.
Kulangkahkan kaki ku lebar-lebar dan berdiri dihadapannya dengan wajah tegang.
“Aku akan menceritakan sejujurnya pada Titus akan permintaan Arkhataya, Ness!“ nada suaraku terdengar tertahan.
Ness menatapku dalam. “Jika kau melakukan itu. Kau akan menghancurkan harapan semua orang sekaligus memberi alasan bagi Zordius untuk mengusir kami keluar dari Amorilla. Itukah yang kau inginkan??”
Kugelengkan kepalaku pelan. “Kau terlalu berlebihan, justru Titus akan membantu kita mencari jalan keluar untuk permasalahan ini.”
Ness berdiri dari tempat duduknya. Kini kami saling berdiri berhadapan.
“Aku mengenal Titus lebih dari yang kau tahu Calista. Aku tahu cara berpikirnya. Dia tidak akan mau mengambil resiko besar. Titus akan mencegah rencana kita membangkitkan Arkhataya untuk melawan leviathan Zorca.”
“Tapi kita belum tau pasti Titus akan bersikap seperti itu,” bantahku.
Ness mengatupkan rahangnya menahan kekesalan. Wajahnya pun terlihat tegang.
“Membangunkan Arkhataya adalah satu-satunya harapan kita untuk menghancurkan Zorca dan kembali ke lembah Crystal. Dan aku tidak mau berdebat lagi denganmu. Kuharap kau mengerti itu!!” sentak Ness putus asa.
Kubuang pandanganku darinya. Karena aku sangat tidak menyukai nada suaranya padaku.
“Dalam peperangan selalu ada yang dikorbankan,”desah Ness pelan.
Kupejamkan mata tak ingin menatap wajah Ness yang selalu berada di benakku. Aku benar-benar tak sanggup membayangkan kehilangan sosoknya.
Kurasakan sepasang tangan Ness meraih wajahku. “Tatap aku Calista.” Pintanya lembut.
Kubuka kedua mataku perlahan dan menatapnya sendu.
“Cobalah untuk bersikap ksatria dan perjuangkan terlebih dahulu kepentingan mereka yang membutuhkan kita. Mereka menaruh harapan besar padamu. Jangan kecewakan mereka sekarang.” Ada ketegasan dalam sorot matanya yang dalam kala menatapku.
Kuanggukkan kepalaku layaknya seorang anak kecil.
“Bagus! Sekarang bersiaplah. Sepertinya pengikut Zorca akan kembali melakukan penyerangan ketika senja tiba.” Ingatnya lagi.
Aku hanya dapat mengangguk lemah.
Dan perkiraan Ness tepat.
Sosok-sosok berjubah hitam kembali keluar dari balik pepohonan. Diantara cahaya jingga sang mentari yang mulai memudar, sosok-sosok tersebut terlihat sedikit aneh dari kejauhan.
Cara berjalan mereka yang terlihat kaku dan perlahan tanpa komando di depan mereka seolah-olah mereka bergerak sesuka hati dan keluar dari balik pepohonan secara terpisah-pisah.
Odile mulai menyerukan perintah pada para pasukan cahaya untuk bersiap-siap. Titus, Shenai dan Brisa berlari keatas benteng pertahanan dan mulai mengamati gerakan musuh. Sementara Ness, Helena, Darren, Oggie dan Agnes mulai menyiapkan barisan ksatria dan memberikan instruksi secara bergiliran.
Tak ingin tertinggal, dengan cepat aku berlari menaiki anak tangga menyusul Titus. Seseorang menarik tanganku dari belakang. Ketika aku berbalik kulihat wajah Prechia terlihat tegang, masih memegangi tanganku.
“Jangan terlalu dekat. Dan simpan energimu,” ucap Prechia penuh penekanan.
“Tapi ada sesuatu yang ganjil disana. Ada yang aneh dengan para pengikut Zorca dan aku harus melihatnya,” ujarku bersikeras.
“Aku tahu itu. Biarkan kami yang mengurus semua itu. Tugasmu adalah berkonsentrasi untuk memanggil Arkhataya demi keselamatan kita semua,” tegas Prechia.
“Prechia,” suara Shenai terdengar tegang ketika memanggil nama Prechia. Aku dan Prechia menoleh kearah Shenai secara bersamaan.
Wajah ibunda Tristan tersebut terlihat pucat. “Kemarilah. Kau harus melihat mereka!”
Dengan cepat Prechia melepaskan pegangan tangannya padaku dan berlari menghampiri Shenai. Dengan rasa penasaran aku mengikuti langkah-langkah cepat mereka dari belakang dan menaiki anak tangga ke atas benteng pertahanan Zordius ini.
 Disana sudah ada Titus, Brisa dan Odile yang menatap lurus ke depan kearah sosok-sosok manusia yang mulai bergerak perlahan menuju benteng pertahanan ini.
Kuamati dengan seksama. Meski bias-bias jingga sudah mulai memudar dan malam mulai merayap pelan. Namun aku sempat melihat sebuah sosok dengan jubah kumal dan wajah dingin berjalan lurus dengan pandangan garang. Sosok laki-laki tersebut berjalan lurus diikuti oleh sosok-sosok lain yang mulai berjalan cepat mendekati benteng ini. Postur tubuh mereka berbeda-beda ukuran, bahkan ada beberapa orang dari bangsa kurcaci dengan tubuh cebolnya mulai berteriak garang dan berlarian menuju kearah kami. Sebagian lagi berbadan besar dan kekar dengan wajah sangar dan terlihat tidak menyenangkan. Dengan senjata ditangan masing-masing berupa pedang, pisau dan gada.
Wajah Prechia pucat untuk sesaat. “Darimana orang-orang itu berasal!” seru Prechia tegang.
“Mereka adalah kaum Gregoran.” Cetus Titus.
Seketika itu juga kami menoleh kearah Titus seolah meminta penjelasan.
“Sekelompok orang yang melakukan apa saja demi mendapatkan uang untuk membeli minuman. Mereka adalah sekumpulan pemabuk, perampok dan penjudi yang memiliki kemampuan bertempur sangat baik.” Ujar Titus menjelaskan.
“Sepertinya Zorca sengaja membayar mereka untuk mengintimidasi keberadaan kita,” ucap Prechia.
“Darimana kau tahu mereka adalah para Gregoran?? bisikku pelan disamping Titus.
Titus terlihat kikuk sesaat. “Aku sering bepergian ke berbagai tempat sebelum menetap di lembah Crystal,” sahut  Titus pelan.
 “Apakah mereka dapat menembus sihir yang dibuat Zordius disekeliling benteng ini?” tanya Prechia pada Odile.
Odile menghembuskan napas perlahan. “Sihir yang dibuat Zordius hanya berlaku bagi para penyihir hitam seperti Zorca.”
“Dan mereka bukanlah para  penyihir, ” keluh Brisa cemas.
“Tenang sedikit nona Ackron.  Apapun mereka kita akan menghadapinya bersama-sama.” Ingat Prechia
Odile menatap Prechia dan kami satu-persatu. “Bersiaplah. Jika mereka dapat melewati tiang pembatas benteng di depan sana. Maka semua mantra penghalang Zordius akan pudar. Dan pertempuran kita akan segera dimulai,” desah Odile pelan.
Ketegangan mulai menghiasi raut wajah kami.
Prechia kini menatap kami satu persatu. ‘Jika mereka dapat menembus pertahanan benteng ini, kemungkinan besar penyihir hitam Zorca akan bergerak dibelakang orang-orang bayaran itu. Jadi kuminta lakukan sesuai dengan instruksi yang telah kita rencanakan bersama pada pembicaraan yang lalu.”
Semua mengangguk hormat pada Prechia sebagai tanda mengerti.
Ketakutan mereka terjadi. Tak berapa lama suara teriakan bergema dari mulut-mulut para Gregoran yang berlari cepat dan mulai mendekati benteng pertahanan istana Amorilla.
Mereka berhasil melewati tiang pembatas dengan mudah dan menghancurkan mantra disekeliling benteng dengan mudah.
“Pemanah bersiaplah!!” Teriak lantang Odile kepada pasukan cahaya yang berjejer rapih disepanjang benteng dan mulai memasang anak panah pada busur masing-masing.
“Tunggu aba-abaku!!” perintah Odile lagi.
Ketika para Gregoran telah mendekati benteng Amorilla, Odile kembali berteriak lantang, “Sekarang!!” Teriaknya lantang pada para pemanah kerajaan Amorilla.
Ratusan anak panah beterbangan di langit dan menukik tajam ke tubuh-tubuh para Gregoran tanpa ampun.
“Nyalakan obornya sekarang!!!” teriak Odile memerintahkan para prajurit cahaya untuk menyalakan obor di sekeliling benteng Amorilla.
Pemandangan menakutkan sempat menciutkan siapapun yang melihatnya karena begitu banyaknya Gregoran yang berteriak-teriak dengan beringas sambil berusaha memanjat benteng Amorilla.
Shenai, Titus dan Prechia bergerak menuruni anak tangga dan menghampiri Darren, Agnes dan Helena yang telah bersiap-siap dengan beberapa ksatria Crystal.
Brisa menarik lenganku dan berlari cepat. Brisa membawaku ke jarak pandang aman untuk melihat keadaan.
“Tunggu disini, Cal. Aku akan memanggil Ferin untuk mendampingimu hingga kau membangunkan Arkhataya.” ujar Brisa tegang.
Aku hanya mengangguk dan tidak membantah seperti biasanya.
Brisa mencari-cari sosok Ness diantara para prajurit cahaya yang berlarian menempati pos masing-masing.
“Feriiiiinnnn!!!!” teriak Brisa begitu melihat sosok Ness yang terlihat diam mengamati keadaan di bawah benteng Amorilla.
Ness menoleh kearah kami. Matanya menyorot tajam padaku dan dengan sigap melompat dan berlari kearah kami.
“Pergilah Bris! Aku akan menjaga Calista!” ujar Ness.
Brisa mengangguk lalu memelukku erat. Tubuhku bergetar hebat karena kami sadar ini adalah pertempuran terakhir hidup dan mati kami.
Brisa melepaskan pelukannya dan berlari meninggalkan aku dan Ness tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Meski aku sempat menangkap airmata haru di ujung matanya.
Para Gregoran mulai merayapi tembok benteng. Bahkan sebagian sudah mulai bergerak naik dan berhasil masuk benteng. Teriakan-teriakan Titus yang mulai menyerukan rapalan mantra sihir angin mulai terdengar lantang.  Beberapa diantara mereka mulai terjengkang terkena sihir angin Titus
“Ikuti langkahku dan jangan terpisah, mengerti!” tatap Ness padaku.
Aku mengangguk patuh.
Kami berlari menghindari serangan-serangan mantra di udara. Mataku tertuju ke sisi Timur benteng Amorilla. Darren dan Agnes terlihat mulai memberikan aba-aba untuk menyerang pada ksatria Crystal yang tersisa. Dengan gagah berani para ksatria Crystal memberikan perlawanan terakhir mereka.
Sementara itu kakek Ness, Odile memimpin pasukan cahaya untuk bertempur melawan para Gregoran dengan sebilah pedang ditangannya. Odile berhasil melumpuhkan beberapa Gregoran yang berteriak-teriak menyerang dengan membabi buta.
Pertempuran terlihat imbang.
Namun beberapa pemanah prajurit cahaya terlihat berjatuhan satu persatu akibat keganasan para Gregoran yang melemparkan pisau ke dada atau wajah mereka.
Lapisan kedua dari pihak Zorca mulai memasuki benteng pertahanan Amorila. Rufus Black mulai melontarkan mantra api dan membakar semua yang mereka lewati.
 Kepanikan mulai terlihat di wajah barisan pasukan cahaya. Namun teriakan penyemangat yang keluar dari mulut pemimpin mereka, Odile mampu membuat para prajurit cahaya untuk bangkit dan kembali menyusun barisan dan membuat pertahanan disekeliling benteng.
“Calista!!” panggil Ness mengejutkanku.
Ness menarik tanganku kesal. “Lihat ke depan dan ikuti aku mengerti!!!”
“Maaf… sahutku gugup.
Seruan-seruan di sisi barat pertahanan kembali mengalihkan pandanganku.
Kulihat Shenai terlihat sangat terdesak dan dikelilingi para Gregoran yang menyerang tak henti-henti.
Icessendrios!” seru Brisa marah seraya melontarkan hujaman batu es yang keluar dari telapak tangannya. Tubuh para Gregoran tersebut seketika terlempar jauh dan tak sadarkan diri. Shenai mengangguk pada Brisa sebagai tanda terimakasih.
Aku kembali menatap punggung Ness yang berlari di depanku lalu mengikuti langkah-langkah panjangnya dari belakang.  Namun serangan api para penyihir Zorca yang terlontar kearahku tak sengaja memisahkan aku dan Ness. Sosok Ness tiba-tiba hilang dari jarak pandangku.
”Nesss!!! teriakku panik tanpa memperhatikan percikan cahaya yang diarahkan salah satu penyihir Zorca yang akan di lontarkan tepat kearahku.
Belum sempat terarah kepadaku sosok kecil berambut keriting melontarkan serangan kearah penyihir  Zorca yang hampir saja menyarangkan mantra apinya kearahku.
Senyum riang Oogie terlihat puas seraya mengerling kearahku. ”Sudah kubilang kan aku akan melindungimu,” sumbarnya bangga.
Belum sempat aku membuka mulut untuk mengucapkan terikamakasih pada Oogie. Roven Lefre melayangkan sihir anginnya kearah Oogie hingga pelindungku itu terhempas jatuh menghantam tanah. Tubuh Oogie tertelungkup dalam diam.
 Aku menjerit memanggil Oogie. Sementara tawa Roven melengking tinggi dan ia terlihat puas. Kulihat sepasang mata hitamnya yang berkilat licik menyorot tajam kearahku.
”Kau penyihir lemah yang tidak berguna. Ramalan itu hanyalah omong kosong!!.” serunya mengejek.
”Dan kau begitu bodoh karena mempercayai sebuah ramalan,” sahutku sinis seraya melayangkan mantra dizzante kearah Roven yang sama sekali tidak menduganya.
Gulungan asap hitam menderu dan menggulung tubuh Roven terbang ke udara. Wajah Roven terlihat marah dan berusaha membebaskan diri dari gulungan asap hitam buatanku. Kuarahkan kedua tanganku berputar diatas kepala lalu kulepaskan cengkaraman asap hitam ke udara hingga tubuh Roven terbanting ke tanah.
Dengan perasaan masih kesal kuhampiri tubuh Roven yang menggeliat ditanah. Dari tempatku berdiri kupandangi wajah angkuhnya yang terlihat lebam dengan pandangan puas.
”Aku tidak perduli sebuah ramalan. Tapi aku akan memastikan jika Leviathan Zorca akan mati hari ini.” Ucapku pada Roven.
Kutinggalkan Roven yang tengah meringis kesakitan.
Dengan cepat aku berlari menghampiri sosok Oogie yang masih tertelungkup.
”Bangun Oog. Kumohon.... ” parauku.
Wajah tirus Oogie terlihat pucat dan sedikit kotor oleh tanah.
”Ayolah Oog. Kau harus bangun. Kau harus melindungiku,” sengukku menahan tangis.
Kuarahkan pandangan kesekelilingku. Shenai dan Brisa terlihat sibuk menghalau para Gregoran.
Sementara itu Titus terlihat terdesak oleh para penyihir Zorca. Darren, Agnes dan Prechia terlihat mencoba membantu mempertahankan barisan pasukan cahaya yang tengah dipimpin Odile mengingat para prajurit cahaya mulai tumbang satu persatu. 
”Bertahanlah Oog.. ” bisikku pelan.
Kuletakan tangan kananku kearah dada Oogie. Aku masih dapat merasakan denyutnya yang semakin melemah.
Kembali kusapu pandanganku. Dimana kau Ness. Kami membutuhkanmu. Batinku kecut.
”Sepertinya semua tengah sibuk bertempur nak,” suara yang pernah kukenal menyapaku datar.
Kualihkan pandanganku seketika kearah sumber suara tadi.
Kulihat Chaides berdiri sambil memainkan topi bulat hitamnya lalu menaruhnya diatas kepala botaknya perlahan sambil memandangiku.
”Chaides... ” desahku tegang.
”Apa dia sudah mati?” tanya Chaides lagi begitu melihat sosok Oogie yang tak sadarkan diri berada di pangkuan Calista
”Aku... aku tak tahu...” ucapku bingung.
Chaides berdecak pilu. Lalu menatap Calista iba. ”Jika kau terus memikirkan orang lain daripada diri sendiri kau bisa terbunuh sia-sia sebelum menyelesaikan misi mu itu.” Gumam Chaides bersimpati.
”Aku tidak bisa membiarkan Oogie mati. Dia temanku Chaides.” Parauku dengan airmata yang mulai mengalir perlahan.
Caides menghela nafas panjang. ”Benar-benar mulia. Tristan pasti sangat bangga padamu nak.”
Untuk sesaat aku tertegun akan ucapannya.
”Calistaa!” Teriakan Ness membuyarkan lamunanku.
Sepasang mata hijau terang Chaides terlihat menyorot waspada kearah Ness.
”Pergilah!! Maka aku akan mengampunimu mengingat kau telah membantu kami waktu itu!” seru Ness dengan angkuh kepada Chaides.
Chaides terkekeh pelan. ”Kau benar-benar mengagumkan. Sangat percaya diri dan begitu sombong nak.” ujar Chaides tajam.
”Ness. ..” gelengku pelan mencoba mencegah Ness mengucapkan kata-kata buruk kepada Chaides..
Chaides melirikku sekilas. ”Calista Kaz! Kau adalah gadis yang ada dalam ramalan Zorca Anthea. Kuharap kau menuntaskan takdirmu!”
Untuk sesaat Chaides menerawang. ”Zorca akan menghanguskan Amorilla bersama kalian di dalamnya. Kau harus membunuhnya hari ini atau kau tidak akan melihat orang-orang yang kau sayangi lagi esok hari.” Sepasang mata hijau terang Chaides mengerling kearahku lalu melirik kearah Ness seraya tersenyum tipis.
Nafasku memburu mendengar ucapan Chaides. Kulihat Ness terpaku di tempatnya berdiri. Chaides menganggukkan kepalanya kearahku. ”Selamat berjuang nak.” ucapnya datar lalu berlari cepat seraya melayangkan sihir airnya dari jemari pendeknya kearah para prajurit cahaya. Yang seketika itu juga terjerembab jatuh seraya menggigil dalam kebekuan.
Ness segera meraih tubuh kecil Oogie dan meletakkan kedua telapak tangannya di dada Oogie. Dengan pelan Ness membisikkan mantra penyembuh ke dada Oogie. Perlahan lahan bibir Oogie yang membiru mulai terlihat sedikit kemerahan. Aku dapat mendegar nafas Oogie yang tidak beraturan. Ness lalu meletakkan tubuh kecil laki laki malang itu perlahan ke tanah yang tidak rata.
”Kita tidak bisa meninggalkan Oogie sendirian disini Ness,” ucapku cemas.
”Aku tahu, ” dengus Ness kesal.
”Kalian butuh bantuan!” lengking parau Darren mengejutkan aku dan Ness.
Senyum kelegaan dan rasa sukur meliputiku.
”Bisakah kau membawa Kircey ke tempat yang aman Darr.” Pinta Ness.
 Darren tersenyum lebar lalu mengangkat tubuh kecil Oogie ke pundak lebarnya. ”Aku akan mengamankan monyet satu ini. Kalian pergilah dan bunuh Zorca demi kami.”
Lalu Darren berlari kencang membawa tubuh Oogie tanpa kesulitan sedikit pun.
Ness menarik tanganku untuk berlindung dibalik pohon pinus yang separuh hancur.
”Dengar aku Calista. Ketika Zorca datang nanti membawa leviathan jelek itu, aku ingin kau membangunkan Arkhataya. Aku akan mengalihkan perhatian Zorca supaya kau dapat kesempatan untuk membujuk Arkhataya menghancurkan leviathan.”
”Mengapa kita tidak menghadapi leviathan itu bersama sama. Kita tidak membutuhkan Arkhataya,” tolakku bersikeras.
”Kita membutuhkan Arkhataya, Cal. Leviathan terlalu kuat untuk kita hadapi berdua!” seru Ness sedikit kesal..
”Percayalah padaku. Lakukan saja tugasmu. Yakinkan Arkhataya jika kau telah menyiapkan sebuah raga untuknya. Lalu perintahkan dia menghancurkan Zorca dan para pengikutnya.” Ujar Ness dengan nada suara penuh penekanan.
Kutatap Ness dengan gundah.
Tiba-tiba kilatan api terpercik diatas kepala kami hingga membuatku panik dan menjerit keras. Ness menarik tubuhku dalam pelukannya lalu berguling ke samping dengan posisi tubuhnya menutupi tubuhku sebagai upayanya untuk melindungiku.
Suara lengking tawa yang sedikit kasar terdengar sangat puas. Sorot mata Rufus yang kelam menyipit kearah kami.
”Sembunyi adalah suatu hal yang sangat sia-sia saat ini.” Decak Rufus dengan nada mengejek.
Dengan cepat aku dan Ness berdiri.
Para penyihir berjubah hitam kini mengelilingi aku dan Ness.
”Sepertinya pekerjaan ini akan sangat mudah. Bahkan master Zorca tidak perlu datang untuk menghancurkan kalian,” nada angkuh Rufus meremehkan.
”Kau terlalu banyak bicara dan percaya diri.” Ledek Ness dengan nada sinis.
Rufus terkekeh. Kemudian menyorot tajam kearah Ness yang tengah menatapnya dingin. ”Kalau begitu matilah kau brengsek!!” Teriak Rufus.
Rufus melontarkan lidah api yang keluar dari kedua tangannya kearah Ness dan aku.
Ness meraih tubuhku dan kami berguling menghindari lidah api yang nyaris menghanguskan tubuh kami.
Degan cepat aku bangkit tak memperdulikan rasa nyeri ditubuhku. ”Icessendrios!!” Teriakku marah seraya melayangkan kedua tanganku kearah Rufus untuk membalas serangannya tadi. Butiran butiran es yang keluar dari telapak tanganku menghujam keras kearah dada Rufus Black.
Rufus terjerembab keras ke tanah. Dengan panik para penyihir hitam Zorca yang lain membalasa serangan sihie es ku dengan lontaran api yang saling berkejaran. Ness tidak tinggal diam dan melayangkan serangan telekinetisnya kearah para penyihir Zorca. Dua orang terpental kencang hingga jatuh bergulingan.
Kemudian Ness meraih tanganku dan kami kembali berlari mencari tempat yang aman untuk berlindung.
Sekilas kulihat Herzog Mandal meraung marah begitu melihat majikannya Rufus Black terbaring lemas dengan wajah kebiruan.
Sementara aku dan Ness terus berlari menghindari kemungkinan Herzog akan mengejar kami. Bukan kami pengecut dan tak berani menghadapi Herzog. Hanya saja kurasa Ness dan aku memiliki pikiran yang sama jika kami tidak akan membuang tenaga untuk melawan Herzog. Karena pertempuran kami yang sebenarnya belum dimulai.
Tiba-tiba saja sosok laki-laki berjubah hitam panjang berdiri diantara kekacauan pertempuran ini. Sepasang mata hitamnya yang sekelam malam terlihat menyorot dingin menatap kearahku. Wajah putihnya yang seputih mayat terlihat membeku. Jantungku seketika berhenti berdetak.
”Zorca.... ” bisikku dengan nada bergetar.
Ness menatap lurus kearah Zorca yang tengah berdiri tak jauh dari tempat kami berdiri dengan wajah tegang.
”Bersiaplah Calista. Pertempuran kita akan segera dimulai.” Desah Ness pelan.
Kucoba menguatkan hati demi mendengar ucapan laki-laki yang sangat kusayangi ini.
Aku tak akan membiarkan kau mengorbankan ragamu demi Arkhataya. Tidak akan pernah Ness. Batinku seraya melirik Ness dengan sendu.
Sementara itu langit mulai terlihat memerah, menandakan cahaya mentari tak sabar untuk menyambut pagi dalam kekacauan di negri peri Amorilla.

  Writer : Misaini Indra        
Image from :  http://janpospisil.blogspot.com/ Fat Kid blogs and stuff!




No comments:

Post a Comment